You are on page 1of 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa kami telah
menyelesaikan tugas mata kuliah FARMAKOTERAPI dengan
membahas Makalah mengenai OBAT LAKSATIF DAN GASTRITIS ini kami
tulis berdasarkan hasil pencarian kami dari beberapa sumber. isi makalah ini
mencakup hal tentang OBAT LAKSATIF DAN GASTRITIS. Makalah ini di
harapkan cukup untuk memberikan pengertian mengenai OBAT LAKSATIF
DAN GASTRITIS.
Sudah tentu makalah ini masih jauh dari sempurna dan juga masih banyak
kekurangannya. Maka saran, petunjuk pengarahan, dan bimbingan dari berbagai
pihak sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini mendapat Ridho dari Allah SWT, dan bisa
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Laksatif
1. Definisi Laksatif
2. Etiologi Laksatif
3. Prevalensi Laksatif
4. Patofisiologi Laksatif
5. Terapi Farmakolog dan Non Farmakologi
B. Gastritis
1. Definisi Gastritis
2. Etiologi Gastritis
3. Prevalensi Gastritis
4. Patofisiologi Gastritis
5. Terapi Farmakolog dan Non Farmakologi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia memerlukan makanan untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Makanan tersebut akan diolah dan diubah menjadi energi
melalui proses pencernaan. Proses pencernaan pada manusia dibedakan menjadi
dua, yaitu pencernaan mekanik dan pencernaan kimiawi. Pencernaan mekanik
terjadi di rongga mulut. Pada proses ini memerlukan bantuan lidah dan gigi.
Sedangkan pada pencernaan kimiawi terjadi di rongga mulut, lambung, dan usu.
Proses ini memerlukan bantuan zat kimiawi yang disebut enzim. Semua makhluk
hidup memerlukan makanan untuk mempertahankan hidupnya.
Fungsi utama makanan bagi tubuh adalah untuk pertumbuhan dan menjaga
tubuh agar tetap sehat. Makanan yang masuk ke dalam tubuh kita akan diolah
melalui proses pencernaan. Proses pencernaan adalah proses penghancuran
makanan menjadi zat-zat makanan yang dapat diserap tubuh. Alat yang berfungsi
untuk menghancurkan makanan ini disebut alat pencernaan. Agar makanan yang
dicerna dapat diserap oleh tubuh dengan baik, maka alat pencernaan haruslah
dalam keadaan sehat. Melalui alat pencernaan itulah zat-zat makanan diolah
terlebih dahulu, baru kemudian diserap oleh tubuh.
Dan didalam tubuh juga terdapat kelenjar pencernaan, serta dalam proses
pencernaan makanan tidaklah semulus yang kita bayangkan , dalam mencerna
makanan saluran pencernaan makanan ekerja sangat ekstrim dalam mencerna
makanan. Dengan hal itu terkadang pula kita merasakan akibat dari sistem
pencernaan makanan yang kurang baik, yaitu terdapat gangguan pada sistem
pencernaan, akibatnya muncullah berbagai macam penyakit dengan segala
penyebab . Seperti gangguan padalambung dan laksatif.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal yang dapat menyebabkan
sembelit. Penyebab sembelit antara lain tali perut bergeser sehingga menyebabkan
pergerakan isi perut tersumbat, usus besar mengalami kejang, proses pencernaan
kurang sempurna dan konsumsi makanan yang berkadar serat tinggi, seperti sayur
dan buah-buahan kurang banyak. Rasa buang air besar yang sering ditahan juga
dapat menyebabkan terjadinya sembelit. Orang yang pekerjaannya lebih banyak
duduk besar kemungkinanya terserang sembelit, karena mereka kurang melatih
gerakan otot perut nya. Sehingga proses pencernaan berlangsung kurang
sempurna. Sebenarnya sembelit itu lebih merupakan gejala ikutan dari suatu
penyakit terutama penyakit yang menyerang daerah perut.
Lambung merupakan bagian dari saluran cerna setelah esofagus dan
sebelum duodenum. Tukak (ulkus) dapat terjadi pada mukosa, submukosa, dan
kadang-kadang sampai lapisan muskularis dari traktus gastrointestinal
berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCl. Termasuk
tukak yang terdapat pada bagian bawah esofagus, lambung, dan duodenum bagian
atas. Tukak lambung atau lebih populer dengan penyakit maag, banyak terdapat
pada masyarakat di dunia.(arlina, 2003)

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian laksatif dan Gastritis ?
2. Bagaimana etiologi Laksatif dan Gastritis?
3. Bagaimana prevalensi Laksatif dan Gastritis ?
4. Bagaimana patofisiologi Laksatif dan Gastritis ??
5. Bagaimana terapi farmakologis dan non farmakologis Laksatif dan
Gastritis ??
6. Apa farmakologi laksatif?
7. Apa efek samping laksatif?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Laksatif dan Gastritis
2. Untuk mengetahui etiologi Laksatif dan Gastritis
3. Untuk mengetahui prevalensi Laksatif dan Gastritis
4. Untuk mengetahui patofisiologi Laksatif dan Gastritis
5. Untuk mengetahui terapi pengobatan Laksatif dan Gastritis
BAB II
PEMBAHASAN

A. LAKSATIF
1. Pengertian Laksatif
Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat-obatan yang
diminum untuk membantu mengatasi sembelit dengan membuat kotoran
bergerak dengan mudah di usus. Laksatif merupakan obat bebas, obat
yang biasanya digunakan untuk mengatasi konstipasi atau sembelit.
Biasanya obat ini hanya untuk digunakan saat mengalami konstipasi atau
sembelit saja karena mempunyai efek samping.
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana
seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan
sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan
kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya
bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat
menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al.,
2008). Seseorang dikatakan mengalami konstipasi apabila frekuensi BAB
kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai konsistensi feses yang keras,
kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar maupun
akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa
tidak puas pada saat buang air besar. Frekuensi defekasi yang kurang dari
normal belum tentu dapat dikatakan menderita konstipasi apabila ukuran
ataupun konsistensi fesesnya masih normal (McQuaid, 2006).
2. Etiologi
Penyebab tersering konstipasi yaitu fungsional, fisura ani, infeksi
virus dengan ileus, diet dan obat. Konstipasi 95% akibat konstipasi
fungsional. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan
perubahan kebiasan diet, kurangnya makanan mengandung serat,
kurangnya asupan cairan, psikologis, takut atau malu ke toilet (Van Dijk
dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003; Devanarayana dan
Rajindrajith 2011).
Konstipasi umumnya terjadi ketika tinja bergerak terlalu lamban
dalam sistem pencernaan. Akibat banyak sisa-sisa makanan yang
tertinggal terlalu lama, kolon atau usus besar akan menyerap air makin
banyak, sehingga membuat tinja menjadi keras dan kering. Penyakit ini
bisa disebabkan oleh berbagai faktor yang terkadang terjadi secara
bersamaan. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:
a. Pola makan yang buruk, misalnya kurang mengonsumsi serat atau
kurang minum.
b. Kurang aktif dan jarang melakukan olahraga.
c. Mengabaikan keinginan untuk buang air besar.
d. Rasa tidak leluasa saat menggunakan toilet.
e. Kekurangan atau kelebihan berat badan.
f. Gangguan mental, seperti kecemasan atau depresi.
g. Penyakit atau kondisi medis lain, misalnya diabetes, prolaps rektum,
penyumbatan atau penyempitan usus, kanker usus besar, stroke,
penyakit Parkinson, cedera saraf tulang belakang, hipotiroidisme,
serta hipertiroidisme.
h. Efek samping obat-obatan tertentu, contohnya suplemen kalsium,
suplemen zat besi, antasida yang mengandung aluminium, obat
diuretik, analgesik yang mengandung opium (seperti kodein
dan morfin), antidepresan, antiepileptik untuk pengobatan epilepsi,
serta antipsikotik untuk pengobatan skizofrenia dan penyakit kejiwaan
lainnya. Jika penyebabnya memang obat, konstipasi biasanya akan
reda saat Anda berhenti meminum obat tersebut.

3. Patofisiologi
Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi.
Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistam saraf intrinsik
rektum dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan
sebagai keinginan untuk defekasi. Sfingter anal eksterna kemudian
menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik kolon
melalui anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani
eksterna dibantu otot puborektal akan berkontraksi secara refleks dan
refleks sfingter interna akan menghilang, sehingga keinginan defekasi
juga menghilang (Van Der Plas dkk., 2000; Degen dkk., 2005; Bu LN
dkk., 2007). Gejala dan tanda klinis konstipasi dimulai dari rasa nyeri saat
defekasi, anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk
menghindari rasa tidak nyaman yang berasal dari defekasi dan terus
menahan defekasi maka keinginan defekasi akan berangsur hilang oleh
karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum sehingga akan terjadi
penumpukan tinja (Degen dkk., 2005). Proses defekasi yang tidak lancar
akan menyebabkan feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari
biasanya dan dapat menyebabkan feses mengeras yang kemudian dapat
berakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di rektum
dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang
mengakibatkan kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses
keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang semakin banyak.
Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan kemampuan
sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi
(Van Der Plas dkk., 2000).

4. Prevalensi
Pravalensi konstipasi bervariasi dari 30% sampai 60% (Cardin et
al, 2010). Kejadian konstipasi sebesar 5,9% pada usia dibawah 40 tahun,
sebesar 4 - 6% pada individu yang berusia 70 tahun dan terjadi konstipasi
persisten pada usia yang sudah lanjut (Harrari et al, 1996 dalam Folden et
al, 2002). Angka kejadian konstipasi juga tinggi pada pasien yang
mengalami stroke sebesar 45% dan lansia yang dirawat di rumah sakit
sebesar 46% (Folden et al, 2002)
5. Terapi non farmakologi dan farmakologi
a. Terapi non-farmakologi
Terapi non-farmakologis digunakan untuk meningkatkan
frekuensi BAB pada pasien konstipasi, yaitu dengan menambah
asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan meningkatkan volume
cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik/ olahraga.
Sumber makanan yang kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah, dan
gandum. Serat dapat menambah ‘volume’ feses (karena dalam saluran
pencernaan manusia ia tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari
feses, dan membantu mempercepat feses melewati usus sehingga
frekuensi defekasi/ BAB meningkat (Dipiro, et al, 2005).
b. Terapi farmakologi
Sedangkan terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar
digunakan untuk meningkatkan frekuensi BAB dan untuk mengurangi
konsistensi feses yang kering dan keras. Secara umum, mekanisme
kerja obat pencahar meliputi pengurangan absorpsi air dan elektrolit,
meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan meningkatkan tekanan
hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini mengubah kolon, yang
normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan
menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit (Dipiro, et al,
2005). Obat pencahar sendiri dapat dibedakan menjadi 3 golongan,
yaitu: (1) pencahar yang melunakkan feses dalam waktu 1-3 hari
(pencahar bulk-forming, docusates, dan laktulosa); (2) pencahar yang
mampu menghasilkan feses yang lunak atau semicair dalam waktu 6-
12 jam (derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta (3)
pencahar yang mampu menghasilkan pengluaran feses yang cair
dalam waktu 1-6 jam (saline cathartics, minyak castor, larutan
elektrolit polietilenglikol). Pencahar yang melunakkan feses secara
umum merupakan senyawa yang tidak diabsorpsi dalam saluran
pencernaan dan beraksi dengan meningkatkan volume padatan feses
dan melunakkan feses supaya lebih mudah dikeluarkan. Pencahar
bulk-forming meningkatkan volume feses dengan menarik air dan
membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding
saluran cerna dan merangsang gerak peristaltik. Penggunaan obat
pencahar ini perlu memperhatikan asupan cairan kedalam tubuh harus
mencukupi, jika tidah bahaya terjadi dehidrasi.
Golongan obat-obat pencahar yang biasa digunakan adalah :
a. Perangsang dinding usus
langsung merangsang dinding usus besar untuk berkontraksi dan
mengeluarkan isinya.
Contohnya : bisakodil, aloe, sennae
b. Memperbesar usus halus
mendorong sejumlah besar air ke dalam usus besar, sehingga tinja
menjadi lunak dan mudah dilepaskan.
Contohnya : magnesium fosfat, natrium fosfat, CMC
c. Pelunak/pelicin tinja
meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh tinja.
Contohnya : paraffin, gliserin

B. GASTRITIS
1. Definisi
Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak
dijumpai di klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis
adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi.
Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel
radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009). Gastritis atau lebih dikenal
sebagai magh berasal dari bahasa yunani yaitu gastro, yang berarti
perut/lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah
suatu keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang
bersifat akut, kronis, difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi
yaitu gastritis akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005).
Klasifikasi gastritis yaitu :
 Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada
gastritis ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema,
merah dan terjadi erosi kecil dan perdarahan (Price dan Wilson, 2005).
 Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung
yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan perjalanan
klinik bervariasi (Wibowo, 2007). Gastritis kronik ditandai dengan
atropi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan chief
cell di lambung, dinding lambung menjadi tipis dan permukaan
mukosa menjadi rata.
2. Etiologi
a. Gastritis akut
Banyak faktor yang menyebabkan gastritis akut, seperti merokok,
jenis obat, alkohol, bakteri, virus, jamur, stres akut, radiasi, alergi 12
atau intoksitasi dari bahan makanan dan minuman, garam empedu,
iskemia dan trauma langsung (Muttaqin, 2011). Faktor obat-obatan
yang menyebabkan gastritis seperti OAINS (Indomestasin, Ibuprofen,
dan Asam Salisilat), Sulfonamide, Steroid, Kokain, agen kemoterapi
(Mitomisin, 5-fluoro-2- deoxyuridine), Salisilat dan digitalis bersifat
mengiritasi mukosa lambung (Sagal, 2006). Hal tersebut
menyebabkan peradangan pada lambung dengan cara mengurangi
prostaglandin yang bertugas melindungi dinding lambung. Hal
tersebut terjadi jika pemakaiannya dilakukan secara terus menerus
atau pemakaian yang berlebihan sehingga dapat mengakibatkan
gastritis dan peptic ulcer (Jackson, 2006).
b. Gastritis kronik Penyebab pasti dari penyakit gastritis kronik belum
diketahui, tetapi ada dua predisposisi penting yang bisa meningkatkan
kejadian gastritis kronik, yaitu infeksi dan non infeksi (Muttaqin,
2011).
c. Penyebab gastritis paling sering yaitu infeksi oleh bakteri H.Pylori,
namun dapat pula diakibatkan oleh bakteri lain seperti H. heilmanii,
Streptococci, Staphylococci, Protecus species, Clostridium species,
E.coli, Tuberculosis dan Secondary syphilis (Muttaqin, 2011).
Gastritis juga dapat disebabkan oleh infeksi 13 virus seperti
Sitomegalovirus. Infeksi jamur seperti Candidiasis, Histoplasmosis
dan Phycomycosis juga termasuk penyebab dari gastritis (Muttaqin,
2011).
3. Prevalensi
Badan penelitian kesehatan WHO mengadakan tinjauan terhadap
delapan negara dunia dan mendapatkan beberapa hasil persentase dari
angka kejadian gastritis di dunia, dimulai dari negara yang angka kejadian
gastritisnya paling tinggi yaitu Amerika dengan persentase mencapai 47%
kemudian diikuti oleh India dengan persentase 43%, lalu beberapa negara
lainnya seperti Inggris 22%, China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35%,
Perancis 29,5% dan Indonesia 40,8%. Penelitian dan pengamatan yang
dilakukan oleh Depertemen Kesehatan RI angka kejadian gastritis di
beberapa kota di Indonesia yang tertinggi mencapai 91,6% yaitu di kota
Medan, lalu di beberapa kota lainnya seperti Surabaya 31,2%, Denpasar
46%, Jakarta 50%, Bandung 32,5%, Palembang 35,3%, Aceh 31,7% dan
Pontianak 31,2%. Hal tersebut disebabkan oleh pola makan yang kurang
sehat (Karwati, 2013). Berdasarkan laporan SP2TP tahun 2012 dengan
kelengkapan 11 laporan sebesar 50% atau tujuh kabupaten kota yang
melaporkan gastritis berada pada urutan kedua dengan jumlah kasus
134.989 jiwa (20,92% kasus) (Piero, 2014). Berdasarkan data yang
didapat dari Dinas Kesehatan kota Bandarlampung, gastritis merupakan
salah satu dari sepuluh besar penyakit terbanyak pada tahun 2013 maupun
tahun 2014 (Dinkes kota Bandarlampung, 2014)
4. Patofisiologi
Gastritis merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya
bersifat jinak dan merupakan respons mukosa lambung terhadap berbagai
iritan lokal. Patofisiologi terjadinya gastritis dan tukak peptik ialah bila
terdapat ketidakseimbangan faktor penyerang (ofensif) dan faktor
pertahanan (defensif) pada mukosa gastroduodenal, yakni peningkatan
faktor ofensif dan atau penurunan kapasitas defensif mukosa. Faktor
ofensif tersebut meliputi asam lambung, pepsin, asam empedu, enzim
pankreas, infeksi Helicobacter pylori yang bersifat gram-negatif, OAINS,
alkohol dan radikal bebas. Sedangkan sistem pertahanan atau faktor
defensif mukosa gastroduodenal terdiri dari tiga lapis yakni elemen
preepitelial, epitelial, dan subepitelial (Pangestu, 2003). Elemen
preepitelial sebagai lapis pertahanan pertama adalah berupa lapisan mucus
bicarbonate yang merupakan penghalang fisikokimiawi terhadap berbagai
bahan kimia termasuk ion hidrogen (Kumar, 2005). Lapis pertahanan
kedua adalah sel epitel itu sendiri. Aktifitas pertahanannya meliputi
produksi mukus, bikarbonat, transportasi ion untuk mempertahankan pH,
dan membuat ikatan antar sel (Kumar, 2005). Lapisan pertahanan ketiga
adalah aliran darah dan lekosit. Komponen terpenting lapis pertahanan ini
ialah mikrosirkulasi subepitelial yang adekuat (Pangestu, 2003).
Endotoksin bakteri setelah menelan makanan terkontaminasi, kafein,
alkohol dan aspirin merupakan agen pencetus yang lazim. Infeksi H.
pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut. Organisme
tersebut melekat pada epitel lambung dan menghancurkan lapisan mukosa
pelindung, meninggalkan daerah epitel yang gundul. Obat lain juga
terlibat, misalnya OAINS (indomestasin, ibuprofen, naproksen),
sulfonamid, steroid, dan digitalis. Asam empedu, enzim pankreas, dan
etanol juga diketahui mengganggu sawar mukosa lambung. Apabila
alkohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan lebih merusak
dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut bila diminum
secara terpisah (Price dan Wilson, 2005).
5. Terapi farmakologis dan non farmakologis
Terapi Non Farmakologi yaitu :
1. Istirahat Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan,
bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jumlah
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress, dan penggunaan
analgetik. Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan
asam lambung dan penyakit tukak (Tarigan, 2001).
2. Diet Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung
susu tidak lebih baik dari pada makanan biasa, karena makanan halus
akan merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan yang merangsang,
makanan mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada
beberapa pasien, walaupun belum didapat bukti keterkaitannya.
Beberapa peneliti menganjurkan makanan biasa lunak, tidak
merangsang dan diet seimbang (Tarigan, 2001).
Terapi Farmakologi yaitu :
1. Antasida
Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam
hidroklorik, membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman
lambung. Enzim pepsin tidak aktif pada pH lebih tinggi dari empat,
maka penggunaan antasida juga dapat mengurangkan aktivitas pepsin
(Finkel, 2009). Obat ini juga memiliki efek pengurangan kolonisasi H.
pylori dan merangsang sintesis prostaglandin (Mycek,2001). Ada tiga
cara antasida mengurangi keasaman cairan lambung, yaitu pertama
secara langsung menetralkan cairan lambung, kedua dengan berlaku
sebagai buffer terhadap hydrochloric acid lambung yang pada 20
keadaan normal mempunyai pH 1−2 dan ketiga dengan kombinasi
kedua cara tersebut diatas. Antasida akan mengurangi rangsangan
asam lambung terhadap saraf sensoris dan melindungi mukosa
lambung terhadap perusakan oleh pepsin (Anwar, 2000). Zat antasida
sangat bervariasi dalam komposisi kimia, kemampuan menetralkan
asam, kandungan natrium, rasa dan harganya. Kemampuan untuk
menetralkan asam suatu antasida tergantung pada kapasitasnya untuk
menetralkan HCl lambung dan apakah lambung dalam keadaan penuh
atau kosong (makanan memperlambat pengosongan lambung,
memungkinkan antasida bekerja untuk waktu yang lebih lama). Oleh
karena hal tersebut efek antasida lebih baik jika dikonsumsi setelah
makan (Mycek, 2001). Antasida yang biasa digunakan adalah garam
alumunium dan magnesium. Contoh seperti alumunium hidroksida
(biasanya campuran Al(OH)3 dan alumunium oksidahidrat) atau
magnesium hidroksida (MgOH2) baik tunggal ataupun dalam bentuk
kombinasi. Garam kalsium yang dapat merangsang pelepasan gastrin
maka penggunanaan antasida yang mengandung kalsium seperti pada
Kalsium bikarbonat (CaCO3) dapat menyebabkan produksi tambahan.
Absorbsi natrium bikarbonat (NaHCO3) secara sistemik dapat
menyebabkan alkalosis metabolik sementara. Oleh karena hal
tersebut, antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang
(Mycek, 2001).
Dosis antasida yang diberikan sebanyak 3x500-1000 mg/hr
(Kementrian Kesehatan RI, 2014). Antasida dapat diminum saat
menjelang tidur, pagi hari dan diantara waktu makan (Depkes, 2007).
Obat ini memiliki 2 bentuk sediaan yaitu antasida DOEN I dan DOEN
II. Antasida DOEN I terdiri dari kombinasi alumunium hidroksida 200
mg dan magnesium hidroksida 200 mg adalah tablet kunyah,
sedangkan antasida DOEN II kombinasi dari alumunium hidroksida
200 mg/5 ml dan magnesium hidroksida 200 mg/5 ml adalah suspensi
(Depkes, 2008).Golongan obat ini dalam pengkonsumsiannya
memang harus dikunyah terlebih dahulu, hal ini untuk meningkatkan
kerja obat dalam menurunkan asam lambung (Oktora, 2011). Efek
samping dari obat antasida bervariasi tergantung zat komposisinya.
Alumunium hidroksida dapat menyebabkan konstipasi, sedangkan
magnesium hidroksida dapat menyebabkan diare. Kombinasi
keduanya dapat membantu menormalkan fungsi usus. Selain
menyebabkan alkalosis sistemik, natrium bikarbonat melepaskan CO2
yang dapat menimbulkan sendawa dan kembung (Mycek, 2001).
2. Histamine-2 receptor antagonist
Histamine-2 reseptor antagonis Empat antagonis H2 yang
beredar di USA adalah: simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Kerja antagonis reseptor H2 yang paling penting adalah mengurangi
sekresi asam lambung. Obat ini menghambat sekresi asam yang
dirangsang histamin, gastrin, obat-obat kolinomimetik dan rangsangan
vagal. Volume sekresi asam lambung dan konsentrasi pepsin juga
berkurang (Katzung, 2002). Mekanisme kerjanya memblokir histamin
pada reseptor H2 sel pariental sehingga sel pariental tidak terangsang
mengeluarkan asam lambung. Inhibisi ini bersifat reversibel (Tarigan,
2001). Simetidin, ranitidin dan famotidin kecil pengaruhnya terhadap
fungsi otot polos lambung dan tekanan sfingter esofagus yang lebih
bawah. Sementara terdapat perbedaan potensi yang sangat jelas
diantara efikasinya dibandingkan obat lainnya dalam mengurang
sekresi asam. Nizatidin memacu aktifitas kontraksi asam lambung,
sehingga memperpendek waktu pengosongan lambung (Katzung,
2002). Efek samping sangat kecil antara lain agranulasitosis,
ginekomastia, konfusi mental khusus pada usia lanjut, dan gangguan
fungsi ginjal dijumpai terutama pada pemberian simetidin. Simetidin
sebaiknya jangan diberikan bersama warfarin, teofilin, siklokarpon,
dan diazepam (Tarigan, 2001).
Empat macam obat yang digunakan yaitu simetidin, ranitidin,
famotidin dan nizatidin. Simetidin dan antagonis H2 lainya diberikan
secara per-oral, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh dan
diekskresikan dalam urin dengan waktu paruh yang singkat. Ranitidin
memiliki masa kerja yang panjang dan lima sampai sepuluh kali lebih
kuat. Efek farmakologi famotidin sama dengan ranitidin, hanya 20−50
kali lebih kuat dibandingkan dengan simetidin dan 3−20 kali lebih
kuat dibandingkan ranitidin. Efek farmakologi nizatidin sama seperti
ranitidin, nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan sedikit yang terjadi
metabolisme (Mycek, 2001).
Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin 2x400
mg/800 mg malam hari, dosis maintenance 400 mg. Ranitidin 300 mg
malam hari, dosis maintenance 150 mg. Nizatidin 1x300 mg malam
hari, dosis maintenance 150 mg. Famotidin 1x40 mg malam hari,
Roksatidin 2x75 mg atau 1x150 mg malam hari, dosis maintenance 75
mg malam hari (Finkel, 2009). Konsumsi obat antagonis reseptor H2
pada malam hari dikarenakan lambung relatif kosong dan peningkatan
pH akan mempercepat penyembuhan penyakit tukak lambung
(Anonim, 2014). Efek samping simetidin biasanya ringan dan hanya
terjadi pada sebagian kecil pasien saja sehingga tidak memerlukan
penghentian pengobatan. Efek samping yang sering terjadi adalah
sakit kepala, pusing, diare dan nyeri otot. Efek samping saraf pusat
seperti bingung dan halusinasi terjadi pada lanjut usia. Simetidin
memiliki efek endokrin karena obat ini bekerja sebagai antiandrogen
nonsteroid. Efek ini berupa ginekomastia, galaktorea dan penurunan
jumlah sperma (Mycek, 2001).
3. Proton Pump Inhibitor
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim
K+H+ATPase (pompa proton) yang akan memecah K+H+ATP
menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam HCl
dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. PPI mencegah
pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan
pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktifitas faktor
agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh
regimen triple drugs (Finkel, 2009). Pada dosis standar baik
lansoprazol atau omeprazol menghambat sekresi asam lambung basal
dan sekresi karena rangsangan lebih dari 90%. Penekanan asam
dimulai 1−2 jam setelah dosis pertama lansoprazol dan lebih cepat
dengan omeprazol. Penelitian klinis sampai saat ini menunjukkan
bahwa lansoprazol dan omeprazol lebih efektif untuk jangka pendek
dibandingkan dengan antagonis H2. Omeprazol digunakan dengan
berhasil bersama obat-obat anti mikroba untuk mengeradikasi kuman
H. pylori (Mycek, 2009). Omeprazol dan lansoprazol berupa tablet
salut enterik untuk melindunginya dari aktivasi prematur oleh asam
lambung. Setelah diabsorbsi dalam duodenum, obat ini akan dibawa
ke kanalikulus dari sel perital asam dan akan diubah menjadi dalam
bentuk aktif. Metabolit obat ini diekskresikan dalam urin dan feses
(Mycek, 2001). Dosis omeprazol 2x20 mg atau 1x40 mg,
lansprazol/pantoprazol 2x40 mg atau 1x60 mg (Finkel, 2009). Sediaan
omeprazol adalah kapsul. Saat mengonsumsi omeprazol, kapsul harus
ditelan utuh dengan air (kapsul tidak dibuka, dikunyah, atau
dihancurkan). Sebaiknya diminum sebelum makan. Minum obat 30-
60 menit sebelum makan, sebaiknya pagi hari (Anonim, 2012). Efek
samping omeprazol dan lansoprazol biasanya dapat diterima baik oleh
tubuh. Namun dalam penggunaan jangka panjang, obat tersebut dapat
meningkatkan insidensi tumor karsinoid lambung yang kemungkinan
berhubungan dengan efek hiperklorhidria yang berkepanjangan dan
hipergastrinemia sekunder (Mycek, 2001).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Laksatif atau pencahar adalah makanan atau obat-obatan yang diminum


untuk membantu mengatasi sembelit dengan membuat kotoran bergerak
dengan mudah di usus. Dalam operasi pembedahan, obat ini juga diberikan
kepada pasien untuk membersihkan usus sebelum operasi dilakukan.

2. Gastritis merupakan penyakit yang sering kita jumpai dalam masyarakat


maupun dalam bangsa penyakit dalam. Kurang tahunya dan cara
penanganan yang tepat merupakan salah satu penyebabnya. Gastritis
adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa pada
lambung. Pada orang awam sering menyebutnya dengan penyakit maag

B.SARAN
Dengan di susunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar
dapat menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini
sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Di sampin itu
ami juga mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca sehingga kami bisa
berorientasi lebih baik pada makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Omeprazole, obat apa sih?. [online]. Diambil dari:


http://dietsehatkaya.blogspot.com/2012/02/omeprazole.html.

Arlina, Siti Hijrati. 2003. Mudah dan Murah Menanggulangi Aneka Penyakit.
Jakarta : Agromedia Pustaka. Hal 69-70.

Anief, M. 1996. Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaannya.


Yogyakarta : UGM Press. Hal 50-51

Arief, Azali dan Udin Sjamsudin. 1995. Obat Lokal. Dalam Ganiswara S.G.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI. Hal 509-514

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.


Direktorat Jendral Bina Kefarmasian.

Dipiro, Joseph .T., Robert L. Talbert., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G.
Wells and L. Michael Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, Seventh Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009,
Lippincott’s Illustrated Review Pharmacology 4thEd, Pliladelphia: Williams
& Wilkins (329-335, 502-509).

McQuaid, K.R, 2006, E-book: Current Medical Diagnosis& Treatment:


Allimentary Tract. 45th Edition. USA:McGraw-Hill.

Muttaqin, A., Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.

Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe C.C. (2001). Farmakologi Ulasan
Bergambar. Lippincottt’s Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah
Azwar Agoes. Edisi II. Jakarta. Widya Medika. Halaman 259.

Oktora, Monika. 2011. Apa Semua Obat Maag Perlu Dikunyah?. [online]
Diambil dari http://apotekerbercerita.wordpress.com/2011/03/10/apa-
semua-obatmaag-perlu-dikunyah/ diakses pada 18 Oktiober 2014.

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2.
Jakarta: EGC.

\Sagall, RJ. 2006. Ibuprofen and stomach ulcers. Pediatrics for parents journals;
vol 22,5; p 1-22. Academic Research library.
Wibowo, Y.A. (2007). Gastritis. Diambil dari http://fkuii.org/tikidownload
wiki_attachment.php?attld=1078&page=Yoga%20Agua%20Wibowo.
Diakses tanggal 21 September 2014.

You might also like