'Golput adalah hak', sejumlah warga memilih golput di pilpres 2019

Di tengah kampanye dua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma'ruf
Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sekelompok orang sudah menyatakan yakin untuk tidak
memilih kedua calon atau golput pada pemilu mendatang. Mereka yang memilih untuk golput ini
menyatakan kecewa atas dua calon presiden yang ada, tren yang menurut lembaga survei
kemungkinan naik pada pemilihan April mendatang.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago mengatakan kelompok-kelompok yang
tidak direpresentasikan dengan baik oleh kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden,
mungkin memilih untuk golput.

Di tahun 2014, angka golput mencapai sekitar 30%, termasuk orang-orang yang tidak masuk dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak mendapat undangan untuk memberi hak suara. Bahkan, lanjut
Pangi, debat perdana yang digelar 17 Januari lalu, tidak berpengaruh apa pun dalam mengubah
pikiran orang yang sudah memutuskan untuk golput.

"Ketika tidak tersalurkan representasi kepentingan politik mereka, kedua sosok ini juga dipandang
tidak bisa menjawab persoalan, tidak bisa membawa harapan baru untuk mereka, ya automatically
mereka akan golput. Golput ini mestinya tidak akan terlalu tinggi kalau tiga calon misalnya," kata
Pangi. "Tapi kalau dua calon ini ya, itu tadi, ada kemungkinan tren golput naik."

Meski tren golput kemungkinan naik, Pangi mengatakan, suara pada pilpres mungkin tidak akan
terlalu anjlok karena suara pemilih yang baru mendapatkan hak pilih di pilpres ini. "Mereka punya
potensi untuk memilih karena mereka belum pernah dikecewakan. Mereka akan memilih presiden
untuk pertama kali, tentu partisipasi mereka akan tinggi," katanya.

Namun, menurut Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, jumlah angka golput akan relatif sama dari
pemilu-pemilu lalu. Adjie mengatakan jumlah orang yang memilih untuk golput karena asalan
ideologis lebih kecil dari pada orang yang tidak memilih karena alasan administratif, seperti belum
terdaftar di DPT, dan sebagainya.

'Golput adalah salah satu ekspresi politik yang legal'

Pengacara publik LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan bahwa golput adalah salah satu bentuk
ekpresi politik dan merupakan hak warga negara. "Opsi untuk tidak memilih adalah pilihan dan ini
adalah bagian dari ekpresi kedaulatan rakyat. Hari ini, rakyat melihat tidak hanya pimpinan politiknya
yang tidak beres, tapi juga sistem politik yang harusnya menjamin prinsip-prinsip demokrasi,
menjamin persamaan di muka hukum, persamaan ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat, bagi
rakyat, itu tidak ada," katanya.

Sikap golput, ujarnya. dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR),
UUD 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM). Selama ini, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), baik di tingkat pusat maupun daerah sering mengimbau warga untuk tidak golput. Mereka
juga mengatakan orang yang berkampanye mengajak orang lain untuk golput dapat dipidana.

Namun peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga, mengatakan golput
tidak termasuk dalam bentuk pidana pemilu, meski sering dikaitkan dengan Pasal 515 Undang-
Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini mengatakan setiap orang yang dengan
sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada
pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00.

"Tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekadar menggerakan
orang untuk golput tidak dipidana... Orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya golput
tidak dapat dipidana," katanya.

"Golput, tapi tetap datang ke TPS"

Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, yang juga mengungkapkan
keyakinannya untuk golput, mengatakan dia tidak pernah menganjurkan orang untuk golput. Namun,
jika ada orang yang memutuskan mengambil sikap yang sama dengannya, mereka sebaiknya tetap ke
Tempat Pemungutan Suara (TPS). "Jika ada orang mau golput sebaiknya tetap ke TPS dan
menggunakan hak pilihnya untuk mencegah suara anda disalahgunakan," kata Elisa dalam konferensi
pers di YLBHI.

Oleh karena sistem pilpres belum memiliki mekanisme pemilihan kotak kosong, Elisa mengatakan,
hal ini lah yang dapat dilakukan untuk mencegah kecurangan pemilu. Meski banyak orang yang
menganggap gerakan golput itu tidak artinya, Elisa mengatakan suara tidak sah akan dicatat dalam
tabel dan lembar yang sama dalam proses perhitungan kertas suara. Angka tidak sah itu, ujarnya, akan
terus tercatat hingga ke tingkat pusat.
 'Abstentions are Rights', a Number of Residents Choose Abstentions
in The 2019 Presidential Election

In the midst of a campaign between two presidential and vice-presidential candidate camps, Joko
Widodo-Ma'ruf Amin and Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, a group of people have expressed
confidence not to elect both candidates or abstentions in the upcoming elections. Those who voted for
the abstentions expressed disappointment over the two existing presidential candidates, a trend that
according to the survey institute is likely to rise in the upcoming April elections.

Pangi Syarwi Chaniago, Executive Director of the Voxpol Center, said groups that were not well
represented by both presidential and vice presidential candidate pairs might choose to abstain.
In 2014, the number of abstentions reached around 30%, including those who were not included in the
Final Voters List (DPT) and did not receive an invitation to vote. In fact, Pangi continued, the initial
debate which was held on January 17, had no effect in changing the minds of people who had decided
to abstain.

"When there is no representation of their political interests, these two figures are also considered
unable to answer the problem, they cannot bring new hope to them, automatically they will abstain.
This abstentions should not be too high if three candidates for example," said Pangi. "But if these two
candidates, there is a possibility that the abstentions trend will rise.

Although the abstentions trend is likely to rise, Pangi said, the vote in the presidential election might
not be too plummeting because the votes of the new voters getting the right to vote in this election.
"They have the potential to vote because they have never been disappointed. They will elect the
president for the first time, of course their participation will be high," he said.

However, according to LSI Denny JA researcher, Adjie Alfaraby, the number of abstentions figures
will be relatively the same from the previous elections. Adjie said the number of people who chose to
abstain because of ideological origin was smaller than those who did not vote for administrative
reasons, such as not yet registered in the DPT, and so on.

'Abstentions are one of the legal political expressions'

LBH Jakarta public attorney, Arif Maulana, said that abstentions is a form of political expression and
is a right of citizens. "The option not to vote is a choice and this is part of the expression of popular
sovereignty. Today, the people see not only their political leadership is wrong, but also the political
system that must guarantee the principles of democracy, guarantee equality before the law, economic
equality, there is no social and cultural aspect for the people, "he said.
Abstentions attitude, he said. protected by the International Convention on Civil and Political Rights
(ICCPR), the 1945 Constitution, and the Law on Human Rights (HAM). During this time, the General
Election Commission (KPU), both at the central and regional levels, often appealed to residents not to
abstain. They also said that people who campaigned to invite others to abstain from being abused.

But researchers at the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga, say abstentions are
not included in the form of criminal elections, although they are often associated with Article 515 of
Law No. 7/2017 concerning General Elections. This article says that anyone who intentionally
promises or gives money or other material to voters so that they do not exercise their right to vote,
shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years and a maximum fine of
Rp. 36,000,000.00.

"Without promises or giving a certain amount of money or material, actions are merely moving
people to abstain from being convicted ... People who choose abstentions or declare themselves
abstentions cannot be punished," he said.

"Abstentions, but still come to polling stations"

Elisa Sutanudjaja, Executive Director of the Rujak Center for Urban Studies, who also expressed her
belief in abstentions, said she had never encouraged people to abstain. However, if there are people
who decide to take the same attitude as her, they should still go to the polling station (TPS). "If there
are people who want abstentions, they should still go to the polling station and use their voting rights
to prevent your vote from being misused," Elisa said at a press conference at YLBHI.

Because the presidential election system does not yet have an empty box selection mechanism, Elisa
said, this is what can be done to prevent election fraud. Although many people consider the
abstentions movement to be meaningless, Elisha said the invalid vote will be recorded in the same
tables and sheets in the ballot counting process. The illegitimate figure, he said, will continue to be
recorded up to the central level.