Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit diare menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
penting karena merupakan penyumbang utama ketika angka kesakitan dan kematian
anak di berbagai Negara termasuk Indonesia. Diperkirakan lebih dari 1,3 milyar
serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita disebabkan oleh diare. Diare
adalah perubahan frekuensi dan konsitensi tinja. WHO pada tahun 1984
mendefinisikan diare sebagai berak air tiga kali atau lebih dalam sehari semalan (24
jam) para ibu mungkin mempunyai istilah tersendiri seperti lembek, cair, berdarah,
berlendir, atau dengan muntah (muntaber). Penting untuk menanyakan kepada
orang tua mengenai frekuensi dan konsitensi tinja anak yang dianggap sudah tidak
normal. Diare merupakan penyebab utama kematian anak-anak berusia kurang dari
lima tahun (balita) secara global (Pahwa, 2010). Sekitar lima juta anak di seluruh
dunia meninggal karena diare akut. Di Indonesia pada tahun 70-80 an, prevalensi
penyakit diare sekitar 200-400/1000 penduduk pertahun, dari angka prevalensi
tersebut 70-80% menyerang anak di bawah usia lima tahun (balita). Golongan umur
ini mengalami 2-3 episode diare pertahun, diperkirakan kematian anak akibat diare
sekitar 200-250 ribu setiap tahunnya.
Diare dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keadaan
lingkungan dan perilaku masyarakat (Widoyono, 2008). Kebiasaan yang
berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman
diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah
buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak
menurunkan angka kejadian diare sebesar 47% (Kemenkes RI, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari penyakit diare?
1
2. Bagaimana etiologi dan cara penularan pada diare?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya diare?
4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit diare?
5. Sebutkan stadium demam pada diare?
6. Apa saja komplikasi dan pemeriksaan penunjang pada diare?
7. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada diare?
8. Bagaimana monitoring pemberian cairian pada diare?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada diare?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan tropis infeksi menular akibat bakteri pada
diare.
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui konsep dasar penyakit diare.
2
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
Diare menurut Mansjoer (2000) adalah frekuensi defekasi encer lebih dari 3
x sehari dengan atau tanpa daerah atau tinja yang terjadi secara mendadak
berlangsung kurang dari tujuh hari yang sebelumnya sehat.
Diare adalah keadaan buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan
konsistensi cair atau lunak (NANDA, 2015).
Diare merupakan salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
di negara yang sedang berkembang dengan kondisi sanitasi lingkungan yang
buruk, persediaan air yang tidak adekuat, kemiskinan, dan pendidikan yang
terbatas (WHO, 2013).
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu
buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
3
2. Infeksi Parenteral : Infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti Tonsilitis,
broncopneumonia, Ensefalitis, meliputi :
a. Faktor Malabsobsi : karbohidrat, lemak, protein
b. Faktor makanan : basi, racun, alergi.
c. Faktor psikologis : rasa takut dan cemas.
Cara Penularan
C. Manifestasi Klinik
Diare akut sering disertai dengan tanda dan gejala klinik lainnya seperti
muntah, demam, dehidrasi dan gangguan elektrolit. Keadaan ini merupakan gejala
infeksi dan disebabkan oleh bakteri, virus dan parasite perut. Diare juga dapat
terjadi bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya seperti malaria dan campak,
begitu juga dengan keracunan kimia. Perubahan flora usus yang dipicu antibiotic
dapat menyebabkan diare akut karena pertumbuhan berlebihan dan toksin dari
Clostridium diffeciel.
Beberapa tanda dan gejala tentang diare menurut Suriadi (2001) antara lain:
4
3. Kram abdominal.
4. Demam.
5. Mual dan muntah.
6. Anoreksia.
7. Lemah.
8. Pucat.
9. Perubahan TTV, nadi dan pernafasan cepat.
10. Menurun atau tidak ada pengeluaran urin.
5
D. Patofisiologi
1. Faktor Mal Absobsi
Diare akut yang disebabkan oleh malabsorbsi biasanya adalah malabsobsi
terhadap laktosa dan malabsobsi terhadap laktosa dan lemak. Penyabab diare
ini sering berlanjut menjadi diare kronik, karena adanya underlying disease
yang memerlukan penanganan khusus.
2. Faktor makanan
a. Alergi makanan/minuman
Beberapa jenis makanan/minuman dapat menimbulkan diare akut
pada orang tertentu yang rentan yang bersifat indifidual. Biasanya diare
timbul dalam beberapa dam hingga beberapa hari setelang mengkonsumsi
makanan/minuman tersebut.
b. Keracunan
Diare akut yang disebabkan oleh keracunan makanan atau minuman
biasanya berakibatan dengan kontaminasi makana/minuman oleh berbagai
jenis bakteri atau jamur yang menghasilkan toksin atau diare. Disamping
menimbulkan diare juga sering disertai dengan muntah serta dehidrasi.
3. Faktor Fisiologi
a. Stress emosional
Kondisi itu bersifat individual yang mudah mengalami stress dengan
manifestasi diare akut. Biasnya bersifat sementara dan hilang tanpa
pengobatan, bila factor stress sudah teratasi.
Diare yang terjadi merupakan proses dari transpor aktif akibat rangsangan toksin
bakteri terhadap elektrolit ke dalam usus halus, sel dalam mukosa intestinal
mengalami iritasi dan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme
yang masuk akan merusak sel mukosa intestinal sehingga mengurangi fungsi
permukaan intestinal. Perubahan kapasitas intestinal dan terjadi gangguan absorbsi
cairan dan elektrolit. Peradangan akan menurunkan kemampuan intestinal untuk
mengabsorbsi cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan ini terjadi pada
6
sindrom malabsorbsi. Peningkatan motilitas intestinal dapat mengakibatkan
gangguan absorbsi intestinal.
1. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan dalam rongga yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul
diare.
7
Faktor Mal Absorbsi Faktor Makanan Faktor Psikologi
- Karbohidrat -Makanan besi -Rasa takut
- Lemak -Beracun -Cemas
- Protein -Alergi makanan
Gangguan sekresi
Tekanan osmotif
meningkat Hiperperistltik
Sekresi air dalam elektrolit dalam usus
meningkat
DIARE
Sering
digaruk
9
E. Komplikasi & Pemeriksaan Penunjang
10
1) Diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan tambahan berupa apapun
misalnya air gula, sari buah segar, air teh segar, kuah sup, air tajin, ASI.
Jangan memberikan air kembang gula, sari buah air dalam botol karena
cairan yang terlalu banyak mengandung gula akan memperburuk diare.
2) Diare dengan dehidrasi sedang memerlukan cairan khusus yang
mengandung campuran gula dan garam yang disebut larutan dehidrasi
oral ( LRO ). LRO ini dibuat dengan mencampurkan sebungkus garam
rehidrasi kedalam 1 liter air bersih.
3) Diare dengan dehidrasi berat memerlukan cairan intravena disamping
LRO.
b. Penatalaksanaan keperawatan menurut Nelson (1999) antara lain :
1) Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan
pencegahan enterik termasuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan penderita.
2) Jas panjang bila ada kemungkinan pencernaan dan sarung tangan bila
menyentuh barang terinfeksi.
3) Penderita dan keluarganya dididik mengenal cara perolehan entero
patogen dan cara mengurangi penularan.
2. Pencegahan
11
2006). Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama
kehidupan resiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu
formula merupakan cara lain dari menyusui. Penggunaan botol untuk susu
formula biasanya menyebabkan risiko tinggi terkena diare sehingga bisa
mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).
b. Pemberian Makanan Pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap
mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian
makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko
terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian (Depkes
RI, 2006).
1) Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi
masih meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan
sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih
sering (4 kali sehari) setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua
makanan yang dimasak dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan
pemberian ASI bila mungkin
2) Memasak atau merebus makanan dengan benar, menyimpan sisa
makanan pada tempat yang dingin dan memanaskan dengan benar
sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006).
c. Menggunakan air bersih yang cukup
Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui
jalur fecal-oral mereka dapat ditularkan dengan memasukkan kedalam
mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja misalnya air minum,
jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air
tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan
air yang benar-benar bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih
(Depkes RI, 2006). Masyarakat dapat mengurangi resiko terhadap serangan
12
diare yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut
dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah
(Depkes RI, 2006).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga adalah :
1) Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
2) Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan,
membuat lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber
yang digunakan serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas
sumber untuk menjauhkan air hujan dari sumber.
3) Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan
gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.
4) Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI,
2006)
d. Pemberian Imunisasi Campak
Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk
mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak
sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi campak segera setelah
bayi berumur 9 bulan.
e. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci
tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang
tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makanan anak
dan sebelum makan, mempunyai dampak dalam kejadian diare (Depkes RI,
2006).
f. Menggunakan Jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko
terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
13
membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban (Depkes RI,
2006).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga.
2) Bersihkan jamban secara teratur.
3) Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang
air besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan
setapak dan tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari
sumber air, hindari buang air besar tanpa alas kaki (Depkes RI, 2006).
g. Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus
dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.
Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat akan
menimbulkan bau, mengganggu estetika dan dapat menjadi tempat
perindukan nyamuk dan bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis untuk daerah yang
endemis filaria. Bila ada saluran pembuangan air limbah di halaman, secara
rutin harus dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir, sehingga tidak
menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak menjadi tempat perindukan
nyamuk.
G. Monitoring Pemberian Cairan
Salah satu keadaan emergensi pada pasien diare akut adalah keadaan tubuh
pasien yang kekurangan cairan akibat diare yang terjadi. Apapun penyebab diare
akut, apabila terjadi dehidrasi, maka penanganan utamanya adalah pemberian
cairan pengganti secara oral maupun parenteral.
Klasifikasi dehidrasi
1. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan tubuh kurang dari 5% BB)
2. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan tubuh 5-10% BB)
3. Dehidrasi berat (kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% BB)
14
Pemeriksaan penunjang pada pasien dehidrasi akibat diaere akut mencakup darah
rutin. Dari darah rutin yang perlu diperhatikan adalah nilai hematocrit yang
mencerminkan kepekatan darah dalam sirkulasi. Bilai nilai hematocrit tinggi
(lebih dari 50%), menunjukkan dehidrasi. Atau terjadi peningkatan nilai
hematocrit lebih dari 20% dari nilai hematocrit lebih dari 20% dari nilai
sebelumnya.
1. Pemilihan Cairan
Untuk dehidrasi akibat diare akut, pilihan jenis cairan infus adalah Ringer
laktat atau Ringer asetat. Bila kedua jenis cairan tersebut tidak ada, dapat juga
diberikan larutan NaCl 0,9%, Ringer solution, atau larutan elektrolit komersil
lainnya. Hindari pemberian Dekstrosa, karena tidak dapat memperbaiki
kehilangan elektrolit yang terjadi
2. Penggantian Cairan dan Elektrolit
15
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang
adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan
rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak
dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena
yang membahayakan jiwa.17 Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari
3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan
20 g glukosa per liter air. 2,4 Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam
paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika
sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat
dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 -
4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan
untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.3 Jika terapi intra vena
diperlukan, cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer
harus diberikan dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia
darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan
tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan.
Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
3. Pengobatan
Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan
memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau
fluid replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral
Rehidration Solution (ORS) yang dikenal sebagai oralit, dan tidak jarang pula
diperlukan obat simtomatik untuk menyetop atau mengurangi frekwensi diare.
Untuk mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan
pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak
menunjukkan adanya miroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan
kultur feses dengan medium tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang
dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin.
16
Indikasi pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh >
38,50C, adanya darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada
feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik.
Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di
pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum
harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui
infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
Ringan 4% 4%-5%
Sedang 6% 5%-10%
Berat 8% 10%-15%
17
BB sebelum sakit
Diketahui:
Pasien usia 30 tahun datang dengan dehidrasi. BB pasien saat datang 56 kg. Tinggi
pasien : 170 cm. Berapa kebutuhan cairan yang dibutuhkan pasien tersebut?
Jawab : BB pasien : 56 kg
10 kg kedua : 500 cc
I. Pengkajian Keperawatan
1. Berak-berak dengan frekuensi lebih dari 3 kali konsistensi lunak sampai cair,
mual, dan muntah.
2. Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan nadi,
pernafasan.
3. Bila terjadi kekurangan cairan ditandai dengan haus, lidah kering, tulang pipi
menonjol, turgor kulit menurun.
18
4. Bila terjadi gangguan biokimia : Asidosis metabolik nafas cepat/dalam
(kusmaul), bila banyak kekurangan kalium Aritmia jantung.
5. Bila syok hipovolumik berat ; nadi cepat lebih 120x/menit, tekanan darah
menurun sampai dari tak terukur.
6. Pasien gelisah, muka pucat, ujungujung ekstremitas dingin, sianosis.
1. Aktivitas / istirahat
a. Gejala : Gangguan pola tidur, misalnya insomnia dini hari, kelemahan,
perasaan “hiper” dan ansietas, peningkatan aktivitas/partisipasi dalam
latihan-latihan energi tinggi.
b. Tanda : Periode hiperaktivitasi, latihan keras terus-menerus.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Perasaan dingin pada ruangan hangat.
b. Tanda : TD rendah takikardi, bradikardia, disritmia.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ketidakberdayaan/putus asa gangguan (tak nyata) gambaran dari
melaporkan diri-sendiri sebagai gendut terus-menerus memikirkan bentuk
tubuh dan berat badan takut berat badan meningkat, harapan diri tinggi,
marah ditekan.
b. Tanda : Status emosi depresi menolak, marah, ansietas.
4. Eliminasi
a. Gejala : Diare/konstipasi,nyeri abdomen dan distress, kembung,
penggunaan laksatif/diuretik.
5. Makanan, cairan
a. Gejala : Lapar terus-menerus atau menyangkal lapar, nafsu makan normal
atau meningkat.
b. Tanda : Penampilan kurus, kulit kering, kuning/pucat, dengan turgor buruk,
pembengkakan kelenjar saliva, luka rongga mulut, luka tenggorokan terus-
menerus, muntah, muntah berdarah, luka gusi luas.
19
6. Higiene
a. Tanda : Peningkatan pertumbuhan rambut pada tubuh, kehilangan rambut
( aksila/pubis ), rambut dangkal/tak bersinar, kuku rapuh tanda erosi email
gigi, kondisi gusi buruk
7. Neurosensori
a. Tanda : Efek depresi ( mungkin depresi ) perubahan mental ( apatis,
bingung, gangguan memori ) karena mal nutrisi kelaparan.
8. Nyeri / kenyamanan
a. Gejala : Sakit kepala.
9. Keamanan
a. Tanda : Penurunan suhu tubuh, berulangnya masalah infeksi.
J. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan terhadap muntah dan diare.
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan masukkan makanan tak adekuat.
3. Defisist pengetahuan pemaparan informasi terbatas, salah interpretasi
informasi dan atau keterbatasan kognitif.
K. Rencana Keperawatan
1. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan terhadap muntah dan diare.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi kekurangan
cairan / hipovalumik
Kreteria hasil : -Mepertahankan/menunjukkan perubahan keseimbangan cairan.
-Haluran urine adekuat
-Tanda vital stabil
-Membran mukosa lembab
-Turgor kulit baik
Intervensi :
a. Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian.
20
b. Jelaskan tentang alasan-alasan untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat
dan metoda-metoda untuk mencapai tujuan masukan cairan.
c. Pantau masukan, pastikan sedikitnya 1000-1500 ml/24 jam. Pantau terhadap
penurunan berat jenis urin.
d. Timbang BB setiap hari dengan jenis baju yang sama, pada waktu yang
sama.
e. Pertimbangkan kehilangan cairan tambahan yang berhubungan dengan
muntah, diare, demam.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan kadar elektolit darah, nitrogen
urea darah, urine dan serum, kreatinin, hematokrit dan hemoglobin.
g. Kolaborasi dengan pemberian cairan secara intravena.
21
b. Jelaskan tentang proses penyakit, penyebab dan akibatnya terhadap
gangguan aktivitas sehari-hari.
c. Jelaskan tentang tujuan pemberian obat, dosis, frekuensi dan cara pemberian
serta efek samping yang mungkin timbul.
d. Jelaskan dan tunjukkan cara perawatan perineal setelah defekasi.
22
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. Faktor Resiko Terjadinya Diare
Banyak faktor resiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare.
Salah satu faktor antara lain adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik,
persediaan air yang tidak hiegienis, dan kurangnya pengetahuan (WHO, 2013).
Selain itu, faktor hygiene perorangan yang kurang baik dapat menyebabkan
terjadinya diare (Primona dkk, 2013; Azwinsyah dkk, 2014), kepemilikan jamban
yang tidak ada dapat menyebabkan diare (Azwinsyah dkk, 2014).
23
Kualitas air rumah tangga yang baik harus memenuhi beberapa syarat
antara lain syarat fisis, syarat kimiawi, dan syarat bakteriologis. Syarat fisis air
rumah tangga yaitu harus jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau.
Syarat kimiawi adalah tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk
kesehatan seperti zat-zat racun, serta tidak mengandung mineral mineral serta
zat organik lebih tinggi dari jumlah yang ditentukan. Syarat Bakteriologi air
tidak boleh mengandung bibit penyakit yang sering menular dengan
perantaraan air adalah penyakit yang tergolong dalam golongan water borne
diseases, salah satunya seperti penyakit diare (DEPKES RI, 2010; Soegijanto,
2009).
2. Sanitasi Lingkungan
Lingkungan yang berkategori kurang sebesar 51,43% dan sanitasi baik
sebesar 48,57%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar sanitasi
lingkungannya adalah kurang.
Sanitasi lingkungan merupakan status kesehatan lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya. Lingkungan yang sanitasinya buruk akan berdampak buruk pula
bagi kesehatan (Chandra, 2007; Chandra, 2009)
Hasil penelitian yang lain menjelaskan bahwa salah satu faktor yang
berhubungan dengan kejadian diare yaitu sanitasi lingkungan (Karyono dkk,
2009). Semakin bagus sanitasi lingkungan, maka semakin rendah pula angka
kejadian penyakit pada masyarakat tersebut terutama yang berhubungan
dengan penyakit diare. Buruknya sanitasi lingkungan mempengaruhi
keberlanjutan lingkungan hidup yang ada. Kebiasaan masyarakat melakukan
pola hidup tidak sehat seperti memanfaatkan sungai sebagai sarana MCK dan
air bersih untuk kebutuhan hidup, serta kebiasaan membuang limbah rumah
tangga langsung ke sungai yang berpotensi sebagai penyebab penyebaran
wabah penyakit terutama diare (Jimung, 2011; Godana & Mengiste, 2013;
Wardani, 2012).
3. Ketersediaan Jamban
24
Tidak ada ketersediaan jamban sebesar 68,57% dan ada ketersediaan
jamban sebesar 31,43%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar
masyarakatr tidak memiliki ketersediaan jamban.
Salah satu proses penularan diare adalah kurangnya ketersediaan jamban.
Pada pasien diare yang tidak memiliki jamban, maka mereka akan BAB (buang
air besar) di sembarang tempat. Hal ini akan menyebababkan penularan diare
melalui tinja penderita oleh karena tinja pasien diare mengandung bakteri
penyebab diare yang akan ditularkan secara tidak langsung oleh lalat (Pebriani
dkk, 2012).
Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah
tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air permukaan
di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, kotoran tidak boleh
terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat vektor bertelur dan berkembang
biak (DEPKES RI, 2010).
Pembuangan tinja yang tidak sanitasi dapat menyebabkan berbagai
penyakit, karenanya perilaku buang air besar sembarangan, sebaiknya segera
dihentikan. Keluarga masih banyak yang berperilaku tidak sehat dengan buang
air besar di sungai. Pekarangan rumah atau tempat-tempat yang tidak
selayaknya. Selain mengganggu udara segar karena bau yang tidak sedap juga
menjadi peluang awal tempat berkembangnya vektor penyebab penyakit akibat
kebiasaan perilaku manusia sendiri.
4. Hygiene Perorangan
Hygiene perorangan yang kurang sebesar 64,76% dan hygiene perorangan
yang baik sebesar 35,24%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar hygiene
perorangannya adalah kurang.
Hygiene perorangan sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan
kebudayaan. Kebersihan perorangan meliputi:
a. Kebersihan kulit. Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan-
kebiasaan yang sehat harus selalu memperhatikan: mandi minimal 2 kali
25
sehari, mandi memakai sabun, menjaga kebersihan pakaian dan menjaga
kebersihan lingkungan.
b. Kebersihan rambut. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci
rambut sekurang kurangnya 2 kali seminggu, mencuci rambut dengan
sampo atau pembersih lainnya.
c. Kebersihan gigi. Menggosok gigi dengan benar dan teratur dianjurkan
setiap sesudah makan, menghindari makan makanan yang dapat merusak
gigi, menggunakan gosok gigi sendiri, membiasakan makan buah buahan
yang menyehatkan gigi
d. Kebersihan tangan, kaki dan kuku, kuku dan tangan yang kotor dapat
menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit penyakit
tertentu.
26
Perilaku buang tinja di sembarang tempat adalah sebanyak 74,29% dan
perilaku buang tinja di jamban adalah sebesar 25,71%. Hal ini menjelaskan
bahwa sebagian besar warga Desa Solor membuang tinja di sembarang tempat.
Sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting
peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, pembuangan kotoran
yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah dan
sumber air. Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai
macam penyakit terutama diare. Jika akses buang tinja jauh, atau bahkan tidak
mempunyai akses maka akan BAB disembarang tempat yang akan mudah bagi
vector membawa penyakit dan menularkan kepada orang lain terutama
penularan penyakit diare. Tinja atau kotoran manusia merupakan media sebagai
tempat berkembang dan berinduknya bibit penyakit menular (misal kuman atau
bakteri, virus dan cacing). Apabila tinja tersebut dibuang di sembarang tempat,
missal kebon, kolam, sungai, dan lain sebagainya maka bibit penyakit tersebut
akan menyebar luas ke lingkungan, dan akhirnya akan masuk dalam tubuh
manusia, dan berisiko menimbulakan penyakit pada seseorang dan bahkan
bahkan menjadi wabah penyakit pada masyarakat yang lebih luas (Surawicz et
al, 2007).
6. Sanitasi Makanan
Sanitasi makanan kurang sebesar 62,86% dan sanitasi makanan baik
sebesar 37,14%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sanitasi
makanannya adalah kurang.
Prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman adalah pengendalian
terhadap empat factor yaitu tempat atau bangunan, peralatan, orang, dan bahan
makanan. Terdapat 6 (enam) prinsip hygiene sanitasi makanan dan minuman
yaitu: pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, pengolahan
makanan, penyimpanan makanan jadi, pengangkutan makanan, dan penyajian
makanan (Indan, 2008; Fausi, 2008).
Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam kehidupan
manusia, makanan yang dimakan bukan saja memenuhi gizi dan mempunyai
27
bentuk menarik, akan tetapi harus aman dalam arti tidak mengandung
mikroorganisme dan bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit.
Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan factor tempat,
peralatan, orang dan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan
gangguan kesehatan. Ada dua faktor yang menyebabkan suatu makanan
menjadi berbahaya bagi manusia antara lain: parasite misalnya: cacing dan
amuba, golongan mikro organisme misalnya: salmonela dan shigella, zat kimia
misalnya: bahan pengawet dan pewarna, bahan-bahan radioaktif misalnya:
kobalt dan uranium, toksin atau racun yang dihasilkan mikroorganisme
(Soegijanto, 2009).
Kebersihan sanitasi makanan sangat berpengaruh terhadap kejadian diare
sehingga sangat diperlukan sanitasi yang baik untuk mengurangi terjadinya
penyakit diare. Sanitasi makanan berarti suatu usaha pencegahan yang
menitikberatkan kegiatan dan tindakan untuk membebaskan makanan dan
minuman dari segala bahaya-bahaya yang dapat mengganggu atau merusak
kesehtan, mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan mentah,
proses pengolahan, penyimpanan makanan, pengangkutan, penjualan sampai
pada penyajian makanan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Peneliti berharap
agar masyarakat melakukan satu usaha pencegahan yang menitikberatkan
kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman
dari segala bahaya yang dapat menganggu atau memasak kesehatan, mulai dari
sebelum makanan diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan,
pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman tersebut siap
untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen. Sanitasi makanan ini
bertujuan untuk menjamin keamanan dan kemurnian makanan, mencegah
konsumen dari penyakit, mencegah penjualan makanan yang akan merugikan
pembeli. Mengurangi kerusakan atau pemborosan makanan.
7. Kejadian Diare
Kejadian diare sebesar 74,29% dan tidak diare sebesar 25,71%. Hal ini
menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk Desa Solor mengalami diare.
28
Tingginya kejadian diarendisebabkan oleh beberapa faktor antara lain
kesehatan lingkungan belum memadai, sosial ekonomi, pengetahuan
masyarakat, perilaku masyarakat dan sebagainya yang secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi kejadian diare (Wijaya, 2013). Penelitian
sebelumnya menjelaskan bahwa faktor kejadian diare antara lain disebabkan
oleh sumber air minum masyarakat, kualitas fisik air bersih, dan kepemilikan
jamban (Murtiana dkk, 2014).
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik
(makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam
rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam
rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi
air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus
yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu
sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan
gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi
(intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi
(Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2014).
29
>31 Tahun 1 1,19%
Diare Akut
30
kemungkinan pasien tersebut menjadi lebih parah cukup besar sehingga perlunya
penanganan medis secepatnya (Pramita, dkk, 2005).
31
obat antiemetik selain menghentikan rasa mual juga membantu dalam mengurangi
kehilangan cairan pada saat diare.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah penderita diare akut yang di
rawat inap yang menggunakan obat antibiotik hanya berjumlah 16 % (13
penderita). Dari hasil penelitian, diketahui antibiotik yang digunakan adalah
ciprofloxacin, cotrimoxazole, metronidazole, injeksi gentamicine, dan amoxicillin.
Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah cotrimoxazole dan injeksi
gentamicine yaitu 5,95 % (5 penderita). Cotrimoxazole merupakan antibiotiotik
yang mengandung kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprin. Cotrimoxazole
mempunyai spectrum aktifitas luas dan efektif terhadap gram positif dan gram
negatif termasuk E. coli yang merupakan bakteri gram negatif serta salah satu
penyebab utama diare akut, sedangkan gentamicine merupakan antibiotik golongan
aminoglikosida yang digunakan untuk membunuh bakteri gram negative (Rosen
dan Quinn, 2000).
Hasil penelitian berdasarkan penggunaan obat lain, diketahui penderita yang
menggunakan obat lain yaitu 12 % (10 penderita). Obat lain yang digunakan adalah
probiotik. Probiotik diberikan pada penderita diare akut untuk membantu
penyembuhan diare akut (Anonim, 2011).
Hasil berdasarkan terapi penggunaan obat di atas, diperoleh kombinasi obat
terbanyak yang digunakan oleh penderita diare akut adalah kombinasi obat ORS,
suplemen zinc, serta antipiretik yaitu 34,52 % (29 penderita). Kombinasi
pengobatan ini diberikan karena penderita selain mengalami dehidrasi akibat diare
akut, juga mengalami demam. Penderita yang mengalami gejala lain diberikan
tambahan pengobatan lain seperti, penderita yang mengalami mual dan muntah
akan diberikan antiemetik, dan penderita diare akut akibat infeksi bakteri akan
diberikan antibiotik, serta akan diberikan obat probiotik untuk membantu menjaga
keseimbangan mikroflora dalam tubuh.
32
33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian Keperawatan
1. Berak-berak dengan frekuensi lebih dari 3 kali konsistensi lunak sampai cair,
mual, dan muntah.
2. Terjadi peningkatan suhu tubuh, dan disertai ada atau tidak ada peningkatan
nadi, pernafasan.
3. Bila terjadi kekurangan cairan ditandai dengan haus, lidah kering, tulang pipi
menonjol, turgor kulit menurun.
4. Bila terjadi gangguan biokimia : Asidosis metabolik nafas cepat/dalam
(kusmaul), bila banyak kekurangan kalium Aritmia jantung.
5. Bila syok hipovolumik berat ; nadi cepat lebih 120x/menit, tekanan darah
menurun sampai dari tak terukur.
6. Pasien gelisah, muka pucat, ujungujung ekstremitas dingin, sianosis.
34
Diagnosa Keperawatan
35