You are on page 1of 4

DAMPAK KETUNAAN ANAK DENGAN HAMBATAN

PENGLIHATAN TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL

( The impact of the child’s adolescence with visual impediments to


social development )

OLEH: Fajrina Dahlia

Abstrak

Keterbatasan fungsi penglihatan menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam


mengembangkan potensi pada aspek kehidupan. Anak mengalami hambatan
dalam perkembangan kognitif, motorik, emosi, dan sosial. Berbagai hambatan
dalam perkembangan yang dialami anak tunanetra dapat teratasi, apabila mereka
mendapatkan bantuan dari orang dewasa disekitarnya (dalam Hallahan &
Kauffman, 2006). Oleh karena itu, butuh peranan aktif orang- orang disekitar anak
untuk membantu mereka melewati berbagai kesulitan tersebut agar anak dapat
mengembangkan sisa potensi yang dimiliki.

Katakunci: Peranan orang-orang disekitar sangat membantu sosial anak


tunanetra terhadap lingkungan.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna. Di
antara makhluk lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur yang paling
sempurna. Maka dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita wajib menggunakan
pemberian itu dengan sebaik-baiknya dengan cara merawat serta
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin pada kenyataannya masih
banyak manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik maupun mental, salah
satunya penyandang hambatan penglihatan disekitar kita
Semua orang tua pastinya menginginkan anaknya terlahir secara normal, baik
normal secara fisik maupun normal secara psikis. Namun keinginan tersebut
hanyalah sekedar keinginan saja, karen pada kenyataannya tak jarang anak
terlahir dalam kondisi tak normal baik secara fisik maupun secara psikis. Tapi
bagaimana pun, mereka adalah seorang anak yang juga tidak ingin dilahirkan
sebagai anak cacat. Kita sebagai orang tua, mau tidak mau harus menerimanya
dengan ikhlas meskipun sangat sulit untuk mengikhlaskannya.
Kita harus memahami apa yang mereka butuhkan karena tidak semua
kegiatan dapat mereka lakukan, dan kita yang mempunya fisik yang normal
hendaknyalah membantu dan membimbing mereka. Kita juga harus mendidik
mereka agar mereka tumbuh tidak sebagai anak yang cacat, melainkan seperti
kebanyakan anak lainnya yang tumbuh berbeda, meskipun pada kenyataanya
berlainan.

PEMBAHASAN
Tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan penglihatan dapat
didefinisikan sebagai anak yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu
oleh perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang
bersangkutan. Pengertian ini mencangkup anak yang masih memiliki sisa
penglihatan atau low vision. Dengan demikian pengertian anak tuna netra
adalah individu yang indra penglihatannya ( kedua-duanya) tidak berfungsi
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehar-hari seperti orang
awas.

Faktor Hubungan Ibu, Ayah, dan Anak.


Orang tua memainkan peranan yang formatif dalam perkembangan sosial
anak.
Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan
oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu
komponen dari sikap di sampan dua komponen lainnya yaitu kognisi dan
kecenderungan tindakan (Krech, Crutchfield & Ballachey,1982).
Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan
masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa
kecewa, sedih,mungkin malu, dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka
mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan
diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam
kasus yang ekstrim bahkan dapat mengakibatkan perceraian Kingsley (1999)
mengamati bahwa persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang
mempunyai anak penyandang cacat. Pada umumnya orang tua akan
mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang "normal" itu dalam
tiga tahap: tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap
penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan
tercapai setelah bertahun-tahun. Proses "duka cita" ini merupakan proses
yang umum terjadi pada orang tua anak itu, dan hubungan tersebut pada
gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
Stone (1999) mengemukakan faktor-faktor berikut yang dapat mengganggu
perkembangan alami ikatan batin antara orang tua dengan bayinya yang
tunanetra, yaitu: (1) Tidak adanya kontak mata antara orang tua dan bayinya.
(2) Sangat berkurangnya kontak fisik antara orang tua dan anak pada saat-
saat awal kehidupan anak (terutama jika anak lahir prematur) karena anak
harus dirawat di rumah sakit. (3) Orang tua merasa bersalah karena sejauh
tertentu mereka merasa bertanggung jawab atas kecacatan anaknya. (4)
Perasaan trauma karena orang tua harus menghadapi reaksi purbasangka
dari orang-orang di sekitarnya perasaan tertekan dan cemas karena orang tua
tidak tahu bagaimana cara memperlakukan dan mengasuh anaknya itu.
Bila tidak memperoleh intervensi yang tepat, Stone mengemukakan
bahwa kesemua hambatan tersebut dapat mempersulit orang tua untuk
mengembangkan ikatan batin yang erat dengan anak, dan pada gilirannya hal
tersebut dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan bayi tunanetra
itu untuk mencapai perkembangan afektif tahap awal, yaitu terbinanya human
attachment (keterlekatan dengan orang lain). Jika anak tidak memiliki
pengalaman interaksi yang erat dengan orang lain, perasaan keamanan
pribadinya dalam berhubungan dengan orang lain dan akhirnya dengan dunia
akan berkurang. Hubungan erat yang penuh kasih sayang dengan orang tua
dan saudara-saudaranya merupakan setting sosioemosional mendasar bagi
perkembangan perilaku afektif yang positif pada anak.

Faktor Pemahaman Terhadap Anak-Anak dengan Hambatan Penglihatan


Dampak dari pandangan masyarakat terhadap anak yang mengalami
hambatan penglihatan cukup berpengaruh terhadap perkembangan sosial
anak. Seperti yang telah kita ketahui bahwa umumnya masyarakat awam
memandang rendah anak yang mengalami hambatan terutama penglihatan.
Pandangan ini tentu akan berdampak pada perkembangan sosial anak
tersebut karena sudah sifat manusia tidak bisa hidup sendiri membutuhkan
bersosialisasi dengan lingkungan, tetapi bila lingkungan menganggap
rendah anak maka akan timbul rasa minder, takut, dan perasaan lain,
sehingga membuat anak malas untuk bersosialisasi dan lebih memilih
berdiam diri. Tetapi sebaliknya, jika masyarakat tidak memandang rendah
anak yang memiliki hambatan ini, dan memperlakukan dengan layaknya
manusia normal lainnya maka tidak menutup kemungkinanan anak yang
mengalami hambatan ini memiliki rasa dihargai sehingga dia mau
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.Dan pada dasarnya anak
mengalami hambatan penglihatan ini.

Faktor Komunikasi dengan Teman Sebaya


Masalah lain dapat timbul pada saat anak tunanetra itu menginjak usia
prasekolah dan mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Arena
utama untuk interaksi sosial bagi anak adalah kegiatan bermain, dan kajian
yang dilakukan oleh McGaha & Farran (2001) terhadap sejumlah hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra menghadapi banyak
tantangan dalam interaksi sosial dengan sebayanya yang awas. Agar efektif
dalam interaksi sosial, anak perlu memiliki keterampilan-keterampilan
tertentu, termasuk kemampuan untuk membaca dan menafsirkan sinyal
sosial dari orang lain dan untuk bertindak dengan tepat dalam merespon
sinyal tersebut. Kesulitan yang dihadapi anak tunanetra untuk dapat
mempersepsi isyarat-isyarat komunikasi nonverbal (yang pada umumnya
visual) mengakibatkan anak ini membutuhkan cara khusus untuk
memperoleh keterampilan sosial, seperti keterampilan untuk mengawali dan
mempertahankan interaksi. Tanpa keterampilan ini, anak tunanetra sering
kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dan menjadi terpencil dalam
kelompoknya. Kekelis & Sacks dan Preisler (McGaha & Farran, 2001)
melaporkan bahwa anak - anak awas pada mulanya berminat untuk
berinteraksi dengan anak tunanetra, tetapi lama kelamaan kehilangan
minatnya itu ketika isyarat mereka tidak memperoleh respon yang
diharapkan. Selain dari itu, di kalangan sebayanya, anak tunanetra
memerlukan waktu untuk dapat diterima karena penerimaan sosial sering
didasarkan atas kesamaan. Anak cenderung mengalami penolakan sosial
bila mereka dipersepsi sebagai berbeda dari teman - teman sebayanya
(Asher et al-dalam Burton, 1986).

Faktor Non Verbal : Body Language & Perilaku Stereotipik


Bahasa tubuh (body language), yaitu postur atau gerakan tubuh
(termasuk ekspresi wajah dan mata) yang mengandung makna
pesan,merupakan sarana komunikasi yang penting untuk melengkapi
bahasa lisan di dalam komunikasi sosial. Menurut istilah yang dipergunakan
oleh Jandt (Supriadi, 2001), ini merupakan bahasa nonverbal kinesics. Jika
bahasa tubuh anak tidak sesuai dengan bahasa tubuh kawan- kawannya,
sejauh tertentu sosialisasinya dapat terganggu. Bahasa tubuh, sebagaimana
halnya bentuk-bentuk bahasa nonverbal lainnya, dapat menjadi sumber
kesalahan komunikasi atau justru memperlancarnya bila dipahami dengan
baik (Supriadi, 2001). Nuansa bahasa tubuh yang luwes, yang
terintegrasikan ke dalam pola perilaku sebagaimana yang dapat kita amati
pada anak awas pada umumnya, sangat kontras dengan bahasa tubuh yang
terkadang sangat kaku yang dapat kita amati pada banyak anak tunanetra
(Kingsley, 1999).

KESIMPULAN
Dari apa yang telah kami paparkan diatas, dapat kami tarik kesimpulan
bahwa semua faktor dari, keluarga, teman sebaya, pandangan masyarakat, serta
faktor bahasa sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak yang
mengalami hambatan penglihatan.

DAFTAR PUSTAKA
Didi, Trasidi.2010. Dampak Ketunaan terhadap Perkembangan keterampilan
Sosial. Semarang : Citra Almamater
Juang, Sunanto.2005. Anak dengan Gangguan Penglihatan. Jakarta : Erlangga.
Mayasari.2015. Pendidikan dan Bimbingan Anak-Anak Hambatan Penglihatan.
Jakarta : Gramedia.

You might also like