Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai: (1) definisi ISO 9001:2008; (2) sejarah
perkembangan ISO; (3) ISO 9001:2008 sebagai sistem manajemen mutu; (4) ISO
9001:2008 sebagai sistem manajemen mutu; (5) ISO 9001: 2008 sebagai budaya
organisasi pelayanan publik; (6) ISO 9001: 2008 di Indonesia. Berikut adalah
masing-masing uraianny:
Acuan yang digunakan dalam menyusun pedoman mutu ini adalah:
standar akreditasi puskesmas dan persyaratan iso 9001:2008. Dinas Kesehatan
merupakan salah satu pihak yang berperan sebagai motor penggerak tumbuhnya
kualitas pelayanan kesehatan. Visi “Indonesia Sehat 2010” pun dicanangkan Dinas
Kesehatan dengan tiga pilar utama, salah satunya adalah mutu pelayanan kesehatan.
Adapun dalam upaya perbaikan mutu pelayanan, maka ada dua hal yang dianggap
paling penting, yakni kepuasan pelanggan dan standar pelayanan kesehatan. Kedua
aspek ini harus seimbang. Standar pelayanan dibutuhkan untuk menjadi acuan kerja
penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dengan demikian agar produk pelayanannya
berkualitas maka standarnya pun juga harus berkualitas. Dalam konsep TQM, maka
Standar Pelayanan akan menghasilkan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan
pelanggan apabila standar pelayanannya dibuat dengan focus utamanya berupa
kepuasan pelanggan (customer mindset).
ISO merupakan turunan dari Konsep TQM tersebut, yang memiliki
standar manajemen mutu bagi setiap organisasi, termasuk organisasi pelayanan
publik. Penerapan ISO ternyata mampu membuahkan hasil yang cukup baik bagi
organisasi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah puskesmas, beberapa
Puskesmas yang telah bersertifikat ISO, ternyata mampu menunjukkan sebuah
perubahan. Sistem manajemen mutu ISO yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan ternyata mampu mendorong puskesmas untuk menyediakan pelayanan
yang memuaskan pasien / masyarakat. "Puskesmas yang sudah mengantongi ISO
karena di tempat itu sudah dokter spesialis dan didukung peralatan yang
berstandarkan rumah sakit. Jadi masyarakat sudah bisa ditangani di Puskesmas
tersebut," (Rachmie, 2012).
Namun demikian, apakah ISO merupakan prasyarat yang harus ditempuh
setiap instansi pelayanan publik untuk menciptakan pelayanan yang bermutu,
sedangkan beberapa kendala masih melekat dalam konsep ISO itu sendiri. Selain
fasilitas instansi yang belum cukup memadahi untuk mencapai standar ISO,
Komitmen SDM dan ketersediaan dana juga dibutuhkan untuk mencapai sertifikat
ISO. Dengan demikian perlu adanya pemikiran lebih lanjut terkait kebijakan
pemerintah terhadap penggalakan ISO 9001 bagi setiap instansi pelayanan publik.
Berkaitan dengan tiga sudut pandang di atas, maka ISO 9001: 2008
sangat relevan untuk diterapkan di setiap organisasi pelayanan publik, karena ISO
9001: 2008 jelas membangun budaya organisasi berdasarkan kondisi lingkungan
sekitar, karena ISO 9001: 2008 mengarahkan setiap organisasi menjadi organisai
yang bersistem terbuka dan berorientasi pada pelanggan/masyarakat.
ISO 9001: 2008 juga mengarahkan setiap organisasi untuk berperilaku
secara sistematis, baik dari sisi aturan, sistem kerja ataupun sistem komunikasinya.
Struktur organisasi dibentuk seperti halnya sistem kontingensi, yaitu menyesuaikan
kebutuhan, yang mana tujuannya adalah mempermudah mekanisme kerja anggota
dan lebih mudah untuk menciptakan kepuasan pelanggannya. Fungsi yang dibuat
dalam organisasi juga disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
Adapun terkait dengan produk perjanjian psikologis antar individu
dengan organisasi, ISO 9001: 2008 memiliki budaya “loyal” yang baik untuk
membangun loyalitas anggota terhadap organisasinya. Budaya tersebut dibangun
dengan jalan melibatkan setiap anggota untuk berproses dalam setiap aktifitas
termasuk dalam perumusan kebijakan. Dengan demikian setiap anggota akan ikut
merasa memiliki terhadap kebijakan yang telah ditetapkan, dan akan dengan tulus
ikhlas melaksanakan kebijakan tersebut. Hal ini berkaitan dengan pernyataan
bahwa budaya organisasi (organizarional culture) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari lingkungan internal organisasi. Organisasi diisi oleh sejumlah
orang, baik berupa karyawan, maupun berupa atasan, masing-masing mempunyai
ciri dan karakteristik dalam berperilaku. Karakteristik tersebut memberikan
pengaruh terhadap seorang karyawan dalam berpersepsi atas suatu hal atau
kejadian, sedangkan perwujudan daripada perepsi tersebut salah satunya adalah
perilaku. Dengan beragam persepsi dan karakteristik yang mengakibatkan
beragamnya perilaku, akan membahayakan bagi berjalannya suatu organisasi
dengan baik, maka perlu adanya penyatuan persepsi dari seluruh karyawan yaitu
dengan budaya organisasi.
Penyatuan persepsi tidak sama dengan penyamaan persepsi. Penyatuan
adalah aktivitas untuk menyatukan / menggabungkan berbagai persepsi yang
berbeda dari masing-masing anggota, namun tanpa harus disamakan. Sedangkan
penyamaan persepsi merupakan perilaku merubah persepsi orang lain agar sama
dengan persepsi yang lain. Dampak negatif dari penyamaan persepsi adalah adanya
keterpaksaan dari sebagian anggota yang merasa memiliki persepsi yang lebih baik.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan di atas, ISO 9001: 2008 bukan berusaha
menyamakan persepsi, melainkan menyatukan beberapa persepsi terhadap sebuah
tujuan yang mulia, yakni kepuasan pelanggan.
Melalui budaya ISO 9001: 2008, maka organisasi dapat berjalan dengan
baik dan sehat. Hal ini tercermin dari budayanya yang baik. Ciri-ciri budaya
organisasi yang baik, Menurut Anderson dan Kryprianou dan Qiuck (1997)
(Moeljono, 2006, hal. 16) adalah budaya organisasi yang kohesif atau efektif, yang
tercermin pada kepercayaan, keterbukaan komunikasi, kepemimpinan yang
mendapat masukan (considerate) dan didukung oleh bawahan (supportive),
pemecahan oleh kelompok, kemandirian kerja, dan pertukaran informasi. ISO 9001:
2008 sebagai budaya organisasi juga mengedepankan sebuah kepercayaan kepada
anggotanya dalam bekerja, sehingga komunikasi yang dibangun pun adalah
komunikasi yang terbuka, setiap permasalahan diselesaikan bersama dan secara
berkelompok. Pemimpin selalu mendorong anggota dan bawahannya untuk lebih
aktif bukan hanya dalam menjalankan tugas, melainkan juga dalam merumuskan
kebijakan organisasi.
Budaya organisasi secara spesifik memiliki lima peranan pernting, yaitu
(Poerwanto, 2008, hal. 26) pertama,membantu menciptakan rasa memiliki identitas
dan kebanggaan bagi karyawan, yaitu menciptakan perbedaan yang jelas antara
organisasi dengan yang lain . Kedua, mempermudah terbentuknya komitmen dan
pemikiran yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang. Ketiga,
memperkuat standar perilaku organisasi dalam membangun pelayanan superior
pada pelanggan. Keempat, budaya menciptakan pola adaptasi. Kelima, membangun
sistem kontrol organisasi secara menyeluruh
Beberapa peranan penting budaya perusahaaan tersebut sejalan dengan
peran ISO 9001 : 2008 terhadap organisasi pelayanan publik, yaitu (Sutrisno,
2009):
1. Meningkatkan image atau citra organisasi. Hal ini terjadi
karena ISO adalah standar Internasional sehingga dengan
diterimanya sertifikat ISO 9001, berarti sistem manajemen
mutunya sudah sesuai (comply with) dengan Sistem
Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001. Yang berarti pula,
organisasi bisa menjamin kepuasan pelanggan.
2. Meningkatnya performance organisasi. Kepuasan pelanggan
terhadap organisasi yang mengimplementasikan SMM ISO
9001 berdampak pada meningkatnya permohonan pelanggan
terhadap organsiasi.
3. Bagi konsumen, meraka bisa lebih mendapatkan kepastian
atas pelayanannya, baik dari sisi kualitas produk sesuai
kualifikasi yang telah ditetapkannya, delivery atau waktu
layanan, harga yang sesuai, dan juga safety yang telah menjadi
persyaratan yang mereka ajukan kapada organisasi.
4. Bagi Karyawan, penerapan ISO 9001: 2008 yang baik juga
mampu meningkatkan kompetensi karyawan, karena
karyawan harus memiliki kompetensi yang memadahi, dan
jika kurang memadahi maka perlu ditingkatkan
kompetensinya, baik melalui pelatihan, seminar, pendidikan
lanjut, dsb sesuai kebutuhan organisasi.
Pentingnya budaya organisasi bagi organisasi pelayanan publik,
sebagaimana disampaikan oleh Ratminto dan Winarsih (2005:117) adalah bahwa
salah satu faktor yang harus ada agar dapat diselenggarakan pelayanan yang
berkualitas adalah adanya budaya pelayanan yang berorientasi pada kepentingan
pelanggan atau pengguna jasa. Hal ini juga sejalan dengan model Birokrasi New
Public Service (NPS), bahwa untuk mencapai tujuan pelayanan, yaitu kualitas
pelayanan, birokrasi pelayanan publik harus memiliki unsur budaya pelayanan,
yaitu inovatif dan ramah.
Faktor orientasi organisasi pelayanan publik yang menerapkan ISO 9001:
2008 cenderung untuk menciptakan kepuasan publik/pelanggan dan sebagai tujuan
organisasi, sehingga nilai-nilai yang dijadikan kesepakatan budaya dalam
organisasi adalah nilai-nilai yang mendukung terciptanya pelayanan yang
berkualitas. Jika budaya tersebut menjadi budaya yang kuat dalam organisasi, maka
petugas akan puas dengan kinerjanya apabila mampu memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada pelanggan, atau dapat dikatakan bahwa dengan budaya yang
kuat tersebut, organisasi pelayanan publik mampu menciptakan pelayanan yang
berkualitas. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Budaya Organisasi Pelayanan Publik, modifikasi dari Model
Budaya Organisasi Moeljono
1
Adopsi dari ISO 9001: 2008
BAB 3. ISTILAH DAN DEFINISI
6.1 Umum
Rapat tinjauan manajemen dilakukan minimal dua kali dalam setahun
6.2 Masukan tinjauan manajemen meliputi:
6.2.1 Hasil audit
6.2.2 Umpan balik pelanggan
6.2.3 Kinerja proses
6.2.4 Pencapaian sasaran mutu
6.2.5 Status tindakan koreksi dan pencegahan yang dilakukan
6.2.6 Tindak lanjut tehadap hasil tinjauan manajemen yang lalu
6.2.7 Perubahan terhadap Kebijakan mutu
6.2.8 Perubahan yang perlu dilakukan terhadap system manajemen
mutu/system pelayanan
6.3 Luaran tinjauan
Hasil yang diharap dari tinjauan manajemen adalah peningkatan
efektivitas system manajemen mutu, peningkatan pelayanan terkait dengan
persyaratan pelanggan, dan identifikasi perubahan-perubahan, termasuk penyediaan
sumber daya yang perlu dilakukan
BAB 7. MANAJEMEN SUMBER DAYA
7.3 Infrastruktur
Terdapat beberapa komponen di dalam infrasturktur puskesmas,
diantaranya:
7.3.1 Puskesmas menetapkan, menyediakan dan memelihara
infrastruktur yang dibutuhkan untuk mencapai kesesuaian terhadap persyaratan
produk, terdiri dari:
1. Gedung, ruang kerja dan peralatan penunjang (misal: mebel,
komputer)
2. Peralatan yang dipakai dalam proses produk (misal: tensimeter,
timbangan)
3. Sarana pedukung (misal: mobil ambulance, pesawat telefon)
7.3.2 Penetapan infrastruktur dituangkan dalam daftar infrastruktur
yang dibutuhkan di setiap unit
7.3.3 Penyediaan infrastruktur sesuai dengan prosedur pembelian
barang
7.3.4 Pemeliharaan infrastruktur sesuai dengan prosedur
pemeliharaan
9.1 Umum
Puskesmas menetapkan dan melaksanakan kegiatan pengukuran, analisis
dan perbaikan untuk:
9.1.1 Membuktikan kesesuaian produk melalui:
9.1.1.1 Prosedur Survei Kepuasan Pelanggan,
9.1.1.2 Prosedur Pemantauan dan Pengukuran Proses,
9.1.1.3 Prosedur Pemantauan dan Pengukuran Produk,
9.1.1.4 Prosedur penanganan pelayanan tidak sesuai
9.1.2 Memastikan kesesuaian sistem manajemen mutu melalui
Prosedur Audit Mutu Internal
9.1.3 Melakukan perbaikan secara terus-menerus melalui: Prosedur
Tindakan Koreksi atau Pencegahan
Prosedur tersebut mencakup metode yang dapat diterapkan, tehnik
statistik dan tingkat penggunaannya