You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA FIBULA (CRURIS)

A. KONSEP PENYAKIT
1. Anatomi dan fisiologi

Gambar 1. Anatomi Tibia Fibula


1) Tibia (tulang kering)
Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:
 Epiphysis proximalis (ujung atas)
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi
superior pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan condylus
lateral. Ditengah-tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut
eminenta intercondyloidea.
 Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya
menghadap ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu
margo anterior (di sebelah muka), margo medialis (di sebelah medial)
dan crista interossea (di sebelah lateral) yang membatasi facies
lateralis, facies posterior dan facies medialis.Facies medialis langsung
terdapat dibawah kulit dan margo anterior di sebelah proximal.
 Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus
medialis (mata kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi
yaitu dataran sendi yang vertikal (facies articularis melleolaris),
dataran sendi yang horizontal (facies articularis inferior) dan
disebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura fibularis).

1
2) Fibula
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia.
Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Ke arah
proximal meruncing menjadi apex. Pada capitulum terdapat dua dataran
sendi yang disebut facies articularis capitulli fibulae, untuk bersendi
dengan tibia. Pada corpus terdapat empat buah crista yaitu, crista lateralis,
crista anterior, crista medialis dan crista interosssea. Datarannya ada tiga
buah yaitu facies lateralis, facies medialis dan facies posterior. Pada
bagian distal ke arah lateral membulat menjadi maleolus lateralis.
Menurut Long, B.C, fungsi tulang secara umum yaitu :
1) Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh.
2) Melindungi organ-organ tubuh (contoh:tengkorak melindungi otak)
3) Untuk pergerakan (otot melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan
bergerak).
4) Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium dan
posfor)
5) Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum
tulang).
Menurut Price, Sylvia Anderson, Pertumbuhan dan metabolisme tulang
dipengaruhi oleh mineral dan hormon :
1) Kalsium dan posfor tulang mengandung 99 % kalsium tubuh dan 90 %
posfor. Konsentrasi kalsium dan posfor dipelihara hubungan terbalik,
kalsitonin dan hormon paratiroid bekerja untuk memelihara keseimbangan.
2) Kalsitonin diproduksi oleh kelenjar tiroid dimana juga tirokalsitonin yang
memiliki efek untuk mengurangi aktivitas osteoklast, untuk melihat
peningkatan aktivitas osteoblast dan yang terlama adalah mencegah
pembentukan osteoklast yang baru.
3) Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Dalam jumlah
besar vitamin D dapat menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat
dalam kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D,
hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi tulang sedang
vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang dengan
meningkatkan absorbsi kalsium dan posfat oleh usus halus.
4) Paratiroid Hormon, mempunyai efek langsung pada mineral tulang yang
menyebabkan kalsium dan posfat diabsorbsi dan bergerak melalui serum.
Peningkatan kadar paratiroid hormon secara perlahan-lahan menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklast sehingga terjadi

2
demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pda hiperparatiroidisme
dapat menimbulkan pembentukan batu ginjal.
5) Growth Hormon (hormon pertumbuhan), disekresi oleh lobus anterior
kelenjar pituitary yang bertanggung jawab dalam peningkatan panjang
tulang dan penentuan jumlah matriks tulang yang dibentuk pada masa
sebelum pubertas.
6) Gluikokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein.
Hormon ini dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk
mengurangi atau meningkatkan matriks organ tulang dan membantu
dalam regulasi absorbsi kalsium dan posfor dari usus kecil.
7) Estrogen menstimulasi aktifitas osteoblast. Penurunan estrogen setelah
menopause mengurangi aktifitas osteoblast yang menyebabkan penurunan
matriks organ tulang. Klasifikasi tulang berpengaruh pada osteoporosis
yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun namun matriks organiklah
yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
2. Definisi penyakit

Gambar 2. Fraktur Tibia Fibula (Cruris)


Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang
dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi
jika tulang dikena stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
Fraktur kruris merupakan suatu kondisi terputusnya hubungan tulang
tibia dan fibula. Pada kondisi klinik fraktur kruris bisa dalam kondisi fraktur
tertutup dan fraktur terbuka apabila disertai kerusakan pada jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga memungkinkan
terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar

3
disebabkan oleh suatu cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki.
(Muttaqin, 2008)
Klasifikasi fraktur ada empat yang utama adalah :
1) Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.
2) Complit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari
posisi normal).
3) Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.
4) Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit
yang terbagi menjadi 3 derajad :
Derajad 1 : luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit,
tidak ada tanda remuk, fraktur sederhana atau kominutif
ringan dan kontaminasi minimal.
Derajad 2 : laserasi lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas,
fraktur kominutif sedang, dan kontaminasi sedang.
Derajad 3 : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas(struktur kulit, otot,
dan neurovaskuler) serta kontaminasi derajad tinggi.
3. Etiologi
Menurut (Rasjad, 2009) penyebab paling utama fraktur tibia fibula
yang disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan
merobek ligamentum medialis sendi tersebut, benturan langsung pada tulang
tibia misalnya kecelakaan lalu lintas, serta kerapuhan struktur tulang.
Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
1) Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan
tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan
benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
2) Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih
disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau
otot , contohnya seperti pada olahragawan atau pesenam yang
menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.
3) Trauma pathologis

4
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison /
ACTH, osteogenesis imperfecta (gangguan congenital yang
mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang
yang lemah dan mudah patah.
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos dan rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari
fokus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya
bantalan sendi dan tulang rawan
4. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1) Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba.
2) Tak mampu menggerakan kaki.
3) Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan posisi
fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan
penyatuan dan tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek
ekstermitas bawah karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat
fragmen tergelincir dan tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat
juga terjadi rotasional karena tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang
menempel pada fragmen tulang sehingga fragmen fraktur berputar keluar
dari sumbu longitudinal normalnya.
4) Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena gesekan
antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5) Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area
kulit.
6) Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan
karena terjadi ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area
fraktur.
5. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi karena trauma / rudapaksa sehingga dapat
menimbulkan luka terbuka dan tertutup. Fraktur luka terbuka memudahkan

5
mikroorganisme masuk kedalam luka tersebut dan akan mengakibatkan
terjadinya infeksi.
Pada fraktur dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas jaringan
sendi, tulang bahakan kulit pada fraktur terbuka sehingga merangsang
nociseptor sekitar untuk mengeluarkan histamin, bradikinin dan
prostatglandin yang akan merangsang serabut A-delta untuk menghantarkan
rangsangan nyeri ke sum-sum tulang belakang, kemudian dihantarkan oleh
serabut-serabut saraf aferen yang masuk ke spinal melalu “dorsal root” dan
sinaps pada dorsal horn. Impuls-impuls nyeri menyeberangi sum-sum
belakang pada interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinal
asendens, yaitu spinothalamic tract (STT) dan spinoreticuler tract (SRT).
STT merupakan sistem yang diskriminatif dan membawa informasi mengenai
sifat dan lokasi dari stimulus kepada thalamus kemudian ke korteks untuk
diinterpretasikan sebagai nyeri.
Nyeri bisa merangsang susunan syaraf otonom mengaktifasi
norepinephrin, sarap msimpatis terangsang untuk mengaktifasi RAS di
hipothalamus mengaktifkan kerja organ tubuh sehingga REM menurun
menyebabkan gangguan tidur.
Akibat nyeri menimbulkan keterbatasan gerak (imobilisasi)
disebabkan nyeri bertambah bila digerakkan dan nyeri juga menyebabkan
enggan untuk bergerak termasuk toiletening, menyebabkan penumpukan
faeses dalam colon. Colon mereabsorpsi cairan faeses sehingga faeses
menjadi kering dan keras dan timbul konstipasi.
Imobilisasi sendiri mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya
dekubitus, yaitu luka pada kulit akibat penekanan yang terlalu lama pada
daerah bone promenence.
Perubahan struktur yang terjadi pada tubuh dan perasaan ancaman
akan integritas stubuh, merupakan stressor psikologis yang bisa menyebabkan
kecemasan.
Terputusnya kontinuitas jaringan sendi atau tulang dapat
mengakibatkan cedera neuro vaskuler sehingga mengakibatkan oedema juga
mengakibatkan perubahan pada membran alveolar (kapiler) sehingga terjadi
pembesaran paru kemudian terjadi kerusakan pada pertukaran gas, sehingga
timbul sesak nafas sebagai kompensasi tubuh untk memenuhi kebutuhan
oksigen.
6. Pathway

6
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Rongent: Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali
proyeksi, anterior, posterior lateral.
2) CT Scan tulang, fomogram MRI : Untuk melihat dengan jelas daerah
yang mengalami kerusakan.
3) Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
4) Hitung darah kapiler
 HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau menurun.
 Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.
5) Kadar Ca kalsium, Hb
8. Penatalaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani
fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1) Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Metode reduksi terbagi atas ;
a. Reduksi Tertutup ; dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan). Ektermitas

7
dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai
atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstermitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar.
b. Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang
fraktur untuk meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spaasme otot yang terjadi.
 Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menepelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cidera dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72jam).
 Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan
tulang yang cidera dan sendi panjang untuk mempertahankan
traksi, memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
 Maintenance traksi merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan
lanjutan dapat diberikan secara langsung pada tulang dengan
kawat atau pins.
c. Reduksi Terbuka : dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi
yang kuat bagi fragmen tulang.
 OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) adalah reduksi
terbuka dengan fiksasi internal dimana tulang di transfiksasikan
di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi
dibagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan
yang stabil untuk fraktur komunitif (hancur atau remuk). Pin yang
telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya, kemudian
dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman
bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.

8
 ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode
penatalaksanaan patah tulang dengan cara pembedahan reduksi
terbuka dan fiksasi internal dimana dilakukan insisi pada tempat
yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang
anatomic temapt yang mengalami fraktur.
3) Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
memungkinkan,harus segera dimulai latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
9. Proses Penyembuhan Tulang
1) Tahap Hematoma atau Inflamasi (1-3 hari)
Hematoma terbentuk dari darah yang berasal dari pembuluh darah yang
robek. Hematoma dibungkus oleh jaringa lunak sekitar (periosteum dan
otot). Hal ini terjadi sekitar 1-2 x 24 jam.
2) Tahap Proliferasi (3 hari – 2 minggu)
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum di sekitar frakur. Sel-
sel ini menjadi precursor osteoblast, dan akan tumbuh kearah fragmen
tulang. Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang.
3) Tahap Kallus (2-6 minggu)
Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus) dan memberikan rigiditasi
pada fraktur. Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah
menyatu.
4) Tahap Ossifikasi/Jaringan lunak mengeras (3 minggu-6 bulan)
Kallus mengeras dan menutup lubang frakturb(fraktur gap) antara
periosteum dan korteks menggambungkan fragmen. Dan secara bertahap
tulang menjadi mature. Union tulang yang dapat dipastikan melalui X-ray

9
dikatakan telah terjadi ketika tidak ada gerakan dengan stress (tekanan)
ringan dan tidak ada tenderness dengan pressure (penekanan) langsung
pada area langsung.
5) Tahap Konsolidasi dan Remodelling (6 bulan – 1 tahun)
Kallus yang tidak diperlukan dibuang/reabsorbsi dari tulang yang sembuh.
Proses reabsorbsi dan penyimpanan tulang sepanjang garis yang fraktur
memberikan kekuatan tulang dalam menahan semua beban.
10. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1) Komplikasi awal ;
Compartemant Syndrome : Komplikasi ini sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi ektermitas bawah yang
dapat mengancam kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme
terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra – compartment, hal ini akan
menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran
balik balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedema.
Dengan adanya oedema tekanan intrakompartemen makin meninggi
sampai akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri di
intrakompartemen. Gejalanya rasa sakit pada ektermitas bawah dan
ditemukan paraesthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan
secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi
paralyse pada otot-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior.
2) Komplikasi dalam waktu lama :
 Malunion : Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
 Delayed Union : adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
 Non Union : merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau

10
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.

B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama:
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
2) Riwayat kesehatan sekarang:
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke
dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan
yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe
konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan
lalu lintas darat.
3) Riwayat kesehatan yang lalu:
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga

11
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
4) Riwayat kesehatan keluarga:
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
1) Keadaan umum:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
 Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
 Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
 Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
 Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
 Muka: Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
 Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
 Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
 Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

12
 Mulut dan Faring: Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
 Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
 Paru: Inspeksi, pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru; Palpasi, pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama;
Perkusi, suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya; Auskultasi, suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
 Jantung: Inspeksi, tidak tampak iktus jantung; Palpasi, nadi
meningkat, iktus tidak teraba; Auskultasi, suara S1 dan S2 tunggal,
tak ada mur-mur.
 Abdomen: Inspeksi, bentuk datar, simetris, tidak ada hernia; Palpasi,
tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba; Perkusi,
suara thympani, ada pantulan gelombang cairan; Auskultasi,
peristaltik usus normal 20 kali/menit.
 Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.
3) Sistem muskuloskeletal
a. Look (inspeksi)
 Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
 Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.

13
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi
atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau
melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
c. Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas)
atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Rongent
2. CT Scan tulang, fomogram MRI
3. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
4. Hitung darah kapiler
5. Kadar Ca kalsium, Hb
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Praoperatif:
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
4) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
5) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup).

14
6) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
5. Perencanaan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri akut b/d Tujuan : Klien 1. Pertahankan 1. Mengurangi nyeri dan
spasme otot, mengatakan nyeri imobilasasi bagian mencegah malformasi.
gerakan berkurang atau yang sakit dengan tirah 2. Meningkatkan aliran
fragmen hilang. baring, gips, bebat dan balik vena, mengurangi
tulang, edema, Kriteria : atau traksi. edema/nyeri.
cedera jaringan Klien akan 2. Tinggikan posisi 3. Mempertahankan
lunak, menunjukkan ekstremitas yang kekuatan otot dan
pemasangan tindakan santai, terkena. meningkatkan sirkulasi
traksi, mampu berpartisipasi 3. Lakukan dan awasi vaskuler.
stress/ansietas. dalam beraktivitas, latihan gerak 4. Meningkatkan sirkulasi
tidur, istirahat pasif/aktif. umum, menurunakan
dengan tepat, 4. Lakukan tindakan area tekanan lokal dan
menunjukkan untuk meningkatkan kelelahan otot.
penggunaan kenyamanan (masase, 5. Mengalihkan perhatian
keterampilan perubahan posisi) terhadap nyeri,
relaksasi dan 5. Ajarkan penggunaan meningkatkan kontrol
aktivitas trapeutik teknik manajemen terhadap nyeri yang
sesuai indikasi untuk nyeri (latihan napas mungkin berlangsung
situasi individual. dalam, imajinasi lama.
visual, aktivitas 6. Menurunkan edema
dipersional) dan mengurangi rasa
6. Lakukan kompres nyeri.
dingin selama fase akut 7. Menurunkan nyeri
(24-48 jam pertama) melalui mekanisme
sesuai keperluan. penghambatan
7. Kolaborasi pemberian rangsang nyeri baik
analgetik sesuai secara sentral maupun
indikasi. perifer.

2 Risiko Tujuan : Klien akan 1. Dorong klien untuk 1. Meningkatkan sirkulasi


disfungsi menunjukkan fungsi secara rutin melakukan darah dan mencegah

15
neurovaskuler neurovaskuler baik. latihan menggerakkan kekakuan sendi.
perifer b/d Kriteria : jari/sendi distal cedera. 2. Mencegah stasis vena
penurunan Akral hangat, tidak 2. Hindarkan restriksi dan sebagai petunjuk
aliran darah pucat dan syanosis, sirkulasi akibat perlunya penyesuaian
(cedera bisa bergerak secara tekanan bebat/spalk keketatan bebat/spalk.
vaskuler, aktif. yang terlalu ketat. 3. Meningkatkan drainase
edema, 3. Pertahankan letak vena dan menurunkan
pembentukan tinggi ekstremitas yang edema kecuali pada
trombus) cedera kecuali ada adanya keadaan
kontraindikasi adanya hambatan aliran arteri
sindroma yang menyebabkan
kompartemen. penurunan perfusi.
4. Berikan obat 4. Mungkin diberikan
antikoagulan sebagai upaya
(warfarin) bila profilaktik untuk
diperlukan. menurunkan trombus
5. Pantau kualitas nadi vena.
perifer, aliran kapiler, 5. Mengevaluasi
warna kulit dan perkembangan masalah
kehangatan kulit distal klien dan perlunya
cedera, bandingkan intervensi sesuai
dengan sisi yang keadaan klien.
normal.
3 Gangguan Tujuan : Klien akan 1. Instruksikan/bantu 1. Meningkatkan ventilasi
pertukaran gas menunjukkan latihan napas dalam alveolar dan perfusi.
b/d perubahan kebutuhan oksigenasi dan latihan batuk 2. Reposisi meningkatkan
aliran darah, terpenuhi efektif. drainase sekret dan
emboli, Kriteria : Tidak sesak 2. Lakukan dan ajarkan menurunkan kongesti
perubahan nafas, tidak cyanosis perubahan posisi yang paru.
membran analisa gas darah aman sesuai keadaan 3. Mencegah terjadinya
alveolar/kapiler dalam batas normal klien. pembekuan darah pada
(interstisial, 3. Kolaborasi pemberian keadaan tromboemboli.
edema paru, obat antikoagulan Kortikosteroid telah
kongesti) (warvarin, heparin) menunjukkan
dan kortikosteroid keberhasilan untuk
sesuai indikasi. mencegah/mengatasi

16
4. Analisa pemeriksaan emboli lemak.
gas darah, Hb, 4. Penurunan PaO2 dan
kalsium, LED, lemak peningkatan PCO2
dan trombosit. menunjukkan
5. Evaluasi frekuensi gangguan pertukaran
pernapasan dan upaya gas; anemia,
bernapas, perhatikan hipokalsemia,
adanya stridor, peningkatan LED dan
penggunaan otot kadar lipase, lemak
aksesori pernapasan, darah dan penurunan
retraksi sela iga dan trombosit sering
sianosis sentral. berhubungan dengan
emboli lemak.
5. Adanya takipnea,
dispnea dan perubahan
mental merupakan
tanda dini insufisiensi
pernapasan, mungkin
menunjukkan
terjadinya emboli paru
tahap awal.

4 Gangguan Tujuan : Klien dapat 1. Pertahankan 1. Memfokuskan


mobilitas fisik meningkatkan/memp pelaksanaan aktivitas perhatian,
b/d kerusakan ertahankan mobilitas rekreasi terapeutik meningkatakan rasa
rangka pada tingkat paling (radio, koran, kontrol diri/harga diri,
neuromuskuler, tinggi yang mungkin kunjungan membantu
nyeri, terapi dapat teman/keluarga) menurunkan isolasi
restriktif mempertahankan sesuai keadaan klien sosial.
(imobilisasi) posisi fungsional 2. Bantu latihan rentang 2. Meningkatkan
meningkatkan gerak pasif aktif pada sirkulasi darah
kekuatan/fungsi yang ekstremitas yang sakit muskuloskeletal,
sakit dan maupun yang sehat mempertahankan tonus
mengkompensasi sesuai keadaan klien. otot, mempertahakan
bagian tubuh. 3. Berikan papan gerak sendi, mencegah
Kriteria : penyangga kaki, kontraktur/atrofi dan

17
Klien dapat gulungan mencegah reabsorbsi
menunjukkan tekhnik trokanter/tangan kalsium karena
yang memampukan sesuai indikasi. imobilisasi.
melakukan aktivitas 4. Bantu dan dorong 3. Mempertahankan posis
perawatan diri fungsional ekstremitas.
(kebersihan/eliminasi) 4. Meningkatkan
sesuai keadaan klien. kemandirian klien
5. Ubah posisi secara dalam perawatan diri
periodik sesuai sesuai kondisi
keadaan klien. keterbatasan klien.
6. Dorong/pertahankan 5. Menurunkan insiden
asupan cairan 2000- komplikasi kulit dan
3000 ml/hari. pernapasan (dekubitus,
7. Berikan diet TKTP. atelektasis,
8. Kolaborasi penumonia)
pelaksanaan 6. Mempertahankan
fisioterapi sesuai hidrasi adekuat, men-
indikasi. cegah komplikasi
urinarius dan
konstipasi.
7. Kalori dan protein
yang cukup diperlukan
untuk proses
penyembuhan dan
mem-pertahankan
fungsi fisiologis tubuh.
8. Kerjasama dengan
fisioterapis perlu untuk
menyusun program
aktivitas fisik secara
individual.

5 Gangguan Tujuan : 1. Pertahankan tempat 1. Menurunkan risiko


integritas kulit Klien menyatakan tidur yang nyaman kerusakan/abrasi kulit
b/d fraktur ketidaknyamanan dan aman (kering, yang lebih luas.
terbuka, hilang bersih, alat tenun 2. Meningkatkan

18
pemasangan Kriteri : Klien kencang, bantalan sirkulasi perifer dan
traksi (pen, menunjukkan bawah siku, tumit). meningkatkan
kawat, sekrup). perilaku tekhnik 2. Masase kulit terutama kelemasan kulit dan
untuk mencegah daerah penonjolan otot terhadap tekanan
kerusakan tulang dan area distal yang relatif konstan
kulit/memudahkan bebat/gips. pada imobilisasi.
penyembuhan sesuai 3. Lindungi kulit dan 3. Mencegah gangguan
indikasi, mencapai gips pada daerah integritas kulit dan
penyembuhan luka perianal jaringan akibat
sesuai 4. Observasi keadaan kontaminasi fekal.
waktu/penyembuhan kulit, penekanan 4. Menilai perkembangan
lesi terjadi gips/bebat terhadap masalah klien.
kulit, insersi 5. Kulit yang basah terus
pen/traksi. menerus memicu
5. Jaga keadaan kulit terjadi iritasi yang
agar tetap kering dan mengarah terjadinya
bersih. dikubitus.
6. Anjurkan pada klien 6. Mencegah iritasi kulit
untuk menggunakan dan meningkatkan
pakaian yang tipis dan evaporasi.
kering yang menyerap 7. Mencegah penekanan
keringat dan bebas yang terlalu lama pada
keriput. jaringan yang dapat
7. Kolaborasi dalam membatasi perfusi
pemberian foam dan seluler, sehingga dapat
tempat tidur angin. mengurangi iskemik
jaringan.

6 Risiko infeksi Tujuan : Klien 1. Lakukan perawatan 1. Mencegah infeksi


b/d mencapai pen steril dan sekunderdan
ketidakadekuat penyembuhan luka perawatan luka sesuai mempercepat
an pertahanan sesuai waktu. protokol. penyembuhan luka.
primer Kriteria : 2. Ajarkan klien untuk 2. Meminimalkan
(kerusakan Bebas drainase mempertahankan kontaminasi.
kulit, taruma purulen atau eritema sterilitas insersi pen. 3. Antibiotika spektrum
jaringan lunak, dan demam 3. Kolaborasi pemberian luas atau spesifik dapat

19
prosedur antibiotika dan digunakan secara
invasif/traksi toksoid tetanus sesuai profilaksis, mencegah
tulang) indikasi. atau mengatasi infeksi.
4. Analisa hasil Toksoid tetanus untuk
pemeriksaan mencegah infeksi
laboratorium (Hitung tetanus.
darah lengkap, LED, 4. Leukositosis biasanya
Kultur dan sensitivitas terjadi pada proses
luka/serum/tulang) infeksi, anemia dan
5. Observasi tanda-tanda peningkatan LED
vital dan tanda-tanda dapat terjadi pada
peradangan lokal pada osteomielitis. Kultur
luka. untuk mengidentifikasi
organisme penyebab
infeksi.
5. Mengevaluasi
perkembangan
masalah klien.

DAFTAR PUSTAKA

E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.


Keliat Anna Budi, SKp, MSC,2010, Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta.
Muttaqin.A. & Sari. K. 2008. Asuhan keperawatan perioperatif, Konsep, Proses dan
Aplikasi. Jakarta. Salemba Medika.
Priharjo Rasional, 2009, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, edisi revisi penerbit
EGC, Jakarta.
Rasjad Chaeruddin, Ph. D. Prof, 2009, Ilmu Bedah Orthopedi, cetakan IV, penerbit
Bintang Lamumpatue, Makassar
Reksoprodjo.S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta.

20
Approve by,
Clinical Instructor Clinical Teacher

( _____ ) (Ahmad Juliadi,Ns.,M.Kep)

21

You might also like