You are on page 1of 11

Antidepresan pada Depresi Bipolar: Kontroversi yang Tak Kunjung Usai

Michael J. Gitlin

Abstrak

Penggunaan antidepresan yang tepat dan optimal dalam pengobatan depresi bipolar terus
menjadi bidang yang sangat menarik dan penuh kontroversi dengan lebih banyak opini yang
penuh semangat dibandingkan dengan studi yang bagus. Bahkan banyak analisis meta dalam
bidang ini yang saling bertentangan satu sama lain. Secara keseluruhan, bukti bahwa
antidepresan efektif untuk mengobati depresi bipolar masih lemah. Selain itu, banyak ahli dan
dokter sangat khawatir terhadap kapasitas antidepresan yang menyebabkan pergantian efektif
atau destabilisasi suasana hati. Namun, pada studi-studi terkontrol jangka pendek, dengan
sebagian besar pasien juga mengonsumsi penstabil suasana hati, antidepresan tidak
berhubungan dengan peralihan menjadi mania/hipomania. Bukti akselerasi siklus dengan
antidepresan terutama mencerminkan pengobatan dengan antidepresan yang lebih lama,
misalnya trisiklik. Bukti serupa dengan antidepresan modern seperti selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI) juga masih kurang. Pertanyaan-pertanyaan penting bukanlah:
apakah antidepresan efektif untuk depresi bipolar? Dan apakah antidepresan memperburuk
gangguan bipolar? Pertanyaannya harus fokus pada subgrup: untuk pasien yang manakah
antidepresan itu membantu dan aman, dan untuk pasien manakah antidepresan akan
berbahaya? Prediktor peralihan afektif dengan antidepresan meliputi: gangguan bipolar I (vs
bipolar II), fitur campuran selama depresi, trisiklik vs antidepresan modern, siklus cepat dan
kemungkinan riwayat penyalahgunaan narkoba, terutama penyalahgunaan stimulan. Selain itu,
sejumlah studi terbaru telah menunjukkan baik keamanan maupun keampuhan monoterapi
antidepresan dalam pengobatan depresi bipolar II. Akhirnya, sebuah subgrup individu bipolar
membutuhkan antidepresan sebagai tambahan dari penstabil suasana hati sebagai bagian dari
rejimen perawatan yang optimal.

Kata kunci: depresi bipolar, antidepresan, peralihan afektif yang muncul akibat perawatan

Latar Belakang

Di antara tiga fase pengobatan mania akut gangguan bipolar, pengobatan pemeliharaan, dan
depresi akut, fase terakhir menyebabkan kesulitan terbesar dalam berbagai cara. Tentunya hal
ini dikarenakan sejumlah faktor meliputi: kurangnya studi di bidang tersbeut (walaupun banyak
data telah muncul dalam beberapa tahun terakhir), perbedaan kesimpulan antar analisis meta,
dan perdebatan sengit tentang peran khusus antidepresan dalam pengobatan depresi bipolar.
Untuk masalah yang terakhir disebut – tempat antidepresan yang tepat untuk depresi bipolar –
para ahli melihat beberapa studi terkontrol yang sama dan memperoleh banyak rekomendasi
klinis yang sangat beragam dengan sebagian besar studi merekomendasikan kehati-hatian (atau
terkadang sangat hati-hati) dalam penggunaannya. Pernyataan Konsensus yang bijaksana dari
Masyarakat Internasional untuk Gangguan Bipolar (ISBD) pada topik ini diterbitkan 5 tahun
yang lalu menyimpulkan bahwa “bukti yang tersedia, baik manfaat dan risiko pengobatan
antidepresan pada gangguan bipolar sangatlah terbatas, dan sebagian besar dari bukti tersebut
lemah secara metodologi” (Pacchiarotti dkk. 2013). Jurnal ini akan mengulas secara singkat
topik keseluruhan dari depresi bipolar, merangkum pengobatan lain yang tersedia, dan
memberi pembaruan pada antidepresan untuk depresi bipolar.

Depresi Bipolar

Walaupun polaritas – ada atau tidaknya episode manik/hipomanik – merupakan fitur yang
menentukan dalam klasifikasi kami untuk gangguan suasana hati primer, membedakan
gangguan unipolar dengan bipolar, depresi merupakan kutup yang dominan. Secara
keseluruhan, termasuk pasien bipolar I dan II, individu bipolar menghabiskan tiga kali lebih
banyak minggu depresi daripada mania/hipomanik (Baldessarini dkk. 2010). Pada pasien
bipolar II, depresi akan jauh lebih dominan. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan sebuah
rasio 31:1 minggu depresif terhadap hipomanik pada pasien bipolar II selama 13 tahun periode
tindak lanjut naturalistik (Judd dkk. 2003).

Berbagai gejala yang terlihat pada depresi unipolar dan bipolar tidak berbeda, konsisten
dengan sistem klasifikasi kami yang menggunakan kriteria diagnostik yang sama untuk kedua
sindrom. Beberapa gejala lebih umum pada depresi bipolar meliputi hipersomnia,
hiperphagia/pertambahan berat badan, retardasi psikomotor dan gejala psikotik (Goodwin dan
Jamison 2007; Caspar dkk 1985). Namun, tidak ada gejala tunggal atau kelompok gejala dapat
diandalkan untuk membedakan depresi unipolar dan bipolar.
Lini pertama/pengobatan klasik untuk depresi bipolar akut

Konsensus dalam bidang ini yaitu pengobatan non-antidepresan harus dianggap sebagai
monoterapi sebelum menggunakan antidepresan untuk mengobati depresi bipolar (Pacchiarotti
dkk. 2013). (Sebaliknya, berbagai studi telah menunjukkan bahwa dokter lebih sering
meresepkan antidepresan dengan atau tanpa penstabil suasana hati dibandingkan dengan
anjuran Konsensus Ahli dan Pedoman Praktik – Baldessarini dkk. 2007; Viktorin dkk. 2014).
Pengobatan dengan data terbaik dari uji coba terkontrol acak adalah generasi kedua dari
antipsikotik (SGA). Walaupun, hal ini hanya sebagian mencerminkan kapasitas perusahaan
farmasi untuk membiayai studi skala besar, keampuhan yang konsisten di berbagai penelitian
menunjukkan aktivitas antidepresan yang sebenarnya. Dua SGA yang memiliki data terbaik
yaitu quetiapine dan lurasidone, keduanya memperlihatkan keampuhan pada dua studi
terkontrol plasebo berskala besar (Sanford dan Keating 2012; Loebel gkk. 2014a, b;
Rajagopolan dkk. 2016; Pikolov dkk. 2017). Olanzapine (Tohen dkk. 2003) dan cariprazine
(Durgan dkk. 2016) juga telah menunjukkan keampuhan pada setidaknya satu studi buta-ganda.
Tidak semua SGA memperlihatkan keampuhan yang konsisten. Ziprasidone tidak efektif pada
sebuah studi terkontrol (Sachs dkk. 2011), sementara aripiprazole gagal dalam uji coba
registrasinya (Thase dkk. 2008) (walaupun dosis tinggi yang sangat berlebihan menjadi alasan
dari hasil terakhir yang disebutkan). Secara umum, dosis SGA yang optimal untuk depresi
bipolar jauh lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang digunakan untuk pengobatan
psikosis akut atau mania akut (Bartoli dkk. 2017).

Antidepresan dalam depresi bipolar: masalah konseptual

Ketika antidepresan diresepkan untuk depresi bipolar dan penstabil suasana hati untuk depresi
bipolar, satu-satunya kekhawatiran adalah keampuhan (atau tidaknya) dan efek sampingnya.
Tidak ada alasan untuk khawatir terhadap pengobatan yang dianjurkan akan memperburuk
gangguan. (Saya mengabaikan potensi masalah bunuh diri yang memburuk pada remaja dan
dewasa muda yang diobati dengan antidepresan karena kontroversial dan jarang ditemukan).
Kekhawatiran kedua yang ditambahkan ketika mengobati depresi bipolar dengan antidepresan
yaitu peralihan menjadi mania/hipomania dan/atau induksi siklus cepat. Peralihan menjadi
mania/hipomania, sekarang disebut dengan peralihan afektif akibat pengobatan (TEAS)
(Tohen dkk. 2009) telah diakui semenjak penggunaan pertama antidepresan untuk mengobati
depresi bipolar. Namun, tanpa kelompok kontrol yang memadai, memutuskan penggunaan
antidepresan dan kemunculan mania/hipomania sebagai penyebab merupakan hal yang sulit
karena sebagian besar pasien bipolar menunjukkan pola naturalistik depresi yang diikuti oleh
mania/hipomania tanpa pengobatan. Pada kasus individu manapun, tidak mungkin mengetahui
apakah mania/hipomania pasca depresi dikarenakan pemberian antidepresan atau akibat
sejarah alami dari disorder tersebut. Untuk menghadapi teka-teki ini, sebuah definisi yang
masuk akal untuk TEAS yang pasti (walaupun arbitrari) yaitu munculnya sindrom
mania/hipomania dalam waktu 8 minggu setelah inisiasi atau peningkatan dosis antidepresan
(Tohen dkk. 2009). Kemungkinan adanya TEAS harus dipertimbangkan jika gejala hipomanik
tidak memenuhi kriteria sindrom yang muncul dalam 12 minggu inisiasi atau peningkatan dosis
antidepresan.

Kekhawatiran kedua tentang efek negatif antidepresan dalam gangguan bipolar


merupakan bukti bahwa antidepresan dihubungkan dengan mengubah/memperburuk penyakit
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Berbagai istilah telah dianggap sebagai penyebab
fenomena ini termasuk: induksi siklus cepat, memperparah gangguan, akselerasi siklus,
peningkatan labilitas afektif, dsb. Fenomena utama yang diwakili oleh istilah-istilah tersebut
yaitu sebuah peningkatan perubahan suasana hati per unit waktu (Miklowitzand Gitlin 2015).
Hal ini dapat dimanifestasikan oleh akselerasi siklus yang sebenarnya – contohnya lebih
banyak episode suasana hati yang ditetapkan DSM selama (mis.) kerangka waktu 1 tahun, atau
lebih dalam sehari dan/atau perubahan suasana hati hari ke hari yang cepat dan sedikit
hari/minggu euthymic (yang tidak harus terhitung oleh penghitungan episode formal).

Antidepresan untuk depresi bipolar akut: rangkuman data dan analisis meta keampuhan

Selama dekade terakhir, sejumlah kajian dan analisis meta telah menguji literatur penelitian
yang relatif sedikit tentang keampuhan antidepresan pada depresi bipolar. Studi pada bidang
ini termasuk studi baik hanya tentang pasien bipolar I atau kombinasi pasien bipolar I dan
bipolar II. (Data pengobatan depresi bipolar II secara khusus akan dikaji di bawah ini). Baik
kajian naratif (Licht dkk. 2008) dan analisis meta memiliki kesimpulan yang berbeda,
mencerminkan perbedaan yang halus tetapi penting dalam kriteria inklusi/eksklusi studi dan
teknik statistik. Sebagai contoh, Sidor dan MacQueen (2012) memasukkan 7 studi dalam
analisis meta mereka, McGirr dkk. (2016) memasukkan 6 studi, sementara Vasquez dkk (2013)
memasukkan 10 studi. Mempertimbangkan baik respon, remisi, atau keduanya, dua dari
analisis meta tersebut tidak menemukan keampuhan antidepresan yang signifikan pada depresi
bipolar (Sidor dan MacQueen 2012; McGirr dkk. 2016), sementara yang lain (Vasquez dkk.
2013) menemukan keampuhan dengan risiko relatif (RR) = 1,43 (CI 1,11 – 1,84, p < 0,006)
dan jumlah obat yang dibutuhkan (NNT) = 6,2. Menggunakan pendekatan yang berbeda,
analisis tambahan mengkaji semua studi membandingkan keampuhan antidepresan pada pasien
depresi unipolar dan bipolar dan tidak menemukan keampuhan yang berbeda (RR terkumpul =
1,05, CI 0,96-1,15, p = 0,34) (Vasques dkk. 2011). Akhirnya, sebuah analisis meta yang
membandingkan antidepresan untuk depresi bipolar memisahkan studi pada antidepresan
untuk depresi unipolar menemukan keampuhan yang sebanding (Vasquez dkk. 2013).

Sebagian besar subjek walaupun tidak semua, pada studi-studi yang dimasukkan dalam
analisis meta menggunakan penstabil suasana hati. Sehingga, studi tersebut utamanya mengkaji
keampuhan aditif dari antidepresan berkebalikan dari monoterapi antidepresan. Satu-satunya
studi terkontrol plasebo buta ganda yang diterbitkan pada 30 tahun terakhir, monoterapi
paroxetine tidak lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dalam pengobatan depresi bipolar
I dan II (McElroy dkk. 2010). Kritik dari penelitian ini meliputi sebuah dosis rendah tetap
paroxetinr (20 mg) dan respon plasebo yang sangat tinggi, serta tingkat remisi (52% dan 55%).
Dari catatan analisis meta terbaru pada area ini ditemukan keampuhan ketika antidepresan
ditambahkan kepada antipsikotik generasi kedua tetapi tidak ketika ditambahkan kepada
penstabil mood klasik (lithium atau antikonvulsan). Ketika ditambahkan ke SGA, antidepresan
menunjukkan respon yang lebih tinggi (51% vs 37%, p = 0,07; NNT = 7) dan tingkat remisi
(45% vs 31%) (McGirr dkk 2016). Masih belum diketahui apakah hal ini mencerminkan
keampuhan aditif SGA atau beberapa faktor lainnya.

Sehingga, satu-satunya kesimpulan yang masuk akal yaitu dengan relatif kurangnya
data yang tersedia, efektivitas antidepresan ketika diresepkan sebagai monoterapi atau
tambahan penstabil mood untuk depresi bipolar masih belum terbukti (Gitlin 2012).

Antidpresan untuk depresi bipolar akut:

Ringkasan data beralih (switch data) dan meta-analisis

Kebannyakan ulasan dan meta analisis yang sama juga menguji tingkat beralih yang
membandingkan antidepresan dengan pasebo. Semua analisis setuju bahwa, pada penelitian
jangka pendek, saat antidepresan ditabahkan ke stabilizer mood (ke kebanyakan pasien),
tingkat beralih tidak membedakan antara antidepresan dan plasebo dengan p value = 0.89 dan
0.93 (Sidor dan MacQueen 2012; Mc Girr et al. 2016).

Catatan, satu-satunya penelitian monoterapi yang menggunakan paroxetine sebagai


antidepresan (McElroy et al. 2010) dengan pasien bipolar I dan bipolar II, tingkat penggantian
dalam jangka pendek (8 minggu) juga tidak membedakan antara antidepresan dan plasebo
(11% vs 9%).

Meskipun jauh dari pasti, ini mungin bahwa kelas-kelas antidepresan yang berbeda
memberikan kerentanan yang berbeda untuk peralihan (Peet 1994; Gijsman et al. 2004; Tondo
et al. 2010; Vasquez et al. 2013). Trisiklik umumnya dianggap memiliki tingkat peralihan
tertinggi sementara selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan bupropion memberi risiko
terendah. Inhibitor (zat yang mencegah pertumbuhan) pengambilan kembali serotonin /
norepinefrin (SNRI) (minimal venlafaxine) dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi
dibandingkanSSRI dan bupropion (Vieta et al. 2002; Post et al. 2006). Apakah peningkatan
risiko ini dibagi dengan SNRI lain seperti duloxetine dan des-methylvenlafaxine juga belum
diketahui. Tingkat peralihan dengan inhibitor monoamina oksidase (MAO) umumnya
dianggap kurang dibandingkan dengan trisiklik walaupun data yang mendukung tidak tersedia
(Himmelhoch et al. 1991).

Yang mengherankan, bukti devinitif dari penelitian besar dan meta-analisis mengenai
penstabil suasana hati/mood mengurangi risiko TEAS masih kurang (Sachs et al. 2007; Tondo
et al. 2010) meskipun penelitian individu yang tampaknya menunjukkan keamanan yang lebih
besar dari antidepresan ketika ditambahkan ke penstabil suasana hati (Bottlender et al. 2001;
Henry dan Demotes -Mainard 2003). Dalam penelitian berbasis populasi yang besar (n = 3240),
menggunakan desain -individu pada pasien bipolar I, selama periode 3 bulan, antidepresan
tidak dikaitkan dengan tingkat beralih yang lebih tinggi ketika ditambahkan ke penstabil mood
(rasio bahaya [SDM] = 0,79 [CI 0,54-1,15, ns]). Sebaliknya, monoterapi antidepresan pada
individu yang sama dikaitkan dengan peningkatan TEAS hampir tiga kali lipat (HR = 2,83, [CI
1,12-7,19, p = 0,028]) (Viktorin et al. 2014).
Percepatan Siklus dari Antidepresan

Seperti yang dideskripsikan diatas, selain TEAS, percepatan siklus, yang dideskripsikan
pertama beberapa dekade yang lalu, merupakan masalah klinis utama lainnya ketika
antidepresan diresepkan untuk pasien bipolar. Sejumlah penelitian dari era tricyclic tampaknya
menunjukkan hubungan antara penggunaan antidepresan dan percepatan siklus (Wehr dan
Goodwin 1979; Kukopulos et al. 1980; Wehr et al. 1988; Altshuler et al. 1995). Tidak terlalu
jelas apakah fenomena ini terlihat secara konsisten dengan antidepressan SSRI yang lebih
modern, bupropion, SNRI terutama jika pasien juga menggunakan penstabil mood (Bauer et
al. 2006). Dalam satu penelitian yang menggunakan antidepresan modern, ditemukan
hubungan antara resep antidepresan dan siklus yang cepat (Schneck et al. 2008). Namun,
seperti yang dicatat sebelumnya oleh Caryell et al (2003), karena episode/peristiwa depresi
(yang kemudian memicu resep antidepresan) sering mendahului siklus cepat, hubungan antara
siklus cepat mungkin asosiatif, bukan kausal. Secara keseluruhan, hanya beberapa penelitian
prospektif yang menunjukkan hubungan antara siklus cepat dan penggunaan antidepresan
(Carvalho et al. 2014).

Memperlakukan Depresi bipolar II dengan antidepresan

Penelitian diatas menguji baik pasien depresi bipolar I atau pasien yang memiliki bipolar I dan
II. Seperti yang dijelaskan, gangguan bipolar II mungkin jauh lebih didominasi oleh depresi
dibandingkan dengan pasien bipolar I (Judd et al. 2003). meskipun begitu, ada alasan yang
logis untuk mempertimbangkan bahwa risiko/manfaat rasio antidepresan pada pasien bipolar
II bisa berbeda dari pasien bipolar I. Sebagai satu contoh, ketika pasien bipolar I beralih,
mereka melakukannya hampir sama menjadi mania (45%) vs hipo-mania (55%), pasien bipolar
II beralih ke hypomania 90% seiring berjalannya waktu(Bond et al. 2010) . Selain itu, apakah
semua hypomanias (ringan) perlu diobati masih bisa diperdebatkan (Parker 2012). Akhirnya,
pasien bipolar II menunjukkan TEAS sebanyak sekitar 50% tingkat pasien bipolar I (Bond et
al. 2010). kami, beralih dengan pasien bipolar II hasilnya lebih jarang dan lebih ringan,
mengurangi risiko pengobatan antidepresan.

Pertanyaan wajar yakni apakah depresi bipolar II bisa dirawat secara aman dan efektif
dengan monoterapi antidepresan. Sejumlah studi baru-baru ini telah menyarankan kemanjuran
dan keamanan monoterapi antidepresan dalam penelitian jangka pendek pada populasi ini.
(Amsterdam dan Brunswick 2003; Amsterdam dan Shults 2010; Amster-dam et al. 2010, 2015,
2016; Altshuler et al. 2017). Dalam sebuah penelitian terbaru yang membandingkan
venlafaxine dengan lithium, SNRI menunjukkan efisiensi yang lebih besar tanpa perbedaan
tingkat penggantian baik dalam studi akut (12 minggu) dan selama studi lanjutan 6 bulan
(Amsterdam et al. 2015, 2016). Hal ini sangat penting mengingat bahwa dua studi sebelumnya
(Vieta et al. 2002; Post et al. 2006) menunjukkan tingkat beralih yang lebih tinggi dengan
venlafaxine dibandingkan dengan SSRI (dalam kedua penelitian) atau bupropion (satu
penelitian). Dalam studi double-blind, terkontrol, tidak ada perbedaan kemanjuran yang terlihat
di 142 pasien depresi bipolar II yang diacak untuk sertraline, lithium, atau lithium plus ser-
traline selama 16 minggu (Altshuler et al. 2017). Selain itu, tidak ada perbedaan dalam tingkat
beralih yang terlihat di ketiga kelompok. Dari catatan, tingkat beralih untuk kelompok lithium
(19%) identik dengan tingkat pada kelompok yang diobati dengan sertraline (20%), menyoroti
lagi tingkat naturalistik mania/hipomania pasca-depresi. Juga konsisten dengan bukti dari
penelitian sebelumnya, tidak ada peralihan ke mania formal terlihat di antara populasi bipolar
II. Dalam analisis subkelompok dalam dua penelitian keselamatan (yaitu, kurang
meningkatnya tingkat TEAS) sebanding untuk kelompok sikluscepat vs kelompok siklus tidak
cepat (Amsterdam et al. 2013; Altshuler et al. 2017).

Perawatan jangka panjang dengan antidepresan pada gangguan bipolar

Penelitian-penelitian jangka panjang yang menguji kemanjuran dan keamanan antidepresan,


baik sebagai monoterapi dengan pasien bipolar II atau dalam kombinasi dengan penstabil mood
pada pasien bipolar I dan/atau II, dapat dipahami hanya sedikit. Pedoman praktik umumnya
merekomendasikan hanya pengobatan jangka pendek dengan antidepresan pada individu
bipolar (Yatham et al. 2013). Kurangnya data sangat disayangkan mengingat bukti bahwa
proporsi besar pasien bipolar yang dirawat dalam masyarakat memiliki antidepresan sebagai
bagian dari rejimen pemeliharaan mereka (Grande et al. 2013). Studi naturalistik menunjukkan
bahwa subkelompok pasien yang merespons penstabil mood plus antidepresan lebih baik jika
antidepresan dimasukkan sebagai bagian dari rejimen pemeliharaan, dengan tingkat kambuhan
depresi yang lebih rendah dan tidak ada peningkatan manic switch dibandingkan dengan
kohort. antidepresan yang digambarkan (Altshuler et al. 2001, 2003; Jofe et al. 2005).

Pada penelitian acak jangka panjang (1-3 tahun), pengobatan antidepresan lanjutan dengan
penstabil mood dikaitkan dengan gejala depresi yang agak kurang parah dan waktu yang agak
tertunda untuk depresi yang kambuh tanpa perbedaan prevalensi episode/peristiwa depresi
(Ghaemi et al. 2010). Dari catatan, kelompok kelanjutan antidepresan menunjukkan tidak ada
peningkatan tingkat beralih dibandingkan dengan mereka yang antidepresansa digambarkan.
Namun, peningkatan siklus diamati pada subkelompok dengan siklus cepat yang diobati
dengan antidepresan jangka panjang (1,29 vs 0,42 episode per tahun, p = 0,04). Berlawanan
dengan prediksi, pasien bipolar I menunjukkan respons jangka panjang yang lebih baik
terhadap antidepresan pemeliharaan dibandingkan dengan bipolar II (Vohringer et al. 2015).

Dalam meta analisis baru-baru ini, sebelas penelitian yang menguji kemanjuran dan
keamanan antidepresan jangka panjang (> 4 bulan), antidepresan lebih unggul daripada plasebo
dalam mencegah episode depresi (risiko relatif = 0,64, CI 0,49-0,83, p <0,001), dengan atau
tanpa penstabil mood tanpa peningkatan episode manik / hipomanik (Liu et al. 2017). Studi
yang lebih yang lebih singkat (4-6 bulan) dan studi jangka panjang (6-24 bulan) menunjukkan
temuan yang sama.

Akhirnya, analisis resiko/manfaat ilustratif yang ditunjukan di penelitian Amsterdam dan


Shults (2010). Dalam penelitian ini, pasien bipolar II yang merupakan responden jangka
pendek untuk fluoxetine secara acak diberikan pengobatan 1 tahun dengan fluoxetine, litium
atau plasebo yang dilanjutkan. subyek yang terus menggunakan fluoxetine memiliki lebih
sedikit kekambuhan depresi. tidak ada perbedaan yang signifikan dalam peristiwa hypo-manic
yang ditentukan apriori atau skor nilai rata-rata mania di ketiga kelompok perlakuan. Namun,
memeriksa peringkat Young Mania Rating Scales (YMRS), menjelaskan bahwa ada lebih
banyak fluktuasi mood/variabilitas pada mereka yang diobati dengan fluoxetine dibandingkan
dengan dua kelompok lainnya.

Antidepresan pada gangguan bipolar: sebuah perspektif klinis

Untuk meringkas literatur yang sedikit namun membingungkan:

 Kemanjuran antidepresan pada depresi bipolar tetap tidak terbukti.

 Saat ditambah penstabil suasana, antidepresan tidak berhubungan dengan TEAS yang
meningkat

 Tidak ada bukti yang konsisten yang menunjukkan percepatan siklus pada pasien bipolar
dengan antidepresan modern (terutama dengan co-treatment penstabil mood).
 Pasien bipolar II dapat diobati dengan aman (setidaknya dalam jangka pendek) dengan
antidepresan.

 Subset dari pasien bipolar, baik bipolar I dan II, akan membutuhkan rejimen pemeliharaan
penstabil mood ditambah antidepresan dan tidak akan menunjukkan ketidakstabilan
suasana hati dengan rejimen ini.

Prinsip-prinsip apa yang seharusnya menuntun para dokter?

1. pertanyaan kunci seharusnya bukan merupakan pilihan dikotomi sederhana: apakah


antidepresan efektif untuk depresi bipolar?, dan apakah antidepresan berbahaya pada
pasien bipolar? Sebaliknya, pertanyaan yang tepat adalah: dimana pasien bipolar yang
akan membantu antidepresan? dan untuk pasien bipolar manakah antidepresan berbahaya?
Selain itu, bukti tingkat penggantian yang berbeda di kelas antidepresan membuat rasio
risiko/manfaat tergantung pada antidepresan spesifik yang ditentukan. Tabel 1
menunjukkan faktor risiko mania yang diinduksi antidepresan (TEAS). Faktor-faktor
risiko ini tidak mengurangi kontraindikasi; misalnya, meskipun pasien bipolar I berisiko
lebih tinggi untuk beralih dibandingkan dengan pasien bipolar II, beberapa bipolar I akan
merespons dan stabil pada antidepresan. Ini adalah faktor risiko, bukan kebenaran
universal. Ini harus digunakan untuk membuat algoritma perawatan yang bijaksana.
Kareanya, SSRI dan bupropion harus diresepkan untuk pasien bipolar sebelum SNRI
karena tingkat beralih yang lebih tinggi terkait dengan yang terakhir — tetapi beberapa
pasien bipolar perlu dirawat dengan SNRI.

2. Bahkan dengan prediktor yang sudah dijelaskan, kita tidak dapat mengetahui tentang rasio
risiko/manfaat antidepresan untuk setiap pasien. kami, antidepresan dapat diresepkan
dengan pasien (dan keluarga, jika terlibat) dan psikiater yang sadar akan risiko potensial.
Baik TEAS dan akselerasi siklus biasanya terjadi pada awal pengobatan antidepresan dan
dapat dipantau.

3. Dengan pasien bipolar II, kebanyakan ahli setuju bahwa penstabil mood harus diresepkan
terlebih dahulu, sebelum monoterapi antidepresan (walaupun generalisasi ini dapat
berubah ketika kita belajar lebih banyak) Tetapi beberapa pasien bipolar II akan menolak
penstabil mood sebagai pengobatan pertama untuk depresi tetapi akan setuju untuk
mengambil antidepresan. Dalam situasi ini, monoterapi antidepresan dengan pendidikan
dan pemantauan yang tepat merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Dengan
pengecualian dari beberapa penelitian (mis., Amsterdam dan Shults 2010; Amster-dam et
al. 2015), kami memiliki sedikit data tentang risiko/manfaat dari monoterapi antidepresan
jangka panjang pada pasien bipolar II.

4. subset pasien bipolar untuk kombinasi mood stabilizer/antidepresan yakni rejimen


perawatan pemeliharaan yang optimal, akan diidentifikasi oleh:

a) Kemanjuran antidepresan akut

b) Satu percobaan atau lebih untuk tidak melanjutkan antidepresan yang menghasilkan
kekambuhan.

Kesimpulan

Peran yang tepat dari antidepresan dalam pengobatan depresi bipolar terus menjadi topik
yang sangat penting secara klinis, sayangnya kurang optimal karena kurangnya data yang
memadai dengan pendapat yang lebih memanas dibandingkan dengan isyarat yang didorong
oleh data yang konsisten. Kami membutuhkan studi singkat (8-16 minggu) dan jangka panjang
(6 bulan hingga 2 tahun) pada pasien bipolar I dan bipolar II (Gitlin 2012). Penelitian jangka
panjang terutama diperlukan untuk pasien bipolar II, mengingat efektivitas dan kurangnya
bahaya terlihat dalam beberapa penelitian jangka panjang (hingga 1 tahun) studi monoterapi
antidepresan (Amsterdam dan Shults 2010; Amsterdam et al. 2015). penelitian harus
mengikutsertakan paien siklus cepat memberikan data yang bertentangan tentang potensi
bahaya yang terkait dengan penggunaannya (Ghaemi et al. 2010; Amsterdam et al. 2013;
Altshuler et al. 2017). Secara optimal, pembanding akti pada litium, lamotrigin, antipsikotik
generasi kedua harus dimasukkan dalam desain penelitian ini. Sampai kita memiliki basis data
yang lebih besar, pertanyaan tentang antidepresan untuk depresi bipolar akan terus
menghasilkan lebih banyak panas daripada cahaya/pencerahan sehingga merugikan pasien dan
dokter.

You might also like