You are on page 1of 13

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KONSEP DAN PRINSIP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Dosen Pembimbing: Ns. Kartika Yanidrawati, S. Kep, M. KM

Disusun oleh:

Tingkat III A
Kelompok 2

1. Devi Maria Ulvah (34403015144)


2. Elena Maulidha Isro’ia (34403015151)
3. Muhammad Iqbal Fanani (34403015171)
4. Sinta Kumala Devi (34403015190)

Akademi Keperawatan Jayakarta


Provinsi DKI Jakarta
2018
Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat tepat waktu.
Makalah ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ns. Ai Siti Sutilah, S. Kep, M. Kes selaku koordinator Keperawatan Gawat Darurat,
2. Ns. Kartika Yanidrawati, S. Kep, M. Kes selaku dosen Keperawatan Gawat Darurat,
3. Semua pihak yang turut membantu pembuatan makalah ini yang tidak bisa penyusun
sebutkan satu persatu.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca untuk kemajuan makalah ini di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk pembaca.

Jakarta, 23 Januari 2018

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................... i


Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Keperawatan Gawat Darurat .....................................................................................3
2.2 Prinsip Keperawatan Gawat Darurat ........................................................................4
2.3 Kode Emergency di Rumah Sakit .............................................................................6
2.4 Code Blue.................................................................................................................11
2.5 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu ..............................................................29
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................37
3.2 Saran ......................................................................................................................38
Daftar Pustaka

ii
A. Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang dirancang untuk
memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk mencegah
kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat didipertahankan
setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu pada pertolongan harus
cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat maka harus ditangani secara
bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen penolong atau pertolongan. Ini berarti
penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi profesi dan multi sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelarnatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan

Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi, Fase Pra
Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan
dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang memadai. Beberapa referensi
ada pula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu : sistem
pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar
rumah sakit. Ketiga subsistem ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada
pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah frekuensi
kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan dampaknya.
Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi,
1
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda motor yang
dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety Belt”, tempat kejadian tersering dijalan
raya yang padat atau dijalan protocol, korban kecelakaan mengalami luka
mengalami luka diberbagai tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait
dengan bencana alam, maka dapat diprediksi : daerah rawan gempa, frekuensi
gempa, jenis bangunan yang sering hancur, kelompok korban, dan jenis bantuan
tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga
kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan dapat
berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien Gawat Darurat
Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan Jantung dan CADR
(Community action & Disaster Response ) untuk pengawal pribadi, pasukan
keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam ; atau pelatihan Dasi pena
(Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka, pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan atau terjadi
bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita dapat melakukan
supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan korban gawat darurat
dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan kontruksi jalan, peningkatan
pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui
UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan
keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan
daerah bencana.

c. Fase Pra Rumah Sakit


Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu: akses
masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas
terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat darurat. Pada fase
ini keberhasilan korban gawat darurat salah satunya bergantung adanya akses.
Akses dari masyarakat kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau
masyarakat tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah
Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu
2
memiliki nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan bantuan
pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat diantaranya : polisi,
pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang
dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag belum ada
komunikasi telepon, akses dapat berupa : bedug, kentongan, asap, radio
komunikasi, atau hamdphone.
1) Komunikasi
Lalulintas komunikasi yang vital diperlukan dalam penanggulangan bencana
diantaranya mencakup : pusat komunikasi ke ambulan, pusat komunikasi ke
rumah sakit, pusat komunikasi ke instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan,
ambulan ke rumah sakit, masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau
pelayanan kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan informasi,
memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando penanggulangan
bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun internasional. Di pusat
komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”, yaitu mereka yang menemukan
korban kali pertama, atau yang memberikan pertolongan pertama. “orang
awam” ini dapat dilatih, sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus
yang terorganisir dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa
sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang taruna.
Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai penolong
pertama. Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan pendidikan
pertolongan pertama sebelum lulus dari SLTP dan pertolongan pertama lanjutan
sebelum lulus dari SLTA atau sebelum mendapat SIM, maka kita dapat
memastikan bahwa dalam dua generasi yang akan datang, tiap orang di tempat
kecelakaan atau pada penyakit akut akan lebih sanggup menyelamatkan nyawa
dan extremitas sampai tiba bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara minta tolong,
cara memberikan bantuan hidup dasar, cara menghentikan perdarahan, cara
memasang balut bidai, cara mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan
untuk awam khusus dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang
3
diemban setiap hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai
biomekanik kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi.
Dengan demikian korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba ditempat korban dalam
waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian. Kematian dapat terjadi
karena sumbatan jalan napas, henti napas, henti jantung, dan perdarahan massif.
Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta diperlukan
ambulan sepeda motor. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi respon time.
Selanjutnya bila sudah distabilkan maka tinggal menunggu mobil ambulan
untuk dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah sakit lapangan
dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit pelayanan bencana maka ambulan
sepeda motor gawat darurat perlu meningkatkan jalinan komunikasi dengan
pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan peran Puskesmas
keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar yang diajukan seperti
Orotracheal Tube dan Suction untuk membebaskan jalan napas (airway),
Oksigen dan Bag and Mask untuk membantu pernafasan (breathing), balut cepat
dan dan infus untuk membantu mempertahankan sirkulasi yang baik
(circulation), dan bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan traksi
untuk membantu bila ada hendaya (disability).
Di Indonesia terdapat lebih dari 2000 rumah sakit dengan UGD yang bervariasi
dan belum ada koordinasi dalam penanggulangan korban gawat darurat maupun
penanggulangan bencana. Masing-masing berusaha untuk mendapat citra
eksklusif sehingga pelayanan kesehatan menjadi mahal apalagi bila korban tidak
memiliki asuransi ataupun tidak ada keluarga yang mendampingi, maka
kemungkinan akan terlantar. Keadaan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga
terjadi di Negara maju seperti di Amerika Serikat sebelum tahun 1990-an. Pada
tahun 1976 setelah Perang Vietnam selesai para dokter dan perawat kembali dan
mengembangkan sistem penanggulangan pasien gawat darurat (PPGD) sesuai
dengan pengalaman mereka di Vietnam.
4
Pada waktu itu, fase pra rumah sakit di USA dikembangkanlah perusahaan-
perusahaan pelayanan ambulan. Akibatnya terjadi persaingan yang tidak sehat,
mahal dan saling menghancurkan sehingga banyak AGD yang bangkrut. Rumah
sakit juga saling berlomba membentuk Trauma Center dengan prinsip “The
Right Patient To The Right Hospital By The Right Surgeon”, sehingga sering
terjadi keterlambatan karena Ahli Bedah tidak ditempat. Baru tahun 1990
Amerika Serikat menyadari kesalahan ini dan mengubah sistem PPGD menjadi
“inklusif sistem”.
Sistem ini menjamin bahwa semua korban gawat darurat akan mendapat
pelayanan dan penanggulangan yang optimum pada fasilitas yang sesuai dengan
berat cederanya. Sistem ini memanfaatkan semua sarana Pra RS dan UGD yang
ada di kota dan daerah yang menjadi satu kesatuan secara terpadu. Sejak tahun
1990-an, pada fase pra RS semua Ambulan Gawat Darurat dihimpun dibawah
satu sistem di Amerika Serikat adalah 911.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus dilakukan
rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan sosial. Hal ini
perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam kehidupan
bermasyarakat. Pada fase rehabilitasi melibatkan berbagai disiplin ilmu, dengan
harapan terjadi re-orientasi terhadap kehidupannya sesuai kondisinya saat ini.

Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:


a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit dan sistem
pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra rumah sakit
terdapat public safety center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana,
Pelayanan Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang
belum digarap secara serius oleh pemerintah.
b. Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan sistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah penyediaan sarana,
prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus tersedia unit
kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap, laboratorium,
Xray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang penunjang yang lainnya serta kamar
mayat, dan lainnya.
5
Dalam pelaksanaan pelayanan medic di rumah sakit untuk korban bencana
diperlukan : hospital Disaster Plan, Unit Gawat Darurat, Brigade Siaga Bencana
Rumah Sakit, High Care Unit, dan kamar jenazah.
c. Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem pelayanan kesehatan
antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan
kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada bencana bila
ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini semua sangat
berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang tersedia di rumah
sakit tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan pelayanan yang baik
memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh SDM yang terlatih dan
khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan kesehatan antar rumah
sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi dan rujukan, dan pengelolaan
lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
2. Tujuan pelayanan gawat darurat
Kondisi pelayanan gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre hospital maupun
in hospital ataupun post hospital. Oleh karena itu tujuan dari pertolongan gawat
darurat dalam kaitannya dengan rentang kegawatdaruratan dapat terbagi menjadi 3
yaitu:

a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta dalam setiap
waktu, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun petugas kesehatan
diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan kondisi kegawatdaruratan yang
berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang berisiko
menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang menggantung atau
dicurigai masih terdapat bom. Petugas kesehatan hanya boleh memberikan
pertolongan apabila kondisi sudah aman dari risiko jatuhnya korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban gawat darurat
serta memberikan pertolongan pertama sebelum petugas kesehatan yang lebih
ahli dating untuk membantu.
6
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan melalui
pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh petugas
kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas kesehatan di dalam
sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan pertolongan di rumah sakit adalah
adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai dengan
kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.

c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir sudah tidak
ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat ada yang terjadi
justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu korban perkosaan. Karena
mengalami trauma psikis yang mendalam, misalnya merasa tidak berharga, harga
diri rendah, malu dan tidak punya harapan sehingga korban-korban perkosaan
mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan
pelayanan dalam rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh dan
berkembang.

7
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang terdekat dan
masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa yang akan
datang

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera atau sakit
akut yang membutuhkan intervensi segera untuk menyelamatkan nyawa atau
mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat
darurat merupakan pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya kematian atau kecacatan.

8
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus
dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang
awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit
karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
Code blue addalah isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang menandakan
adanya seseorang yang menandakan mengalami seragan jantung ( Cardiac Arrest )
gagal nafas akut (Respiratory Arrest).Code Blue merupakan stabilisasi kondisi
gawat darurat medis yang terjadi di dalam area sakit. Kondisi darurat medis ini
membutuhkan perhatian segera. Code blue terdiri dari dokter dan paramedis untuk
menangani seseorang dengan penyakit jantung ( cardiac arrest ) atau respiratory
arrest dan membutuhkan resusitasi jantung dan paru segera.
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang dirancang
untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat darurat untuk
mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga produktifitasnya dapat
didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.

B. Saran
Kegawatdaruratan harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap
orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis,
dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi
setiap saat dan menimpa siapa saja.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Fredy. 2006. Kumpulan Materi Mata Kuliah Gadar. Diakses pada tanggal 18
Januari 2018
Boswick, John A. 1997. Perawatan Gawat Darurat (Emergency Care). Jakarta : EGC
Institute For Clinical Systems Improvement. 2011. Health Care Protocol: Rapid
Response TeamDiakses tanggal 17 Januari 2018
Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada
tanggal 18 Januari 2018
Panduan Implementasi Kode-Kode Emergency Rumah Sakit Islam Siti Rahmah. 2014.
9
RSI Siti Rahmah
Panduan Penggunaan Troli Emergency. 2016. Yusrendra
Royal Brisbane and Women’s Hospital Health Service District. 2007. Kode Biru
Manual. Diakses pada tanggal 17 Januari 2018
Saed, MD & Amin, Mohd. 2011. Code Blue System. Diakses tanggal 17 Januari
2018
Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB
Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat

10

You might also like