Professional Documents
Culture Documents
ASMA BRONKIAL
*Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked, ** dr. Elvi Roza, M.Kes
Oleh:
Muhammad Ferdi Juliantama, S.Ked
G1A217064
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “ASMA BRONKIAL” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Elvi Roza, M.Kes., yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Selanjutnya,
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu bagi para
pembaca.
Penulis
3
BAB I
LAPORAN KASUS
4
5
e. Kondisi Lingkungan di Sekitar rumah :
Rumah pasien berjarak rapat dengan rumah lainnya. Belakang dan samping
rumah pasien merupakan tetangga pasien.
Keharmonisan keluarga pasien baik, tidak ada masalah satu sama lain
Rumah pasien sedang direnovasi, oleh karena itu banyak sekali debu dan
serbuk-serbuk kayu yang berada di dalam rumah.
1.4 Keluhan Utama : Sesak nafas sejak malam hari sebelum ke puskesmas.
6
Alloanamnesis : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak pagi hari.
Menurut pengakuan ayah pasien, pasien mengeluh sesak nafas disertai batuk berdahak,
dahak berwarna putih. Sesak selalu datang apabila pasien terpapar oleh cuaca yang
dingin terutama malam dan pagi hari. Keluhan sesak berkurang jika pasien
mengonsumsi obat Salbutamol tablet. Pasien sudah mengonsumsi obat tersebut selama
1 tahun ini. Sesak nafas karena beraktifitas disangkal. Sesak nafas kadang disertai bunyi
mengi.
Keringat pada malam hari (-), batuk lama (-), batuk darah (-), demam (-), sakit
kepala (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pasien sudah mengalami keluhan 1 tahun yang lalu. Berdasarkan pengakuan Ayah
pasien, dalam beberapa bulan terakhir keluhan sering kambuh paling tidak sebulan
sekali, pasien rutin berobat dan diasap di Puskesmas Olak Kemang, namun kebetulan
persediaan obat asma di rumah saat itu sedang habis.
7
Kelopak : Normal
Conjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Normal
Pupil lensa : Bulat, isokor, reflex cahaya +/+
Lensa : Normal, keruh (-)
Gerakan bola mata : Baik
3. Hidung : Tak ada kelainan, nafas cuping hidung (-)
4. Telinga : Tak ada kelainan
5. Mulut : Bibir : lembab
Bau pernafasan : berbau (-)
Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)
Selapu lendir : normal
Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
6. Leher : Pembesaran KGB (-)
7. Thorax :
Bentuk : simetris, normochest, peleberan sela iga (-), otot bantu nafas (-)
Cor (Jantung)
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan: ICS IV line parasternalis dextra
Batas jantung kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo (Paru)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Gerakan dinding dada Gerakan dinding dada
simetris, retraksi (-) simetris, retraksi (-)
Palpasi Masa (-), krepitasi (-) Masa (-), krepitasi (-)
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler(+), Wheezing (+), Vesikuler(+), Wheezing (+),
ronkhi (-) rhonki (-)
8. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk datar, caput medusa (-), venektasi (-).
8
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar lien ginjal tidak
teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Ekstremitas:
Superior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : Edema (-/-), akral hangat, CRT <2 detik
1.11Diagnosa Kerja
Asma Bronkial
1.13 Manajemen
1. Promotif :
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan yang bergizi
Meningkatkan kebersihan rumah
Segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan jika sakit berulang
Menjelaskan bahwa penyakit sering berulang
Memberi tahu faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit pasien
9
2. Preventif :
3. Kuratif :
Non Farmakologi
Menghindari alergen seperti asap, debu, bulu binatang, wol dll
Menyiapkan persediaan obat di rumah
Farmakologi
Amoxicilin Syrup 3x1cth
Ambroxol 3 tablet, Dexamethason 3 tablet, Cetrizine 2 tablet, Vitamin C
2 tablet dibuat menjadi puyer.
4. Rehabilitatif
Memantau penyakit pasien secara rutin. Hal ini dilakukan dengan
kerja sama dari pasien tersebut dengan mengikuti saran dokter untuk
datang berobat secara berkala.
Jika keluhan dirasakan kembali segera berobat ke pelayanan medis
terdekat
Menyediakan persediaan obat di rumah
10
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma
didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis yang
dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri
utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi
saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas. 1,2
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan.2,3
Epidemiologi
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap
dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir
kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah
penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.2
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai
propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
12
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.3,4
Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar,
golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik
eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot
polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel
kunci dalam patogenesis asma. Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga
epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
13
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal
mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2,3,4,5
14
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
15
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim
kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
Klasifikasi Asma2,4
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
16
lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh
dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan
tanpa efek samping.
Diagnosis1,3,6,7
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
17
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu
meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas.
Faal Paru
18
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma.
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga
dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui Manfaat pemeriksaan
spirometri dalam diagnosis asma :
1. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
2. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-
14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
3. Menilai derajat berat asma
19
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter
maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat
penyakit ,
20
pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun
negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
21
Bronkiolitis
Pencegahan 2,5,7
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas
yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang
lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid
inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi.
Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila
menderita infeksi virus saluran napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga
melibatkan keempat komponen penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan,
penyuluhan, kontrol lingkungan dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis
steroid lebih tinggi pada eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena
dibanding oral. Jumlah pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang
memerlukan kunjungan gawat darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk
kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila diberikan dalam waktu kurang dari satu
minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10 hari) juga mungkin tidak perlu tapering off
bila penderita juga mendapat kortikosteroid inhaler.
Tatalaksana1,2,4,5,6
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari.
22
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
23
Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala, pemeriksaan
fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat diberikan pengobatan
yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan faal paru dan
laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam pengobatan/tindakan.
Eksaserbasi asma adalah episode akut atau subakut dengan sesak yang
memburuk secara progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa
kombinasi gejalagejala tersebut. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas
yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang
lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid
inhaler, memiliki risiko yang lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut
24
masih dapat mengalami eksaserbasi, misalnya bila menderita infeksi virus saluran
napas. Penanganan eksaserbasi yang efektif juga melibatkan keempat komponen
penanganan asma jangka panjang, yaitu pemantaan, penyuluhan, kontrol lingkungan
dan pemberian obat. Tidak ada keuntungan dari dosis steroid lebih tinggi pada
eksaserbasi asma, atau juga keuntungan pemberian intravena dibanding oral. Jumlah
pemberian steroid sistemik untuk eksaserbasi asma yang memerlukan kunjungan gawat
darurat dapat berlangsung 3-10 hari. Untuk kortikosteroid, tidak perlu tapering off, bila
diberikan dalam waktu kurang dari satu minggu. Untuk waktu sedikit lebih lama (10
hari) juga mungkin tidak perlu tapering off bila penderita juga mendapat kortikosteroid
inhaler.
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
1. Kortikosteroid inhalasi
2. Kortikosteroid sistemik
3. Sodium kromoglikat
4. Nedokromil sodium
5. Metilsantin
6. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
7. Agonis beta-2 kerja lama, oral
8. Leukotrien modifiers
9. Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
Pelega (Reliever)
25
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi,
rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.
BAB III
ANALISA KASUS
26
dari satu ruang tamu dan satu ruang keluarga, dua kamar tidur, satu dapur, satu tempat
cuci baju, dan satu kamar mandi yang letaknya di luar. Rumah pasien minim ventilasi.
Memasak menggunakan kompor gas dan kayu bakar. Sumber air bersih berasal dari
PDAM dan sumber penerangan berasal dari PLN.
Pasien masih menggunakan kayu bakar untuk memasak dan sesak pasien dapat
timbul karena paparan asap. Rumah pasien juga minim ventilasi dan memiliki sirkulasi
udara yang tidak baik. Penyakit ini memiliki hubungan dengan keadaan rumah.
3.4 Analisis kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien
Pada pasien ini dari anamnesis yang dilakukan terhadap berbagai faktor yang
bisa menyebabkan terjadinya penyakit ini didapatkan kesimpulan bahwa merupakan
dari faktor keadaan rumah yang masih berdebu, ventilasi yang minim, dan kebiasaan
memasak ibu pasien yang sesekali masih menggunakan kayu bakar.
27
Pasien dan keluarga pasien diedukasi untuk menjaga kebersihan rumah,
menghindari kontak dengan alergen (debu, asap dan cuaca dingin), Menghindari mandi
malam atau tidur menggunakan kipas angin yang terlalu dingin, dan menyarankan
sementara tinggal di rumah nenek saja terlebih dahulu saat renovasi rumah sedang
berjalan atau berdiam di dalam kamar saja.
28
DAFTAR PUSTAKA
29