You are on page 1of 17

ASUHAN KEPERAWATAN TRANSKULTURAL

MENURUT TEORI LEININGER

Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Transkultural

Oleh:
Farikha Nur Mulya S 1511004
Endang Widyawati 1612081
Umi Saitdah 1712030
Moch. Oscar SP 1712031
Rina Pristi 1712038

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PATRIA HUSADA


BLITAR
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Teori
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada abad ke-21, termasuk
tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin besar. Dengan adanya
globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara (imigrasi) dimungkinkan,
menyebabkan adaya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Keperawatan sebagai
profesi memiliki landasan body of knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan serta
dapat diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Perkembangan teori keperawatan terbagi
menjadi 4 level perkembangan yaitu metha theory, grand theory, midle range theory dan
practice theory.
Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah Transcultural
Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan dikembangkan dalam
konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh
pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat.
Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya
dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan
oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock.
Medeline Leininger adalah pendiri dan pelopor keperawatan transkultural dan teori
perawatan manusia. Dia lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir perawat profesional
setelah lulus pendidikan dasar keperawatan dari St. Anthony School of Nursing di Denver,
Colorado tahun 1948. Bsc dari Benedectine Collage Atchison tahun 1950. Setelah lulus, dia
bekerja sebagai instruktur, staf keperawatan, dan kepala perawat di unit medikal bedah, serta
sebagai Direktur unit psikiatri di Rumah Sakit St. Joseph, Omaha, Nebraska. Pada saat
bersamaan, dia mendalami ilmu keperawatan, administrasi keperawatan, mengajar dan
kurikulum keperawatan, test dan pengukuran di Universitas Creighton, Omaha.
Tahun 1954, memperoleh gelar Master keperawatan psikiatri dari Universitas
Catholic, Woshington DC. Dia dipekerjakan di sekolah kesehatan Universitas Cincinnati,
Ohio, disinilah dia menjadi master klinik, spesialis keperawatan psikiatri anak yang pertama
di dunia. Dia juga mengajukan dan memimpin program keperawatan psikiatri di Universitas
Cincinnati dan Pusat Keperawatan Psikiatri Terapeutik di Universitas Hospital. Pada saat
bersamaan, dia menulis salah satu dasar keperawatan Psikiatri, yang berjudul Basic
Psychiatri Concepts in Nursing, yang dipublikasikan tahun 1960 dalam 11 bahasa dan
digunakan diseluruh dunia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara
budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Asumsi
mendasar dari teori adalah perilaku Caring.
Caring adalah esensi dari keperawatan, membedakan, mendominasi serta
mempersatukan tindakan keperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang
dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring
semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan,
masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal. Human caring secara umum
dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan dukungan dan bimbingan pada
manusia yang utuh. Human caring merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi,
struktur dan polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.

2.2 Paradigma Transkultural Nursing


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral keperawatan yaitu:
manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan.
a. Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memilikinilai – nilai dan
norma – norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan
pilihan. Menurut Leininger manusia memiliki kecenderugan untuk mempertahankan
budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada (Geiger and Davidhizar, 1995)
b. Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu keyakinan,
nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk menjaga dan
memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam aktivitas sehari-hari.
Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mempertahankan keadaan
sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew and Boyle, 1995).
c. Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien.Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi. Terdapat tiga
bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik.
1. Lingkungan fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan olehmanusia seperti
daerah katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di
daerah Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari
sepanjang tahun.
2. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan dengan
sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang lebih luas.
Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan aturan-aturan
yang berlaku di lingkungan tersebut.
3. Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan
individu atau kelompok merasa bersatuseperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa
dan atribut yang digunakan.
d. Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuaidengan latar belakang budayanya.
Asuhan keperawatan ditujukan memnadirikan individu sesuai dengan budaya klien.
Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan /
mempertahankan budaya, mengakomodasi / negoasiasi budaya dan mengubah /
mengganti budaya klien (Leininger, 1991).
1. Cara I : Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya
pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki
klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
2. Cara II : Negosiasi budaya Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap
ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang
lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya
klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan
dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain.
3. Cara III : Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila
budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya
merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak
merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan
dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

2.3 Konsep dalam Transcultural Nursing


a. Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,
dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil
keputusan.
b. Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
c. Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal daei
pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai
nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap
lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi
(Leininger, 1985
d. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
e. Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
f. Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal
muasal manusia
g. Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang
tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk
mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik
diantara keduanya.
h. Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi
kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas
kehidupan manusia.
i. Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan
mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
j. Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan
kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan
mencapai kematian dengan damai.
k. Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena percaya
bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.

Penjelasan Bagan:

Teori Leininger dikembangkan dari antropologi dan keperawatan, namun


diformulasikan menjadi keperawatan transkultural dengan perspektif asuhan pada manusia.
Leinenger mengembangkan metode penelitian enthnonursing dan menegaskan pentingnya
mempelajari seseorang dari pengetahuan dan pengalaman lokal mereka, kemudian
menghadapkan mereka dengan perilaku dan kepercayaan yang ada di luar diri mereka
(Alligood, 2006). Sunrise model dikembangkan untuk memberikan gambar konseptual yang
holistik dan komprehensif dari faktor-faktor utama yang berperan penting dalam teori
keragaman asuhan budaya & kebersamaan asuhan budaya (Parker, 2001).
Dalam model sunrisenya menampilkan visualisasi hubungan antara berbagai konsep
yang signifikan ide pelayanan dan keperawatan. Memberikan asuhan merupakan jantung dari
keperawatan dan merupakan karakteristik dasar dari keperawatan. Terdapat 7 komponen yang
ada pada "Sunrise Model" dan dapat menjadikan inspirasi dalam penelitian khususnya yang
berkaitan dengan asuhan transkultural yaitu :

Pengkajian
a. Faktor teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengkaji
lebih dalam tentang persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah
kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif
dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi
permasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis
bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk
menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor
agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara
pandang klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama
panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.

e. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut
budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang
mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada
faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
f. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya. Yang perlu
dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk
klien yang dirawat.
g. Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang
dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji
oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang
dimiliki oleh keluarga, biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari
kantor atau patungan antar anggota keluarga.
h. Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien
biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji
pada tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk
belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

Diagnose Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang
dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar,
1995). Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan
keperawatan transkultural yaitu: gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
perbedaan kultur, gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan
ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.
Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi
yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam
keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang
dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi
budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien
bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
a. Cultural care preservation/maintenance
1. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
penyakit
2. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
3. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b. Cultural careaccomodation/negotiation
1. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik
c. Cultual care repartening/reconstruction
1. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu
4. Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua
5. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien
tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien
yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin
sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
BAB III
ANALISA KASUS

3.1 Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Suku Sasak


Bangunan rumah adat Suku Sasak memiliki beberapa bagian. Di bagian atap
bentuknya seperti gunungan yang menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter
dari permukaan tanah. Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya
dari anyaman bambu yang disebut bedek. Rumah ini memiliki ukuran kecil, hanya ada satu
pintu untuk keluar dan masuk, dan tidak ada jendela.
Ruangan (rong) dibagi menjadi beberapa ruang inan bale (ruang induk) meliputi bale
luar (ruang tidur) dan bale dalem. Bale dalem ini tempat untuk menyimpan harta benda.
Ruang bale dalem juga merupakan ruang untuk ibu melahirkan yang sekaligus ruang
disembayangkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Saat masuk ke ruang bale dalem, terdapat amben, dapur, dan sempare atau tempat
menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya yang terbuat dari bambu dengan
ukuran 2×2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Di ruang bale dalem terdapat juga
sesangkok atau ruang tamu dan pintu masuk dengan sistem sorong atau geser.
Ada satu kebiasaan suku sasak yang mungkin terdengar di luar nalar, yakni melumuri
lantai rumah dengan kotoran. Biasanya kotoran yang digunakan berasal dari ternak mereka,
baik kerbau maupun sapi yang sudah dibakar dan dihaluskan. Mereka melakukan kebiasaan
ini karena ingin menjaga permukaan lantai supaya tidak mudah retak dan lembab. Bahkan
dipercaya, melumuri lantai dengan kotoran dapat menjadi pengusir nyamuk paling alami.
Dalam membangun rumah, orang Sasak tidak hanya menyesuaikan dengan kebutuhan
keluarga, tetapi juga kebutuhan kelompok. Konsep inilah yang membuat perumahan adat
Suku Sasak tampak teratur. Bentuk teratur inilah yang menggambar sebuah filosofi yaitu
kehidupan harmoni penduduk setempat.
Terkait budaya Masyarakat Suku Sasak yang melapisi rumah mereka dengan kotoran
sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung penyakit yang mungkin timbul dari kebiasaan
ini antara lain, diare, cacingan, gatal – gatal, sesak napas, keracunan yang diakibatkan dari
gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi dan kerbau. Seperti yang kita ketahui, kotoran
hewan, khususnya sapi dan kerbau mengandung cacing pita (taenia solium dan taenia
saginata) sehingga tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut menderita penyakit
cacingan.

3.2 Pengkajian Transcultural Nursing


Pengkajian Transcultural Nursing didasari pada 7 komponen yang terdapat pada
“Sunrise Model”, yaitu:
a. Faktor Teknologi (Technologi Factors)
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan
berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan
topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya
saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap
menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang
ditransmisikan secara turun temurun.
Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern, para
orang tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendak membangun rumah
dengan ungkapan: “Kalau mau tetap tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan
bahan bangunan yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti
rumah-rumah di kampung-kampung lain pada umumnya, silakan keluar dari kampung
ini.” Demikianlah cara orang Sasak menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan
cara melembagakan dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
b. Faktor Agama dan Falsafah Hidup (Religious and Philosophical Factors)
Sebagian besar penduduk pulau Lombok terutama suku Sasak menganut agama
Islam. Agama kedua yang terbesar yang di anut di pulau ini adalah agama Hindu, yang
dipeluk oleh para penduduk Keturunan Bali yang berjumlah sekitar 15% dari seluruh
populasi disana. Penganut Kristen, Budha, dan agama lainnya juga dapat dijumpai, dan
terutama dipeluk oleh para pendatang dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di
pulau ini. Dan ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam
yang disebut dengan nama “Sasak Boda”.
Adanya keyakinan pada budaya suku Sasak bahwa sakit tidak hanya dari fisik
namun juga dari gangguan roh-roh halus.
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga (kinship and Social Factors)
Keluarga inti masyarakat Sasak disebut koren atau kurenan. Keluarga - keluarga
inti ini bergabung ke dalam keluarga luas terbatas yang mereka sebut sorohan atau kadang
waris. Prinsip kekerabatan mereka adalah patrilineal yang mengenal garis keturunan ke
atas (papu balo) dan ke bawah (papu bai), lalu ke samping (semeton jari). Adat menetap
sesudah nikah biasanya virilokal, walaupun banyak juga yang lebih suka membuat hunian
baru. Dalam kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga mereka bergotong royong
dengan sistem yang mereka sebut basiru.
d. Nilai-Nilai Budaya dan Gaya Hidup (Cultural Value and Life Ways)
Masyarakat suku sasak memiliki gaya hidup yang unik yaitu mereka membangun
rumah dengan lantai tanah liat yang dalam beberapa waktu sekali di pel menggunakan
kotoran kerbau. Mengakibatkan kuman – kuman berkembang biak dengan cepat karena
tidak adanya ventilasi yang memadai.
e. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku (Political and Legal Factors)
Gelar raden disandang orang yang pernah berjasa pada kerajaan di Lombok. Lalu
adalah bangsawan pembantu raja atau seorang yang jadi pahlawan bagi raja.
Amaq adalah strata paling rendah masyarakat Sasak, dikenal juga dengan sebutan bangsa
jajar karang alias bangsa sejajar karang, yang jadi kasta rakyat kebanyakan. Sedangkan
bapak adalah bangsa amaq yang sudah berhaji dan kembali ke Lombok.
Gelar raden dan lalu adalah gelar bangsawan yang diturunkan bapak ke anak,
sedangkan gelar bapak tidak diturunkan. Laki-laki Sasak boleh mengambil perempuan
dari luar untuk dijadikan istri. Namun hal ini tak berlaku sebaliknya karena begitu
perempuan Sasak menikah dengan orang luar Sasak dianggap keluar, atau bahkan
dibuang, dari masyarakat Sasak.
Hal unik lain perihal perkawinan di masyarakat Sasak adalah adanya aturan bagi
laki-laki untuk memanjangkan rambut jika istrinya hamil. Ini untuk mengabarkan pada
orang lain bahwa pria tersebut sudah beristri dan istrinya tengah mengandung anak
mereka.
Laki-laki yang sudah menikah juga dilarang mengatakan "Tidak punya istri",
meskipun dalam nada bercanda, karena artinya sudah jatuh talak pada istrinya.
f. Faktor Ekonomi (Economical Factors)
Pekerjaan masyarakat Sade ini mayoritas bertani, seperti padi dan sayur mayur.
Kalau padi, tadah hujan dan hanya sekali tanam dalam setahun. Untuk tambahan
pendapatan itulah, hampir semua warga menjadi perajin tenunan. Untuk benang tenun,
warga membuat sendiri dengan memintal kapas. Tak hanya membuat benang sendiri,
pewarnaan mereka juga menggunakan warna-warna alami dengan memanfaatkan
tumbuhan atau tanaman sekitar.
“Bikin dari kulit kayu, dedaunan atau tumbuhan lain. Kalau dari daun ambil yang
masih muda lalu ambil karang, campurkan biar warna kuat. Misal, warna orange itu kapur
sirih dengan kunyit. Dicampur jadi satu.”
g. Faktor Pendidikan (Educational Factors)
Selama ini, tingkat pendidikan suku sasak masih terbilang rendah. Hal ini bisa
dilihat dari tingkat partisipasi murni pendidikannya. Artinya, 50 persen lebih anak-anak
usia sekolah tidak mendapatkan pendidikan di sekolah. Terutama, di kampung-kampung
pedalaman. Faktor mahalnya biaya dan jauhnya sekolah menjadi kendala. Namun, factor
utamanya adalah kurangnya guru (berkualitas) untuk mendidik anak-anak usia sekolah
mendapatkan pendidikan layak.
Akibat pendidikan mereka yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan mereka
pun juga rendah. Merekapun tidak bisa berkembang. Mereka tidak mengerti apa yang
telah dilakukan mereka itu kurang benar. Anggapan mereka tentang pemberian ventilasi
pada rumah dan buruknya akibat melumuri tanah dengan kotoran ternak juga masih
sangat kurang dan keterikatan adat yang kental menjadikan mereka patuh terhadap
keadaan rumah mereka yang tidak sehat.

3.3 Diagnosis Keperawatan


NO Analisa Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS: Kurang pengetahuan Defisit pengetahuan
1. Membangun rumah sesuai
adat turun temurun

DO:
1.Membangun rumah berukuran
kecil hanya ada satu pintu untuk
keluar dan masuk
2. Tidak ada jendela untuk
ventilasi
3. Melumuri lantai dengan
kotoran kerbau atau sapi

3.4 Perencanaan Keperawatan


Berdasarkan data – data yang sudah terkumpul ditemukan bahwa rumah penduduk di
suku Sasak tidak memiliki ventilasi yang cukup dan melumuri lantai dengan kotoran ternak
sehingga tidak ada pertukaran udara yang baik di dalam rumah tersebut sehingga
mengakibatkan rumah menjadi lembab dan kuman – kuman berkembang biak dengan cepat.
Tindakan perawat yang harus dilakukan sesuai Teori Leininger adalah merubah budaya klien
bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
Cultural care repartening/reconstruction:
1. Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu
4. Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat
dipahami oleh klien dan orang tua
5. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata
sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan
perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama
dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya.
Keberlangsungaan terus – menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai –
nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang
kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural
nursing approach).
Penggunaan kotoran kerbau pada lantai rumah, terkait budaya Masyarakat Suku Sasak
yang melapisi rumah mereka dengan kotoran sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung
penyakit yang mungkin timbul dari kebiasaan ini antara lain, diare, cacingan, gatal – gatal,
sesak napas, keracunan yang diakibatkan dari gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi
dan kerbau. Seperti yang kita ketahui, kotoran hewan, khususnya sapi dan kerbau
mengandung cacing pita (taenia solium dan taenia saginata) sehingga tidak menutup
kemungkinan masyarakat tersebut menderita penyakit cacingan.

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek. M, Gloria, dkk. 2016. Nursing Intervension Classification (NIC) Ed. 6.


Mocomedia

Morhead, Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Ed 5. Mocomedia


Sudiharjo. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan
Transkultural. Jakarta: EGC

You might also like