You are on page 1of 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan masyarakat dalam negeri terhadap daging akan terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan taraf ekonomi,
kesadaran masyarakat akan gizi, dan keberadan masyarakat luar negeri (Khasrad
& Ningrat, 2010). Impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pasar masih
terus dilakukan, karena sapi lokal Indonesia masih belum mampu menghasilkan
daging kualitas premium. Daging yang diimpor tersebut mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu empuk, derajat marbling tinggi sehingga sangat disukai oleh
konsumen. Daging merupakan salah satu komiditi peternakan yang menjadi
andalan sumber protein hewani dan sangat menunjang untuk memenuhi
kebutuhan dasar bahan pangan di Indonesia. Daging terbagi menjadi 2 jenis, yaitu
daging ternak besar seperti sapi dan kerbau maupun daging ternak kecil seperti
domba, kambing dan babi. Meski dengan adanya berbagai ragam jenis daging,
produk utama penjualan komoditi peternakan adalah daging sapi potong
(Astawan, 2004).
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang
mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral dan sedikit karbohidrat
sehingga kandungan tersebut menjadikan medium yang baik bagi pertumbuhan
bakteri dan menjadi mudah mengalami kerusakan. Padahal bahan pangan asal
hewan ini sangat dibutuhkan sebagai konsumsi masyarakat sehubungan
kandungan gizi yang ada pada daging bisa digunakan untuk meningkatkan
kesehatan masyarkat. Oleh karena itu, keamanan dan kualitas daging harus selalu
terjaga agar kandungan dalam daging tersebut tidak cepat rusak. Bahan pangan
asal ternak menjadi berbahaya dan tidak berguna apabila tidak aman.
Menurut Trantono (2011), kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik pada waktu hewan sebelum dan sesudah dipotong, Kualitas fisik daging sapi
adalah warna daging, rasa dan aroma, perlemakan, dan tekstur daging. Pada waktu
sebelum dipotong, faktor penentu kualitas dagingnya adalah tipe ternak, jenis
kelamin, umur, dan cara pemeliharaan yang meliputi pemberian pakan dan

1
perawatan kesehatan. Sedangkan kualitas daging sesudah dipotong dipengaruhi
oleh metode pemasakan, pH daging, hormon, dan metode penyimpanan.
Salah satu tindakan untuk mengetahui keamanan dan kualitas daging masih
terjaga adalah dengan melakukan pengujian-pengujian pada sampel daging segar.
Pengujian pengujian yang dilakukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI). Pengujian meliputi pengujian mutu fisik daging dilakukan secara
organoleptik dengan menggunakan indra penglihatan terhadap penampilan fisik
otot dan lemak. Pengujian lainnya adalah dilakukan dilaboratorium misalnya
pengukuran pH daging, uji H2S, uji Eber, uji awal pembusukan, cooking loss, drip
loss, pengeluaran darah dsb. Dari hasil pengujian tersebut kita bisa mengetahui
bagaimana kualitas dan keamanan daging sapi yang beredar di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah mutu dan kualitas daging sapi sesuai dengan SNI 3932:2008?
2. Apakah daging sapi yang diuji ini memiliki jaminan mutu yang ASUH
sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui tata cara pengujian
mutu dan kualitas daging sapi yang sesuai dengan SNI Nomor SNI 3932:2008
dan memberikan interpretasi hasil uji terhadap kelayakan dan keamanan
daging sapi yang ASUH.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari pengujian ini yaitu memberikan
informasi kualitas fisik dan mikrobiologis kandungan daging sapi serta
membandingkannya dengan standar keamanan pangan dalam rangka memberikan
jaminan keamanan pangan asal hewan yang ASUH kepada masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daging

2
Daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan
lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin
atau daging beku (SNI, 2008). Menurut Pementan (2011) daging adalah bagian
dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia,
terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi
berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan.
Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna dibanding
dengan protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan konsumen
dalam pemilihan daging adalah sifat fiaik. Sifat fisik dalam hal ini antara lain
warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan (Komariah et al, 2009).
2.2 Daging Sapi
Daging sapi di definisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan
serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging
sapi merupakan bagian dari hewan potong yang digunakan manusia untuk bahan
makanan (Saptarini, 2009). Daging sapi merupakan produk ternak yang
merupakan sumber protein hewani. Daging sapi merupakan bahan pangan yang
mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk pertumbuhan dan
kesehatan (Arifin et al, 2008).
Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan asal ternak yang
mengandung nutrisi berupa air, protein, lemak, mineral dan sedikit karbohidrat
sehingga dengan kandungan tersebut menjadikan medium yang baik untuk
pertumbuhan bakteri dan membuat daging mudah mengalami kerusakan. Bahan
pangan asal ternak menjadi berbahaya dan tidak berguna apabila tidak aman, oleh
karena itu, perlu penjagaan yang mutlak dalam keamanan pangan supaya
menjadikan berguna bagi tubuh (Nurwantoro et al., 2012). Komposisi daging sapi
terdiri dari 19% protein, 5% lemak, 70% air, 3,5%, zat-zat non protein, dan 2,5%
mineral.
Ciri-ciri kualitas daging sapi dapat dilihat dari parameter warna dan bau
pada daging. Sampai sekarang setiap orang masih relatif berbeda dalam
membedakan kualitas daging sapi dari ciri-ciri warna dan bau pada daging sapi

3
karena sampai sekarang belum ada referensi ukuran yang pasti dalam
membedakan kualitas daging sapi. Daging sapi potong telah menjadi salah satu
bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya konsumsi daging nasional yang harus dipenuhi. Menurut Trantono
(2011), kualitas fisik daging sapi impor dan daging sapi lokal dapat ditinjau dari 5
aspek yaitu warna daging, tekstur daging, perlemakan daging (marbling), rasa
daging, dan aroma daging.
Phillips et al., (2006) menyebutkan bahwa penurunan mutu daging dapat
menimbulkan senyawa toksik sehingga produk menjadi kurang aman untuk
dikonsumsi, kehilangan zat-zat gizi dan perubahan warna, tekstur, bau dan rasa
kearah yang tidak disukai dan diterima oleh konsumen. pH daging dapat menurun
dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5 selama beberapa jam setelah pemotongan.
Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup istirahat yang baru dipotong
adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan pH tersebut tidak
sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan diantara hewan juga
berbeda.
Tabel 2.1 Mutu daging sapi secara fisik (SNI 3932:2008)

Tabel 2.2 Mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)

4
2.3 Faktor Kualitas yang Mempengaruhi Daging Sapi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas daging yaitu berkaitan dengan
penilaian organoleptik dan kualitas fisik yang meliputi susut masak, keempukan,
daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC), pH daging dan susut masak
merupakan parameter kualitas daging. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas daging (Soeparno, 2005):
1. Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak yang
didasarkan pada kemudahan waktu menguyah tanpa menghilangkan sifat-
sifat jaringan yang layak. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat
keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi
daging itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel
lemak yang ada diantara serabut daging. Keempukan bervariasi di antara
jenis ternak, umur ternak, bagian otot. Keempukan daging banyak
ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu struktur miofibril, kandungan
jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein
daging serta jus daging. Kekuatan tarik daging adalah keempukan daging
yang diekspresikan dengan gaya maksimal (Newton) yang diperlukan
untuk menarik sampel daging, semakin kecil gaya yang diperlukan maka
semakin empuk sampel daging yang diukur. Uji kekuatan tarik lebih
mengukur keempukan daging yang disebabkan oleh keempukan serat-serat
miofibril. Sebagian besar serabut otot mengandung 55 % protein miofibril.
Faktor kekuatan tarik antara lain pH dan pemasakan.
2. pH Daging, pH (Power of Hidrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa
atau nilai hidrogen dari senyawa tersebut. Nilai pH digunakan untuk
menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan
otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan
menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan
asam laktat yang akan mempengaruhi pH, pH ultimat normal daging

5
postmortem adalah sekitar 5,5. Nilai pH juga berpengaruh terhadap
keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan
yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau
keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging
berhubungan dengan daya ikat air, jus daging, keempukan dan susut
masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat mekanik daging
(daya putus dan kekuatan tarik). Nilai pH akhir daging akan menentukan
karakteristik kualitas daging lainnya, seperti struktur otot, pertumbuhan
mikroorganisme, denaturasi protein dan enzim, keempukan daging.
3. Water Holding Capacity (WHC) atau Water Bonding Capacity (WBC)
adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
4. Susut Masak, Susut masak adalah banyaknya berat yang hilang selama
pemasakan (cooking loss). Semakin tinggi temperatur dan waktu
pemasakan, maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai
tingkat konstant (Soeparno, 2005). Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, ukuran dan
berat sampel daging. Susut masak bervariasi antara 1,5 sampai 54,5 %
dengan kisaran 15 sampai 40%. Sifat mekanik daging termasuk susut
masak merupakan indikasi dari jaringan ikat dengan bertambahnya umur
ternak, terutama peningkatan panjang sarkomer.

BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat PPDH

6
Koasistensi ini dilaksanakan pada tanggal 21-29 Juni 2018 bertempat di
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Brawijaya Malang.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta Koasistensi Laboratorium Kesmavet adalah mahasiswa PPDH
FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Ristanti Putri Utami
NIM : 170130100011085
No Telepon : 082257068551
Email : Ristantiputami3@gmail.com
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si
3.3 Metode Kegiatan
Metode yang digunakan dalam koasistensi di Laboratorium Kesmavet
adalah pengujian terhadap dua sampel daging segar dan melaksanakan diskusi
kelompok dan dengan dokter hewan pembimbing koasistensi.
3.4 Jenis Sampel Pengujian
Uji yang akan dilakukan pada sampel daging sapi adalah:
1. Uji organoleptik daging
2. Uji pH
3. Pengujian awal pembusukan daging dengan uji Eber
4. Pengujian awal pembusukan daging dengan uji H2S
5. Uji Drip loss
6. Uji Cooking loss
7. Pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah
8. Perhitungan total jumlah bakteri dengan metode hitungan cawan
9. Perhitungan jumlah bakteri koliform dengan metode hitungan cawan
10. Uji cemaran Salmonella menggunakan media SSA
11. Uji cemaran E. coli menggunakan media EMBA
12. Residu antibiotik

3.5 Metode Pengujian


3.5.1 Pemeriksaan Organoleptik Daging (SNI 01-2346-2006)
Prinsip Kerja : Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat secara manual bentuk
produk daging. Pemeriksaan organoleptik meliputi pemeriksaan bau, warna, rasa,
konsistensi.

7
Alat dan Bahan: Sampel daging dan cawan petri.
Prosedur: Bahan di letakkan di atas cawan petri kemudian diamati bau, warna,
rasa dan konsistensi.
Interpretasi: Daging yang baik berwarna merah hingga merah kegelapan, berbau
khas, konsistensi kenyal/alot.

3.5.2 Uji pH
Prinsip : pengukuran pH menggunakan pH meter yang pada prinsipnya terdiri
dari gabungan elektroda gelas hydrogen sebagai standar polimer dan elektroda
kalomel referens pasangan elektroda ini akan menghasilkan perubahan tegangan
59,1 mvpH unit pada 250C.
Alat dan bahan: Sampel daging segar, pH indikator strips, pH meter, dan cawan
petri
Prosedur: Daging segar diletakkan pada cawan petri, kemudian tempelkan kertas
indikator pH pada bagian daging, kertas indikator dikeringkan kurang lebih 1-30
detik dan disamakan dengan standar pH indikator. Kemudian dilakukan
pengukuran pH menggunakan pH meter untuk menkonfirmasi hasil pH indikator
strips.
Interpretasi: pH daging ±5,5

3.5.3 Pengujian Awal Pembusukan Daging dengan Uji Eber


Prinsip Kerja : Gas NH3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging
akan bereaksi dengan reagen Eber untuk membentuk senyawa NH4CL yang
tampak seperti awan putih.
Alat dan Bahan: Reagen Eber (dietil eter, HCl pekat dan alkohol 96% dengan
perbandingan 1:1:3), daging segar, tabung reaksi 25 ml, pipet ukur 10 ml, kawat
steril, gunting/pisau, pinset dan sumbat.

8
Prosedur: Ambil sampel daging masing-masing sebanyak 5 g dengan pinset steril
dan ditusuk dengan kawat steril. Masukkan sampel daging tersebut pada tabung
reaksi yang telah diisi 5 ml larutan Eber. Uji Eber positif apabila terbentuk kabut
pada ruang udara tabung reaksi.
Interpretasi: Reaksi (+) jika terbentuk awan putih sekitar daging, (-) tidak
terbentuk awan putih

3.5.4 Pengujian Awal Pembusukan Daging dengan Uji H2S


Prinsip Kerja : Gas H2S yang dihasilkan dari proses awal pembusukan bereaksi
dengan Pb asetat dan akan menghasilkan PbS yang berwarna hitam kecoklatan.
Alat dan Bahan: H2S, Pb asetat, kertas saring, pinset, gunting, cawan petri, dan
sampel daging sapi.
Prosedur: Memotong kecil-kecil sampel daging sapi dan dimasukkan kedalam
cawan petri. Kemudian cawan petri ditutup dengan kertas saring dan ditetesi
dengan Pb asetat (kira kira 6 tetes).
Interpretasi: Reaksi (+) jika terdapat warna hitam kecoklatan sekitar tetesan Pb
asetat, (-) tidak terdapat warna hitam kecoklatan.

3.5.5 Uji Drip Loss


Prinsip Kerja : Air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan dengan
penurunan pH otot.
Alat dan Bahan: Cawan petri, benang, toples dengan kawat, kertas tisu, gunting,
timbangan, lemari es dan sampel daging.
Prosedur : Sepotong daging ditimbang (a gram) kemudian daging digantung
pada kawat yang terdapat didalam toples dengan menggunakan benang lalu tutup
rapat. Daging tidak boleh bersentuhan dengan bagian dalam toples. Masukkan
toples ke dalam lemari es (7ºC) selama 48 jam, daging dikeluarkan dari plastik
dan permukaan daging dikeringkan dengan tisu tanpa ditekan. Kemudian daging
ditimbang (b gram). Hitung drip loss (%) dengan rumus:

9
3.5.6 Uji Cooking Loss
Prinsip Kerja: Protein daging akan terdenaturasi selama pemanasan sehingga
susunan selulernya akan rusak. Hal tersebut akan mempengaruhi daya ikat air
dalam daging. Air dari daging akan keluar selama pemanasan.
Alat dan Bahan: Kantong plastik, termometer, kertas biru, air, timbangan,
penangas air, dan sampel daging.
Prosedur: Daging dipotong ditimbang (a gram) kemudian dimasukkan kedalam
kantong plastik bersama dengan termometer yang dimasukkan kedalam daging.
Hilangkan udara dalam plastik lalu ikat dengan tali. Panaskan air (75ºC)
kemudian kantong plastik dimasukkan ke dalam air panas dan diamkan selama 50
menit. Selanjutnya alirkan air dari kran diatas kantong plastik selama 40 menit.
Daging dikeluarkan dari plastik dan air di permukaan daging dikeringkan dengan
tisu tanpa ditekan. Kemudian timbang daging (b gram). Hitung cooking loss
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.5.7 Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah


Prinsip: Hewan yang dipotong tidak sempurna akan banyak ditemukan
hemoglobin (Hb) dalam dagingnya. Adanya O2 (dari gas H2O2) dalam reaksi
akan mengikat Hb sehingga zat warna malachite green tidak akan dioksidasi dan
warna tetep hijau. Jika tidak ada Hb maka O2 akan mengoksidasi malachite green
dan akan menjadi warna biru.
Alat dan Bahan: Sampel daging, aquadest, malachite green, H2O2 3%, kertas
saring, pipet, tabung reaksi, erlenmeyer 50 ml, corong, pinset, gunting.
Prosedur: Sampel daging ditimbang 6 gram kemudian dipotong kecil-kecil untuk
selanjutnya dibuat ekstrak, ditambhkan dengan 14 ml aquades dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, homogenkan. Diamkan selama 15 menit. Ekstrak diambil 0,7
ml filtratnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Teteskan malachite green 1
tetes dan H2O2 sebanyak 1 tetes. Kemudian diamkan selama 20 menit dalam
suhu ruang.
Interpretasi: Larutan warna biru berarti pengeluaran darah sempurna, larutan
berwarna hijau berarti pengeluaran darah belum sempurna.

10
3.5.8 Perhitungan Total Jumlah Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan
(SNI Nomor 2897-2008)
Prinsip Kerja: Jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada media agar,
maka mikroba akan berkembangbiak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dengan mata telanjang.
Alat dan Bahan: Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujian ini adalah
cawan petri, tabung reaksi, pipet volumetric, botol media, colony counter, gunting,
pinset, jarum inokulasi, stomacher, Bunsen, pengocok tabung, incubator, PCA
(Plate Count Agar), BPW (Buffer Pepton Water) 0,1 %, spreader steril dan daging
sapi.
Prosedur: Prosedur kerja pengujian ini yaitu menimbang sebanyak 1 g sampel
daging sapi secara aseptik kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Tambahkan larutan BPW 0,1 % hingga 10 ml kedalam kantong steril yang sudah
berisi sampel tersebut. Ini merupakan larutan dengan pengenceran 10-1. Pindahkan
1 mL suspense pengenceran 10-1 tersebut dengan pipet steril ke dalam larutan 9
mL BPW untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Buat pengenceran 10-3,10-4,10-5
dengan cara yang sama seperti pada prosedur sebelumnya sesuai kebutuhan.
Tambahkan 10-15 ml PCA yang sudah didinginkan hingga temperatur 45°C -
50°C dan tutup cawan petri. Supaya larutan sampel dan media PCA tercampur
seluruhnya, lakukan pemutaran cawan membentuk angka delapan dan diamkan
sampai memadat. Inkubasikan pada suhu 3°C selama 24-36 jam dengan
meletakkan cawan pada posisi terbalik. Untuk perhitungan koloni, hitung jumlah
koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni
menyebar (spreader colony). Pilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25
sampai dengan 250.

3.5.9 Perhitungan Jumlah Bakteri Koliform dengan Metode Hitungan


Cawan (SNI 2897-2008)

11
Prinsip Kerja: Jika bakteri koliform yang masih hidup ditumbuhkan pada media
agar, maka mikroba akan berkembangbiak dan membentuk koloni yang dapat
dilihat langsung dengan mata telanjang.
Alat dan Bahan: Alat dan bahan yang digunakan adalah cawan petri, pipet ukur
steril 1 mL, pembakar bunsen, inkubator, autoclave, media (Violet Red Bile Agar)
VRB, pengenceren ke 10-1, 10-2, 10-3.
Prosedur: Cara kerja pengujian ini adalah memupuk pengenceren ke 10-1, 10-2,
10-3 kedalam cawan petri dengan menggunakan pipet. Kemudian dituang media
VRB cair steril sebanyak 10-20 ml ke dalam cawan petri. Selanjutnya cawan petri
digerak gerakan secara melingkar agar media merata. Dibiarkan media memadat
kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 18-24 jam. Kemudian menghitung
semua koloni yang berwarna merah keunguan yang dikelilingi zona merah
(diameter koloni umumnya 0,5 mm atau lebih). Cawan petri yang digunakan
dalam perhitungan adalah memiliki jumlah koloni 30-100.

3.5.10 Uji Cemaran E. coli menggunakan Media EMBA


Prinsip Kerja: Sampel yang diperiksa dimasukkan media selektif. Selanjutnya
media diinkubasi pada inkubator pada suhu 37oC sehingga dapat diamati koloni –
koloni yang tumbuh pada media tersebut secara makroskopik.
Alat dan Bahan: Cawan petri, inkubator, media Eosin Methylen Blue Agar
(EMBA), sampel daging sapi dari tabung LB yang di duga positif.
Prosedur: Tabung LB yang diduga positif distrik pada media padat EMBA.
Diinkubasi pada temperatur 35ºC selama 18-24 jam.
Interpretasi: Koloni yang diduga E. coli memiliki diameter 2-3 mm, berwarna
hitam atau gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa metalik kehijauan
yang mengkilat pada media EMBA.

3.5.1.1. Uji Salmonella


Prinsip : Sampel yang diperiksa dimasukkan media selektif. Selanjutnya media
diinkubasi pada inkubator pada suhu 37oC sehingga dapat diamati koloni-koloni
yang tumbuh pada media tersebut secara makroskopik.

12
Alat dan bahan : Timbangan, cawan petri, erlenmeyer, tabung, inkubator,
bunsen, media Salmonella Shigella Agar (SSA) dan sampel.
Prosedur kerja : Pembiakan bakteri dapat diambil dari sampel yaitu dalam
bentuk suspensi dan ekstrak tersebut kemudian distreak menggunakan ose pada
media SSA. Cawan petri diinkubasi pada posisi terbalik pada suhu 37oC selama
24 jam kemudian di amati.
Interpretasi hasil : Adanya koloni bakteri Salmonella sp pada media biakan.

3.5.12 Residu Antibiotik


Prinsip Kerja: Residu antibiotika akan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan
terbentuknya daerah hambatan sekitar kertas cakram/paper disc. Besarnya
diameter daerah hambatan menunjukkan konsentrasi residu antibiotika.
Alat dan Bahan: Sampel susu sapi, paper disc, Mueller Hinton Agar (MHA) dan
bakteri standar Bacillus subtilis yang dibiakkan pada media Nutrien Agar (NA).
Prosedur: Bakteri Bacillus subtilis dibiakkan pada media NA dan diinkubasi
36ºC selama 24 jam. Biakkan bakteri Bacillus subtilis 1 streak ose diencerkan
dengan 5 ml NaCl fisiologis. 0,1 ml biakkan bakteri yang sudah diecerkan
ditanam pada media MHA secara spreader. Paper disc ditempelkan pada sampel
susu selanjutnya diletakkan di atas media MHA yang bercampur dengan bakteri
Bacillus subtilis. Diinkubasi suhu 36ºC selama 24 jam. Sampel dinyatakan positif
mengandung residu antibiotika apabila terbentuk daerah hambatan minimal 2 mm
lebih besar dari diameter paper disc (adanya zona bening).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Keterangan Sampel
Daging sapi yang akan dilakukan pengujian memiliki identitas sebagai berikut:
Produk : Daging sapi
Asal : Pasar Mergan

13
Tanggal : 23 Juni 2018
Kemasan : Kantong plastik

Gambar 4.1 Daging sapi (Dokumentasi pribadi)


4.1.2 Hasil Uji
Hasil pengujian sampel daging sapi yang diperoleh dari pasar Mergan
ditampilkan dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Pengujian
Uji Standar SNI 3926- Hasil
2008 /Standar lain
Organoleptik
Warna daging Normal Merah kegelapan
Warna lemak Putih-kekuningan Putih
Konsistensi Kenyal Kenyal
Bau Khas daging Khas
Serabut daging Normal Normal
pH ±5,5 pH meter: 6,38
pH indikator: 6
Uji awal pembusukan
- Eber Negatif Positif
- H2S Negatif Negatif
Drip loss - 12,5%
Cooking loss 15-40% (Soeparno, 2010) 40%
Uji kesempurnaan Sempurna Larutan warna biru,
pengeluaran darah sempurna
Total Plate Count (TPC) Maks. 1x106 6,6x107
Total koliform Maks. 1x102 3x102
Salmonella sp Negatif Negatif
E. coli Maks. 1x101 Negatif
Uji residu antibiotik Negatif

4.2 Pembahasan

14
Pemeriksaan daging meliputi pemeriksaan fisik yaitu organoleptik, pH,
pemeriksaan drip loss dan pemeriksaan cooking loss. Pada hasil pemeriksaan
organoleptik menunjukkan warna merah kegelapan sedangkan warna lemak
berwarna putih, berbau khas dengan konsistensi kenyal, serabut daging tampak
normal. Kemudian pengukuran pH dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan
pH meter dan pH indikator. Jika menggunakan pH meter maka ditusukkan di 2
tempat berbeda pada daging dan hitung rata-ratanya. Jika diukur dengan pH meter
menunjukkan bahwa daging yang diperiksa memiliki pH 6,38 sedangkan dengan
pH indikator terukur pH daging yaitu ±6. Pada pengujian drip loss didapat hasil
12,5%. Nilai cooking loss daging yang diperiksa adalah 40%.
Sifat fisik daging biasanya berkaitan erat dengan kualitas daging. Sebab
kualitas daging dapat diartikan sebagai ukuran sifat-sifat daging yang dikehendaki
dan dinilai oleh konsumen. Selain tujuan penggunaannya, kualitas daging juga
dipengaruhi oleh faktor antemortem dan postmortem. Faktor antemortem antara
lain lokasi anatomis dan fungsi, kedewasaan fisiologis, tekstur dan ukuran
serabut, kebasahan dan firmness, warna, marbling dan stress. Sedangkan faktor
postmortem meliputi laju pendinginan, suspense karkas, stimulant elektris,
pelayuan, pembekuan dan perlakuan fisik atau kimiawi. Adapun sifat-sifat daging
yang berpengaruh terhadap kualitas tersebut di atas yaitu Water holding capacity
(WHC), warna (colour), kesan jus (juiciness), keempukan (tenderness), susuk
masak (cooking loss), cita rasa (flavor), struktur, firmness dan tekstur
(Nurwantoro et al, 2003).
Pengukuran pH daging sangat penting dilakukan, karena berdasarkan nilai
pH kita bisa menentukan apakah ternak tersebut sebelum dipotong diistirahatkan
terlebih dahulu apakah langsung dipotong tanpa diistirahatkan. Ternak yang
resisten terhadap stres mampu mempertahankan temperatur normal tubuh dan
kondisi homeostatik dalam otot-ototnya, dengan mengorbankan cadangan
glikogen. Menurut Aberle et al. (2001), defisiensi glikogen terjadi apabila ternak
yang mengalami stres, seperti yang berkaitan dengan kelelahan, latihan, puasa dan
gelisah atau yang langsung dipotong sebelum mendapat istirahat yang cukup
untuk memulihkan cadangan glikogen ototnya. Defisiensi glikogen otot pada

15
ternak inilah yang dapat menyebabkan proses glikolisis pascamati yang terbatas
dan lamban, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai pH daging yang tinggi
dnegan warna merah gelap atau dikenal dengan istilah daging DFD (Dark Firm
and Dry).
Semakin tinggi kadar glikogen dalam otot ternak makan semakin rendah
nilai pH akhir yaitu dibawah 6,0 sedang daging yang memiliki kadar glikogen
rendah maka nilai pH akhir diatas 6,0 (Hartati, 2012). Jika melihat hasil
pengukuran pH yaitu sekitar 6,0 maka ternak yang diperiksa mendapat istirahat
yang cukup.
Nilai cooking loss pada daging sapi adalah berkisar antara 12-40%,
berdasarkan uji yang dilakukan kadar cooking loss masuk dalam standar yang
telah ditentukan yaitu 40%. Nilai cooking loss sangat dipengaruhi oleh cara,
waktu, dan suhu pemasakan. Proses perubahan karakteristik air di dalam daging
selama proses pemasakan serupa dengan denaturasi protein spesifik. Menurut
Soeparno (2009), daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai
kualitas yang relatif baik daripada susut masak yang lebih besar, karena
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.
Selanjutnya dilakukan uji awal pembusukan daging yaitu dengan uji Eber
dan H2S. Pada pemeriksaan yang dilakukan dengan uji Eber untuk melihat awal
terjadinya pembusukan, jika terjadi pembusukan maka akan ada awan putih di
sekeliling daging. Hasil pemeriksaan uji Eber positif. Uji H2S juga untuk melihat
awal pembusukan, dengan mengetahui adanya perubahan warna menjadi hitam
pada kertas saring yang ditetesi PbS. Hasil dari uji H2S adalah negatif.
Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan ditempat terbuka dalam waktu relatif
lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi
oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan ammonia. Standar uji awal
pembusukan adalah negatif, apabila positif berarti daging sapi telah mengalami
pembusukan yang berarti sudah lama disimpan.
Uji kesempurnaan pengeluaran darah, untuk mengetahui apakah ternak
sudah disembelih dengan benar sehingga darah sudah keluar dari tubuh ternak.
Hasil uji kesempurnaan pengeluaran darah adalah negatif ditandai dengan

16
terbentuknya warna biru reaksi antara H202 dengan malachite green. Ini
menandakan bahwa daging yang diuji pengeluaran darah nya telah sempurna.
Penanganan sebelum disembelih seperti proses pemingsanan yang tidak tepat,
penyembelihan tanpa pemingsanan yang menyebabkan hewan stress, memar dan
mengalami pendarahan di bawah kulit dan daging serta perlakuan yang kasar.
Sedangkan penanganan setelah pemotongan seperti hewan tidak digantung setelah
pemotongan. Ketidaksempurnaan pengeluran darah menyebabkan hemoglobin
berada di dalam daging dan mempercepat terjadinya proses pembusukan atau
penurunan kualitas daging (Lukman, 2012).
Pada hasil uji cemaran mikroorganisme didapatkan hasil untuk TPC
6,6x107 cfu/ml, total koliform 3x102 cfu/ml. Jika dibadningkan dengan standart,
nilai TPC dan total koliform jauh diatas batas maksimal cemaran mikroba dimana
maksimal TPC pada daging sapi adalah 1x106 sedangkan untuk koliform adalah
maksimal 1x102. Tingginya cemaran pada daging menunjukkan adanya cemaran
mikroba dari lingkungan karena daging merupakan media yang sangat baik untuk
perkembangan mikroorganisme karena mempunyai kandungan protein yang
tinggi. Beberapa bakteri yang tumbuh dalam daging adalah Salmonella sp,
Staphylococcus sp, Streptococcus sp dan lain-lain. Hal ini perlu diperhatikan
menyangkut keamanan dan kelayakan pangan yang berkaitan erat dengan
kesehatan konsumen (Syukur, 2006).
Pada uji Salmonella dengan media SSA, sampel daging memiliki hasil
negatif. Begitu juga dengan pengujian E. coli pada media EMBA hasilnya negatif.
Pada media MHA untuk menguji residu antibiotik juga hasilnya negatif ditandai
dengan tidak adanya zona hambatan pada media MHA yang ditempeli dengan
paper disc hasil celupan pada sampel daging.
Daging yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroorganisme patogen
kalaupun ada biasanya berupa mikroorganisme nonpatogen dan dalam jumlah
yang sedikit. Kontaminasi mikroorganisme patogen atau perusak yang sangat
penting berasal dari luar ternak yang dipotong, yaitu selama pemotongan,
penanganan, dan proses pengolahan. Menurut Lawrie (2003) mengatakan bahwa
kontaminasi mikroba pada daging dapat terjadi pada saat hewan tersebut masih

17
hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber kontaminasi dapat berasal dari
tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai selama proses
persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.
Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan terhadap kesehatan
dibagi tiga kategori, yaitu aspek toksikologis, aspek mikrobiologis dan aspek
imunopatologis. Residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam
bidang kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat veteriner,
aspek teknologi dan aspek lingkungan. Dari aspek toksikologis, residu antibiotika
bersifat racun terhadap hati, ginjal dan pusat hemopoitika (pembentukan darah).
Dari aspek mikrobiologis, residu antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam
saluran pencernaan dan menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme, yang
dapat menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia dan hewan.
Dari aspek imunopatologis, residu antibiotika dapat menimbulkan reaksi alergi
yang ringan dan lokal, bahkan dapat menyebabkan shock yang berakibat fatal.
Selanjutnya dipandang dari aspek teknologi, keberadaan residu antibiotika dalam
bahan pangan dapat menghambat atau menggagalkan proses fermentasi
(Berendsen et al., 2006).

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Daging merupakan bahan pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Oleh karena itu kemanan dan kualitas daging harus selalu
diperhatikan. Salah satunya untuk mengetahui kualitas dan keamanan daging
terjaga adalah dengan melakukan pengujian-pengujian yang berdasarkan Badan

18
Standarisasi Nasional yang mengeluarkan persyaratan berupa Standar Nasional
Indonesia untuk menjamin kelayakan daging untuk dikonsumsi.
Beberapa pengujian yang dilakukan pada daging sapi adalah pemeriksaan
fisik, pemeriksaan kesegaran daging, pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran
darah dan pemeriksaan mikrobiologis seperti TPC, koliform, Salmonella dan E.
coli. Pemeriksaan uji residu antibiotik juga dilakukan untuk mengetahui apakah
ternak yang dipotong menggunakan antibiotik atau tidak. Adanya cemaran
mikroba yang tinggi pada daging mengindikasikan bahwa telah terjadi
pencemaran mikroba dari lingkungan karena daging adalah media yang mudah
ditumbuhi oleh mikroba.

5.2 Saran
Dalam melakukan pengujian untuk daging harus dilakukan dengan teliti,
jangan sampai ada kesalahan pengujian yang akan menghasilkan positif palsu.
Kebersihan dan higiene personal juga harus diperhatikan agar tidak
mengkontaminasi uji.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2008. [SNI] Standarisasi Nasional Indonesia


Nomor 3932 : 2008 tentang Mutu Karkas dan Daging Sapi. Jakarta (ID):
Badan Standarisasi Nasional.
Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
Ed ke-4. Kendall/Hunt Publishing Co. USA.

19
Arifin. M., B. Dwiloka dan D.E. Patriani. 2008. Penurunan Kualitas Daging Sapi
yang terjadi selama Proses Pemotongan dan Distribusi di Kota Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor:
11-12 November 2008, p: 99-104.
Astawan F, Priyanto R, Nuraini H. 2004. Pentingnya mengkonsumsi daging..
Media Peternakan. 24(2): 1217.
Berendsen BJA dan Rijhn JAV. 2006. Residue Analysis of Tetracycline In Poultry
Muscle, Shortcomings Revealed by a Proficiency Test. Journal of Food
Additives and Contaminants 23(11): 1141-1148.
Hartati, Candra. 2012. Korelasi antara Kadar Glikogen, Asam Laktat, pH Daging
dan Susut Masak Daging Domba setelah Pengangkutan. Jurnal
AgriSains Vol.4 No. 5. ISSN: 2086-7719.
Khasrad, Ningrat RWS. 2010. Improving carcass quality of indigenous cattle of
West Sumatera fed local feed resources. Pakistan Journal of Nutrition.
9(8): 822826.
Komariah, S. Rahayu dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan
Domba pada Lama Postmortem yang Berbeda. Buletin Peternakan Vol.
33(3): 183-189.
Lawrie R.A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan: Parakassi, A dan Y. Amulia. Meat
Science UI Press. Jakarta.
Lukman DW, Sudarwanto S, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono
RR. 2012. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Pisestyani
H, editor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuwantoro V et al. 2012. Nilai pH, kadar air, dan total Eschericia coli daging sapi
yang dimarinasi dalam jus bawang putih. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan. 1(2): 20-22.
Phillips. 2006. Meat quality defined based on pH and colour depending on cattle
category and slaughter season. Czech Journal of Animal Science. 55 (12):
548556.

20
Saptarini, K. 2009. Isolasi Salmonella spp pada Sampel Daging Sapi di Wilayah
Bogor serta Uji Ketahannanya terhadap Proses Pendinginan dan
Pembekuan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed ke-5. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Syukur. 2006. Pengaruh kondisi transportasi dan lama istirahat terhadap sifat-sifat
daging sapi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Trantono, Y. 2011. Mengelola peternakan sapi secara profesional. Jakarta:
Penebar Swadaya.

LAMPIRAN

Tabel 1. Perhitungan jumlah koliform


101 102 103
39 2 0
24 3 1
Jumlah koliform = 39 + 24/2 x 101= 31,5 x 101

21
= 3 x 102 cfu/ml

Tabel 2. Perhitungan Total Jumlah Bakteri


105 106 107
141 58 72
228 171 3
TPC = 141 + 228/2 x 105= 184,5 x 105 = 58 + 171/2 x 106= 114,5 x 106
= 1,8 x 107 cfu/ml = 11,4 x 107 cfu/ml
= 1,8 + 11,4/2 = 6,6 x 107 cfu/ml

Drip loss: 6,4 – 5,6/6,4 x 100% = 12,5 %


Cooking loss: 6,6 – 3,9/6,6 x 100% = 40%

22

You might also like