You are on page 1of 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASFIKSIA NEONATORUM

NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO

Nama Mahasiswa : Yulinar Syam


Nim : R014172004

PRESEPTOR INSTITUSI PRESEPTOR LAHAN

[Dr. Kadek Ayu Erika, S.Kep., Ns., M.Kes] [ ]

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
KONSEP DASAR
A. Definisi
Istilah asfiksia sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tanpa
dan “sphygmos” yang berarti denyut. Istilah ini digunakan untuk kondisi kurangnya
suplai oksigen yang berat sebagai akibat kegagalan pernapasan secara normal. Asfiksia
menyebabkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon
dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian, organ tubuh mengalami kekurangan oksigen
dan terjadi kematian (Tasmono, 2007).

Asfiksia adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. IDAI (Ikatatan Dokter Anak Indonesia)
dalam Prambudi (2013) menjelaskan bahwa asfiksia pada bayi baru lahir (BBL)
merupakan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin
akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes
RI, 2009).

Ghai (2010) menjelaskan bahwa klasifikasi asfiksia neonatorum dapat dinilai


berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration).
Berdasarkan nilai APGAR, asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3


Pada pemeriksaan ditemukan frekuensi jantung kecil ( <40x/menit),tidak ada
usaha nafas, tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada, bayi tidak dapat
memberikan reaksi jika diberikan rangsangan, bayi pucat, terjadi kekurangan O2
yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan
2. Asfiksia sedang atau mild moderate dengan nilai APGAR 4-6.
Pada pemeriksaan fisik akan dilihat frekuensi jantung menurun menjadi (60 –
80x/menit), usaha nafas lambat, tonus otot baik, bayi masih bereaksi terhadap
rangsangan, bayi sianosis, tidak terjadi kekurangan O2 yang bermakna selama
proses persalinan
3. Asfiksia ringan atau vigorous baby dengan nilai APGAR 7-9.
Bayi dalam keadaan merintih, adanya retraksi sela iga, dengan nafas takipnea
(>60x/menit), bayi tampak sianosis, adanya pernafasan cupping hidung, bayi
kurang aktifitas, pada pemeriksaan auskultasi terdapat .ronchi, rales, dan wheezing.

4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10

Tabel 1.1 Nilai APGAR

B. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang
yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia
bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah (Gomella, 2009):

1. Faktor ibu
a. Pre-eklampsi dan eklampsi
b. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
c. Partus lama (rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
d. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus-menerus mengganggu
sirkulasi darah ke plasenta.
e. Perdarahan banyak: plasenta previa dan solutio plasenta
f. Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
2. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Towel (1966) dalam Prihanto (2014) menjelaskan bahwa terdapat


penggolongan terkait penyebab keagalan pernapasan (asfiksia) pada bayi, yaitu:

1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian
obat analgetika atau anestesia dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula
ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan:
1) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipertoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat
2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
3) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lainlain
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.
4. Faktor neonatus
Depresi tali pusat pernafasan bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu:
1) Pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung
dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin
2) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intracranial
3) Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasia paru dan lain-lain

C. Patofisiologi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan sebelum dan setelah persalinan. Selama
di dalam Rahim, janin mendapatkan oksigen dan nutrisi dari ibu melalui mekanisme
difusi melalui plasenta yang berasal dari ibu diberikan kepada darah janin. Sebelum
lahir, alveoli paru bayi menguncup dan berisi cairan. Paru janin tidak berfungsi sebagai
sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan CO2 (karbon dioksida) sehingga paru
tidak perlu diperfusi atau dialiri darah dalam jumlah besar.
Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan plasenta lagi sehingga akan
bergantung kepada paru sebagai sumber utama oksigen. Oleh karena itu, beberapa saat
setelah lahir paru harus segera terisi oksigen dan pembuluh darah paru harus berelaksasi
untuk memberikan perfusi pada alveoli dan menyerap oksigen untuk diedarkan ke
seluruh tubuh. 2
Biasanya BBL akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru hal
ini menyebabkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan interstisial di paru, sehingga
oksigen dapat diantarkan ke arteri pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika
keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap konstriksi dan pembuluh
darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen sehingga tidak dapat memberikan perfusi
ke organ-organ tubuh yang penting seperti otak jantung, ginjal, dan lain-lain. Bila
keadaan ini berlangsung lama maka akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
organ lain yang dapat menyebabkan kematian atau kecacatan.
Transisi dari kehidupan janin intrauterin ke kehidupan bayi ekstrauterin,
menunjukkan perubahan sebagai berikut. Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan
paru. Pada saat lahir dan bayi mengambil nafas pertama, udara memasuki alveoli paru
dan cairan paru diabsorbsi oleh jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya, udara
yang masuk ke dalam alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorbsi sehingga
kemudia seluruh alveoli berisi udara dan mengandung oksigen. Aliran darah paru
meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan oleh ekspansi paru yang membutuhkan
tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru
dan peningkatan tekanan oksigen alveoli, keduanya menyebabkan penurunan resistensi
vaskuler paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan
ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan duktus arteriosus.
Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan hipertensi pulmonal
persisten pada BBL (Persistent Pulmonary Hypertension of the Neonate), dengan aliran
darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relative. Ekspansi paru yang inadekuat
menyebabkan gagal napas.
Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan
oksigen. Pada periode awal, bayi akan mengalami pernapasan cepat (rapid breathing)
yang disebut gasping primer. Setelah periode awal ini akan diikuti dengan keadaan
bayi tidak bernapas (apnoe) yang disebut apnoe primer. Pada saat ini frekuensi jantung
mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada BBL,
maka bayi akan melakukan usaha napas megap-megap yang disebut gasping sekunder,
dan kemudian masuk dalam periode apnoe sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung
semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun dan dapat menyebabkan
kematian bila bayi tidak segera ditolong. Sehingga setiap menjumpai kasus dengan
apnoe, harus dianggap sebagai apnoe sekunder dan segela dilakukan reusitasi.

D. Manifesstasi Klinis
Depkes (2007) dalam Prihantoro (2014) menjelaskan bahwa asfiksia biasanya
merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau
bayi berikut ini:

1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-
otot jantung atau sel-sel otak
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan
darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama
proses persalinan
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas
tidak teratur/megap-megap
8. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
9. Penurunan terhadap spinkters
10. Pucat

E. Komplikasi
Puspitasari & Ayu (2017) menjelaskan bahwa asfiksia neonatorum dapat
menyebabkan komplikasi pasca hipoksia, diantaranya:

1. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ
vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih
banyak dibandingkan organ lain. Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena
penurunan resistensi vascular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya
asistensi vascular di perifer.
2. Faktor lain yang dianggap turut pula mengatur redistribusi vascular antara lain
timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai saraf
simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopressin.
3. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energy
bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis an aerobik.
Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruverat) menimbulkan
peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga
terjadilah asidosis metabolic. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara
bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.

F. Pemeriksaan Penunjang
Aminullah (2002) menjelaskan bahwa diagnosis gawat-janin sangat penting
untuk dapat menyelamatkan bayi. Selain itu kelahiran bayi yang telah menunjukkan
tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan asfiksia neonatorum, sehingga perlu
diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut. Untuk dapat menegakkan
gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan sebagai berikut:

1. Denyut jantung janin.


Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per menit; selama
his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekeunsi turun sampai di bawah 100 per menit di luar his, dan lebih-lebih
jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik
elektrokardiograf janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut
jantung dalam persalinan.
2. Mekonium di dalam air ketuban.
Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi – kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-
kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat
dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai
di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya.

Menurut Depkes (2008), adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan


untuk mengetahui asfiksia pada neonatus adalah sebagai berikut

1. Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada
darah tali pusat: PaO2 < 50 mm H2O PaCO2 > 55 mm H2 pH < 7,30.
2. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa:
a) Darah perifer lengkap
b) Pemeriksaan radiologi/foto dada
c) Analisis gas darah sesudah lahir
d) Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
e) Gula darah sewaktu
f) Pemeriksaan USG Kepala
g) Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
h) Pemeriksaan EEG
i) Ureum kreatinin
j) CT scan kepala
k) Laktat
G. Penatalaksanaan
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi
transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai
derajat resusitasi. Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan, yaitu:

1. Apakah bayi cukup bulan?


2. Apakah bayi bernapas atau menangis?
3. Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu.
Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan
satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan
1. Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam
keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan
eksplorasi seluruh tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi
menjadi hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa
kepustakaan merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan
seperti penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah
pemancar panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa
digunakan adalah alas penghangat
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan
pipa endotrakeal.
Gambar 1. Posisi kepala saat resusitasi

c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan


Aspirasi mekonium saat proses persalinan dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk
mencegah aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum
lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa
senter menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna
dalam mencegah aspirasi mekonium. Cara yang tepat untuk membersihkan
jalan napas adalah bergantung pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi
mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang
dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul
pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea
meliputi langkahlangkah pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke
dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan
daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion namun bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas
dilakukan seperti pada bayi tanpa mekoneum
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan
mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai
pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan
pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat
dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan
menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam
apnu primer akan bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang
berada dalam apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan
reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki
atau gosokan pada punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan
terus menerus memberikan rangsangan taktil. Keputusan untuk melanjutkan
dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda
vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu
untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan
untuk melanjutkan ke langkah berikutnya.

Gambar 2. Rangsangan taktil


2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
a. Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar
b. Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan
ventilasi harus sesuai.
c. Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
d. Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir,
membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm
H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat
diatur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.
e. Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan
bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi
seperti menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti
menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang
berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan
pneumothoraks.
f. Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman
ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke
dalam lambung.
g. Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan
stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa
bayi mendapat ventilasi yang benar

Gambar 3. Pemilihan sungkup untuk VTP


3. Kompresi dada
Teknik kompresi dada ada 2 cara:
a. Teknik ibu jari (lebih dipilih)
1) Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan
menopang punggung
2) Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten
3) Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner
b. Teknik dua jari
1) Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum,
tangan lainnya menopang punggung
2) Tidak tergantung
3) Lebih mudah untuk pemberian obat
c. Kedalaman dan tekanan
1) Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada
2) Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung
maksimum
d. Koordinasi VTP dan kompresi dada:
1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik
Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per
menit)
Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat, pelaku
kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga - pompa-…” (Prambudi, 2013).

Gambar 4. Kompresi dada


4. Intubasi Endotrakeal
a. Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi
1) Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah
2) Berikan O2 aliran bebas selama prosedur
b. Langkah 2: Memasukkan laringoskopi
1) Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah
2) Geser lidah ke sebelah kiri mulut
3) Masukkan daun sampai batas pangkal lidah
c. Langkah 3: Angkat daun laringoskop
1) Angkat sedikit daun laringoskop
2) Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya
3) Lihat daerah farings
4) Jangan mengungkit daun
d. Langkah 4: Melihat tanda anatomis
1) Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi glottis (huruf “V”
terbalik)
2) Tekan krikoid agar glotis terlihat
3) Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi
e. Langkah 5: Memasukkan pipa
1) Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa pada
arah horizontal
2) Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka
3) Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada di batas pita
suara
4) Batas waktu tindakan 20 detik (Jika 20 detik pita suara belum terbuka,
hentikan dan berikan VTP)
f. Langkah 6: mencabut laringoskop
1) Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea rah langitlangit mulut bayi,
cabut laringoskop dengan hati-hati.
2) Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet.

Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada
sangat mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ
multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut, bayi dirawat
di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan antisipasi terhadap
komplikasi.
5. Obat-obatan dan cairan:
a. Epinefrin
1) Indikasi:
a) Denyut jantung janin <60x/menit setelah paling tidak 30 detik dilakukan
ventilasi adekuat dan kompresi dada belum ada respon
b) Asistolik
2) Dosis: 0,1-0,3 ml/ kgBB dalam larutan 1:10.000 (0,001-0,003 mg/ kgBB)
3) Cara: IV dan endotrakeal, dapat diulang setiap 3-5 kali bila perlu.2
b. Cariran penganti volume darah
1) Indikasi: Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hypovolemia
dan tidak ada respon dengan resusitasi. Hypovolemia kemungkinan akibat
adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk,
nadi kecil/ lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang
adekuat
2) Jenis cairan:
a) Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, Ringer laktat)
b) Tranfusi darah golongan O negative jika diduga kehilangan darah
banyak dan bila fasilitas tersedia
3) Dosis: dosis awal 10 ml/ KgBB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang
sampai menunjukkan respon klinis.
c. Natrium Bikarbonat
1) Indikasi:Asidosis metabolik secara klinis (napas cepat dalam, sianosis)
2) Persyaratan: bayi telah dilakukan ventilasi secara efektif
3) Dosis: 2 mEq/KgBB atau 2 ml/ KgBB (4,2%) atau 1 ml/ KgBB (8,4%)
4) Cara: diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak
diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit yaitu 1mEq/
kgBB/ menit
5) Efek samping: pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari
bikarbonan merusak fungsi miokardium dan otak.
d. Nalokson
1) Indikasi:
a) Bila bayi tetap mengalami depresi napas setelah frekuensi jantung dan
warna kulit menjadi normal
b) Ibu mendapat obat narkotika pada 4 jam sebelum persalinan
2) Kontraindikasi: Bayi dari ibu yang diduga menggunakan narkotik karena
dapat menimbulkan withdrawl sign
3) Dosis: 0,1 mg/ kgBB diberikan secara intravena atau intramuscular. Setiap
bayi yang diberi nalokson karena depresi napas karena narkotik dimonitor
ketat beberapa jam.4
H. Pencegahan
1. Pencegahan secara umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin
dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan
wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah,
kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu dibutuhkan kerjasama
banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga
obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang
tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim
persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan
kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.14 Pada bayi
dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas
paru janin.
2. Antisipasi dini perlunya dilakukan resusitasi pada bayi yang dicurigai mengalami
depresi pernapasan untuk mencegah morbiditas dan mortilitas lebih lanjut
Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada
bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba.
Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang
tenaga terlatih dalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada
perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus
yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks. Dengan pertimbangan yang baik
terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi
dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis dapat mengantisipasi dengan
memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan peralatan resusitasi yang
diperlukan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental,
sosial dan lingkungan.Terdapat beberapa hal yang perlu dikaji untuk merusmuskan
masalah keperawatan yang tepat pada kasus asfiksia neonatorum, diantaranya:
a. Sirkulasi
1) Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.
2) Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45 mmHg (diastolik).
3) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di
kiri dari mediastinum pada ruang intercosta III/ IV.
4) Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama kehidupan.
5) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena.
b. Eliminasi
1) Dapat berkemih saat lahir.
c. Makanan/ cairan
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44 - 45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai gestasi)
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama
setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding,
edema, hematoma).
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek narkotik yang memanjang)
e. Pernafasan
1) Skor APGAR : 1 menit s/d 5 menit dengan skor optimal harus antara 7-10.
2) Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
3) Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada awalnya silindrik
thorak : kartilago xifoid menonjol, umum terjadi.
f. Keamanan
1) Suhu rentang dari 36,5º C sampai 37,5º C. Ada verniks (jumlah dan distribusi
tergantung pada usia gestasi).
2) Kulit : lembut, fleksibel, pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah
muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor
(misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin, petekie
pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan
kelahiran atau tanda nukhal), bercak portwine, nevi telengiektasis (kelopak
mata, antara alis mata, atau pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama
punggung bawah dan bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penempatan elektroda internal)
g. Analisa Data
1) Data Subyektif
a) Biodata atau identitas pasien : Bayi meliputi nama tempat tanggal lahir jenis
kelamin
b) Orangtua meliputi : nama (ayah dan ibu, umur, agama, suku atau kebangsaan,
pendidikan, penghasilan pekerjaan, dan alamat.
c) Riwayat kesehatan ibu dan janin
Riwayat antenatal a) Keadaan ibu selama hamil dengan anemia,
hipertensi, gizi buruk, merokok ketergantungan
obat-obatan atau dengan penyakit seperti
diabetes mellitus, kardiovaskuler dan paru.
b) Kehamilan dengan resiko persalinan preterm
misalnya kelahiran multipel, inkompetensia
serviks, hidramnion, kelainan kongenital,
riwayat persalinan preterm.
c) Pemeriksaan kehamilan yang tidak
kontinyuitas atau periksa tetapi tidak teratur dan
periksa kehamilan tidak pada petugas
kesehatan.
d) Gerakan janin selama kehamilan aktif atau
semakin menurun.
e) Hari pertama hari terakhir tidak sesuai dengan
usia kehamilan (kehamilan postdate atau
preterm).
Riwayat Natal a) Kala I: ketuban keruh, berbau, mekoneal,
perdarahan antepartum baik solusio plasenta
maupun plasenta previa
b) Kala II: persalinan lama, partus kasep, fetal
distress, ibu kelelahan, persalinan dengan
tindakan (vacum ekstraksi, forcep ektraksi).
Adanya trauma lahir yang dapat mengganggu
sistem pernafasan. Persalinan dengan tindakan
bedah caesar, karena pemakaian obat penenang
(narkose) yang dapat menekan sistem pusat
pernafasan
Riwayat Post Natal a) Apgar skor bayi baru lahir 1 menit pertama dan
5 menit kedua AS (0-3) asfiksia berat, AS (4-6)
asfiksia sedang, AS (7-10) asfiksia ringan.
b) Berat badan lahir : kurang atau lebih dari normal
(2500-4000 gram). Preterm/BBLR < 2500
gram, untu aterm  2500 gram lingkar kepala
kurang atau lebih dari normal (34-36 cm).
c) Adanya kelainan kongenital : Anencephal,
hirocephalus anetrecial aesofagal.
2) Pola nutrisi
Bayi dengan post asfiksia berat gangguan perlu dikaji terkait absorbsi
gastrointentinal, muntah aspirasi, kelemahan menghisap sehingga perlu
diberikan cairan parentral atau personde sesuai dengan kondisi bayi untuk
mencukupi kebutuhan elektrolit, cairan, kalori dan juga untuk mengkoreksi
dehidrasi, asidosis metabolik, hipoglikemi disamping untuk pemberian obat
intravena.

Tabel kebutuhan nustrisi BBL


Kebutuhan parenteral

Bayi BBLR < 1500 gram menggunakan D5%

Bayi BBLR > 1500 gram menggunakan D10%

Kebutuhan nutrisi enteral

BB < 1250 gram = 24 kali per 24 jam

BB 1250 - < 2000 gram = 12 kali per 24 jam

BB > 2000 gram = 8 kali per 24 jam

Kebutuhan minum pada neonatus :

Hari ke 1 = 50-60 cc/kg BB/hari

Hari ke 2 = 90 cc/kg BB/hari

Hari ke 3 = 120 cc/kg BB/hari

Hari ke 4 = 150 cc/kg BB/hari

Dan untuk tiap harinya sampai mencapai 180 – 200 cc/kg BB/hari

3) Pola eliminasi
a) BAB : frekwensi, jumlah, konsistensi.
b) BAK : frekwensi, jumlah

4) Latar belakang sosial budaya


Kebudayaan yang berpengaruh terhadap kejadian asfiksia, kebiasaan ibu
merokok, ketergantungan obat-obatan tertentu terutama jenis psikotropika.
Kebiasaan ibu mengkonsumsi minuman beralkohol, kebiasaan ibu melakukan
diet ketat atau pantang makanan tertentu.
5) Hubungan psikologis
Sebaiknya segera setelah bayi baru lahir dilakukan rawat gabung dengan ibu
jika kondisi bayi memungkinkan. Hal ini berguna sekali dimana bayi akan
mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta dapat mempererat hubungan
psikologis antara ibu dan bayi. Lain halnya dengan asfiksia karena memerlukan
perawatan yang intensif
6) Data Obyektif
Data obyektif adalah data yang diperoleh melalui suatu pengukuran dan
pemeriksaan dengan menggunakan standart yang diakui atau berlaku.
a) Keadaan umum
Pada neonatus post asfiksia berat, keadaannya lemah dan hanya
merintih. Keadaan akan membaik bila menunjukkan gerakan yang aktif dan
menangis keras. Kesadaran neonatus dapat dilihat dari responnya terhadap
rangsangan. Adanya BB yang stabil, panjang badan sesuai dengan usianya
tidak ada pembesaran lingkar kepala dapat menunjukkan kondisi neonatus
yang baik.
b) Tanda-tanda Vital
Neonatus post asfiksia berat kondisi akan baik apabila penanganan
asfiksia benar, tepat dan cepat. Untuk bayi preterm beresiko terjadinya
hipothermi bila suhu tubuh < 36 C dan beresiko terjadi hipertermi bila suhu
tubuh < 37 C. Sedangkan suhu normal tubuh antara 36,5C – 37,5C, nadi
normal antara 120-140 kali per menit respirasi normal antara 40-60 kali
permenit, sering pada bayi post asfiksia berat pernafasan belum teratur.
7) Data Penunjang
Data penunjang pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam
menegakkan diagnosa atau kausal yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat
yang tepat.

Pemeriksaan darah Nilai darah lengkap  Hb (normal 15-19 gr%)


pada bayi asfiksia biasanya pada bayi dengan
terdiri asfiksia Hb cenderung turun
karena O2 dalam darah
sedikit.
 Leukositnya lebih dari 10,3
x 10 gr/ct (normal 4,3-10,3 x
10 gr/ct) karena bayi preterm
imunitas masih rendah
sehingga resiko tinggi.
 Trombosit (normal 350 x 10
gr/ct)
 Distrosfiks pada bayi
preterm dengan post asfiksi
cenderung turun karena
sering terjadi hipoglikemi.
Nilai analisa gas darah  pH (normal 7,36-7,44).
pada bayi post asfiksi Kadar pH cenderung turun
terjadi asidosis metabolik.
 PCO2 (normal 35-45
mmHg) kadar PCO2 pada
bayi post asfiksia cenderung
naik sering terjadi
hiperapnea.
 PO2 (normal 75-100
mmHg), kadar PO2 pada
bayi post asfiksia cenderung
turun karena terjadi hipoksia
progresif.
 HCO3 (normal 24-28
mEq/L)
Pemeriksaan urine Nilai serum elektrolit  Natrium (normal 134-150
pada bayi post asfiksia mEq/L)
 Kalium (normal 3,6-5,8
mEq/L)
 Kalsium (normal 8,1-10,4
mEq/L)
Photo thorax - Pulmonal tidak tampak
gambaran, jantung ukuran
normal

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan cairan pada
paru
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan asidosis respiratorik
c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penyakit asfiksia
d. Resiko ketiakseimbangan suhu tubuh
e. Resiko syok
3. Rencana/Intervensi Keperawatan
No Diagnosa keperawatan NOC NIC

1 Ketidakefektifan bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan nafas:
napas berhubungan dengan eksudat selama …x 24 jam, diharapkan a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dalam alveoli ketidakefektifan bersihan jalan napas b. Pemberian CPAP
dapat diatasi dengan kriteria hasil sebagai c. Posisikan untuk mengurangi sesak napas
berikut: d. Monitor status pernapasan, oksigenasi, sebagaimana
Status Pernapasan: kepatenan jalan mestinya
napas
a. Frekuensi pernapasan dalam batas Penghisapan lendir:
normal a. Tentukan perlunya suction mulut atau trakea
b. Irama pernapasan dalam batas normal b. Auskultasi suara napas sebelum dan setelah tindakan
c. Sekret dapat berkurang suction
c. Berikan sedative sebagaimana mestinya
d. Masukkan nasopaharingeal airway untuk melakukan
suction nasotracheal
e. Biarkan pasien tersambung ke ventilator selama
prosedur suksion jika menggunakan suksion tertutup
dan jika perangkat adaptor insulflasi oksigen sedang
digunakan
f. Monitor adanya nyeri
g. Monitor status oksigenasi pasien, status neurologis,
status mental, tekanan intracranial, tekanan perfusi
serebral dan status hemodinamik
h. Lakukan suction ororfaring setelah menyelesaikan
suction trachea
i. Monitor dan catat warna, jumlah dan konsitensi
secret
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Asam Basa: Alkalosis Respiratorik
berhubungan dengan selama ..x 24 jam, diharapkan ganguan a. Pertahankan jalan napas
ketidakseimbangan ventilasi- pertukaran gas dapat diatasi dengan b. Monitor pola napas
kriteria hasil sebagai berikut: c. Pertahankan akses intravena
perfusi
Status pernapasan: pertukaran gas d. Sediakan sungkup oksigen untuk membuat pasien
a. pH arteri dalam batas normal hiperventilasi, sesuai dengan kebutuhan
b. Saturasi oksigen dalam batas normal e. Kelola cairan parenteral untuk mengurangi HCO 3
c. PO2 (tekanan parsial oksigen dalam letola mengoreksi penyebab alkalosis respiratorik
darah) dalam baras normal sesuai dengan kebutuhan
d. PCO2 (tekanan parsial karbondioksida f. Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, dan
dalam darah) dalam batas normal HCO3
g. Monitor AGD dan kadar elektrolit darah dan urin,
sebagaimana mestinya.
h. Monitor cairan masuk dan keluar (Balance Cairan)
i. Sediakan terapi oksigen jika diperlukan

Terapi Oksigen
a. Pertahankan kepatenan jalan napas
b. Siapkan peralatam oksigen dan berikan melalui
humidifier
c. Berikan oksigen tambahan sesuai yang
diperintahkan
d. Monitor aliran oksigen
e. Monitor posisi perangkat (alat) pemberian oksigen
f. Monitor efektivitas pemberian terapi oksigen
(misalnya, tekanan oksimetri, ABGs) dengan tepat
g. Pantau adanya tanda-tanda keracunan oksigen dan
kejadian ateletaksis
h. Sediakan oksigen ketika bayi dipindahkan
3 Ketidakefektifan pola napas Setelah dilakukan intervensi selama 4x24 Manajemen jalan napas:
jam nyeri berkurang atau teratasi dengan
kriteria hasil: a. buka jalan napas dengan teknik chin lift atau jaw
a. frekuensi pernapasan dalam batas thrust, sebagai mana mestinya
normal b. posisiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
b. irama pernapasan dalam batas normal c. identifikasi kebutuhan actual/potensial pasien untuk
c. kedalaman inspirasi dalam batas
memasukan alat membuka jalan napas
normal
d. suara auskultasi nafas dalam batas d. masukkan alat nasopharyngeal airway (NPA) atau
normal orpharyngeal airway (OPA), sebagaimana mestinya
e. kepatenan jalan napas e. lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
f. volume tidal f. buang sekret dengan memotivasi pasien untukk
g. pencapaian tingkatt insentif spinometri melakukan batuk atau menyedot lender
h. kapasitas vital g. motivasi pasien untuk bernapas pelan, dalam,
i. saturasi oksigen dalam batas normal
berputar, dan batuk
j. tes faal paru
h. instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk
efektif
i. bantu dengan dorongan spirometer, sebagaimana
mestinya
j. auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya
menurun atau tidak ada dan adanya suara tambahan
k. lakukan penyedotan melalui endotrakea atau
nasotrakea, sebagaimana mestinya\
l. kelola pemberian bronkodilator, sebagaimana
mestinya
m. ajarkan pasien bagaimana menggunakan inhaler
sesuai resep, sebagaimana mestinya
n. kelola pengobatan aerosol, sebagaimana mestinya
o. kelola nebulizer ultrasonik, sebagaimana mestinya
p. regulasi asupan cairan untukk mengoptimalkan
keseimbangan cairan
q. posisikan untuk meringankan sesak napas
r. monitor status pernapasan dan oksigen,
sebagaimana mestinya

Monitor pernapasan
a. monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan
bernapas
b. catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu napas, dan retraksi pada
otot supraclaviculas dan interkosta
c. monitor suara napas tambahan seperti ngorok atau
mengi
d. Monitor pola napas (misalnya, bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, pernapasan kusmaul, pernapasan 1:1,
apneustik, respirasi biot, dan pola ataxic)
e. monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi
(seperti, SaO2, SvO2, SpO2) sesuai dengan protokol
yang ada
f. pasang sensor pemantauan oksigen non-invasif
(misalnya, pasang alat pada jari, hidung, dan dahi)
dengan mengatur alarm pada pasien berisiko tinggi
(misalnya, pasien yang obesitas, melaporkan pernah
mengalami apnea saat tidur, mempunyai riwayat
penyakit dengan terapi oksigen menetap, usia
ekstrim) sesuai dengan prosedur tetap yang ada
g. palpasi kesimetrisan ekspansi paru
h. perkusi torak anterior dan posterior, dari apeks ke
basis paru, kanan dan kiri
i. catat lokasi trakea
j. auskultasi suara napas, catat area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya ventilasi dan
keberadaan suara napas tambahan
k. kaji perlunya penyedotan, pada jalan napas dengan
auskultasi suara napas ronki di paru
l. auskultasi suara napas setelah tindakan, untuk dicatat
m. monitor nilai fungsi paru, terutama kapasitas vital
paru, volume inspirasi maksimal, volume ekspirasi
maksimal selama 1 detik (FEVI) dan FEVI/FVC
sesuai dengan data yang tersedia
n. monitor hasil pemeriksaan ventilasi mekanik, catat
peningkatan kelelahan, kecemasan, dan kekurangan
udara pada pasien
o. catat perubahan pada saturasi O2, volume tidal akhir
CO2, dan perubahan nilai analisa gas darah dengan
tepat
p. monitor kemampuan batuk efektif pasien
q. catat onset, karakteristik, dan lamanya batuk
r. monitor sekresi pernapasan pasien
s. monitor secara ketat pasien-pasien yang berisiko
tinggi mengalami gangguan respirasi (misalnya,
pasien dengan terapi opioid, bayi baru lahir, pasien
dengan ventilasi mekanik, pasien dengan luka bakar
wajah dan dada, gangguan neuromuscular)
t. monitor keluhan sesak napas pasien, termasuk
kegiatan yang meningkatkan atau memperburuk
sesak napas tersebut
u. monitor suara serak dan perubahan suara tersebut
setiap jam pada pasien luka bakar
v. monitor suara krepitasi pada pasien
w. monitor hasil foto thoraks
x. buka jalan napas dengan menggunakan maneuver
chin lift atau jaw thrust dengan tepat
y. posisikan pasien miring kesamping,, sesuai indikasi
untuk mencegah aspirasi, lakukan teknik log roll,
jika pasien diduga mengalami cedera leher
z. berikan bantuan resusitasi jika diperlukan
aa. berikan bantuan terapi napas jika diperlukan
(misalnya, nebulizer)

4 Resiko ketidakseimbangan suhu Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pengaturan Suhu


tubuh selama …. X 24 jam, diharapkan a. Monitor suhu paling tidak setiap dua jam sekali
ketidakseimbangan suhu tubuh tidak sesuai kebutuhan
terjadi dengan kriteria hasil sebagai b. Monitor suhu bayi baru lahir sampai stabil
berikut: c. Pasang alat mpnitor suhu inti secara kontinu sesuai
Termoregulasi: Bayi Baru Lahir kebutuhan
a. Berat badan dalam batas normal d. Monitor tekanan darah, nadi, respirasi, sesuai
b. Suhu tubuh bayi dalam batas normal kebutuhan
c. Takipnea tidak terjadi e. Monitor suhu dan warna kulit
d. Bayi dapat dipindahkan dari incubator f. Monitor dan laporkan adanya tanda dan gejala dari
ke box bayi biasa hipotermia dan hipertermia
g. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi adekuat
h. Selimuti bayi segera setelah lahir untuk mencegah
kehilangan panas
i. Selimuti bayi berat badan lahir rendah dengan
selimut berbahan plastic
j. Berikan topi stokinette untuk mencegah kehilangan
panas pada bayi baru lahir
k. Tempatkan bayi baru lahir di bawah penghangat, jika
diperlukan
l. Pertahankan kelembaban pada 50% atau lebih besar
dalam incubator untuk mencegah hilangnya panas
m. Sebelumnya, hangatkan (misalnya selimut) yang
ditempatkan dalam incubator
n. Sesuaikan suhu lingkungan untuk kebutuhan pasien
5 Resiko Syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan Syok prevention
selama … x 24 jam tidak terjadi syok a. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu
dengan kriteria hasil : kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi perifer,
dan kapiler refill.
 Nadi dalam batas yang diharapkan b. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
 Irama jantung dalam batas yang c. Monitor suhu dan pernafasan
diharapkan d. Monitor input dan output
 Frekuensi nafas dalam batas yang e. Pantau nilai labor : HB, HT, AGD dan elektrolit
diharapkan f. Monitor hemodinamik invasi yng sesuai
 Irama pernapasan dalam batas yang g. Monitor tanda dan gejala asites
diharapkan h. Monitor tanda awal syok
 PH darah serum dalam batas normal i. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi
a. Indicator : untuk peningkatan preload dengan tepat
b. Mata cekung tidak ditemukan j. Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
c. Demam tidak ditemukan k. Berikan cairan IV dan atau oral yang tepat
d. Tekanan darah dalam batas normal l. Berikan vasodilator yang tepat
e. Hematokrit dalam batas norma m. Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan
gejala datangnya syok
n. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala syok
Syok management
a. Monitor fungsi neurotogis
b. Monitor fungsi renal (e.g BUN dan Cr : Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan, input, output
e. Catat gas darah arteri dan oksigen
f. dijaringan
g. Monitor EKG, sesuai
h. Memanfaatkan pemantauan jalur arteri untuk
meningkatkan akurasi pembacaan tekanan darah,
sesuai
i. Menggambar gas darah arteri dan memonitor
jaringan oksigenasi
j. Memantau tren dalam parameter hemodinamik
(misalnya, CVP, MAP, tekanan kapiler pulmonal
/ arteri)
k. Memantau faktor penentu pengiriman jaringan
oksigen (misalnya, PaO2 kadar hemoglobin
SaO2, CO), jika tersedia
l. Memantau tingkat karbon dioksida sublingual dan
/ atau tonometry lambung, sesuai
m. Memonitor gejala gagal pernafasan (misalnya,
rendah PaO2 peningkatan PaCO2 tingkat,
kelelahan otot pernafasan)
n. Monitor nilai laboratorium (misalnya, CBC
dengan diferensial) koagulasi profil,ABC, tingkat
laktat, budaya, dan profil kimia)
o. Masukkan dan memelihara besarnya kobosanan
akses IV

Lampiran I Pathway FAKTOR MATERNAL FAKTOR PLASENTA FAKTOR UTERUS FAKTOR JANIN
 Hipoksia DAN TALI PUSAT  Gangguan vaskular  Presentasi abnormal
 Anemia maternal  Solusio plasenta  Aktivitas kontraksi  Infeksi
 Penyakit paru  Kompresi tali pusat memanjang/  Anemia janin
 Malnutrisi  Simpul mati, lilitan tali hiperaktivitas  Perdarahan
 Asidosis dan dehidrasi pusat  Trauma persalinan
 Hipoventilasi  Stenosis saluran napas

Aliran darah menuju plasenta


berkurang
Transport O2 & nutrisi janin tidak
cukup Gangguan pertukaran gas
Pembuangan CO2 terganggu

Metabolisme anaerob Gangguan perfusi


ventilasi
Timbunan asam laktat dan piruvat
Asidosis
Asidosis
respiratorik
ASFIKSIA
Gangguan
Pola napas tidak metabolisme
efektif Janin kekurangan O2 asam basa
dan kadar CO2
meningkat Paru-paru terisi Bersihan jalan napas
cairan tidak efektif
Pernapasan cepat Suplai O2 ke Suplai O2 Rangsangan n. vagus
otak ↓ dalam darah ↓ Janin mengadakan
Apneu pernapasan intrauterin
Kerusakan
DJJ dan TD ↓ otak Resiko DJJ lambat
DJJ↑, Irreguler dan
ketidakseimbangan
Janin tidak bereaksi menghilang
Resiko syok suhu tubuh
terhadap rangsangan n. vagus tidak dapat
Rangsangan n. simpatikus
mengkompensasi lagi
Kematian
bayi
Lampiran II

Alur Resusitasi pada Neonatus


Daftar Pustaka

Aminullah, A. 2002. Asfiksia Neonatorum. Dalam; Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, hal. 711.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.

Depkes RI. (2008). Diakses pada halaman


http://ejournal.stikesmucis.ac.id/assets/dokumen/Pencegahan%20Dan%20Penatalaksa
naan%20Asfiksia%20Neonatorum.pdf pada tanggal 24 Maret 2019

Ghai, dkk. (2010). Pencegahan Dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Health


Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gomella Lacy, T. (2009). Neonatology : Management, Procedures, On-Call Problems,


Diseases, and Drugs. United States of America : The McGraw-Hill Companies,Inc.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses: Defenitions
and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier

Prambudi, R. 2013. Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah


Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 115 – 31.

Prihantoro, F. H. (2014). Hubungan kehamilan lewat waktu dan bayi prematur dengan
kejadian asfiksia neonatorum di Ruang Kebidanan RSUD Dr Arief Dadi Tjokrodipo
Bandar Lampung. Lampung: Universitas Lampung.

Puspitasari & Ayu, M. (2017) Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Bayi Baru Lahir Pada
Bayi. Ny. M Dengan Asfiksia Sedang Di Rs. Roemani Semarang. Diploma thesis,
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Tasmono, H. (2007). Distribusi Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya yang Diperiksa di
Instalasi Kedokteran Forensik RSSA. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang.

You might also like