You are on page 1of 33

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Bab II

Pembahasan

2.1 Kegawatan Nafas Pada Anak

A. Definisi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan atau CO2 didalam darah. (Merenstein, 1995)

Gagal nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen
dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu
memenuhi metabolisme tubuh. (Staf pengajar ilmu kesehatan anak,
1985)

B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
Terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda dengan orang dewasa, yaitu :

1. Struktur anatomi
a. Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga yang
kurang kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot interkostal yang
belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada terbatas.

b. Saluran pernafasan
Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar
trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa, sedangkan
ukuran tubuh dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan atau
pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran
pernafasan 75 %.

c. Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘ elastic recoil ’ untuk
mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relatif lebih
besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan
bertambah sehingga akan menambah ‘ elastic recoil’.
1. Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak kerentangan
terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi gagal nafas.

2. Kelainan konginetal
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang
berhubungan dengan alat pernafasan.

3. Faktor fisiologis dan metabolik


Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada
dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat mengakibatkan
kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut di capai dengan
menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan
air; Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena pada
bayi dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan
asam organik sebagai hasil metabolisme anaerib akibatnya terjadi asidosis.

2. Sebab gagal nafas


Jenis penyakit penyebab gagal nafas pada bayi / anak

penyebab Bayi / Anak


Jalan nafas bagian atas :
Faring Makroglosis
Hipertropi tonsil

Laring Laringotrakeobronkitis
Epiglotis akut
Laringitis difterika
Edema/stenosis pasca intubasi

Trakea Benda asing

Jalan nafas bagian bawah

Bronkus/bronkiolus
Bronkiolitis
Status asmatikus
Alveoli
Pneumonia
Kelainan jantung bawaan
Trauma
Luka bakar

Kompresi pulmonal
Pneumonia
Trauma dada

Susunan saraf
Trauma
Ensefalitis
Takaran obat berlebihan
Status epileptikus
Sindrom Guillain-Barre
Dikutip dari Brown dan Fisk, Anesthesia for Children, Intensive Care

aspeect, Blackwell Scientific Publ (1979)


B. Patofisiologi dan Pathway
Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan yaitu obstruksi
saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila seorang anak menderita
infeksi saluran nafas maka akan terjadi :

1. Sekresi trakeobronkial bertambah


2. Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3. aliran darah pulmonal bertambah
4. ‘metabolic rate’ bertambah
Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka lumen saluran nafas
berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan terperangkapnya udara dibagian distal
sumbatan yang akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi. Gangguan difusi
dan retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua hal ini disertai kerja
pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan timbulnya asidosis.
Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus terganggu sehingga terjadi
depresi pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan kegagalan pernafasan dan akirnya
kematian.

Hipoksemia akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang


menyebabkan tahanan alveolus bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat,
beban jantung bertambah dan akirnya menyebabkan gagal jantung.

Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan permiabilitas


kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic rate’
yang bertambah, terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya
gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal nafas.

C. Manifestasi klinik
Umum : kelelahan, berkeringat

Respirasi : wheezing, merintih, menurun/menghilangnya suara nafas,

cuping Hidung retraksi, takipnea, bradipnea atau apnea,

sianosis.
Kardiovaskuler : bradikardia atau takikardia hebat, hipotensi/hipertensi,

pulsus Paroksus 12 mmHg, henti jantung.

Serebral : gelisah, iritabilitas, sakit kepala, kekacauan mental,

kesadaran Menurun, kejang, koma.

D. Pemeriksaan penunjang
Pengenalan dini gagal nafas sulit diketahui secara klinis, pemeriksaan laboratorium yang
terpenting untuk membantu diagnosa gagal nafas ialah pemeriksaan analisa gas darah
untuk mengetahui keadaan oksigenasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa, saturasi O2
dan pH darah.

Pada pemeriksaan BGA pada gagal nafas akan didapat Hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
(respiratorik atau metabolik).

E. Pengkajian keperawatan.
a. Riwayat keluarga
 Riwayat keluarga tentang alergi dan penyakit keturunan
 Riwayat pasien tentang gangguan petnafasan yang baru diderita, terkena infeksi,
adanya alergi/iritasi, trauma.
b. Kaji keadaan dada
 Kaji suara nafas dan suara nafas tambahan
 Kaji adanya pembesaran anterior / posterior ukuran dada
 Kaji peningkatan dan penurunan taktil fremitus
 Kaji adanya retraksi otot supraklafikula, interkosta / subkostal
 Kaji adanya hyperesonan (adanya distensi alveoli)
 Kaji adanya ekspirasi yang memanjang.
c. Observasi pernafasan :
 Frekuensi
Kaji adanya takipnue, normal, bradipnue

 Kedalaman
Normal, terlalu lambat (hypopnea), terlalu dalam (hyperpnea)
 Kelancaran
Kurang usaha, dypnea, ortopnea berhubungan dengan adanya retraksi interkostal /
substernal, adanya wheezing, pulsus paradoxus (tekanan darah turun saat inspirasi
dan tekanan darah naik dengan ekspirasi)

 Labored breating
Terus menerus, intermitten, secara tiba – tiba, kelelahan dalam usaha pernafasan.

 Tanda – tanda infeksi


Peningkatan suhu tubuh, pembesaran nodus limfa, inflamasi membran mukus,
keluarnya cairan purulen dari hidung dan kuping, adanya sputum yang purulen.

 Batuk
Kaji karakteristik batuk (produktif/kering) kapan waktu terjadinya batuk (hanya
malam hari/setiap waktu), frekuensi batuk yang berkaitan dengan aktivitas dan
suhu.

 Wheezing
Kapan terjadinya wheezing; saat inspirasi / ekspirasi, apakah memanjang, terjadi
secara tiba-tiba/berlahan-lahan.

 Sianosis
Catat distribusi sianosis (periperal, daerah bibir, wajah), derajat, durasi, keterkaitan
dengan aktivitas.

 Nyeri dada
Terjadi pada anak – anak catat lokasi, penyebaran ke leher/abdomen,
dalam/dangkal.

 Sputum
Pasien anak – anak dapat mengeluarkan sputum pada bayi diperlukan section untuk
mendapatka sempel, catat volume, warna, bau, viskositas.

 Adanya pernafasan yang buruk


Berhubungan dengan infeksi pernafasan.
d. Kaji tanda terjadinya hipoxia
o Hypotensi/hypertensi
o Dyspnea
o Bradikardi
o Sianosis : perifer / sentral
o Somnolen
o Stupor
o Coma
H. Diagnosa keperawatan dan Intervensi keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan suplay oksigen, perubahan aliran darah ke
pulmonal.
Kriteria hasil :

Anak menunjukkan peningkatan kapasitas ventilasi dan pertukaran gas.

Intervensi :

o Beri posisi yang dapat memaksimalkan ekspansi paru; tinggikan kepala selama
tidak ada kontraindikasi, cek secara teratur posisi klien.
o Pertahankan jalan nafas tetap terbuka, hindari hyperektensi leher gunakan
‘sniffing’ posisi, anjurkan anak untuk mengeluarkan sputum.
o Beri bantuan oksigen
o Jika perlu pertahankan anak tetap puasa
o Kaji warna kulit
o Observasi usaha nafas : Observasi pergerakan dada, kembang kempis dada dan
penggunaan otot bantu pernafasan
o Monitor BGA

2. Resiko tinggi terjadi kematian b/d obstruksi jalan nafas.


Kriteria hasil :

Anak dapat bernafas, jalan nafas terbuka.

Intervensi :
o Singkirkan penghalang (sekret) yang dapat menghalangi pertukaran udara (jika
mungkin)
o Hindari situasi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas atau aktivitas yang
memerlukan kebutuhan oksigen yang berlebihan.
o Siapkan peralatan emergensi
o Lakukan managemen emergensi jalan nafas (RJP) sesuai prosedur

3. Gangguan proses keluarga b/d krisis situasi (penyakit serius pada anak)
Kriteria hasil :

Keluarga menunjukkan paham tentang penyakit anak dan dapat menggunakan koping
yang efektif.

Intervensi :

o Beri informasi kepada keluarga tentang proses penyakit pada anaknya


o Terangkan tentang prosedur dan terapi yang diberikan
o Beri informasi tentang kondisi anak
o Anjurkan untuk mengekpresikan perasaan keluarga khususnya tentang kondisi dan
prognosis anak.
o Susun suport sistem keluarga.
4. Intoleransi aktivitas b/d distress pernafasan
Kriteria hasil : anak mampu melakukan aktivitas tanpa merasa kelelahan.

Intervensi :

o Kaji tingkat kemampuan aktivitas anak


o Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang
o Atur posisi anak seseuai kebutuhan
o Berikan periode istirahat dan hindari hal – hal yang melelahkan anak.
2.2 Kejang Demam Pada Anak

A. PENGERTIAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering
juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M.
Wikson, 1995).

B. ETIOLOGI
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti, demam
sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang
tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang
(Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan
oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi
air, atau demam tinggi. Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat
reversibel apabila stimulus pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).

C. PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut
dengan akibat teerjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang
terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa.
Tetapi kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah
gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron
otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.

D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinik klien dengan kejang demam antara lain :
1. Suhu tubuh > 38⁰c
2. Serangan kejang biasanya berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Sifat bangkitan dapat berbentuk :
 Tonik : mata ke atas, kesadaran hilang dengan segera, bila berdiri jatuh ke lantai
atau tanah, kaku, lengan fleksi, kaki/kepala/leher ekstensi, tangisan melengking,
apneu, peningkatan saliva
 Klonik : gerakan menyentak kasar pada saat tubuh dan ekstremitas berada pada
kontraksi dan relaksasi yang berirama, hipersalivasi, dapat mengalami
inkontinensia urin dan feses
 Tonik Klonik
 Akinetik : tidak melakukan gerakan
4. Umumnya kejang berhenti sendiri, anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf.

F. KLASIFIKASI
Menurut Ngastiyah ( 1997: 231), klasikfikasi kejang demam adalah :
1. Kejang demam sederhana : yaitu kejang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum.
Adapun pedoman untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui
melalui criteria Livingstone, yaitu :
 umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
 kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
 Kejang bersifat umum
 Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam.
 Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kjang normal
 Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukan kelainan.
 Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali
2. Kejang kompleks :
Kejang kompleks adalah tidak memenuhi salah satu lebih dari ketujuh criteria
Livingstone. Menurut Mansyur ( 2000: 434) biasanya dari kejang kompleks diandai
dengan kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple ( lebih dari 1
kali dalam 24jam). Di sini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology
atau riwayat kejang dalam atau tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

G. KOMPLIKASI
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis.
Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan
bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
sehingga terjadi epilepsi. Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien
dengan kejang demam :
a) Pneumonia aspirasi
b) Asfiksia
c) Retardasi mental

H. PENATALAKSANAAN
1. Primary Survey :
 Airway : Kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam mulut seperti
lendir dan dengarkan bunyi nafas.
 Breathing : kaji kemampuan bernafas klien
 Circulation : nilai denyut nadi
 Menilai koma (coma = C) atau kejang (convulsion = C) atau kelainan status
mental lainnya
Apakah anak koma ? Periksa tingkat kesadaran dengan skala AVPU:
A : sadar (alert)
V : memberikan reaksi pada suara (voice)
P : memberikan reaksi pada rasa sakit (pain)
U : tidak sadar (unconscious)

Tindakan primer dalam kegawatdaruratan dengan kejang demam adalah :


a) Baringkan klien pada tempat yang rata dan jangan melawan gerakan klien saat
kejang
b) Bila klien muntah miringkan klien untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan.
c) Bebaskan jalan nafas dengan segera :
 Buka seluruh pakaian klien
 Pasang spatel atau gudel/mayo (sesuaikan ukuran pada anak)
 Bersihkan jalan nafas dari lendir dengan suction atau manual dengan
cara finger sweep dan posisikan kepala head tilt-chin lift (jangan
menahan bila sedang dalam keadaan kejang)
d) Oksigenasi segera secukupnya
e) Observasi ketat tanda-tanda vital
f) Kolaborasikan segera pemberian therapy untuk segera menghentikan kejang
g) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama (> 10
menit) dengan IV : D5 1/4, D5 1/5, RL.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
PADA PASIEN KEJANG DEMAM

A. PENGKAJIAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut Greenberg
(1980 : 122 – 128), Paula Krisanty (2008 : 223) :
1. Riwayat Kesehatan :
a. Saat terjadinya demam : keluhan sakit kepala, sering menangis, muntah
atau diare, nyeri batuk, sulit mengeluarkan dahak, sulit makan, tidak tidur
nyenyak. Tanyakan intake atau output cairan, suhu tubuh meningkat, obat
yang dikonsumsi
b. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
c. Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA, pneumonia,
gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria, morbilivarisela dan campak.
d. Adanya riwayat trauma kepala

2. Pengkajian fisik
Pada kasus kejang demam yang biasanya dikaji adalah :
A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang
dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh
Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu
tinggi merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga
jaringan otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada
anggota gerak tubuh. wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak
tak terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa
detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan
anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah
gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan atau
berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya
lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi
meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan
menimbulkan terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia

C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia


sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan,
karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan
kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi
suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15
menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis
yang sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti.
Bila belum juga berhenti dapat diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 %
secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal

Selain ABC, yang biasa dikaji antara lain :


a. Tanda-tanda vital
b. Status hidrasi
c. Aktivitas yang masih dapat dilakukan
d. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba
hangat
e. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat badan
f. Adanya kelemahan dan keletihan
g. Adanya kejang
h. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan
kalium, jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning

3. Riwayat Psikososial atau Perkembangan


a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun panas
c. Akibat hospitalisasi
d. Penerimaan klien dan keluarga terhadap penyakit
e. Hubungan dengan teman sebaya

4. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
5. Pemeriksaan Penunjang (yang dilakukan) :
a. Fungsi lumbal
b. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kultur urin dan kultur darah
c. Bila perlu : CT-scan dan EEG

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doengoes, dkk (1999 : 876), Angram (1999 : 629 – 630), carpenito (2000 :
132) dan Krisanty P., dkk (2008 : 224) diagnosa yang mungkin muncul pada pasien
dengan kejang demam :
1. Resiko terhadap cidera b.d aktivitas kejang
2. Defisit volume cairan bd kondisi demam
3. Hipertermia bd efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
4. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif bd reduksi aliran darah ke otak
5. Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis, penatalaksanaan
dan kebutuhan pengobatan bd kurangnya informasi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. DX 1 : Resiko terhadap cidera b.d aktivitas kejang
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama poroses keperawatan
diharapkan resiko cidera dapat di hindari, dengan kriteria hasil :
NOC : Pengendalian Resiko
a. Pengetahuan tentang resiko
b. Monitor lingkungan yang dapat menjadi resiko
c. Monitor kemasan personal
d. Kembangkan strategi efektif pengendalian resiko
e. Penggunaan sumber daya masyarakat untuk pengendalian resiko
Indkator skala :
1 = tidak adekuat
2 = sedikit adekuat
3 = kadang-kadang adekuat
4 = adekuat
5 = sangat adekuat
NIC : mencegah jatuh
a. Identifikasi faktor kognitif atau psikis dari pasien yang dapat menjadiakn
potensial jatuh dalam setiap keadaan
b. Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang dapat menjadikan
potensial jatuh
c. monitor cara berjalan, keseimbangan dan tingkat kelelahan dengan
ambulasi
d. instruksikan pada pasien untuk memanggil asisten kalau mau bergerak

2. DX 2 : defisit volume cairan bd kondisi demam


Tujuan : devisit volume cairan teratasi, dengan kriteria hasil :
a. Turgor kulit membaik
b. Membran mukosa lembab
c. Fontanel rata
d. Nadi normal sesuai usia
e. Intake dan output seimbang

3. DX 3 : Hipertermi b.d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu dalam rentang norma
NOC : Themoregulation
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan RR dalam rentang normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak warna kulit dan tidak pusing
Indicator skala
1 : ekstrem
2 : berat
3 : sedang
4 : ringan
5 : tidak ada gangguan
NIC : Temperatur regulation
a. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
b. Rencanakan monitor suhu secara kontinyu
c. Monitor tanda –tanda hipertensi
d. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
e. Monitor nadi dan RR

4. DX 4 : Perfusi jaringan cerebral tidakefektif berhubungan dengan reduksi aliran


darah ke otak
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan suplai darah ke otak dapat kembali normal , dengan kriteria hasil :
NOC : status sirkulasi
a. TD sistolik dbn
b. TD diastole dbn
c. Kekuatan nadi dbn
d. Tekanan vena sentral dbn
e. Rata- rata TD dbn
Indicator skala :
1 = Ekstrem
2 = Berat
3 = Sedang
4 = Ringan
5 = tidak terganggu
NIC : monitor TTV:
a. monitor TD, nadi, suhu, respirasi rate
b. catat adanya fluktuasi TD
c. monitor jumlah dan irama jantung
d. monitor bunyi jantung
e. monitor TD pada saat klien berbarning, duduk, berdiri
NIC II : status neurologia
a. monitor tingkat kesadran
b. monitor tingkat orientasi
c. monitor status TTV
d. monitor GCS
5. DX 5 : Kurang pengetahuan orang tua tentang kondisi, prognosis,
penatalaksanaan dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan keluarga mengerti tentang
kondisi pasien
NOC : knowledge ; diease proses
a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit kondisi prognosis
dan program pengobatan
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/
tim kesehatan lainya
Indicator skala :
1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Teaching : diease process
a. Berikan penilaian tentang penyakit pengetahuan pasien tentang proses
penyakit yang spesifik
b. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan
dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat
c. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan
cara yang tepat
d. Identifikasikan kemungkinan dengan cara yang tepat

B. EVALUASI
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap
asuhan keperawatan yang diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan
adalah tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil akhir dari
keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi
pola pernafasan kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan rasa
nymannya secara verbal maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang,
tidak terjadi injury selama dan sesudah kejang dan pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus
menerus untuk menilai hasil tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan
jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus
pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
a) Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila
kriteria hasil telah dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana
asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil belum tercapai, perawat mengkaji
kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
b) Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di
seluruh proses keperawatan.
1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap
empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.
2.3 Resusitasi Neonatus Dan Anak

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu
hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau
sesudah persalinan.

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan
bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin
timbul.(Prawirohardjo:1991).

Asfiksia ini dapat terjadi karena hipoksia kronik dalam uetrus menyebabkan
tersedianya sedikit energi untuk dapat memenuhi kebutuhan pada saat persalinan dan
kelahiran. Sehingga, asiksia intra uterin dapat terjadi, denan masalah sitemik yang mungkin
terjadi. (Ladewigdkk:2006)

Asfiksia neonatarum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur segera stelah lahir keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia,
hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya
kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru. Proses terjadinya asfiksia
neonatarum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, atau dapat terjadi segera
setelah lahir, banyak fakto yang menyebabkannnya diantaranya adanya penyakit pada ibu
sewaktu hamil seperti hipertensi, paru, gangguan konstraksi uterus pada ibu resiko tinggi
kehamilan, dapat terjadi pada faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga
faktor janin itu sendiri. (Hidayat, 2005).

B.Etiologi

Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di
dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru
lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru
lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:
1.Faktoribu
•Preeklampsiadaneklampsia
•Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
•Partus lama atau partus macet
•Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
•Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
•Lilitan tali pusat
•Tali pusat pendek
•Simpul tali pusat
•Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
•Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
•Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
ekstraksi forsep)

Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatarum terjadi karena pertukaran gas serta
transfer O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam
menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau
kelainan pada ibu selama kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita oleh
ibu dalam persalinan.

Gangguan menahun dalam kehamilan dapat berupa gizi ibu yang buruk, penyakit menahun
seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain. Pada keadaan terakhir ini pengaruh
terhadap janin disebabkan oleh gangguan oksigenasi serta kekurangan pemberian zat-zat
makanan berhubungan dengan gangguan fungsi plasenta. Hal ini dapat dicegah atau
dikurangi dengan melakukan pemeriksaan antenatal yang sempurna, sehingga perbaikan
sedini-dininya dapat diusahakan

Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hamoir selalu
mengakibatkan anoksia atau hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia bayi. Keadaan ini
perlu dikenal, agar dapat dilakukan persiapan yang sempurna pada saat bayi lahir. Faktor-
faktor yang mendadak ini terdiri atas:

a.Faktor dari pihak janin seperti:


1.Gangguan aliran darah pada tali pusat karena tekanan tali pusat
2.Depresi pernafasan karena obat-obat anastesia atau analgetik yang diberikan kepada ibu,
perdarahan intrakranial, dan kelainan bawaan.
b.Faktor dari pihak ibu seperti:
1.Gangguan his, misalnya hipertoni dan tetani
2.Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, misalnya pada plasenta previa
3.Hipertensi pada eklampsia
4.Gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta. (Prawirohardjo: 1991)
Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b. Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f. Cacat bawaan
g. Trauma
2.Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
• Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
• Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu sirkulasi
darah ke uri.
• Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
• Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul.
• Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya.
• Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
• Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
• Trauma dari luar seperti oleh tindakan forseps
• Trauma dari dalam : akibat obet bius.

C.Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia dan
iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin. Faktor ini
yang berperan pada kejadian asfiksia.

Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus
vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari
nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang.
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat
banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila
janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan
ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara
berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan
menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung terus menurun , tekanan darah bayi
juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid).

Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama
apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus
menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan
upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan
buatan dan pemberian tidak dimulai segera.

D. Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR:
a. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
b. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Nilai Apgar

Nilai 0-3 : Asfiksia berat


Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit
masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar
berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis,
bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)

D.Manifestasi Klinis
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan
ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
• Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
• Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang asfiksia
• Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d. Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik : kejang,
nistagmus, dan menangis kurang baik/ tidak menangis.
Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap, denyut jantung kurang dari 100 x/menit, kulit
sianosis, pucat, tonus otot menurun, tidak ada respon terhadap refleks rangsangan.
(Anonim : online)

E.Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin.
Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya
tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Frekuensi normal ialah antara 120 dan 160 debyutan semenit, selama his frekuensi ini bisa
turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah
100 kali permenit di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya. Di beberapa klinik elektrokardigraf janin digunakan untuk terus-menerus
menghadapi keadaan denyut jantung dalam persalinan.
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala
mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium
dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri
persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada
kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya
asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. (Prawirohardjo: 1991)

F.Penilaian Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir


Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, menentukan
tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi. Upaya
resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu menilai
pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu :
•Penafasan
•Denyut jantung
•Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat
keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa
bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan
kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP).

G.Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir


Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC
resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
- Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
- Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
- Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan
terbuka.
2. Memulai pernafasan
- Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
- Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut
(hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
- Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
- Kompresi dada.
- Pengobatan

H. Tindakan Resusitasi
a. Detail Cara Resusitasi
Langkah-Langkah Resusitasi
1.Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti
tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2.Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
3.Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4.Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih
kemudian lanjutkan ke hidung.
5.Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap
punggung bayi.
6.Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil
kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah / sinosis penfer
lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan
ventilasi tekanan positif.
1.Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
2.Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau
masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada
ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
3.Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10.
1.100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
2.60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
3.60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi
jantung.
4.< 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
5.Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi jantung :
a Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi.
b Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi.
7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai denyut
jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 : 10.000
dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 –
5 menit.
12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon terhadap di
atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2
menit. (Wiknjosastro, 2007)
b. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor
utama yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi
tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi
dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum
antara lain :
- Alat pemanas siap pakai – Oksigen
- Alat pengisap
- Alat sungkup dan balon resusitasi
- Alat intubasi
- Obat-obatan
c. Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan
tim yang hadir pada setiap persalinan.
2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus
dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim
yang terkoordinasi.
4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya
ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap pakai.
I. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
a Tahapan resusitasi tidak melihat nilai apgar (lihat bagan)
b Terapi medikamentosa :
2. Epinefrin
Indikasi :
- Denyut jantung bayi < 60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan
pemijatan dada.
- Asistolik.
Dosis :
- 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) Cara : i.v atau
endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.

3. Volume ekspander
Indikasi :
- Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon
dengan resusitasi.
- Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat.
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer Laktat)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak.
Dosis :
- Dosis awal 10 ml/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan
respon klinis.
4. Bikarbonat
Indikasi :
- Asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan resusitasi. Diberikan bila
ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai
dengan pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/Kg BB (4,2%) atau 1 ml/kg bb (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena
dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi
miokardium dan otak.
5. Nalokson
- Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Sebelum diberikan nalakson ventilasi harus adekuat dan stabil.
Indikasi :
- Depresi pernafasan pada bayi baru lahir yang ibunya menggunakan narkotik 4 jam sebelum
persalinan.
- Jangan diberikan pada bayi baru lahir yang ibunya baru dicurigai sebagai pemakai obat
narkotika sebab akan menyebabkan tanda with drawltiba-tiba pada sebagian bayi.
Dosis : 0,1 mg/kg BB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)
Cara : Intravena, endotrakeal atau bila perpusi baik diberikan i.m atau s.c
6. Suportif
a. Jaga kehangatan.
b. Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
c. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
J. Pemeriksaan Penunjang
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
K. Penyulit
Meliputi berbagai organ yaitu :
- Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
- Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema
paru
- Gastrointestinal : enterokolitis nekrotikans
- Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH
- Hematologi : DIC
L. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak & Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut sehingga terjadi
renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaaan ini akan
menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga
dapat menimbulkan perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal
istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi.
Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan
ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah
mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3.Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport
O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini
dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan koma karena
beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA


PADA BAYI BARU LAHIR

A. Pengkajian
1. Sirkulasi
• Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt. Tekanan darah 60 sampai 80
mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
• Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di kiri dari
mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
• Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
• Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
2. Eliminasi
• Dapat berkemih saat lahir.
3. Makanan/ cairan
• Berat badan : 2500-4000 gram
• Panjang badan : 44-45 cm
• Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
4. Neurosensori
• Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
• Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama setelah
kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma).
• Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan abnormalitas
genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)

5. Pernafasan
• Skor APGAR : 1 menit......5 menit....... skor optimal harus antara 7-10.
• Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
• Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik thorak :
kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
6.Keamanan
• Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung
pada usia gestasi).
• Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau
kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan
forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan
peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi
telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia
(terutama punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penempatan elektroda internal)

B. Diagnosa Keperawatan
I. Penurunan cardiac out put berhubungan dengan edema paru
II. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
III. Pola nafas tidak efektif b.d hipoventilasi/ hiperventilasi
IV. Kerusakan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
V. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya hipovolemia
VI. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan respon imun yang terganggu
VII.Risiko cedera b.d anomali kongenital tidak terdeteksi atau tidak teratasi pemajanan pada
agen-agen infeksius.
VIII. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d kurangnya suplai O2 dalam darah.
IX. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya gangguan pada sistem syaraf pusat
X. Proses keluarga terhenti b.d pergantian dalam status kesehatan anggota keluarga.
C. Intervensi
DP 1: Penurunan cardiac out put berhubungan dengan edema paru
Tujuan: Menunjukan curah jantung dalam batas normal
Kriteria hasil:
1.Menunjukan warna kulit yang normal
2.Edema perifer tidak ada
3.Bunyi nafas tambahan tidak ada
4.Distensi vena leher tidak ada
Intervensi:
1.Monitoring jantung paru
2.Menkaji tanda vital
3.Memonitor perfusi jaringan tiap 2-4 jam
4.Memonitor denyut nadi
5.Memonitor intake dan out put
6.Kolaborasi dalam pemberian vasodilator
DP 2: Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d produksi mukus banyak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan
jalan nafas lancar.
NOC I : Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas
Kriteria Hasil :
1. Tidak menunjukkan demam.
2. Tidak menunjukkan cemas.
3. Rata-rata repirasi dalam batas normal.
4. Pengeluaran sputum melalui jalan nafas.
5. Tidak ada suara nafas tambahan.
NOC II : Status Pernafasan : Pertukaran Gas
Kriteria Hasil :
1. Mudah dalam bernafas.
2. Tidak menunjukkan kegelisahan.
3. Tidak adanya sianosis.
4. PaCO2 dalam batas normal.
5. PaO2 dalam batas normal.
6. Keseimbangan perfusi ventilasi
Keterangan skala :
1 : Selalu Menunjukkan
2 : Sering Menunjukkan
3 : Kadang Menunjukkan
4 : Jarang Menunjukkan
5 : Tidak Menunjukkan
NIC I : Suction jalan nafas
Intevensi :
1. Tentukan kebutuhan oral/ suction tracheal.
2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction .
3. Beritahu keluarga tentang suction.
4. Bersihkan daerah bagian tracheal setelah suction selesai dilakukan.
Bab III

Penutup
Daftar Pustaka

Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta

Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta

Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia

Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I, Universitas
Airlangga, Surabaya

Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media, Jakarta
Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan,
EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta
Bobak, dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Hidayat, Alimul AA. 2005. Pengantar Ilmu Keperawtan Anak. Jakarta: Salemba Medika
http://ummukausar.wordpress.com/2010/01/16pengertian-dan-penanganan-asfiksia-pada-bayi-baru-
lahir
http://www.pediatrik.com
Ladewig, Patrecia W. 2006. Asuhan Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC
Prawiroharjo, Sarwono1991. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Biru Pustaka

You might also like