You are on page 1of 4

Jenis kelamin

Hasil tingkat kecemasan mahasiswa berdasarkan karakteristik responden didapatkan bahwa


tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kesemasan. Akan tetapi
responden berjenis kelamin perempuan mengalami kecemasan yang lebih berat dibandingkan
laki-laki. Sejalan dengan penelitian ini, responden pada penelitian Lubis, Widianti,
&Amrullah (2014) hampir setengahnya (48.4%) responden perempuan mengalami
kecemasan berat sedangkan laki-laki memiliki tingkat kecemasanyang lebih. Farooqi YN,
Ghani R, dan Spielberger (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perempuan
lebih rentan mengalami gejala kecemasan dibandingkan laki-laki. Gunadi dalam
Zulkarnain & Novliadi (2009) menyebutkan bahwa timbulnya kecemasan yang lebih besar
pada perempuan disebabkan perempuan lebih peka terhadap emosi yang akibatnya akan peka
terhadap perasaan cemasnya. Penelitian lain menyebutkan bahwa mahasiswa berjenis
kelamin perempuan rentan mengalami perubahan emosional karena perbedaan hormonal,
rendahnya tingkat percaya diri, dan tingginya harapan akan hasil ujian dibandingkan
mahasiswa berjenis kelamin laki-laki (Rooney, 2012). Beberapa ahli syaraf juga menemukan
bahwa gen, hormon dan fenomena bawaan biologis otak mempengaruhi kecemasan pada
perempuan (Zulkarnain & Novliadi, 2009). Sadock & Sadock (2009) menyebutkan bahwa
kecemasan lebih berat yang dialami oleh perempuan diakibatkan adanya peran hormon yang
dapat mempengaruhi emosi sehingga mudah meluap, mudah cemas, dan curiga.

Penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas (2013) menyatakan bahwa angka kejadian
gangguan mental emosional pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria. Stuart dan Sundeen
(2000) menyatakan bahwa jenis kelamin wanita merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kecemasan. Sadock dan Sadock (2009) juga menyebutkan bahwa angka
kejadian gangguan kecemasan pada wanita dua kali lebih banyak daripada pria, hal ini
mungkin disebabkan karena wanita memiliki kepribadian yang lebih labil, juga adanya peran
hormon yang mempengaruhi kondisi emosi sehingga lebih meluap, mudah cemas, dan curiga.
Namun pendapat lain mengungkapkan bahwa Kemungkinan terjadinya gangguan kecemasan
pada pria dapat sama dengan wanita, hal ini diakibatkan karena wanita umumnya bersifat
ekstrovert yang berpengaruh dalam mereduksi terjadinya gangguan kecemasan. Tidak
demikian halnya pria yang kebanyakan bersifat introvert (Fratiwi, 2010). Hal tersebut
menyebabkan pria lebih cenderung untuk memendam kecemasannya dan tidak menceritakan
kepada orang lain sehingga kurang mendapat dukungan atau bantuan dari lingkungan
sekitarnya.

Ujian merupakan salah satu stressor yang sering dialami oleh remaja. Tubuh yang merespon
stressor tersebut dalam bentuk perasaan cemas. Apabila kecemasan tidak ditangani akan
mengakibatkan khawatir, tidak tenang, ragu,bimbang, memandang masa depan dengan was-
was, kurang percaya diri, gugup didepan umum, suka menyalahkan orang lain, gerakan serba
salah, tidak tenang bila duduk, gelisah, mudah tersinggung, dalam mengambil keputusan
sering diliputi rasa bimbang dan ragu (Hawari, 2013).

KECEMASAN
Agustiar (2010) mengatakan bahwa timbulnya kecemasan mengahadapi ujian karena ujian
dipersepsikan sebagai suatu yang sulit, menentang dan mengancam, individu memandang
dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak sanggup atau mampu mengerjakan ujian. Selain itu,
individu hanya terfokus pada bayangan-byangan konsekuensi buruk yang tidak diinginkannya.

Kecemasan ringan menjadi yang tingkatan yang paling banyak dialami siswa diantara tingkatan
lainnya. Sementara itu, kecemasan berat menjadi yang paling sedikit, dengan kecemasan sedang
lebih besar persentasenya dibanding kecemasan berat. Hal ini wajar terjadi karena semua orang
pasti mengalami kecemasan walau pada tingkat yang berbeda-beda (Gunarsa dan Gunarsa, 2008).
Kecemasan ringan merupakan hal yang biasa dialami seseorang saat mengalami situasi yang
dirasa mengancam atau membahayakan (Veeraraghavan dan Singh, 2002). Tes sendiri
diinterpretasikan oleh siswa sebagai situasi yang mengancam (Zeidner, 2005). Pada situasi ini,
kecemasan ringan banyak dialami siswa karena tes merupakan sebuah situasi yang mempunyai
efek terhadap kehidupan dimasa mendatang (Onyeizugbo,2010).
Setelah kecemasan ringan, tingkat kedua yang paling banyak dialami oleh siswa adalah
kecemasan sedang. Walau belum masuk kedalam tahap berat, akan tetapi kecemasan sedang
harus tetap ditanggulangi pada siswa. Jika kecemasan ringan dapat membuat siswa lebih
mempersiapkan diri untuk tes, tingkat kecemasan yang lebih tinggi justru dapat melemahkan
persiapan tersebut (Talbot, 2016). Bagi siswa dengan kecemasan sedang dapat mengganggu
siswa dalam mengambil keputusan, pada situasi ini yaitu pada kondisi tes. Dan kecemasan
sedang bisa berkembang ke tingkat yang lebih tinggi bergantung pada situasi internal dan
eksternal siswa tersebut (Stuart dan Laraia, 2005).

Hasil penelitain ini sejalan dengan hasil penelitian Lisa Mutiara Anisa,
Suryani & Ristina Mirwanti (2018) yang berjudul “Tingkat Kecemasan
Mahasiswa Keperawatan dalam Menghadapi Ujian Berbasis Computer Based
Test” dengan responden yang digunakan dalam peneliti ini yaitu berjumlah
239 esponden. Hasil penelitian didapatkan responden yang paling banyak
mengalami tingkat kecemasan adalah perempuan dengan jumlah 216 (90,4%)
dari pada respoden berjenis kelamin laki-laki 23 (9,6%). Hal ini diperkuat
oleh pendapat. Issac (2008) menyatakan bahwa kecemasan dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor salah satunya yaitu jenis kelamin. Gunadi dalam
Zulkarnain & Novliadi (2009) menyebutkan bahwa timbulnya kecemasan
yang lebih besar pada perempuan disebabkan perempuan lebih peka terhadap
emosi yang akibatnya akan peka terhadap perasaan cemasnya. Penelitian lain
menyebutkan bahwa remaja berjenis kelamin perempuan rentan mengalami
perubahan emosional karena perbedaan hormonal, rendahnya tingkat percaya
diri, dan tingginya harapan akan hasil ujian dibandingkan remaja berjenis
kelamin laki-laki (Rooney, 2012). Beberapa ahli syaraf juga menemukan
bahwa gen, hormon dan fenomena bawaan biologis otak mempengaruhi
kecemasan pada perempuan (Zulkarnain & Novliadi, 2009). Sadock &
Sadock (2009) menyebutkan bahwa kecemasan lebih berat yang dialami oleh
perempuan diakibatkan adanya peran hormon yang dapat mempengaruhi
emosi sehingga mudah meluap, mudah cemas, dan curiga.
Menurut analisis peneliti, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden di SMK Kesehatan Sekawan yang mengalami tingkat kecemasan
berjenis kelamin perempuan, hal ini karena perempuan memiliki tingkat
emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sejalan dengan
Back (2012) menyatakan bahwa perempuan cenderung untuk mengalami
kecemasan dua kali lebih sering dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan
secara hormon pada perempuan lebih cepat memunculkan sisi empati. Selain
itu, pada perempuan lebih takut untuk berbuat salah dan lebih peka pada
situasi yang menurut mereka salah.

You might also like