Professional Documents
Culture Documents
TRANSVERSE MYELITIS
Oleh:
Diajukan Kepada :
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
TRANSVERSE MYELITIS
RSUP PERSAHABATAN
Disusun oleh :
Pembimbing
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Presentasi Kasus
“TRANSVERSE MYELITIS” dengan baik. Kasus ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Persahabatan.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
dr. Lilis Diah Hendrawati, Sp.Aselaku pembimbing.
Penulis
3
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS ORANGTUA
I.II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 15
Februari 2019 di bangsal bougenville bawah RSUP Persahabatan.
Keluhan utama : Tangan dan kaki kaku sejak 5 hari SMRS
Keluhan tambahan : Sulit bicara dan tidak bisa berjalan
4
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami kedua tangan dan kaki kaku sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit (13 Februari 2019). Pasien mengalami kaku pada kaki dan tangan
sampai kedua tangan gemetar terus menerus. Awalnya pasien mengeluhkan pada
kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas sampai pasien tidak bisa berjalan
sehingga untuk berpindah tempat pasien harus merangkak kemudian diikuti oleh
kedua tangan yang kaku dan gemetar selang beberapa jam kemudian. Menurut ibu
pasien keluhan tidak berkurang saat pasien beristirahat. Pasien juga mengalami
sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya mengeluarkan suara yang tidak
jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang pasien seperti kesulitan untuk
membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu pasien, anaknya dapat berbicara
dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien menurun. Pasien terlihat lemas
serta mengeluhkan kesakitan pada badannya sehingga tidak beraktivitas seperti
biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan pasien keesokan harinya masih
tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli anak
RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam
5
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas. Kemudian pasien
dibolehkan pulang dari RSUP Persahabatan pada tanggal 8 Maret 2019.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama seperti yang ia alami
saat ini
Pasien memiliki riwayat kejang yang didahului demam saat berusia 2 tahun
Pasien pernah kejang tanpa demam sehingga dirawat di rumah sakit saat
berusia 4 tahun
Pasien pernah di rawat di RSUP Persahabatan dengan didiagnosis
Ensefalopati Dengue
Pasien tidak memiliki alergi obat maupun makanan.
Riwayat asma sebelumnya disangkal
Riwayat trauma disangkal.
Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya
6
Pasien menggunakan BPJS untuk berobat
Tidak terdapat tetangga yang memiliki keluhan serupa
Riwayat Antenatal
Anak ke-2 dari 2 bersaudara
Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien ke bidan dan dikatakan
tidak ada gangguan atau kelainan pada bayi.
Ibu tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol
Tidak ada masalah kehamilan selama mengandung pasien seperti demam,
kejang, darah tinggi, batuk dan pilek.
Riwayat Persalinan
Pasien dilahirkan ditolong oleh dokter secara normal pada saat usia
kehamilan 39 minggu
Berat badan lahir 3300 gram dan panjang lahir 50 cm
Saat lahir pasien menangis spontan dan tidak tampak kebiruan
Riwayat makanan
Umur ASI Susu Formula Makanan berat Cemilan
0 – 6 bulan + - - -
6 bulan – 2 + + + +
tahun 1 mangkuk bayi, 3 Buah dan
kali sehari bubur biskuit
bayi
2 tahun – 5 - - + +
tahun Makanan dewasa
7
Riwayat Imunisasi
Riwayat Perkembangan
Perkembangan Usia
Motorik Kasar Berdiri sendiri 1 tahun
Lari 1.5 tahun
Motorik Halus Meraih 6 bulan
Mencorat-coret 15 bulan
Menggambar orang 5 tahun
Bahasa Bicara semua dimengerti 3 tahun
Sosial Mengambil makan 3,5 tahun
Memakai baju sendiri 2,5 tahun
Kesan : Riwayat perkembangan sesuai dengan anak seusianya
Saat di Ruangan
8
Suhu : 36,60C frontal
SpO2 : 99 %
Data antropometri
a) BB/U
Berat badan = 18 kg
Usia = 5 tahun 6 bulan
BB ideal = 20 kg
Nilai : persentil 50
Kesan : Gizi kurang
b) TB/U
Tinggi badan = 116 cm
Usia = 5 tahun 6 bulan
Nilai : persentil 75
Kesan : Normal
9
10
Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam merata, tidak mudah
dicabut, ubun-ubun besar sudah menutup.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea
jernih, refleks cahaya langsung dan tidak langsung positif,
pupil bulat isokor 2/2.
Telinga : Daun telinga simetris kanan dan kiri, lekukan sempurna,
liang telinga lapang, tidak ada serumen, tidak ada sekret,
tidak ada nyeri.
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, mukosa tidak
hiperemis, sekret (-).
Mulut : Bibir tidak sianosis, faring tidak hiperemis.
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB.
Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, retraksi (-).
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : Sonor +/+ di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I tunggal dan BJ II split konstan, gallop (-),
murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus normal (5 kali permenit).
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, limpa tidak
teraba.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.
11
Ekstremitas : Akral hangat, edema tidak ada, tidak ada sianosis, CRT
<2 detik
Status Neurologis:
1. GCS : E4V5M6
2. Meningeal Sign
Kaku kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Brudzinski III : Negatif
Brudzinski IV : Negatif
2. Pemeriksaan sensorik
Sensory extinction: tidak dapat dinilai
3. Kekuatan motorik
Ekstremitas atas: 4/4
Ekstremitas bawah: 4/4
4. Reflek Fisiologi
Reflek tendon:
BPR / biceps : +
TPR / triceps : +
KPR / patella : +
APR / achilles : +
Klonus Lutut : -
Klonus kaki : -
5. Reflek Patologis :
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Stransky : -/-
Gonda : -/-
12
Schaeffer : -/-
Rossolimo : -/-
Mendel-Bechtrew : -/-
Hoffman & Tromner : -/-
13
Hasil Laboratorium RSUP Persahabatan (15 Februari 2019)
Elektrolit
Natrium 133 L 135-145
Kalium 4,7 3.5-5.0
Klorida 97 96.0-107
Kalsium 9,7 8,8-10,8
I.V. RESUME
An. MRS, usia 5 tahun 6 bulan datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan
keluhan kaku pada kaki dan tangan sampai kedua tangan gemetar terus menerus.
Awalnya pasien mengeluhkan pada kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas
sampai pasien tidak bisa berjalan sehingga untuk berpindah tempat pasien harus
merangkak kemudian diikuti oleh kedua tangan yang kaku dan gemetar selang
beberapa jam kemudian. Menurut ibu pasien keluhan tidak berkurang saat pasien
beristirahat. Pasien juga mengalami sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya
mengeluarkan suara yang tidak jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang
pasien seperti kesulitan untuk membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu
pasien, anaknya dapat berbicara dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien
menurun. Pasien terlihat lemas serta mengeluhkan kesakitan pada badannya
sehingga tidak beraktivitas seperti biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan
pasien keesokan harinya masih tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli anak
RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk
14
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada yang memiliki
keluhan yang serupa di keluarga. Pasien memiliki riwayat kejang yang didahului
demam saat berusia 2 tahun. Pasien pernah kejang tanpa demam sehingga dirawat
di rumah sakit saat berusia 4 tahun. Pasien pernah di rawat di RSUP Persahabatan
dengan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Tidak ada riwayat alergi, asma, DM dan
TB paru sebelumnya di keluarga. Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara.
Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien dan sudah dilakukan usg serta
cek fetomaternal dikatakan tidak ada gangguan atau kelainan pada bayi. Pasien
dilahirkan secara normal pada saat usia kehamilan 39 minggu. Berat badan lahir
3300 gram dan panjang lahir 50 cm. Pasien mendapatkan asi selama hampir 2
tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, RR 22x/
menit reguler, nadi 80 x/menit regular kuat angkat, suhu frontal 36,6 0C, SpO2 99
%. Kekuatan motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan peningkatan pada trombosit, dan neutrophil
serta penurunan pada Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, kreatinin darah, dan
natrium.
15
I.VI. DIAGNOSIS KERJA
- Transverse Myelitis post Ensefalopati Dengue
-
I.VII. PENATALAKSANAAN
Metilprednisolone tab 4 mg 3x2,5 tab PO
Asam Valproat syr 2x7 cc PO
Paracetamol 4x7,5 cc PO
Ranitidine 2x1 amp IV
IVFD RL 15 tpm (makro)
I.VIII. PROGNOSIS
Ad. Vitam : ad bonam
Ad. Fungionam : dubia ad bonam
Ad. Sanationam : dubia ad bonam
Tanggal Follow UP
15-02-2019 S: Tangan kaku (+), Tangan dan kaki gemeter (+), nafsu makan
kurang, mengeluh kesakitan, demam berkurang, tidur gelisah,
batuk (+), bicara masih sulit, masih belum bisa jalan
16
- Infus RL 15 tpm makro
- Loading RL 150ml/jam
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Paracetamol syr 4x7,5 cc PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
16-02-2019 S: Tangan dan kaki gemetar (+) 1 kali sekitar 10 menit, batuk (+),
tidur gelisah, batuk (+), demam (-), mengeluh pada tangan
kesakitan berkurang, bicara masih sulit, masih belum bisa jalan
17
Suhu : 36.40C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
18-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, tidur gelisah,
masih sulit bicara, masih belum bisa jalan
19-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, masih belum bisa jalan
18
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 360C
SpO2 : 98%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
20-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(+)
21-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(+)
19
O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis
Tanda-tanda vital :
Nadi : 87 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36,70C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
22-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(-)
20
- Asam tranexamat 3x250 mg
23-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(-)
21
- Metilprednisolone 2x2 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV Neo K 1x1
- Boleh pulang
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang
mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya
perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis
pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis2.
Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,
traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior3.
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris
mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap
suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse
menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi
di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena
inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi
berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial
menimbulkan kerusakan2.
2.2. Epidemiologi
Mielitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden antara
satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun2. Meskipun
gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak terjadi pada
umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus
per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demielinisasi yang didapat,
khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari myelitis
transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam
keluarga3.
23
2.3. Etiologi
Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada
beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan saraf
yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun keduanya.
Pada beberapa kasus lainnya, MT disebabkan oleh infeksi mikroba langsung pada
SSP. 30-60% pasien MT dilaporkan menderita infeksi dalam 3-8 minggu
sebelumnya dan bukti serologis infeksi akut oleh rubella, campak, infeksi
mononucleosis, influenza, enterovirus, mikoplasma atau hepatitis A, B, dan C.
Patogen lainnya yaitu virus herpes (CMV, VZV, HSV1, HSV2, HHV6, EBV),
HTLV-1, HIV-1 yang langsung menginfeksi medulla spinalis dan menimbulkan
gejala klinis MT. Borrelia burgdorferi (Lyme neuroborreliosis) dan Treponema
pallidum (sifilis) juga dikaitkan dengan infeksi langsung SSP dan MT1.
MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.
Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan
dengan gejala LES yang aktif1.
2.4. Patogenesis
a) Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang
berat dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit
T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi
sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior
horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses
autoimun yang berkembang menjadi MT4.
b) MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya
keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata
“parainfeksi” telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh
infeksi mikroba langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi
mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang
asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.
24
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi
penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya,
seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses
ke lokasi yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada pada
organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas
pada suatu focus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT4.
Penelitian yang dilakukan oleh Malik et al melaporkan kasus yang jarang
terjadi yaitu MTA yang diakibatkan oleh karena infeksi virus dengue baik selama
dan setelah infeksi yang bersifat Longitudinal Extensive Transverse Myelitis.
Kasus tersebut dilaporkan terjadi pada anak laki-laki yang sebelumnya sehat
setelah demam berdarah pada tahap pasca infeksi. Pasien respon terhadap
pemberian kortikosteroid dan akhirnya sembuh total dengan deficit neurologis
minimal6.
Laporan kasus, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dating ke klinik
rawat jalan dengan keluhan sakit punggung yang luar biasa, terutama terlokalisasi
di daerah lumbar selama 1 minggu. Dia hanya terbaring di tempat tidur karena
sakit pada punggung. Dia tidak mampu menahan beban pada tungkai bawahnya.
Ada gejala disfungsi kandung kemih dan usus selama 3 terakhir ini6.
Dia tinggal di daerah wabah DBD. Dia memiliki riwayat demamtinggi 28
hari yang lalu disertai menggigil, myalgia, arthralgia, sakit kepala, dan ruam
ptekie, yang didiagnosis sebagai demam berdarah dan terkonfirmasi dengan tes
serologis. Hasil laporan lab darah menunujukkan NS1 positif dan penurunan
trombosit yang dilakukan padapemeriksaan darah secara serial. Tes HIV
dilakukan, hasilnya negatif6.
Pasien sepenuhnya sadar dan berorientasi dengan nilai fungsi mental lebih
tinggi. Padapemeriksaan neurologis, terdapat kelumpuhan tungkai dengan nilai
motoric 3/5 (distal lebih menonjol disbanding proksimal), arefleksia pada
pemeriksaan motorik. Reflex plantar bilateral tidak dapat dipastikan. Tanda-tanda
iritasi meningeal tidak ada. Pemeriksaan neurologis tungkaiatas dan saraf kranial
normal. Sensasi kesemutan muncul pada tungkai bawah secara bilateral6.
25
Tidak ada gangguan pernapasan. Sistem lain benar-benarnormal.ada takikardi
persisten dengan denyut jantung 140-150x/menit. Parameter lab menunjukkan
gambaran darah lengkap, gula darah, elektrolit, dan tes fungsi ginkal dalam batas
normal. Uji antibodi IgG dan IgM positif untuk demam berdarah6.
MRI tulang belakang dilakukan pada hari ke-2 saat masuk untuk
mengecualikan penyakit kompresif atau peradangan pada sumsum tulang
belakang. MRI mengungkapkan intensitas sinyal T2 yang berkelanjutan pada
intramedullary mengalami hipersensitifitas pada segmen sepanjang dari dorsal dan
lumbar yang memanjang dari T5 sampai conus medullaris. Screening MRI pada
otak normal. Diagnosis sementara LETM ditegakkan setelah memertimbangkan
gejala-gejala pasien yang dihubungkan dengan temuan-temuan pemeriksaan
klinis. Analisis LCS tidak memungkinkan karena pasien tidak setuju untuk
dilakukan lumbal pungsi6.
Pasien diterapi dengan analgetik dan terapi intravena dengan
metilprednisolone dengan dosis 1 g/hari selama 7 hari kemudian dialihkan ke
regimen prednisolone peroral. Dosis prednisolone oral dimulai dengan 60 mg/hari
dan kemudian diturunkan secara bertahap selama 6 minggu. Kandung kemih
pasien dikateterisasi selama 3 hari pertama. Latihan terapi rehabilitasi fisik
dilakukan bersamaan dengan perawatan medis. Kelemahan secara dramatis
membaik dengan pemberian kortikosteroid, dan pasien dapat berjalan pada
mingguke-2 pengobatan. Dia dipulangkan setelah 17 hari rawat inap, dengan
beberapa deficit neurologis residual. Dalam tindaklanjut setelah 1 bulan, pasien
mengalami beberapa kesulitan saat menaiki tangga tetapi tidak kesulitan saat
berjalan6.
Patogenesis dalam kasus ini keungkinan merupakan fenomena yang
dimediasi imun sebagai respon terhadap infeksi virus dengue6.
c) Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem
saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter
jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya
GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties
26
seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas
gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C.
jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan
gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan
berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi
saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan
autoantibody sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya4.
27
nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang
menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin4.
e) Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem
humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-
sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya
dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla
spinalis. Antibody yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan
terdeposit di suatu area di medulla spinalis4.
28
anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada
sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu2.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,
inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang
tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat
keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari
80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10
hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis
bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari2.
2.6. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat
pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak
ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan
dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga
memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi5.
Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the spinal
cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or elevated
IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met
at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after
symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if
patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from
point of awakening)
29
Exclusion criteria
1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years
2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the anterior
spinal artery
3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis, Behcet's
disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma, other
viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF,
cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human
herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar
puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus
erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse myelitis.
(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and
nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59: 499-5
Inflamasi Non-Inflamasi
Tumor Infeksi
Virus: coxsackie, mumps,
varicella, CMV
Tuberculosis
Mikoplasma
Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi
Lupus eritematosus sistemik
30
Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20 November 2011])
2.8.Pemeriksaan Penunjang
MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi5.
CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis5.
Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab structural, punksi lumbal merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati inflamasi
ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan
glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa5.
Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik
konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau
penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi
terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti
ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibody
harus dilakukan5.
Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A
31
(Ro), SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein,
dan level komplemen5.
32
Gambar 2.1. Alur Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut5
33
2.9.Penatalaksanaan
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga
dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini
pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit.
Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya
selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien7. Regimen oral dapat digunakan pada
kasus pasien myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang
tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia,
nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit3.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan
infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini3.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan
fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan
siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator
long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko
serangan berulang3.
34
pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube
diperlukan atau tidak3.
Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan
(spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik).
Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive,
memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled
trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk
pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis3.
Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri
neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis),
spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon
baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic
antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS,
dan narkotik3.
Disfungsi Usus dan Genitourinari
35
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada
fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya
muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan
persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian
antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan
retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi
urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi
sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter,
tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan
kandung kemih3.
Pada fase akut dan kronik myelitis transversalis, disfungsi usus dicirikan
dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada
beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman
usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi3.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari myelitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya
kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia3.
Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang
pada pasien myelitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya,
seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan,
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog3.
2.10. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien
menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan
mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut
walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita
ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi2.
36
BAB III
ANALISA KASUS
An. MRS, usia 5 tahun 6 bulan datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan
keluhan kaku pada kaki dan tangan sampai kedua tangan gemetar terus menerus.
Awalnya pasien mengeluhkan pada kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas
sampai pasien tidak bisa berjalan sehingga untuk berpindah tempat pasien harus
merangkak kemudian diikuti oleh kedua tangan yang kaku dan gemetar selang
beberapa jam kemudian. Menurut ibu pasien keluhan tidak berkurang saat pasien
beristirahat. Pasien juga mengalami sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya
mengeluarkan suara yang tidak jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang
pasien seperti kesulitan untuk membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu
pasien, anaknya dapat berbicara dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien
menurun. Pasien terlihat lemas serta mengeluhkan kesakitan pada badannya
sehingga tidak beraktivitas seperti biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan
pasien keesokan harinya masih tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli
anak RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5
37
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada yang
memiliki keluhan yang serupa di keluarga. Pasien memiliki riwayat kejang yang
didahului demam saat berusia 2 tahun. Pasien pernah kejang tanpa demam
sehingga dirawat di rumah sakit saat berusia 4 tahun. Pasien pernah di rawat di
RSUP Persahabatan dengan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Tidak ada riwayat
alergi, asma, DM dan TB paru sebelumnya di keluarga. Pasien merupakan anak
ke-2 dari 2 bersaudara. Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien dan
sudah dilakukan usg serta cek fetomaternal dikatakan tidak ada gangguan atau
kelainan pada bayi. Pasien dilahirkan secara normal pada saat usia kehamilan 39
minggu. Berat badan lahir 3300 gram dan panjang lahir 50 cm. Pasien
mendapatkan asi selama hampir 2 tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, RR 22x/
menit reguler, nadi 80 x/menit regular kuat angkat, suhu frontal 36,6 0C, SpO2 99
%. Kekuatan motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan peningkatan pada trombosit, dan neutrophil
serta penurunan pada Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, kreatinin darah, dan
natrium.
Berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
pasien menunjukkan adanya keluhan yang berhubungan dengan system persarafan
pasien yang ditandai dengan adanya keluhan tangan dan kaki kaku yang disertai
gemetar dan nyeri, kemudian pasien kesulitan bicara dan tidak dapat berjalan. Hal
tersebut bisa menunjukkan adanya keluhan neurologis. Pada peeriksaan fisik
didapatkan adanya kelemahan pada kekuatan motorik pasien, dengan kekuatan
motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4. Hal tersebut
menunjukkan adanya kelemahan pada anggota gerak pasien baik kiri maupun
kanan atau paraparesis. Dari keluhan dan pemeriksaan fisik tersebut kita dapat
menyingkiran penyakit Stroke maupun Guillian-Barre Syndrome (GBS), karena
pada stroke kelumpuhan yang terjadi bersifat hemiparese artinya hanya pada satu
sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan. Diagnosis GBS dapat dilemahkan karena
pada GBS kelumpuhan yang terjadi biasanya bersifat lumpuh layu sedangkan
38
pada pasien ini hanya mengalami kekuatan motorik saja. Pada saat di bangsal
pasien juga sempat mengeluhkan BAB keras, hal inidapat dihubungkan dengan
keterlibatan dari saraf otonom yang menyebabkan pasien mengalami konstipasi.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil lab menunjukkan peningkata trombosit dan
neutrophil yang tidak terlalu signifikan sehinggabisa dikatan masih dalam batasan
normal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, penulis
berkesimpulan untuk diagnosis kerja pada pasien ini adalah Transverse Myelitis
karena dari keluhan didapatkan adanya kaku pada kedua anggota gerak yang
diawali dari kaki dan kemudian pada tangan, badan kesakitan, kesulitan bicara,
BAB keras. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya paraparesis pada
ekstremitas atas dan bawah dengan kekuatan otorik masing-masing 4/4. Hal
tersebut merupakan keluhan dari saraf motorik, sensorik dan otonom yang mana
perjalan penyakitnya seperti Transverse Myelitis walaupun harus ditunjang lebih
lanjut lagi dengan pemeriksaan penunjang MRI pada daerah medulla spinalis.
39
DAFTAR PUSTAKA
40