You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217064 / Maret 2019


** Preseptor

ASMA BRONKIAL
*Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked, ** dr. Elvi Roza, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS OLAK KEMANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
ASMA BRONKIAL

Oleh:
Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked
G1A217064

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2019

Jambi, Maret 2019


Preseptor,

dr. Elvi Roza, M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “ASMA BRONKIAL” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elvi Roza, M.Kes., yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya,
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi para
pembaca.

Jambi, Maret 2019

Penulis

3
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

a. Nama/ jenis kelamin/umur : An.A/ Laki-laki/ 3tahun


b. Pekerjaan/pendidikan : Belum sekolah
c. Alamat : RT 09 Senaung

1.2 Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga


a. Status Perkawinan : Belum Menikah
b. Jumlah Saudara : Tidak Ada
c. Status Ekonomi Keluarga : Mampu
d. Kondisi Rumah : Rumah pasien merupakan rumah toko yang
menyambung dengan rumah panggung di belakangnya, lantai semen dan kayu,
dinding beton kayu, atap genteng. Rumah terdiri dari satu ruang tamu dan satu
ruang keluarga, dua kamar tidur, satu dapur, satu tempat cuci baju, dan satu
kamar mandi yang letaknya di luar. Rumah pasien minim ventilasi. Memasak
menggunakan kompor gas dan kayu bakar. Sumber air bersih berasal dari
PDAM dan sumber penerangan berasal dari PLN.

4
5
e. Kondisi Lingkungan di Sekitar rumah :

Rumah pasien berjarak rapat dengan rumah lainnya. Belakang dan samping
rumah pasien merupakan tetangga pasien.

1.3 Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga

 Keharmonisan keluarga pasien baik, tidak ada masalah satu sama lain

 Rumah pasien sedang direnovasi, oleh karena itu banyak sekali debu dan
serbuk-serbuk kayu yang berada di dalam rumah.

1.4 Keluhan Utama : Sesak nafas sejak malam hari sebelum ke puskesmas.

1.5 Riwayat Penyakit Sekarang

6
Alloanamnesis : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak pagi hari.
Menurut pengakuan ayah pasien, pasien mengeluh sesak nafas disertai batuk berdahak,
dahak berwarna putih. Sesak selalu datang apabila pasien terpapar oleh cuaca yang
dingin terutama malam dan pagi hari. Keluhan sesak berkurang jika pasien
mengonsumsi obat Salbutamol tablet. Pasien sudah mengonsumsi obat tersebut selama
1 tahun ini. Sesak nafas karena beraktifitas disangkal. Sesak nafas kadang disertai bunyi
mengi.
Keringat pada malam hari (-), batuk lama (-), batuk darah (-), demam (-), sakit
kepala (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien sudah mengalami keluhan 1 tahun yang lalu. Berdasarkan pengakuan Ayah
pasien, dalam beberapa bulan terakhir keluhan sering kambuh paling tidak sebulan
sekali, pasien rutin berobat dan diasap di Puskesmas Olak Kemang, namun kebetulan
persediaan obat asma di rumah saat itu sedang habis.

1.6 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit yang sama (+) sejak 1 tahun yang lalu
 Riwayat batuk lama (-)

1.7 Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluhan yang sama dengan pasien di keluarga (+), yaitu nenek pasien
 Keluhan batuk lama di keluarga (-)

1.8 Riwayat Alergi


Riwayat alergi (-)

1.9 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos mentis
Pengukuran Tanda Vital :
Nadi : 96 x/menit, cepat, reguler, isi cukup
Suhu : 36,6°C
Respirasi : 32x/menit
Berat Badan : 13,6 kg
Tinggi Badan : 96 cm
Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala Bentuk : Normocephal
Simetri : Simetris
2. Mata Exopthalmus/enophatlmus : (-)

7
Kelopak : Normal
Conjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Normal
Pupil lensa : Bulat, isokor, reflex cahaya +/+
Lensa : Normal, keruh (-)
Gerakan bola mata : Baik
3. Hidung : Tak ada kelainan, nafas cuping hidung (-)
4. Telinga : Tak ada kelainan
5. Mulut : Bibir : lembab
Bau pernafasan : berbau (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)
Selapu lendir : normal
Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
6. Leher : Pembesaran KGB (-)
7. Thorax :
Bentuk : simetris, normochest, peleberan sela iga (-), otot bantu nafas (-)

Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV line parasternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan dinding dada Gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-) simetris, retraksi (-)
Palpasi Masa (-), krepitasi (-) Masa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler(+), Wheezing (+), Vesikuler(+), Wheezing (+),
ronkhi (-) rhonki (-)

8. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), venektasi (-).

8
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien ginjal tidak
teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Ekstremitas:
Superior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik

1.9 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan

1.10 Pemeriksaan Penunjang Anjuran


 Spirometri
 PEF (peak expiratory flow)
 Skin test

1.11Diagnosa Kerja
Asma Bronkial

1.12 Diagnosa Banding


PPOK
Bronkiolitis
Tuberkulosis paru
Bronkitis

1.13 Manajemen
1. Promotif :
 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan yang bergizi
 Meningkatkan kebersihan rumah
 Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika sakit berulang
 Menjelaskan bahwa penyakit sering berulang
 Memberi tahu faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit pasien

9
2. Preventif :

 Menghindari alergen seperti asap, debu, bulu binatang, wol dll


 Menghindari pemakain karpet
 Jangan memelihara hewan berbulu seperti anjing dan kucing
 Tidur tidak menggunakan kipas angin yang terlalu kencang
 Hindari mandi pada malam hari, kalau perlu gunakan air hangat

3. Kuratif :
Non Farmakologi
 Menghindari alergen seperti asap, debu, bulu binatang, wol dll
 Menyiapkan persediaan obat di rumah

Farmakologi
 Amoxicilin Syrup 3x1cth
 Ambroxol 3 tablet, Dexamethason 3 tablet, Cetrizine 2 tablet, Vitamin C
2 tablet dibuat menjadi puyer.

4. Rehabilitatif
 Memantau penyakit pasien secara rutin. Hal ini dilakukan dengan
kerja sama dari pasien tersebut dengan mengikuti saran dokter untuk
datang berobat secara berkala.
 Jika keluhan dirasakan kembali segera berobat ke pelayanan medis
terdekat
 Menyediakan persediaan obat di rumah

10
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma
didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang
dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri
utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi
saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. 1,2
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan.2,3

Epidemiologi
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap
dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir
kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah
penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.2
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun

12
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.3,4

Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar,
golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot
polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator

13
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2,3,4,5

Faktor Risiko Asma


Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.3,5,6
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas

14
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

d. Ekspresi emosi berlebih.


Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi
nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi,
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur
seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

15
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim
kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

Klasifikasi Asma2,4
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.

Klasifikasi Menurut Etiologi


Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain
oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma


Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan
sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada asma,
hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang

16
lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh
dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan
tanpa efek samping.

Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala


Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi
penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan
asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi b-
2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma
(jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan
menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat. Selain
klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global
Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan
ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya
pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam penilaian berat
ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya
harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

Diagnosis1,3,6,7
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan

17
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit / gejala :


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.

Faal Paru

18
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).

1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui Manfaat pemeriksaan
spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
2. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-
14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)

19
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE  15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat
penyakit ,

3. Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK,
bronkiektasis dan fibrosis kistik.
2. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/

20
pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun
negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.

DIAGNOSIS BANDING 4,6


Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
 Penyakit Paru Obstruksi Kronik eksaserbasi akut
 Bronkitis kronik
 Bronkiektasis eksaserbasi akut
 Gagal Jantung Kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi larings
 Obstruksi mekanis (misal tumor)
 Emboli Paru

Anak
 Benda asing di saluran napas
 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfe
 Tumor
 Stenosis trakea

21
 Bronkiolitis

Pencegahan 2,5,7
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas
yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang
lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid
inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi.
Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila
menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga
melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan,
penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis
steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena
dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang
memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk
kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu
minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off
bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.

Tatalaksana1,2,4,5,6
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma:


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

22
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan


terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :


1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu:


1. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera,
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar
pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter.

23
Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan
fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan
yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan
laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.

2. Penatalaksanaan Asma Kronik


Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan asma
secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan asma.
Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang yang bertujuan mengontrol penyakit
serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol, Bronkodilator merupakan
pengobatan saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal pelega.

Ciri-ciri asma terkontrol:


1. Tanpa gejala harian atau d” 2x/minggu
2. Tanpa keterbatasan aktivitas harian
3. Tanpa gejala asma malam
4. Tanpa pengobatan pelega atau d” 2x/minggu
5. Fungsi paru normal atau hampir normal
6. Tanpa eksaserbasi

Ciri-ciri asma tidak terkontrol


1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.

Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas
yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang
lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid
inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut

24
masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran
napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen
penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan
dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada
eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah
pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat
darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila
diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10
hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid
inhaler.

Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
1. Kortikosteroid inhalasi
2. Kortikosteroid sistemik
3. Sodium kromoglikat
4. Nedokromil sodium
5. Metilsantin
6. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
7. Agonis beta-2 kerja lama, oral
8. Leukotrien modifiers
9. Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Pelega (Reliever)

25
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.

Termasuk pelega adalah :


1. Agonis beta2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
3. Antikolinergik
4. Aminofillin
5. Adrenalin

BAB III
ANALISA KASUS

3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar


Rumah pasien merupakan rumah toko yang menyambung dengan rumah panggung
di belakangnya, lantai semen dan kayu, dinding beton kayu, atap genteng. Rumah terdiri

26
dari satu ruang tamu dan satu ruang keluarga, dua kamar tidur, satu dapur, satu tempat
cuci baju, dan satu kamar mandi yang letaknya di luar. Rumah pasien minim ventilasi.
Memasak menggunakan kompor gas dan kayu bakar. Sumber air bersih berasal dari
PDAM dan sumber penerangan berasal dari PLN.

Pasien masih menggunakan kayu bakar untuk memasak dan sesak pasien dapat
timbul karena paparan asap. Rumah pasien juga minim ventilasi dan memiliki sirkulasi
udara yang tidak baik. Penyakit ini memiliki hubungan dengan keadaan rumah.

3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam


keluarga
Di dalam hubungan diagnosis dan aspek psikologis dikeluarga tidak ada
hubungannya dengan penyakit pasien, karena didalam keluarga pasien hubungan pasien
dengan keluarga baik. Namun penyakit ini berhubungan dengan keadaan keluarga
karena nenek pasien mempunyai riwayat menderita penyakit yang sama dengan pasien.
Berdasarkan teori, asma berhubungan dengan adanya riwayat keturunan.

3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan


lingkungan sekitar
Rumah pasien sedang direnovasi, oleh karena itu banyak sekali debu dan serbuk-
serbuk kayu yang berada di dalam rumah. Debu dan serbuk-serbuk kayu tadi dapat
membuat pasien sesak sehingga terdapat hubungan antara penyakit yang diderita pasien
dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

3.4 Analisis kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
Pada pasien ini dari anamnesis yang dilakukan terhadap berbagai faktor yang
bisa menyebabkan terjadinya penyakit ini didapatkan kesimpulan bahwa merupakan
dari faktor keadaan rumah yang masih berdebu, ventilasi yang minim, dan kebiasaan
memasak ibu pasien yang sesekali masih menggunakan kayu bakar.

3.5 Analisis untuk mengurangi paparan

27
Pasien dan keluarga pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan rumah,
menghindari kontak dengan alergen (debu, asap dan cuaca dingin), Menghindari mandi
malam atau tidur menggunakan kipas angin yang terlalu dingin, dan menyarankan
sementara tinggal di rumah nenek saja terlebih dahulu saat renovasi rumah sedang
berjalan atau berdiam di dalam kamar saja.

3.6 Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga


- Asma adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan namun dapat dikontrol
sehingga hindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan asma atau gunakan alat
pelindung, seperti menggunakan masker saat membersihkan rumah, saat keluar
rumah atau saat udara dingin.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan Asma di Indonesia


2. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-UI . Lokakarya Tahunan.
Jakarta: 1998
3. National Insititute of Health National Heart, Lung and Blood Institute. Global
Iniative for Asthma. NIH Publication, 2002.
4. Dasawarsa Yayasan Ama Indonesia 1985-1995.
5. Davis DEHolgate ST. Airway Remodelling in Asthma. New Insight. J Allergy
Clin Imunol 2003;111(2) from: www.mosby.com/jaci.
6. Lokakarya tahunan bagian pulmonologi dan respirasi FK-UI . Jakarta: 1998
7. Lazarus, SC. Airway Remodelling in Asthma. American Academi of Allerghy,
Asthma and Immunology 56th Annual Meeting. 2000. Available from: www.
Medscape.com

29

You might also like