You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap orang dalam hidupnya pasti akan menghadapi yang namanya


masalah, Sikap seseorang dalam menghadapi masalah sangat ditentukan oleh
keyakinan mereka masing-masing. Keyakinan yang dimiliki setiap orang selalu
dikaitkan dengan kepercayaan atau agama. Spiritual, keyakinan dan agama
merupakan hal yang berbeda namun seringkali diartikan sama. Penting sekali
bagi seorang perawat memahami perbedaan antara Spiritual, keyakinan dan
agama guna menghindarkan salah pengertian yang akan mempengaruhi
pendekatan perawat dengan pasien.
Adapun Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang universal
dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup
seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan
umum berarti sesuatu yang kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini
dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi/ego dari diri
yang bersangkutan atau disekitarnya. Pandangan-pandangan tersebut dapat
menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.
Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan
persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan
yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe
kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan
dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan

1
keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat
memahami kehilangan dan dukacita.

B. Rumusan masalah
1. Apa definisi konsep kematian ?
2. Apa saja jenis kematian?
3. Apa saja yang termasuk tanda kematian?
4. Apa saja tahapan kematian dan skratul maut?
5. Apakah itu berkabung dan kehilangan?

C. Tujuan
1. Untuk menambah wawasan mengenai konsep kematian.
2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis kematian
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk tanda kematian.
4. Untuk menambah pengetahuan mengenai tahapan kematian dan skratul maut.
5. Untuk mengetahui arti dari berkabung dan kehilangan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kematian
A. Definisi Kematian
Definisi kematian adalah kematian otak yang terjadi jika pusat otak
tertinggi yaitu korteks serebral mengalami kerusakan permanen. Dalam kasus
ini, ada aktivitas jantung, kehilangan fungsi otak permanen, dimanifestasikan
secara klinis dengan tidak ada respon terarah terhadap stimulus eksternal,
tidak ada refleks sefalik, apnea, dan elektrogram isoelektrik minimal selama
30 menit tanpa hipotermia dan keracunan oleh depresan sistem saraf pusat
(Stedman, 2000).
Secara etimologi death berasal dari kata death atau deth yang berarti
keadaan mati atau kematian. Sedangkan secara definitive, kematian adalah
terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya
kerja otak secara permanen. Ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang tentang
definisi kematian, yakni:
 Kematian
 Kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapat pulih
 Kematian klinik, yakni kematian orang tersebut ( Roper,2002 ).
Kematian adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital,
akhir dari kehidupan manusia. Lahir, menjelang ajal, dan kematian bersifat
universal. Meskipun unik bagi setiap individu, kejadian-kejadian tersebut
bersifat normal dan merupakan proses hidup yang diperlukan (Kozier, 2010).
Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses
menuju akhir. Konsep menjelang ajal dibentuk seiring dengan waktu, saat
seseorang tumbuh, mengalami berbagai kehilangan, dan berpikir mengenai
konsep yang konkret dan abstrak (Kozier, 2010).

3
B. Jenis-Jenis Kematian
Kematian dibagi dibagi menjadi beberapa jenis, jenis-jenis kematian tentu
akan mempengaruhi rasa berduka cita atau duka cita pada seseorang. Terdapat
dua jenis kematian antara lain kematian yang tiba-tiba dan kematian yang
diantisipasi (Ann dan Lee, 2001).
a. Kematian yang diantisipasi
Menurut Ann dan Lee (2001) dapat dipahami sebagai reaksi akan
kesadaran terhadap kehilangan di waktu yang akan datang. Beberapa
orang percaya bahwa kematian yang telah diketahui terlebih dahulu
atau diantisipasi terlebih dahulu dapat memudahkan orang-orang
untuk mengatasi duka cita daripada kematian secara tiba-tiba.
Jika seseorang mengetahui bahwa saudara atau orang yang terdekat
akan meninggal dunia, maka secara tidak langsung memberi waktu
untuk menyelesaikan urusan beberapa urusan dengan orang tersebut.
Sehingga orang yang akan ditinggalkan dapat menjadi lebih mudah
untuk mengatasi duka cita daripada orang yang ditinggalkan pada
kematian tiba-tiba (Niven, 2013).
b. Kematian Mendadak
Pada kematian mendadak dapat muncul dalam konteks tertentu
Misalnya, perang mengakibatkan suatu keadaan tertentu yang
melingkupi kematian, dan keadaan ini mempengaruhi sikap
seseorang dalam mengatasi rasa berduka cita.
Seseorang yang kehilangan karena kematian secara mendadak
biasanya menginginkan informasi secepatnya dan biasanya yang
detail mengenai penyebab kematian, guna membantu orang yang
kehilangan untuk segera merasakan kehilangan. Selain itu kematian
yang mendadak bukan hanya tidak diduga-duga tetapi menyebabkan

4
orang yang ditinggalkan tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan
yang belum selesai dengan orang yang meninggal
C. Tanda-Tanda Kematian
Tanda kematian dibagi menjadi tiga tahapan yaitu sebagai berikut:
a. Tanda-Tanda Klinis Menjelang Kematian
a) Kehilangan Tonus Otot
 Relaksasi otot wajah (mis., rahang dapat turun).
 Sulit berbicara.
 Sulit menelan dan secara bertahap kehilangan refleks
muntah.
 Aktivitas saluran gastrointestinal menurun, yang pada
akhirnya disertai dengan mual, akumulasi flatus, distensi
abdomen, dan retensi feses, terutama jika narkotik atau
penenang diberikan.
 Kemungkinan inkontinensia kemih dan rektal akibat
penurunan kontrol spinkter.
 Penurunan pergerakan tubuh.
b) Perlambatan Sirkulasi
 Sensasi berkurang.
 Bercak dan sianosis pada ekstremitas.
 Kulit dingin, pertama di kaki dan kemudian di tangan,
telinga, dan hidung (namun klien dapat merasa hangat jika
terdapat peningkatan suhu tubuh).
 Perlambatan dan perlemahan denyut nadi.
 Penurunan tekanan darah.
c) Perubahan Respirasi
 Pernapasan cepat, dangkal, tidak teratur, atau lambat tidak
normal; napas berisik, disebut sebagai lonceng kematian,

5
karena berkumpulnya lender di kerongkongan; pernapasan
melalui mulut; membran mukosa oral kering.
d) Kerusakan Sensori
 Pandangan kabur.
 Kerusakan sensasi atau indera perasa dan pencium.
b. Tanda-Tanda Klinis Saat Meninggal
 Pupil mata melebar.
 Tidak mampu untuk bergerak.
 Kehilangan reflek.
 Nadi cepat dan kecil.
 Pernapasan chyene-stoke dan ngorok.
 Tekanan darah sangat rendah.
 Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
c. Tanda-Tanda Klinis Meninggal
 Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
 Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
 Tidak ada reflek.
 Gambaran mendatar pada EKG
D. Tahapan Kematian Dan Skaratul Maut
Dunia Kedokteran menetapkan tiga fase kematian. Mulai dari mati klinis,
mati otak, hingga fase final kematian secara biologis di mana jasad jadi kaku
dan proses pembusukan dimulai.
a. Mati Klinis dan Mati Suri
Fase pertama disebut mati klinis ditandai dengan berhentinya
pernapasan dan detak jantung. Pada fase ini, impuls dari otak memudar
dan panca-indera tidak lagi bereaksi. Jika orang dipasangi alat
kedokteran, akan terlihat di monitor bahwa kurvanya datar dan tidak lagi
berdetak. Pada fase ini sering terjadi near-death experience (NDE). Di
Indonesia, NDE juga dikenal sebagai mati suri.

6
Beberapa kasus medis membuktikan, ada orang yang sudah
dinyatakan mati klinis selama beberapa menit, bisa hidup kembali setelah
menjalani proses reanimasi klinis. Misalnya dengan masase jantung,
pemberian napas buatan, penggunaan defibrilator dan tindakan
kedokteran lainnya. Ada yang kemudian hidup sehat tapi ada pula yang
mengidap dampak kesehatan.
b. Mati Otak
Fase kedua kematian disebut Mati Otak. Pada tahapan ini semua
fungsi otak berhenti. Pasien biasanya masih bisa "hidup" karena dibantu
alat-alat kedokteran, seperti alat pernapasan alat pacu jantung dan
lainnya. Para dokter biasanya memutuskan pengambilan organ tubuh
penting untuk didonorkan pada fase kedua ini. Pertimbangnnya, organ-
organ penting masih berfungsi pada fase ini, walau tidak ada kendali dari
otak.
c. Mati Biologis
Fase kematian biologis ditandai dengan kematian milyaran sel-sel
tubuh. Karena tidak ada regenerasi sel, tanda-tanda kematin jelas terlihat.
Kulit jasad menunjukkan bercak-bercak kematian dan jasad menjadi
kaku. Proses pembusukan juga dimulai dan berlangsung cepat. Pada fase
ini sudah tidak diragukan lagi bahwa makhluk hidup sudah mati.

B. Berduka Dan Kehilangan


A. Definisi
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas,
susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua
kejadian kehilangan.
Para peneliti menegaskan bahwa berduka diartikan sebagai respon
emosional yang terjadi pada individu dari keadaan atau situasi kehilangan
seseorang yang menekan akibat kematian atau kehilangan seseorang yang

7
memiliki ikatan emosional yang kuat dengan yang ditinggalkan. Reaksi dari
berduka ini dapat diekspresikan dengan berbagai cara sebagai ungkapan
penderitaan emosional yang anggota keluarga yang ditinggalkan.
B. Tipe Berduka
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi
dan berduka disfungsional.
a. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau
ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini
masih dalam batas normal.
b. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan

C. Jenis Berduka dan Kehilangan


Ada 4 Jenis Berduka :
a. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang
normal terhadap kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menari diri dari aktivitas untuk sementara.
b. Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yng muncul
sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya
terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan
memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia
sebelum ajalnya tiba.
c. Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke
tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal.Masa berkabung

8
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan
orang yang bersangkutan dengan orang lain.
d. Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat
diakui secara terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS,
anak mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan
anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

Teori dari Proses Berduka Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat
untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang
hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami
kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk
mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh
berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

D. Dampak dan Respon dari Kehilangan, Kematian dan Berduka.


Teori Engels Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa
fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun
menjelang ajal, antara lain:
a. Fase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau
kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa
tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare,
detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b. Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan
kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa
tiba-tiba terjadi.
c. Fase III (restitusi) Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

9
d. Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang
kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
e. Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah
dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross
(1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu
sebagai berikut:
a. Penyangkalan (Denial) Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi
apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b. Kemarahan (Anger) Individu mempertahankan kehilangan dan
mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih
sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
c. Penawaran (Bargaining) Individu berupaya untuk membuat perjanjian
dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada
tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d. Depresi (Depression) Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul
dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini
memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
e. Penerimaan (Acceptance) Reaksi fisiologi menurun dan interaksi
sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada
bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa. 3. Teori

10
Martocchio Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan.
Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus
menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka
yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3


katagori:
1. Penghindaran Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak
percaya.
2. Konfrontasi Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan
kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3. Akomodasi Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan
akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia
sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

11
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kematian adalah kematian otak yang terjadi jika pusat otak tertinggi yaitu
korteks serebral mengalami kerusakan permanen. Dalam kasus ini, ada aktivitas
jantung, kehilangan fungsi otak permanen, dimanifestasikan secara klinis dengan
tidak ada respon terarah terhadap stimulus eksternal, tidak ada refleks sefalik, apnea,
dan elektrogram isoelektrik minimal selama 30 menit tanpa hipotermia dan keracunan
oleh depresan sistem saraf pusat. Kematian dibagi dibagi menjadi beberapa jenis,
jenis-jenis kematian tentu akan mempengaruhi rasa berduka cita atau duka cita pada
seseorang. Terdapat dua jenis kematian antara lain kematian yang tiba-tiba dan
kematian yang diantisipasi.

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang


dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan
lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Para
peneliti menegaskan bahwa berduka diartikan sebagai respon emosional yang terjadi
pada individu dari keadaan atau situasi kehilangan seseorang yang menekan akibat
kematian atau kehilangan seseorang yang memiliki ikatan emosional yang kuat
dengan yang ditinggalkan. Reaksi dari berduka ini dapat diekspresikan dengan
berbagai cara sebagai ungkapan penderitaan emosional yang anggota keluarga yang
ditinggalkan.

12

You might also like