You are on page 1of 40

PRESENTASI KASUS

TRANSVERSE MYELITIS

Oleh:

Robi Heryanto 1710221065

Diajukan Kepada :

dr. Lilis Diah Hendrawati, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA
PERIODE 28 JANUARI – 6 APRIL 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

TRANSVERSE MYELITIS

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

RSUP PERSAHABATAN

Disusun oleh :

ROBI HERYANTO 1710221065

Pembimbing

dr. Lilis Diah Hendrawati, Sp.A (K)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Presentasi Kasus
“TRANSVERSE MYELITIS” dengan baik. Kasus ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Persahabatan.

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
dr. Lilis Diah Hendrawati, Sp.Aselaku pembimbing.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan kasus ini banyak terdapat


kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap
kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga kasus ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan bagi
pengembangan ilmu kedokteran. Aamiin.

Jakarta, 11 Maret 2019

Penulis

3
BAB I
STATUS PASIEN

I.I. IDENTITAS PASIEN


No. RM : 2271953
Nama pasien : An. MRS
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Indonesia
Alamat : Cipinang Muara, Jakarta Timur
Tanggal lahir/Umur : 3 September 2013/ 5 tahun 6 bulan
Masuk RSUP Persahabatan : 13 Februari 2019

IDENTITAS ORANGTUA

Orangtua Ayah Ibu

Nama Tn. M Ny. E


Umur sekarang 45 tahun 37 tahun
Perkawinan ke 1 1
Pendidikan terakhir SMA SMP
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah Tangga
Pangkat - -
Agama Islam Islam

I.II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 15
Februari 2019 di bangsal bougenville bawah RSUP Persahabatan.
Keluhan utama : Tangan dan kaki kaku sejak 5 hari SMRS
Keluhan tambahan : Sulit bicara dan tidak bisa berjalan

4
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami kedua tangan dan kaki kaku sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit (13 Februari 2019). Pasien mengalami kaku pada kaki dan tangan
sampai kedua tangan gemetar terus menerus. Awalnya pasien mengeluhkan pada
kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas sampai pasien tidak bisa berjalan
sehingga untuk berpindah tempat pasien harus merangkak kemudian diikuti oleh
kedua tangan yang kaku dan gemetar selang beberapa jam kemudian. Menurut ibu
pasien keluhan tidak berkurang saat pasien beristirahat. Pasien juga mengalami
sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya mengeluarkan suara yang tidak
jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang pasien seperti kesulitan untuk
membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu pasien, anaknya dapat berbicara
dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien menurun. Pasien terlihat lemas
serta mengeluhkan kesakitan pada badannya sehingga tidak beraktivitas seperti
biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan pasien keesokan harinya masih
tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli anak
RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam

5
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas. Kemudian pasien
dibolehkan pulang dari RSUP Persahabatan pada tanggal 8 Maret 2019.
Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama seperti yang ia alami
saat ini
 Pasien memiliki riwayat kejang yang didahului demam saat berusia 2 tahun
 Pasien pernah kejang tanpa demam sehingga dirawat di rumah sakit saat
berusia 4 tahun
 Pasien pernah di rawat di RSUP Persahabatan dengan didiagnosis
Ensefalopati Dengue
 Pasien tidak memiliki alergi obat maupun makanan.
 Riwayat asma sebelumnya disangkal
 Riwayat trauma disangkal.

Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluarga yang memiliki gejala yang serupa
 Keluarga tidak memiliki riwayat alergi, asma, , kejang, DM, TB paru, dan
hepatitis

Riwayat Sosial Ekonomi


 Pasien dirumah tinggal bersama dengan ayah, ibu dan 1 kakanya
 Tempat tinggal pasien berada pada kawasan padat penduduk
 Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 kamar mandi,
1 ruang tamu, dapur, dinding terbuat dari tembok, lantai dengan keramik
serta rumah pasien memiliki ventilasi udara yang cukup
 Sumber air di rumah pasien menggunakan air PAM
 Rumah rutin dibersihkan dari debu dan di pel setiap hari
 Tidak memiliki hewan peliharaan seperti kucing dan anjing

6
 Pasien menggunakan BPJS untuk berobat
 Tidak terdapat tetangga yang memiliki keluhan serupa

Riwayat Antenatal
 Anak ke-2 dari 2 bersaudara
 Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien ke bidan dan dikatakan
tidak ada gangguan atau kelainan pada bayi.
 Ibu tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol
 Tidak ada masalah kehamilan selama mengandung pasien seperti demam,
kejang, darah tinggi, batuk dan pilek.

Riwayat Persalinan
 Pasien dilahirkan ditolong oleh dokter secara normal pada saat usia
kehamilan 39 minggu
 Berat badan lahir 3300 gram dan panjang lahir 50 cm
 Saat lahir pasien menangis spontan dan tidak tampak kebiruan
Riwayat makanan
Umur ASI Susu Formula Makanan berat Cemilan
0 – 6 bulan + - - -

6 bulan – 2 + + + +
tahun 1 mangkuk bayi, 3 Buah dan
kali sehari bubur biskuit
bayi
2 tahun – 5 - - + +
tahun Makanan dewasa

7
Riwayat Imunisasi

Jenis imunisasi Waktu pemberian Reaksi


BCG 2 bulan Demam
DPT 2, 4, 6 & 18 bulan Demam
Polio 0, 2, 4, 6 & 18 bulan Tidak ada
Campak 9 bulan Tidak ada
Hepatitis B 0, 1, & 6 bulan Tidak ada
Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat Perkembangan
Perkembangan Usia
Motorik Kasar  Berdiri sendiri 1 tahun
 Lari 1.5 tahun
Motorik Halus  Meraih 6 bulan
 Mencorat-coret 15 bulan
 Menggambar orang 5 tahun
Bahasa  Bicara semua dimengerti 3 tahun
Sosial  Mengambil makan 3,5 tahun
 Memakai baju sendiri 2,5 tahun
Kesan : Riwayat perkembangan sesuai dengan anak seusianya

I.III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal Selasa, 15 Februari 2019 pukul 19.00 WIB di bangsal
Bougenville Bawah RSUP Persahabatan.
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital

Saat di Ruangan

Frekuensi Nadi : 80 x/menit kuat angkat, isi cukup, reguler

Frekuensi Napas : 22 x/menit, reguler

8
Suhu : 36,60C frontal

SpO2 : 99 %

Data antropometri
a) BB/U
 Berat badan = 18 kg
 Usia = 5 tahun 6 bulan
 BB ideal = 20 kg
Nilai : persentil 50
Kesan : Gizi kurang
b) TB/U
 Tinggi badan = 116 cm
 Usia = 5 tahun 6 bulan
Nilai : persentil 75
Kesan : Normal

9
10
Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam merata, tidak mudah
dicabut, ubun-ubun besar sudah menutup.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, kornea
jernih, refleks cahaya langsung dan tidak langsung positif,
pupil bulat isokor 2/2.
Telinga : Daun telinga simetris kanan dan kiri, lekukan sempurna,
liang telinga lapang, tidak ada serumen, tidak ada sekret,
tidak ada nyeri.
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum tidak ada, mukosa tidak
hiperemis, sekret (-).
Mulut : Bibir tidak sianosis, faring tidak hiperemis.
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB.
Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, retraksi (-).
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil kiri = kanan
Perkusi : Sonor +/+ di seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I tunggal dan BJ II split konstan, gallop (-),
murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus normal (5 kali permenit).
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, limpa tidak
teraba.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.

11
Ekstremitas : Akral hangat, edema tidak ada, tidak ada sianosis, CRT
<2 detik

Status Neurologis:
1. GCS : E4V5M6
2. Meningeal Sign
 Kaku kuduk : Negatif
 Brudzinski I : Negatif
 Brudzinski II : Negatif
 Brudzinski III : Negatif
 Brudzinski IV : Negatif
2. Pemeriksaan sensorik
 Sensory extinction: tidak dapat dinilai
3. Kekuatan motorik
 Ekstremitas atas: 4/4
 Ekstremitas bawah: 4/4
4. Reflek Fisiologi
Reflek tendon:
 BPR / biceps : +
 TPR / triceps : +
 KPR / patella : +
 APR / achilles : +
 Klonus Lutut : -
 Klonus kaki : -
5. Reflek Patologis :
 Babinski : -/-
 Chaddock : -/-
 Oppenheim : -/-
 Gordon : -/-
 Stransky : -/-
 Gonda : -/-

12
 Schaeffer : -/-
 Rossolimo : -/-
 Mendel-Bechtrew : -/-
 Hoffman & Tromner : -/-

I.IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium RSUP Persahabatan ( 13 Februari 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Darah Perifer Lengkap
Hb 10,4 L 11,5 – 14,5 g/dl
Ht 28,9 L 33 – 43 %
Eritrosit 3.66 L 3,9 – 5,3 juta/µL
Leukosit 7040 4000 – 12000 / µL
Trombosit 436.000 H 150.000 – 400.000 /µL
Hitung Jenis:
 Basofil 0.1 0–1%
 Eosinofil 1,4 1–3%
 Neutrofil 77,5 H 52 – 76 %
 Limfosit 12,6 L 20 – 40 %
 Monosit 8,4 2–8%
MCV 76,8 76 – 90fl
MCH 27,3 25 – 31pg
MCHC 35,6 32 – 36 g/dL
RDW-CV 12,6 <15,0
Elektrolit
Natrium 136 135-145
Kalium 4,30 3.5-5.0
Klorida 104 98-107
Kalsium 9 8,8-10,8
Hemostasis
Kimia Klinik
Ureum darah 28 15-36
Kreatinin darah 0,4 L 0,6-1,2

13
Hasil Laboratorium RSUP Persahabatan (15 Februari 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Kimia Klinik
SGOT 24 5-34
SGPT 10 0-55

Elektrolit
Natrium 133 L 135-145
Kalium 4,7 3.5-5.0
Klorida 97 96.0-107
Kalsium 9,7 8,8-10,8

I.V. RESUME
An. MRS, usia 5 tahun 6 bulan datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan
keluhan kaku pada kaki dan tangan sampai kedua tangan gemetar terus menerus.
Awalnya pasien mengeluhkan pada kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas
sampai pasien tidak bisa berjalan sehingga untuk berpindah tempat pasien harus
merangkak kemudian diikuti oleh kedua tangan yang kaku dan gemetar selang
beberapa jam kemudian. Menurut ibu pasien keluhan tidak berkurang saat pasien
beristirahat. Pasien juga mengalami sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya
mengeluarkan suara yang tidak jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang
pasien seperti kesulitan untuk membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu
pasien, anaknya dapat berbicara dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien
menurun. Pasien terlihat lemas serta mengeluhkan kesakitan pada badannya
sehingga tidak beraktivitas seperti biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan
pasien keesokan harinya masih tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli anak
RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk

14
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada yang memiliki
keluhan yang serupa di keluarga. Pasien memiliki riwayat kejang yang didahului
demam saat berusia 2 tahun. Pasien pernah kejang tanpa demam sehingga dirawat
di rumah sakit saat berusia 4 tahun. Pasien pernah di rawat di RSUP Persahabatan
dengan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Tidak ada riwayat alergi, asma, DM dan
TB paru sebelumnya di keluarga. Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara.
Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien dan sudah dilakukan usg serta
cek fetomaternal dikatakan tidak ada gangguan atau kelainan pada bayi. Pasien
dilahirkan secara normal pada saat usia kehamilan 39 minggu. Berat badan lahir
3300 gram dan panjang lahir 50 cm. Pasien mendapatkan asi selama hampir 2
tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, RR 22x/
menit reguler, nadi 80 x/menit regular kuat angkat, suhu frontal 36,6 0C, SpO2 99
%. Kekuatan motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan peningkatan pada trombosit, dan neutrophil
serta penurunan pada Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, kreatinin darah, dan
natrium.

15
I.VI. DIAGNOSIS KERJA
- Transverse Myelitis post Ensefalopati Dengue
-

I.VII. PENATALAKSANAAN
 Metilprednisolone tab 4 mg 3x2,5 tab PO
 Asam Valproat syr 2x7 cc PO
 Paracetamol 4x7,5 cc PO
 Ranitidine 2x1 amp IV
 IVFD RL 15 tpm (makro)

I.VIII. PROGNOSIS
Ad. Vitam : ad bonam
Ad. Fungionam : dubia ad bonam
Ad. Sanationam : dubia ad bonam

I.IX. FOLLOW UP PASIEN

Tanggal Follow UP

15-02-2019 S: Tangan kaku (+), Tangan dan kaki gemeter (+), nafsu makan
kurang, mengeluh kesakitan, demam berkurang, tidur gelisah,
batuk (+), bicara masih sulit, masih belum bisa jalan

O: KU/Kes : Tampak sakit sedang / Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 113 x/menit, akral dingin
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36.80C
SpO2 : 98%
A:
- Transverse Myelitis dd/ ADEM
P:

16
- Infus RL 15 tpm makro
- Loading RL 150ml/jam
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Paracetamol syr 4x7,5 cc PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
16-02-2019 S: Tangan dan kaki gemetar (+) 1 kali sekitar 10 menit, batuk (+),
tidur gelisah, batuk (+), demam (-), mengeluh pada tangan
kesakitan berkurang, bicara masih sulit, masih belum bisa jalan

O: KU/Kes : Tampak sakit sedang /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 101 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit.
Suhu : 36.50C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
17-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+), tidur gelisah, masih
sulit bicara, masih belum bisa jalan

O: KU/Kes : Tampak sakit sedang /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.

17
Suhu : 36.40C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
18-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, tidur gelisah,
masih sulit bicara, masih belum bisa jalan

O: KU/Kes : Lemah/Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 65 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36 0C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV

19-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, masih belum bisa jalan

O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis


Tanda-tanda vital :

18
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 360C
SpO2 : 98%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV

20-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(+)

O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36,70C
SpO2 : 98%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV

21-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(+)

19
O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis
Tanda-tanda vital :
Nadi : 87 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36,70C
SpO2 : 99%

A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2,5 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV
22-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(-)

O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 76 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit.
Suhu : 36,60C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV Neo K 1x1

20
- Asam tranexamat 3x250 mg
23-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan, BAB keras(-)

O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit.
Suhu : 36.50C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis
- Post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro
- Metilprednisolone 3x2 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV Neo K 1x1
- Asam tranexamat 3x250 mg
24-02-2019 S: Kaki dan tangan gemetar (-), batuk (+) jarang, masih sulit
bicara, sudah mulai bisa jalan

O: KU/Kes : Lemah /Compos mentis


Tanda-tanda vital :
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu : 36.40C
SpO2 : 99%
A:
- Transverse Myelitis post Ensefalopati Dengue
P:
- Infus RL 15 tpm makro

21
- Metilprednisolone 2x2 tab PO
- Asam valproate syr 2x7 ml PO
- Ranitidine 2x1 amp IV Neo K 1x1
- Boleh pulang

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang
mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya
perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis
pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis2.
Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus,
traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior3.
Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris
mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap
suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse
menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi
di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena
inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi
berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial
menimbulkan kerusakan2.

2.2. Epidemiologi
Mielitis transversalis adalah suatu sindrom yang jarang dengan insiden antara
satu sampai delapan kasus baru setiap satu juta penduduk pertahun2. Meskipun
gangguan ini dapat terjadi pada umur berapapun, kasus terbanyak terjadi pada
umur 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus
per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demielinisasi yang didapat,
khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari myelitis
transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam
keluarga3.

23
2.3. Etiologi
Etiologi MT merupakan gabungan dari beberapa faktor. Namun, pada
beberapa kasus, sindroma klinis MT merupakan hasil dari rusaknya jaringan saraf
yang disebabkan oleh agen infeksius atau oleh sistem imun, ataupun keduanya.
Pada beberapa kasus lainnya, MT disebabkan oleh infeksi mikroba langsung pada
SSP. 30-60% pasien MT dilaporkan menderita infeksi dalam 3-8 minggu
sebelumnya dan bukti serologis infeksi akut oleh rubella, campak, infeksi
mononucleosis, influenza, enterovirus, mikoplasma atau hepatitis A, B, dan C.
Patogen lainnya yaitu virus herpes (CMV, VZV, HSV1, HSV2, HHV6, EBV),
HTLV-1, HIV-1 yang langsung menginfeksi medulla spinalis dan menimbulkan
gejala klinis MT. Borrelia burgdorferi (Lyme neuroborreliosis) dan Treponema
pallidum (sifilis) juga dikaitkan dengan infeksi langsung SSP dan MT1.
MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES.
Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan
dengan gejala LES yang aktif1.

2.4. Patogenesis
a) Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang
berat dengan demielinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuclear, terutama limfosit
T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi
sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior
horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses
autoimun yang berkembang menjadi MT4.

b) MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik myelitis transversalis, terdapat adanya
keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata
“parainfeksi” telah digunakan untuk injuri neurologis yang diakibatkan oleh
infeksi mikroba langsung dan injuri yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi
mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang
asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf.

24
Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan myelitis, dan mungkin menjadi
penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya,
seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses
ke lokasi yang kaya system imun, menghindari system imun yang berada pada
organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas
pada suatu focus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT4.
Penelitian yang dilakukan oleh Malik et al melaporkan kasus yang jarang
terjadi yaitu MTA yang diakibatkan oleh karena infeksi virus dengue baik selama
dan setelah infeksi yang bersifat Longitudinal Extensive Transverse Myelitis.
Kasus tersebut dilaporkan terjadi pada anak laki-laki yang sebelumnya sehat
setelah demam berdarah pada tahap pasca infeksi. Pasien respon terhadap
pemberian kortikosteroid dan akhirnya sembuh total dengan deficit neurologis
minimal6.
Laporan kasus, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dating ke klinik
rawat jalan dengan keluhan sakit punggung yang luar biasa, terutama terlokalisasi
di daerah lumbar selama 1 minggu. Dia hanya terbaring di tempat tidur karena
sakit pada punggung. Dia tidak mampu menahan beban pada tungkai bawahnya.
Ada gejala disfungsi kandung kemih dan usus selama 3 terakhir ini6.
Dia tinggal di daerah wabah DBD. Dia memiliki riwayat demamtinggi 28
hari yang lalu disertai menggigil, myalgia, arthralgia, sakit kepala, dan ruam
ptekie, yang didiagnosis sebagai demam berdarah dan terkonfirmasi dengan tes
serologis. Hasil laporan lab darah menunujukkan NS1 positif dan penurunan
trombosit yang dilakukan padapemeriksaan darah secara serial. Tes HIV
dilakukan, hasilnya negatif6.
Pasien sepenuhnya sadar dan berorientasi dengan nilai fungsi mental lebih
tinggi. Padapemeriksaan neurologis, terdapat kelumpuhan tungkai dengan nilai
motoric 3/5 (distal lebih menonjol disbanding proksimal), arefleksia pada
pemeriksaan motorik. Reflex plantar bilateral tidak dapat dipastikan. Tanda-tanda
iritasi meningeal tidak ada. Pemeriksaan neurologis tungkaiatas dan saraf kranial
normal. Sensasi kesemutan muncul pada tungkai bawah secara bilateral6.

25
Tidak ada gangguan pernapasan. Sistem lain benar-benarnormal.ada takikardi
persisten dengan denyut jantung 140-150x/menit. Parameter lab menunjukkan
gambaran darah lengkap, gula darah, elektrolit, dan tes fungsi ginkal dalam batas
normal. Uji antibodi IgG dan IgM positif untuk demam berdarah6.
MRI tulang belakang dilakukan pada hari ke-2 saat masuk untuk
mengecualikan penyakit kompresif atau peradangan pada sumsum tulang
belakang. MRI mengungkapkan intensitas sinyal T2 yang berkelanjutan pada
intramedullary mengalami hipersensitifitas pada segmen sepanjang dari dorsal dan
lumbar yang memanjang dari T5 sampai conus medullaris. Screening MRI pada
otak normal. Diagnosis sementara LETM ditegakkan setelah memertimbangkan
gejala-gejala pasien yang dihubungkan dengan temuan-temuan pemeriksaan
klinis. Analisis LCS tidak memungkinkan karena pasien tidak setuju untuk
dilakukan lumbal pungsi6.
Pasien diterapi dengan analgetik dan terapi intravena dengan
metilprednisolone dengan dosis 1 g/hari selama 7 hari kemudian dialihkan ke
regimen prednisolone peroral. Dosis prednisolone oral dimulai dengan 60 mg/hari
dan kemudian diturunkan secara bertahap selama 6 minggu. Kandung kemih
pasien dikateterisasi selama 3 hari pertama. Latihan terapi rehabilitasi fisik
dilakukan bersamaan dengan perawatan medis. Kelemahan secara dramatis
membaik dengan pemberian kortikosteroid, dan pasien dapat berjalan pada
mingguke-2 pengobatan. Dia dipulangkan setelah 17 hari rawat inap, dengan
beberapa deficit neurologis residual. Dalam tindaklanjut setelah 1 bulan, pasien
mengalami beberapa kesulitan saat menaiki tangga tetapi tidak kesulitan saat
berjalan6.
Patogenesis dalam kasus ini keungkinan merupakan fenomena yang
dimediasi imun sebagai respon terhadap infeksi virus dengue6.

c) Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem
saraf sengat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi Campilobakter
jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting yang mendahului terjadinya
GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties

26
seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas
gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C.
jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibody yang bereaksi dengan
gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan
berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi
saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan
autoantibody sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya4.

d) Microbial superantigen-mediated inflammation


Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA
yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen
merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi
sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi.
Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I,
toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen
mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen
konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen
dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya
ssperbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang
bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen
sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang
menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah
aktivasi4.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun
dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan
ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang
menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang
diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan
dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen
yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen.
Pada manusia, pasien dengan ensefalomyelitis diseminata akut dan mielopati

27
nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang
menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin4.

e) Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem
humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-
sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya
dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla
spinalis. Antibody yang bersirkulasi dapat membentuk kompleks imun dan
terdeposit di suatu area di medulla spinalis4.

2.5. Manifestasi Klinis


Mielitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama dengan
penyakit lain. Mielitis transversalis dikatakan akut bila tanda dan gejala
berkembang dalam hitungan jam sampai beberapa hari, sedangkan sub akut gejala
klinis berkembang lebih dari 1–2 minggu. Simptom myelitis transversalis
berkembang cepat dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Sekitar 45%
pasien mengalami perburukan secara maksimal dalam 24 jam2.
Diagnostik pada penderita ini ditandai dengan karakteristik secara klinis
berkembangnya tanda dan gejala dari disfungsi neurologi pada saraf motorik,
sensoris dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis baik akut maupun
subakut. Inflamasi di dalam medula spinalis memutus jaras-jaras ini dan
menyebabkan hadirnya simptom umum dari myelitis transversalis2.
Kelemahan digambarkan sebagai paraparesis yang berlangsung progresif
cepat, dimulai dari kaki dan sebagai tambahan dapat juga diikuti keterlibatan
tangan. Kelemahan mungkin yang pertama dicatat dengan adanya tanda gambaran
keterlibatan traktus piramidal yang berlangsung perlahan-lahan pada minggu
kedua setelah penderita sakit2.
Keterlibatan level sensoris dapat ditemukan hampir pada semua kasus. Nyeri
dapat timbul pada punggung, ekstremitas atau perut. Parastesia merupakan tanda
awal yang paling umum myelitis transversalis pada orang dewasa dan tidak pada

28
anak-anak. Sensasi berkurang di bawah level keterlibatan medula spinalis pada
sebagian besar pasien, begitu pula nyeri dan suhu2.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency,
inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang
tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat
keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari
80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10
hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis
bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari2.

2.6. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat
pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak
ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan
dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga
memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi5.

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis

Inclusion criteria
1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the spinal
cord
2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)
3) Clearly-defined sensory level
4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)
5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or elevated
IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met
at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after
symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if
patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from
point of awakening)

29
Exclusion criteria
1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years
2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the anterior
spinal artery
3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM
4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis, Behcet's
disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma, other
viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa

AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF,
cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human
herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar
puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus
erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse myelitis.
(Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and
nosology of acute transverse myelitis. Neurology 2002; 59: 499-5

2.7. Diagnosis Banding

Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis

Inflamasi Non-Inflamasi

Kompresi Penyakit Demielinisasi


 Osteofit  sklerosis multiple
 Diskus  optik neuromyelitis
 Metastasis  ensefalomyelitis diseminata akut
 trauma  myelitis transversalis akut idiopatik

Tumor Infeksi
 Virus: coxsackie, mumps,
varicella, CMV
 Tuberculosis
 Mikoplasma
Sindrom Paraneolastik Penyakit inflamasi
 Lupus eritematosus sistemik

30
 Neurosarkoidosis
(Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute
Transverse Myelitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 20 November 2011])

2.8.Pemeriksaan Penunjang
 MRI
Evaluasi awal untuk pasien myelopati harus dapat menentukan apakah ada
penyebab structural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus
dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi5.
 CT-myelografi
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternative selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis5.
 Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab structural, punksi lumbal merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan myelopati inflamasi
ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan
glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa5.
 Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik
konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromise (AIDS atau
penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi
terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti
ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibody
harus dilakukan5.
 Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A

31
(Ro), SS-B (La), antibody antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein,
dan level komplemen5.

Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis


Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang

Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR


CSF; Foto Thorax dan pemeriksaan
imaging lainnya dengan indikasi
Autoimun Sistemik atau Penyakit Inflamasi Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan serologi;
Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan
imaging lainnya dengan indikasi
Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibody
paraneoplastik serum dan CSF
Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium; CSF
(sklerosis multiple, optic neuromyelitis) rutin; pemeriksaan visual evoked potential;
serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi
sebelumnya; konfirmasi serologi adanya
infeksi; eksklusi penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72)

32
Gambar 2.1. Alur Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut5

33
2.9.Penatalaksanaan
Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat
progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga
dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini
pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit.
Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya
selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien7. Regimen oral dapat digunakan pada
kasus pasien myelitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Efek yang
tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia,
nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan
elektrolit3.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan
infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini3.
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi
sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan
fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan
siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demielinisasi, imunomodulator
long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko
serangan berulang3.

Respirasi dan Oropharyngeal Support


Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla
spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan
regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan
penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah
memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi
paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien.
Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan

34
pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube
diperlukan atau tidak3.

Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi


Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk
thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan
posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan
integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan
fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat
dimulai secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-
aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan
pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan
memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek
agen ini pada pasien myelitis transversalis belum diteliti secara khusus3.

Abnormalitas Tonus
Myelitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock),
tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan
(spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik).
Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive,
memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled
trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk
pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis3.

Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah
serangan myelitis dan dapat disebabkan oleh injuri langsung pada saraf (nyeri
neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis),
spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon
baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic
antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS,
dan narkotik3.
Disfungsi Usus dan Genitourinari

35
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama myelitis transversalis pada
fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya
muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan
persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian
antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan
retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi
urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi
sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter,
tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan
kandung kemih3.
Pada fase akut dan kronik myelitis transversalis, disfungsi usus dicirikan
dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada
beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman
usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi3.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari myelitis transversalis.
Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya
kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia3.

Konsultasi Psikiater
Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang
pada pasien myelitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya,
seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan,
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog3.

2.10. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien
menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan
mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut
walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita
ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi2.

36
BAB III
ANALISA KASUS

An. MRS, usia 5 tahun 6 bulan datang ke IGD RSUP Persahabatan dengan
keluhan kaku pada kaki dan tangan sampai kedua tangan gemetar terus menerus.
Awalnya pasien mengeluhkan pada kedua kaki pasien merasa kaku dan lemas
sampai pasien tidak bisa berjalan sehingga untuk berpindah tempat pasien harus
merangkak kemudian diikuti oleh kedua tangan yang kaku dan gemetar selang
beberapa jam kemudian. Menurut ibu pasien keluhan tidak berkurang saat pasien
beristirahat. Pasien juga mengalami sulit berbicara. Menurut ibunya, pasien hanya
mengeluarkan suara yang tidak jelas saat berbicara. Saat akan berbicara, rahang
pasien seperti kesulitan untuk membuka dan gemetar. Sebelumnya menurut ibu
pasien, anaknya dapat berbicara dengan jelas. Nafsu makan dan minum pasien
menurun. Pasien terlihat lemas serta mengeluhkan kesakitan pada badannya
sehingga tidak beraktivitas seperti biasanya dan hanya tertidur di kasur. Keluhan
pasien keesokan harinya masih tidak ada perubahan.
Pada saat 2 hari SMRS, ibu pasien membawa anaknya berobat ke poli
anak RSUP Persahabatan karena keluhannya. Pada saat di poli, pasien masih
mengeluhkan tangan dan kakinya kaku sampai gemetar dan kesakitan, tidak dapat
bicara dengan jelas atau kesulitan berbicara, serta pasien tidak dapat berjalan
sehingga berpindah tempat pasien harus merangkak. Pasien disarankan untuk
rawat inap di RSUP Persahabatan. Pasien baru masuk dirawat tanggal 13 Februari
2019.
Sebelum sakit seperti sekarang, pasien sebelumnya dirawat di RSUP
Persahabatan dan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Pasien dirawat selama 9 hari
dari tanggal 30 Januari 2019. Pasien pada saat itu mengeluhkan demam sejak 3
hari SMRS. Menurut ibu pasien demam turun setelah diberikan obat paracetamol
kemudian beberapa jam demamnya naik lagi. Pasien juga sempat mengalami
muntah sekitar 2-3 kali. Saat dirawat di bangsal pasien sempat mengalami demam
tinggi sampai 40,6oC disertai menggigil, muntah sebanyak 3 kali, badan lemas,
serta pasien mengalami penurunan kesadaran sehingga pasien sempat masuk
perawatan ICU selama 3 hari. Pasien masuk bangsal kembali pada tanggal 5

37
Februari 2019. Pasien sudah sadar setelah perawatan dari ICU, keluhan demam
sudah tidak ada tetapi badan pasien masih terlihat lemas.
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada yang
memiliki keluhan yang serupa di keluarga. Pasien memiliki riwayat kejang yang
didahului demam saat berusia 2 tahun. Pasien pernah kejang tanpa demam
sehingga dirawat di rumah sakit saat berusia 4 tahun. Pasien pernah di rawat di
RSUP Persahabatan dengan didiagnosis Ensefalopati Dengue. Tidak ada riwayat
alergi, asma, DM dan TB paru sebelumnya di keluarga. Pasien merupakan anak
ke-2 dari 2 bersaudara. Ibu pasien rutin ANC selama mengandung pasien dan
sudah dilakukan usg serta cek fetomaternal dikatakan tidak ada gangguan atau
kelainan pada bayi. Pasien dilahirkan secara normal pada saat usia kehamilan 39
minggu. Berat badan lahir 3300 gram dan panjang lahir 50 cm. Pasien
mendapatkan asi selama hampir 2 tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, RR 22x/
menit reguler, nadi 80 x/menit regular kuat angkat, suhu frontal 36,6 0C, SpO2 99
%. Kekuatan motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan peningkatan pada trombosit, dan neutrophil
serta penurunan pada Hemoglobin, hematokrit, eritrosit, kreatinin darah, dan
natrium.
Berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan,
pasien menunjukkan adanya keluhan yang berhubungan dengan system persarafan
pasien yang ditandai dengan adanya keluhan tangan dan kaki kaku yang disertai
gemetar dan nyeri, kemudian pasien kesulitan bicara dan tidak dapat berjalan. Hal
tersebut bisa menunjukkan adanya keluhan neurologis. Pada peeriksaan fisik
didapatkan adanya kelemahan pada kekuatan motorik pasien, dengan kekuatan
motorik ekstremitas atas 4/4 dan ekstremitas bawah 4/4. Hal tersebut
menunjukkan adanya kelemahan pada anggota gerak pasien baik kiri maupun
kanan atau paraparesis. Dari keluhan dan pemeriksaan fisik tersebut kita dapat
menyingkiran penyakit Stroke maupun Guillian-Barre Syndrome (GBS), karena
pada stroke kelumpuhan yang terjadi bersifat hemiparese artinya hanya pada satu
sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan. Diagnosis GBS dapat dilemahkan karena
pada GBS kelumpuhan yang terjadi biasanya bersifat lumpuh layu sedangkan

38
pada pasien ini hanya mengalami kekuatan motorik saja. Pada saat di bangsal
pasien juga sempat mengeluhkan BAB keras, hal inidapat dihubungkan dengan
keterlibatan dari saraf otonom yang menyebabkan pasien mengalami konstipasi.
Pada pemeriksaan penunjang, hasil lab menunjukkan peningkata trombosit dan
neutrophil yang tidak terlalu signifikan sehinggabisa dikatan masih dalam batasan
normal. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, penulis
berkesimpulan untuk diagnosis kerja pada pasien ini adalah Transverse Myelitis
karena dari keluhan didapatkan adanya kaku pada kedua anggota gerak yang
diawali dari kaki dan kemudian pada tangan, badan kesakitan, kesulitan bicara,
BAB keras. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya paraparesis pada
ekstremitas atas dan bawah dengan kekuatan otorik masing-masing 4/4. Hal
tersebut merupakan keluhan dari saraf motorik, sensorik dan otonom yang mana
perjalan penyakitnya seperti Transverse Myelitis walaupun harus ditunjang lebih
lanjut lagi dengan pemeriksaan penunjang MRI pada daerah medulla spinalis.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Kerr, D, 2001. Current Therapy in Neurologic Disease: Transverse Myelitis.


6th ed. [Diakses 7 Maret 2019]
2. Tapiheru LA, Sinurat PPO, Rintawan K. 2007. Laporan Kasus: Myelitis
Transversalis. Majalah Kedokteran Nusantara 2007;40;e235 [Diakses 7 Maret
2019]
3. Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Myelitis. The New England
Journal of Medicine 2010;363:564-72. [Diakses 7 Maret 2019]
4. Kerr DA, Ayetey H. 2002. Immunopathogenesis of Acute Transverse
Myelitis. Current Opinion in Neurology 2002, 15:339±347 [Diakses 8 Maret
2019]
5. Transverse Myelitis Consortium Working Group. 2002. Proposed Diagnostik
Kriteria and Nosology of Acute Transverse Myelitis. Neurology 2002; 59;
499-505. [Diakses 8 Maret 2019]
6. Malik S, Saran S, Dubey A, Punj A. 2016. Longitudinally Extensive
Transverse Myelitis Following Dengue Virus Infection: A Rare Entity. Annals
of African Medicine 2016. [Diakses 9 Maret 2019]
7. Absoud M, Greenberg BM, Lim M, Lotze T, Thomas T, Deiva K. 2016.
Pediatrics Transverse Myelitis. American Academy of Neurology 2016.
[Diakses 10 Maret 2019]

40

You might also like