You are on page 1of 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ tubuh yang memiliki fungsi vital bagi

tubuh, yang berbentuk mirip kacang yang berfungsi menyaring urea dari

darah dan membuangnya bersama air dalam bentuk urin. Penyakit ginjal

mencakup berbagai penyakit dan gangguan mempengaruhi ginjal yang

sebagian besar menyerang unit penyaringan ginjal, nefron dan merusak

kemampuan untuk menghilangkan limbah serta kelebihan cairan, jika

penyakit ginjal tidak diberikan penanganan maka akan terjadi gagal ginjal

(Mardyaningsih., 2014).

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu bekerja sama dalam

menyaring dan membuang elektrolit tubuh, tidak mampu menjaga

keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium, kalium dalam darah

atau tidak mampu memproduksi urin (Widayanti, 2014). Penyakit gagal ginjal

terbagi atas dua, yakni penyakit gagal ginjal akut yang terjadi selama kurang

dari tiga bulan dan gagal ginjal kronik yang terjadi selama lebih dari tiga

bulan (Corrigan, 2011).

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit

yang menjadi masalah besar di dunia (Alfians, 2017). Berdasarkan data

Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)


2

memperlihatkan yang menderita gagal ginjal akut maupun kronik mencapai

50%, diketahui yang mendapatkan pengobatan hanya 25% dan 12,5% yang

terobati dengan baik (Indrasari, 2015). Sedangkan di Indonesia termasuk

negara dengan tingkat penderita penyakit ginjal kronik yang cukup tinggi,

data dari ASKES tahun 2010 tercatat 17.507 pasien, tahun berikutnya tercatat

23.261 dan data terakhir tahun 2013 tercatat 24.141 orang pasien (Mailani,

2015).

Penyakit gagal ginjal kronik (GGK) merupakan salah satu masalah

utama kesehatan didunia (Laouari, et al., 2012). Prevalensi GGK meningkat

dalam sepuluh tahun terakhir (Pereira, et al., 2012). Pada tahun 1990 GGK

menempati urutan ke 27 penyebab jumlah kematian di seluruh dunia dengan

prevalensi sebesar 11% hingga 13%, kemudian kejaadian itu meningkat

menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010 (Temgoua et al., 2017). WHO

memperkirakan di Indonesia terjadi peningkatan penderita gagal ginjal antara

tahun 1995-2025 sebesar 41,4% (Palupi, et al., 2015). Salah satu cara untuk

mengobati GGK adalah dengan menggunakan metode terapi hemodialisis,

hemofiltrasi dan peritoneal dialisis (Smeltzer & Bare., 2010).

Dialisis merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dan produk

limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsinya

dengan baik atau terjadi kerusakan pada ginjal (Ferdi., 2016). Pasien gagal

ginjal kronik harus patuh dalam menjalani dialisis (Fauziah., 2016). Faktor

yang berhubungan dengan kepatuhan pasien dalam menjalani dialisis yaitu

usia, pendidikan, lamanya dialisis, motivasi, dan dukungan keluarga


3

(Syamsiah, 2011). Kepatuhan dalam menjalani pengobatan dapat

mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Fauziah., 2016).

Kualitas hidup pasien gagal ginjal sangat berkaitan dengan dialisis

yang dilakukan guna mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien

sampai fungsi ginjal pulih kembali Berbagai faktor tersebut atau bahkan

didukung beberapa aspek lain seperti aspek fisik, psikologis, sosial ekonomi

dan lingkungan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal

(Nurchayati, 2011). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik semakin

menurun karena pasien tidak hanya menghadapi masalah kesehatannya tetapi

juga masalah terapi yang akan berlangsung seumur hidup, akibatnya kualitas

hidup pasien yang menjalani terapi dialisis lebih rendah dibanding penyakit

yang lain (Febriyantara., 2016). Kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam

menjalani terapi dialisis juga akan mempengaruhi kualitas pasien yang

menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Bahteramas.

Berdasarkan data di Rumah Sakit Bahteramas, jumlah kunjungan

pasin GGK tahun 2015 mencapai 73 orang, pada tahun 2016 dari bulan

januari – november terjadi peningkatan mencapai 429 orang dan pada tahun

2017, kunjungan pasien GGK di Rumah Sakit Bahteramas kembali

mengalami peningkatan mencapai 4720 orang (Profil Rumah Sakit

Bahteramas Sultra, 2017). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan

kunjungan pasien GGK setiap tahunnya.

Berdasarkan studi pendahuluan di Rumah Sakit Bahteramas, bahwa

adanya peningkatan jumlah pasien setiap tahunnya yang menjalani terapi


4

dialisis. Berdasarkan penjelasan dari perawat di Rumah Sakit Bahteramas

bahwa pasien yang tidak patuh dalam menjalani terapi biasanya akan datang

dengan keluhan seperti sesak nafas dan bengkak. Hal tersebut diakibatkan

oleh zat – zat hasil metabolisme tubuh dan cairan menumpuk didalam tubuh

sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien itu sendiri (Fuziah., 2016).

Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 22 April 2018

terhadap 5 pasien yang berada di ruang tunggu mengenai kepatuhan dan

kualitas hidup pasien selama menjalani terapi hemodialis. Data kepatuhan

yang diperoleh dari 5 pasien yang menderita gagal ginjal. 2 pasien

mengatakan bahwa dirinya melakukan terapi hemodialisis hanya satu kali

dalam seminggu dan tidak melakukannya sesuai jadwal yang ditentukan

dikarenakan akses sarana kesehatan yang jauh dari rumah padahal pasien dan

keluarga mengetahui tentang pentingnya terapi hemodialisis terhadap

kelangsungan hidup pasien. 3 pasien mengatakan bahwa dirinya mengetahui

tentang penyakitnya yang akan selalu bergantung terhadap terapi hemodialisis

untuk menyambung kehidupannya dan tidak akan sembuh sehingga pasien

akan selalu melakukan terapi hemodialisis sesuai jadwal yang sudah

dijelaskan oleh tenaga medis.

Berangkat dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Hubungan Kepatuhan Dialisis dengan Kualitas Hidup Pada

Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di Ruang

Hemodialisis Rumah Sakit Bahteramas Sulawesi Tenggara”.


5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti merumuskan

permasalahan sebagai berikut :

Apakah ada hubungan kepatuhan dialisis dengan kualitas hidup pada

penderita GGK yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah

Sakit Umum Bahteramas Sulawesi Tenggara ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum ingin mengetahui hubungan antara

kepatuhan dialisis dengan kualitas hidup pada pasien GGK yang menjalani

hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Bahteramas Sulawesi

Tenggara.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kepatuhan dialisis pada penderita GGK yang

menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Bahteramas

Sulawesi Tenggara.

b. Untuk mengetahui kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit

Bahteramas Sulawesi Tenggara.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan diharapkan dapat menambah

pengetahuan tentang hubungan antara kepatuhan dialisis dengan kualitas


6

hidup pada pasien GGK yang menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa

rumah sakit Bahtermas Sulawesi Tenggara dan juga dapat menjadi rujukan

bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang gagal

ginjal kronik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi

mahasiswa untuk memberikan motivasi pada pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani terapi hemodialisis pada saat praktek di klinik sehingga

dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam meningkatkan pelayanan

bagi pasien.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai tambahan pustaka dalam meningkatkan ilmu

pengetahuan khususnya tentang hubungan antara kepatuhan dialisis

dengan kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa rumah sakit bahteramas

sulawesi tenggara.

c. Bagi Pasien GGK

Memberikan informasi tentang QoL pada pasien GGK dan

pentingnya mematuhi aturan dialisis dalam menjalani hemodialisa guna

meningkatkan status kesehatan pasien GGK.


7

d. Bagi Klinik

Penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh perawat untuk

memotivasi pasien gagal ginjal kronik meningkatkan kepatuhan dialisis

dalam menjalani hemodialisis untuk meningkatkan kualitas hidupnya.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi

cekungnya menghadap ke medial, sisi tersebut terdapat hilus ginjal yaitu

tempat struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter

menuju meninggalkan ginjal (Purnomo, 2009).

Ginjal orang dewasa panjangnya 12 sampai 13 cm, lebarnya 6 cm

dan beratnya antara 120-150 gram. Sembilan puluh lima persen (95%) orang

dewasa memiliki jarak antar kutub ginjal antara 11-15 cm. Perbedaan panjang

dari kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk ginjal

merupakan tanda yang penting karena kebanyakan penyakit ginjal

dimanifestasikan dengan perubahan struktur (Suharyanto & Madjid, 2009).

Fungsi ginjal yaitu :

a. Mengeksresikan zat-zat yang merugikan bagi tubuh

b. Mengeksresikan gula kelebihan gula dalam darah.

c. Membantu keseimbangan air dalam tubuh

d. Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa

darah.

e. Ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui

pertukaran ion hidronium dan hidroksil (Prabowo, 2014)


9

B. Tinjauan Umum Tentang GGK

1. Pengertian GGK

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut

sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan

yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat

gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan

metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa (Suharyanto & Madjid, 2009).

Gagal ginjal kronik merupakan suatu kondisi dimana ginjal

mengalami penurunan fungsi yang terjadi secara progresif dan irreversible

sehingga menyebabkan tertimbunnya sampahsampah metabolik (Uremia

dan nitrogen) yang seharusnya diekskresikan oleh ginjal (Muttaqin dan

Sari, 2014).

2. Etiologi

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti

glomerolunefritis akut, gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik,

obstruksi saluran kemih, pielonefritis, nefrotoksin, dan penyakit sistemik,

seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus, poliartritis,

penyakit sel sabit, serta amiloidosis (Bayhakki, 2013).

3. Patofisiologi

Patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan

kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif.

Total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens menurun, BUN

dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi


10

akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya,

ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk

melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang

menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara

bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine

yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri

(Bayhakki, 2013).

4. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik dikarenakan

gangguan yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam

peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak (organs multifunction),

sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan

gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda

dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronik (Robinson, 2013)

a. Ginjal dan gastrointestinal

b. Kardiovaskuler

c. Respiratory System

d. Gastrointestinal,

e. Integumen,

f. Neurologis,

g. Endokrin

h. Hematopoitiec

i. Musculoskeletal.
11

5. Pemeriksaan Penunjang

Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk

menegakkan diagnosa gagal ginjal kronik Prabowo (2014):

a. Biokimiawi,

b. Urinalisis,

c. Ultrasonografi Ginjal,

d. Imaging (gambaran) dari ultrasonografi.

6. Penatalaksanaan

Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan

pengembalian, maka tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik

adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan

keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup

klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronik membutuhkan

penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir

komplikasi dan meningkatkan harapan hidup klien (Hutagaol., 2016).

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal

kronik adalah Prabowo (2014):

a. Penyakit tulang

b. Penyakit kardiovaskuler,

c. Anemia, dan

d. Disfungsi seksual.
12

C. Tinjauan Umum Tentang Hemodialisis

1. Pengertian Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal

dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang

berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa

metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

pada pasien gagal ginjal (Hayani, 2014).

Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan diluar tubuh, darah

dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke

dalam sebuah mesin besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang

yang dipisahkan oleh sebuah membran semipermeabel. Darah dimasukkan

ke salah satu ruang, sedangkan ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis

dan diantara keduanya akan terjadi difusi. Darah dikembalikan ke tubuh

melalui sebuah pirau vena. Hemodialisis memerlukan waktu selama 3 – 5

jam dan dilakukan sekitar 3x dalam seminggu. Pada akhir interval 2 – 3

hari diantara terapi, keseimbangan garam, air dan pangkat hidrogen (PH)

sudah tidak normal lagi dan penderita biasanya merasa tidak sehat (Corwin

2009).

Price & Wilson (2005) hemodialisis adalah proses dimana terjadi

difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu

kompartemen cair yaitu darah dan menuju kompartemen lainnya yaitu

cairan dyalisat melalui membran semipermeabel dalam dialiser.


13

2. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya terapi hemodialisis adalah untuk

mengambil zatzat nitrogen yang bersifat toksik dari dalam tubuh pasien ke

dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan

ketubuh pasien (Cahyaningsih, 2009).

3. Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisis

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,

osmosis dan ultrafiltrasi. Pada difusi toksin dan zat limbah didalam darah

dikeluarkan, dengan cara bergerak dari darah yang memiliki kosentrasi

tinggi ke cairan dialisat yang memiliki konsentrasi rendah. Pada osmosis

air yang berlebihan pada tubuh akan dikeluarkan dari tubuh dengan

menciptakan gradien tekanan dimana air bergerak dari tubuh pasien ke

cairan dialisat. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan

tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis

(Hutagaol, 2016).

4. Indikasi Hemodialisis

Hemodialisis diindikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang

nmemerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa

minggu) atau pasien dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan

terapi jangka panjang/permanen. Secara umum indikasi dilakukan

hemodialisis pada penderita gagal ginjal adalah:

a. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 ml/menit

b. Hiperkalemia
14

c. Kegagalan terapi konservatif

d. Kadar ureum lebih dari 200 mg/dl

e. Kreatinin lebih dari 65 mEq/L

f. Kelebihan cairan; dan

g. Anuria berkepanjangan lebih dari 5 kali (Mardyaningsih, 2014).

5. Adekuasi Hemodialisis

Setelah pasien melakukan hemodialisis pertama dan dilanjutkan

dengan hemodialisis rutin maka, penting melakukan pengkajian untuk

menentukan apakah pasien telah mendapatkan hemodialisis yang adekuat

atau tidak. Pengkajian hemodialisis harus meliputi (Cahyaningsih, 2009):

a. Gejala pasien

b. Hasil Pemeriksaan Darah

c. Berat badan Ideal dan Manajemen Cairan

d. Kinetik Modelling, dan

e. Urea Reduction Ratio.

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat diakibatkan oleh pelaksanaan terapi

hemodialisis (Hirmawaty, 2014) adalah:

a. Hipotensi dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja

terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.

c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan

terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.


15

d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis selama produk akhir

metabolisme meninggalkan kulit.

e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan

serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini

kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dan cepat

meninggalkan ruang ekstrasel.

g. Mual dan muntah merupakan hal yang sering terjadi.

7. Peran Perawat di Unit Hemodialisa

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam sebuah sistem

dan dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar

profesi keperawatan dan bersifat konstan (Farida 2010). Perawat berperan

dalam meningkatkan kesehatan dan pencegahan penyakit, serta

memandang klien secara komprehensif. Peran perawat adalah sebagai

pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advocad,

manajer kasus, rehabilitator, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry

2005). Penyedia pelayanan yang komprehensif untuk pasien yang

membutuhkan perawatan yang komprehensif telah berkembang menjadi

upaya multidisiplin komplek yang melibatkan perawat (Rajeswari &

Sivamani 2010).

Kallenbach (dikutip dalam Dewi 2010) menyatakan bahwa peran

dan fungsi perawat hemodialisis adalah sebagai care provider, educator,


16

dan researcher. Perawat dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai

care provider dan educator sesuai dengan tahap proses hemodialisis.

Tahapan tersebut dimulai dari persiapan hemodialisis, pre hemodialisis,

intra hemodialisis dan post hemodialisis.

a. Persiapan Hemodialisis

Tahap ini perawat dapat memberikan edukasi atau pendidikan

kesehatan mengenai penyakit ginjal tahap akhir dan manfaat terapi

hemodialisis. Perawat memberikan dukungan kepada pasien dalam

mengambil keputusan untuk mengikuti terapi hemodialisis dengan

memfasilitasi pasien untuk bertemu dan berdiskusi dengan pasien yang

telah mengikuti terapi hemodialisis, selanjutnya perawat memberikan

penjelasan tentang cara pemasangan akses vascular sementara dan

permanen (kolaborasi dengan dokter), perawatan akses dan penanganan

komplikasi akses vascular.

b. Intra Hemodialisis

Peran perawat pada tahap ini yang terpenting adalah

penanganan komplikasi akut yang sering terjadi misalnya hipotensi,

hipertensi, mual muntah, sakit kepala, kejang kram, demam disertai

menggigil, nyeri dada dan gatal – gatal. Perawat melakukan kolaborasi

dengan tim dokter. Penanganan komplikasi intra hemodialisis antara

lain pengaturan Quick Blood, pemberian oksigen, pemberian medikasi,

dan pemantauan cairan dialisat.


17

c. Post Hemodialisis

Tahap ini perawat melakukan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap (ureum,

kreatinin), dan elektrolit darah. Perawat dapat memberikan edukasi

tentang diet, intake cairan dan pencapaian berat badan yang ideal

selama pasien dirumah sebelum menjalani terapi hemodialisis

selanjutnya. Setelah selesai hemodialisis pastikan akses tidak terjadi

perdarahan sebelum membiarkan pasien pulang dan melakukan aktifitas

kembali (Rajeswari & Sivamani 2010).

Perawat dapat menghabiskan waktu dengan pasien sehingga

dengan hal itu pasien akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Hal

ini tidak hanya cukup untuk memperpanjang umur pasien tetapi juga

penting untuk merehabilitasi pasien sebaik mungkin. Penting bahwa

perawat dapat mengidentifikasi area rejimen pengobatan yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien dan mengembangkan strategi

untuk mengurangi kualitas hidup yang negatif (Tallis 2005).

Headley & Wall (dikutip dalam Farida 2010) praktek

keperawatan hemodialisis merupakan praktik keperawatan lanjutan

yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi

dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis.

Praktik keperawatan di Indonesia, unit hemodialisis umumnya

diberikan oleh perawat dengan tingkat pendidikan diploma baik yang

sudah mengikuti maupun yang belum mengikuti pelatihan dialisis.


18

Peran perawat adalah menangani prosedur dialisis seluruhnya dengan

sedikit pengawasan langsung dari dokter.

Perawat memiliki kontak yang paling sering dengan pasien

yang sedang menjalani terapi hemodialisis. Dengan demikian perawat

harus memiliki pegetahuan yang lebih banyak dan menyeluruh tentang

patofisiologi gagal ginjal, mekanik dan aspek dialiser dari hasil yang

diharapkan dan komplikasi hemodialisis khususnya kebutuhan pasien

mengenai hemodialisis. Perawat yang bekerja di unit hemodialisis dapat

menikmati banyak kepuasan dalam membantu pasien hemodialisis

mempertahankan kehidupannya yang produktif dan dapat hidup dalam

jangka panjang dengan gagal ginjal kronik, perawat dapat merubah

kehidupan pasien (Rajeswari & Sivamani 2010).

Perawat mempunyai tanggung jawab untuk semua bentuk

terapi hemodialisis. Asuhan keperawatan berfokus pada penilaian dan

pemantauan pasien selama proses dialisis (Rajeswari & Sivamani

2010). Berapa prioritas keperawatan dalam kaitannya dengan asuhan

keperawatan pada pasien hemodialisis yaitu, promosi homeostasis;

menjaga kenyamanan; mencegah komplikasi; dukungan / perawatan

diri pasien; dan memberikan informasi tentang proses penyakit /

prognosis dan pengobatan (Rajeswari & Sivamani 2010)


19

D. Kepatuhan Pasien GGK dengan Hemodialisa

Kepatuhan (adherence) secara umum didefinisikan sebagai tingkatan

perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan

melaksanakan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi pelayanan

kesehatan (Syamsiyah, 2011). Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan

perawatan dari pemberi pelayanan kesehatan adalah penting untuk kesuksesan

suatu intervensi. Akan tetapi, ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar

terutama pada pasien yang menjalani hemodialisis, sehingga berdampak pada

berbagai aspek perawatan pasien, termasuk konsistensi kunjungan, regimen

pengobatan serta pembatasan makanan dan cairan (Syamsiah, 2011).

Adapun faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien

GGK terhadap hemodialisis adalah (Syamsiah, 2011):

a. Faktor Pasien (Predisposing faktors) meliputi karakteristik pasien (usia,

jenis kelamin, ras, status perkawinan, pendidikan), lamanya sakit, tingkat

pengetahuan, status bekerja, sikap, keyakinan, nilai-nilai, persepsi,

motivasi, harapan pasien, kebiasaan merokok.

b. Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan (Enabling factors) meliputi: fasilitas

unit hemodialisa, kemudahan mencapai pelayanan kesehatan termasuk

didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu pelayanan, dan

keterampilan petugas.

c. Faktor Petugas/provider (Reinforcing factors) meliputi: keberadaan tenaga

perawat terlatih, ahli diet, kualitas komunikasi, dukungan keluarga.


20

E. Tinjauan Umum tentang Kualitas Hidup

1. Pengertian Kualitas Hidup

Kualitas hidup (Quality of Life) merupakan konsep analisis

kemampuan individu untuk mendapatkan hidup yang normal terkait

dengan persepsi secara individu mengenai tujuan, harapan, standar dan

perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang dialami dengan

dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut

berada (Adam, 2006).

Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang

pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat

kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin

tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan.

Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualitas hidup juga

semakin tinggi (Nursalam, 2013).

Kinghron (dikutip dalam Farida 2010) pengertian kualitas hidup

masih menjadi suatu permasalahan, belum ada suatu pengertian tepat yang

dapat digunakan sebagai acuhan untuk mengukur kualitas hidup

seseorang. Kualitas hidup merupakan suatu ide yang abstrak yang tidak

terkait oleh tempat dan waktu, bersifat situasional dan meliputi berbagai

konsep yang saling tumpang tindih. Kualitas hidup merupakan suatu

model konseptual, yang bertujuan untuk menggambarkan perspektif klien

dengan berbagai macam istilah. Dengan demikian kualitas hidup akan

berbeda bagi orang sakit dan orang sehat.


21

Kinghron (dikutip dalam Farida 2010), terdapat dua komponen

dasar dari kualitas hidup yaitu subyektifitas dan multidimensi.

Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat

ditentukan dari satu sudut pandang klien itu sendiri dan ini hanya dapat

diketahui dengan bertanya langsung kepada klien. Sedangkan

multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh

aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologi / fisik,

psikologis, sosial dan lingkungan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Riyanto (2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama

adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, usia, suku/etnik, pendidikan,

pekerjaan dan status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama

menjalani hemodialisis, stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis

yang dijalani.

3. Pengukuran Kualitas Hidup

WHO telah menginisiasiasi sebuah proyek bernama World Health

Organization Quality of Life (WHOQOL), pada tahun 1991, yang

bertujuan membentuk suatu instrumen pengukuran kualitas hidup yang

terstandardisasi secara internasional. WHOQOL mengukur persepsi

seseorang dalam konteks budaya, sistem nilai, tujuan hidup, standard dan

pertimbangan mereka. Instrumen ini telah dikembangkan dan diuji


22

lapangan secara mendunia. WHOQOL-BREF terdiri dari 26 item

pertanyaan yang terdiri dari 4 dimensi (Rasjidi, 2010).

4. Model Konsep Kualitas Hidup

Kualitas hidup sangat berhubungan dengan aspek / dominan yang

dinilai meliputi fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. Model konsep

kualitas hidup dari WHOQoL Bref (The World Health Organization Quality of

Life - Bref) mulai berkembang sejak tahun 1991. Instrumen ini terdiri dari 26 item

pertanyaan yang terdiri dari 4 domain (Skevington et al. 2004), yaitu :

a. Dimensi kesehatan fisik yang terdiri dari rasa nyeri, energi, istirahat,

tidur, mobilitas, aktivitas, pengobatan dan pekerjaan;

b. Dimensi psikologis yang terdiri dari perasaan positif dan negatif, cara

berfikir, harga diri, body image, spiritual.

c. Dimensi hubungan sosial terdiri dari hubungan individu, dukungan

sosial, aktivitas seksual.

d. Dimensi lingkungan meliputi sumber keuangan, informasi dan

ketrampilan, rekreasi dan bersantai, lingkungan rumah, akses ke

perawatan kesehatan dan sosial, keamanan fisik, lingkungan fisik,

transportasi.

5. Dampak Hemodialisa terhadap Kualitas Hidup

Dampak hemodialisa akan berakibat terhadap respon pasien. Hal

ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu,

pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping. Tiap dimensi mempunyai

pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup (Mardyaningsih, 2014).


23

Dampak hemodialisis akan berakibat terhadap respon pasien. Hal

ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya karakteristik individu,

pengalaman sebelumnya dan mekanisme koping. Masing – masing

dimensi mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kualitas hidup.

a. Dimensi fisik

Dimensi fisik mempunyai beberapa dampak terhadap kualitas

hidup penderita gagal ginjal kronik. Dimensi fisik merujuk pada gejala

– gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani. Pada

penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan fisik.

Kelemahan merupakan hal utama yang dirasakan oleh pasien gagal

ginjal kronik. Kelemahan berhubungan dengan gangguan pada kondisi

fisik, termasuk malnutrisi, anemia uremia. Kelemahan fisik dapat

menurunkan motivasi. Kelemahan secara signifikan berhubungan

dengan timbulnya gejala gangguan masalah tidur, status kesehatan fisik

yang menurun dan depresi yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya

(Farida 2010).

Tallis (2005), menyatakan bahwa perubahan fisik pada pasien

dengan gagal ginjal kronik tidak terbatas pada sistem ginjal, sistem

tubuh lain juga dapat dipengaruhi dan dapat mengakibatkan penurunan

status kesehatan dan kualitas hidup. Farida (2010) mengenai kualitas

hidup penderita gagal ginjal kronik dalam konteks asuhan keperawatan

didapatkan hasil bahwa kualitas hidup secara fisik akan menurun

setelah mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis.


24

Seluruh aktivitasnya terbatas dikarenakan kelemahan, respon fisik

dirasakan menurun, merasa mudah capek, dan keterbatasan dalam

asupan cairan dan nutrisi serta merasakan kurang tidur. Hal ini

mempengaruhi semua kesehatan fisik penderita gagal ginjal kronik

sehingga tidak dapat melakukan kegiatan seperti saat sebelum

menjalani hemodialisis. Adaptasi yang dilakukan penderita dalam

mengatasi kesehatan fisik yang menurun berupa membatasi aktivitas

fisik seperti tidak melakukan pekerjaan yang berat, membatasi

pemasukan cairan dan nutrisi sesuai yang dianjurkan berdasarkan

kesehatannya.

b. Dimensi psikologi

Tallis (2005) respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronik

dapat bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual

maupun potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan.

Depresi merupakan respon psikologis yang paling umum dan telah

dilaporkan berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah yang

berhubungan dengan kesehatan. Kemarahan dan penolakan yang sering

dilakukan oleh pasien untuk melindungi diri dan emosi tak terkendali,

ini dapat memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan penurunan

kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan dan mengurangi

komunikasi yang efektif antara pasien dan tim kesehatan.

Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan

dalam hal spiritual. Pasien lebih mendekatkan diri kepada Tuhan


25

dibandingkan sebelum terkena gagal ginjal dan melakukan

hemodialisis. Mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan

menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang agama.

Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakherat. Kualitas hidup

secara spiritual dirasakan lebih meningkat dengan cara mendekatkan

diri kepada Tuhan dan berbuat baik (Farida 2010).

Inti dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi

lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan

kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang

percaya dan tidak percaya kepada Tuhan. Lebih memikirkan kehidupan

untuk bekal diakherat. Selain dampak spiritual, penderita akan merasa

mudah putus asa, malu, merasa bersalah, hal ini dapat menyebabkan

depresi. Rasa kehilangan pekerjaan, peran dalam keluarga dan

kehilangan teman, serta tingkat pendidikan yang rendah merupakan

resiko utama terjadinya depresi. Depresi merupakan hal yang

berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Adaptasi psikologi yang

dilakukan adalah menjadi lebih sabar, menerima keadaan dan ikhlas

(Farida 2010).

c. Dimensi hubungan sosial

Nutrisi merupakan komponen penting dalam kehidupan pasien

dengan gagal ginjal kronik. Efek samping jika mengalami gangguan

nutrisi adalah hiperkalemia, hiperfosfatemia, protein yang berhubungan

dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan. Sebagian besar dari


26

interaksi orang, melibatkan makan dan minum sehingga tidak jarang

untuk pasien dengan ESRF untuk mengurangi keterlibatan sosial

mereka karena pembatasan makanan dan minuman yang ketat. Masalah

sosial lainnya dapat dipengaruhi oleh penyakit kronis dan termasuk

status kerja pasien, hubungan antara keluarga dan teman- teman, dan

bahkan keinginan untuk melakukan kegiatan rekreasi. Perubahan aspek

sosial dapat disebabkan oleh perubahan fisik dan / atau psikologis dan

bisa ada siklus negatif yang jika dipelihara maka penyebabnya juga

dapat menjadi efek (Tallis 2005).

Pasien hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa

disfungsi seksual. Dusfungsi seksual terjadi pada klien gagal ginjal

kronik tahap akhir dengan hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal

kronik, umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini

dapat berefek menurunkan libido dan menunda orgasme pada wanita,

menurunkan ereksi dan ejakulasi pada laki – laki. Selain faktor

depresan hal lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah body

image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal (Diaz et al. 2006).

d. Dimensi lingkungan

Penelitian yang dilakukan oleh Chang (dikutip dalam Farida

2010) mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kemampuan dalam

melakukan koping pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil

penelitian mengatakan penyebab stres utama adalah yang berhubungan

dengan masalah ekonomi dan ketidakmampuan menghasilkan uang.


27

6. Status Fungsional yang Mempengaruhi Kualitas Hidup pada Pasien

GGK

National Kidney Foundation, dalam menilai kualitas hidup pasien

gagal ginjal kronik yang mengalami hemodialisis, faktor yang dinilai

adalah akses vaskular, dyalisis adequacy, anemia, nutrisi, hipertensi, serta

penyakit tulang (kontrol phospat dan kalsium) (Clarkson & NKF dikutip

dalam Nurchayati 2010) :

a. Anemia

Brunner & Suddart (2002), menyatakan derajat anemia yang

terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik sangat bervariasi,

mayoritas terjadi pada pasien dengan nitrogen urea dalam darah (BUN)

> 10 mg/dl. Hematokrit turun antara 20 – 30%, sedangkan pada

pemeriksaan apusan darah tepi sel darah merah tampak normal. Anemia

tersebut terjadi karena penurunan ketahanan hidup sel darah merah

maupun defisiensi eritropoetin.

Dampak anemia terhadap kualitas hidup, adalah sebagai

berikut :

1) Dampak anemia terhadap fungsi fisik

Pada pasien dialisis dengan anemia memiliki nilai volume O2

maximal 50% dibandingkan dengan orang sehat ataupun yang

sesuai. Level oksigen yang rendah akan menyebabkan pasien

keusulitan untuk melakukan aktivitas harian atau bekerja sesuai

dengan keadaan normal (Gregory 2005).


28

2) Dampak anemia terhadap fungsi kognitif

Pada pasien dengan dialisis mengalami penurunan fungsi kognitif

yang dimanifestasikan dengan kebingungan, gangguan memori,

tidak mampu berkonsentrasi, dan penurunan kesadaran mental

(Gregory 2005).

3) Dampak anemia terhadap fungsi psikologis dan sosial

Percobaan klinis telah menemukan adanya efek anemia terhadap

kesehatan psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis, dengan

meningkatkan level hemoglobin dapat meningkatkan kesehatan

psikologis dan sosial pada pasien hemodialisis yang mengalami

anemia (Gregory 2005).

b. Adekuasi hemodialisis

NKF-KDOQi (2001) adekuasi hemodialisis adalah

kecukupan dosis hemodialisis yang direkomendasikan untuk

mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis. Nurchayati (2010) secara klinis hemodialisis

dikatakan adekuat bila keadaan umum pasien dalam keadaan baik,

merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi uremia dan usia hidup

pasien lebih panjang. Akan tetapi ketergantungan pasien pada mesin

dialisis seumur hidupnya mengakibatkan terjadinya perubahan pada

perubahan untuk menjalani fungsi kehidupan sehari – hari yang dapat

mempengaruhi kualitas hidupnya.


29

c. Hipertensi

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi akibat kelainan

glomerulus maupun kelainan vascular diginjal (Nurchayati 2010).

Soni et al. (2010) penelitian yang dilakukan terhadap penduduk

Afrika selama 7 tahun dengan jumlah responden sebanyak 1094

orang yang memiliki Mean Arterial Pressusre (MAP) 102 – 107

mmHg, yang telah mendapat terapi antihipertensi dan setelah

dilakukan pengukuran kualitas hidup menggunakan SF-36

didapatkan hasil adanya efek negatif yang signifikan antara MAP

dengan kualitas hidup.

d. Akses vascular

Wasse et al. (2007) yang telah melakukan penelitian

mengenai akses vascular hemodialisis didapatkan adanya hubungan

antara akses vascular (pada pasien yang menggunakan AVF) dengan

kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis.

e. Nutrisi

Malnutrisi pada pasien gagal ginjal kronik sangat berkaitan,

dan secara umum dengan berbagai tipe yaitu berat badan rendah,

kehilangan protein tubuh (massa otot berkurang), tingkat serum

albumin rendah (Nurchayati 2010).

f. Kontrol kalsium dan phospat

Abnormalitas lain dari pasien gagal ginjal kronik adalah

gangguan metabolisme kalsium dan phospat. Kadar serum kalsium


30

dan phospat tubuh memiliki hubungan timbal balik, jika salah satu

meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya

filtrasi glomerulus di ginjal terjadi peningkatan kadar phospat serum

dan sebaliknya (Nurchayati 2010).

F. Tinjauan Empiris

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauziah dkk

(2016), tentang hubungan antara kepatuhan menjalani terapi hemodialisa

dengan kualitas pasien GGK di ruang hemodialisa RSUD DR Soedirman

Kebumen diperoleh hasil sebagian besar responden masuk dalam kategori

patuh (70.5%), dan memiliki kualitas hidup kategori kurang baik (63.6%).

Hasil uji hipotesis menunjukkan adanya hubungan antara kepatuhan

menjalani terapi hemodialisa dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal

kronik di Ruang Hemodialisa RSUD DR. Soedirman Kebumen (p=0.002).

Semakin patuh pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi

hemodialisa semakin berpeluang memiliki kualitas hidup yang baik.

Sejalan dengan penelitian Dewi (2016) tentang hubungan lamanya

hemodialisa dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta, penelitian ini menggunakan metode

deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan

sampel menggunakan accidental sampling sebanyak 60 orang.

Pengambilan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan

Kendall Tau. 68,3% responden dalam penelitian ini berada pada kategori
31

hemodialisa lama (>24 bulan), dan 75% responden berada dalam kategori

kualitas hidup sedang. Analisis data menghasilkan koefisien korelasi 0,042

yaitu hubungan searah sangat lemah.

Penelitian Sidiq (2014), hubungan dukungan keluarga dengan

kualitas hidup penderita penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani terapi

hemodialisa di badan layanan umum daerah RSUD Dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh tahun 2013 diperoleh hasil terdapat hubungan dukungan

keluarga dengan kualitas hidup penderita penyakit ginjal tahap akhir yang

menjalani terapi hemodialisa di Badan Layanan Umum daerah RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013.


32

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu bekerja sama dalam

menyaring dan membuang elektrolit tubuh, tidak mampu menjaga

keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium, kalium dalam darah

atau tidak mampu memproduksi urin. Terapi yang digunakan untuk penderita

GGK yaitu dengan pemberian terapi hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal

dialisis.

Dialisis merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dan produk

limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsinya

dengan baik atau terjadi kerusakan pada ginjal. Dialisis sangat berhubungan

dengan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi sehingga berpengaruh

terhadap kualitas hidup seseorang.

Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien dalam menjalani

dialisis yaitu usia, pendidikan, lamanya dialisis, motivasi, dan dukungan

keluarga. Faktor tersebut didukung oleh aspek lain seperti aspek fisik,

psikologis, sosial ekonomi dan lingkungan dapat mempengaruhi kualitas

hidup pasien gagal ginjal. Kualitas hidup pasien gagal ginjal sangat berkaitan

dengan dialisis yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan dan

kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali.


33

B. Kerangka Teori

Kepatuhan Dialisis Kualitas


Hidup

Gambar 1 : Bagan kerangka konsep penelitian.

Keterangan :

Variab : Variabel Independent yang diteliti

: Variabel Dependent yang diteliti.

C. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain

(Rianto, 2011). Adapun variabel independent dalam penelitian ini adalah

kepatuhan dialisis

2. Variabel Dependent adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independent (Rianto, 2011). Adapun variabel dependent dalam penelitian

ini adalah kualitas hidup pada pasien penderita GGK.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

1. Kepatuhan dialisis

Kepatuhan pasien dalam mengikuti program dialisis baik restriksi

cairan, nutrisi, konsumsi obat-obatan dan kunjungan setiap hemodialisa

sesuai dengan yang disarankan oleh dokter, perawat atau tenaga kesehatan

lainnya.
34

Kepatuhan dialisis diukur dengan menggunakan dengan

modifikasi kuesioner The End-Stage Renal Disease Adherence

Questionnaire (ESRD-AQ) dari (kim, 2010) berisi pertanyaan tentang

perilaku kepatuhan 6 item meliputi perilaku kehadiran HD (No.1),

kebiasaan mempercepat durasi waktu HD (No.2 dan No.3), kebiasaan

minum obat (No.4), perilaku restriksi cairan (No.5) dan perilaku diet

(No.6). Masing-masing pertanyaan terdiri atas 5 opsi jawaban dengan skor

yang sudah ditentukan. Berikut skor untuk masing-masing jawaban :

No Item yang ditanyakan Skor/nilai


1 Frekuensi ketidakhadiran HD Jawaban 1 : 300
dalam sebulan Jawaban 2 : 200
Jawaban 3 : 100
Jawaban 4 : 50
Jawaban 5 : 0
2 Frekuensi mempercepat waktu Jawaban 1 : 200
HD yang terjadi dalam sebulan Jawaban 2 : 150
Jawaban 3 : 100
Jawaban 4 : 50
Jawaban 5 : 0
3 Durasi waktu HD yang dipercepat Jawaban 1 : 100
dalam sebulan Jawaban 2 : 75
Jawaban 3 : 50
Jawaban 4 : 25
Jawaban 5 : 0
4 Frekuensi tidak minum obat Jawaban 1 : 200
dalam sebulan Jawaban 2 : 150
Jawaban 3 : 100
Jawaban 4 : 50
Jawaban 5 : 0
5 Frekuensi restriksi cairan (self Jawaban 1 : 200
monitoring) Jawaban 2 : 150
Jawaban 3 : 100
Jawaban 4 : 50
Jawaban 5 : 0
6 Frekuensi restriksi diet (self Jawaban 1 : 200
monitoring) Jawaban 2 : 150
Jawaban 3 : 100
Jawaban 4 : 50
Jawaban 5 : 0
Sumber : ESRD-AQ (Kim, 2010).
35

Kriteria obyektif :

Hasil pengukuran terhadap kepatuhan kemudian dianalisis dan

dikategorikan menjadi 2 yaitu :

Patuh : jika jumlah skor ≥ 800 dan

Tidak patuh : jika jumlah skor ≤ 800 dengan total skor 1200.

2. Kualitas Hidup

Kemampuan seseorang untuk melakukan fungsi hidupnya dalam

beraktivitas secara normal sesuai dengan kondisi kesehatannya atau

keluhan yang ada menurut presepsinya.

pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner

WHOQOL- BREF. Pengukuran kesehatan yang terdiri dari 4 domain

penilaian yaitu : domain fisik, domain psikologis, domain hubungan sosial

dan domain lingkungan. Pertanyaan dalam kuesioner berjumlah 26 butir

yang menggunakan skala likert dengan skor minimal (1) dan maksimal (5),

yang pengolahannya terdiri dari empat domain dengan skor 0- 100.

Sehingga jumlah keempat domain tersebut dengan rentang nilai skor 0 -

400.

Kriteria Obyektif :

QoL Tinggi : Jika total skornya mencapai 201-400

QoL Rendah : Jika total skornya mencapai 0-200 (Ernawati, 2011).


36

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ho : Tidak ada hubungan kepatuhan dialisis dengan kualitas hidup pada

penderita GGK yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis

Rumah Sakit Umum Bahteramas Sulawesi Tenggara.

Ha : Ada hubungan kepatuhan dialisis dengan kualitas hidup pada penderita

GGK yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit

Umum Bahteramas Sulawesi Tenggara.


37

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

Observasional Analitik dengan menggunakan metode pendekatan cross

sectional, yaitu untuk mengetahui hubungan kepatuhan dialisis dengan

kualitas hidup pada penderita GGK yang menjalani hemodialisis di ruang

hemodialisis Rumah Sakit Umum Bahteramas Sulawesi Tenggara. Penelitian

cross sectional merupakan penelitian sectional silang dengan variabel sebab

atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian yang

diukur dan dikumpulkan secara simultan, sesaat atau satu kali saja dalam satu

kali waktu (dalam waktu yang bersamaan) (Nursalam, 2013).


Populasi
(sampel)

Faktor Resiko + Faktor Resiko -

Efek + Efek - Efek + Efek -

Gambar 2. Rancangan penelitian cross sectional study


38

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

1. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulanJuli sampai Agustus

tahun 2018.

2. Lokasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum

Bahteramas Sulawesi Tenggara tahun 2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien GGK yang menjalani

hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Bahteramas dari bulan

Januari – April tahun 2018. Jadi, Populasi penelitian berjumlah 59 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi objek

penelitian (Wahyuni, 2009). Pengambilan sampel dihitung berdasarkan

rumus pengambilan sampel yang dikemukakan oleh (Sugyono, 2009).

Jumlah sampel yang ditentukan berdasarkan rumus:

2
𝑍1− 𝑎 𝑃(1 − 𝑃)𝑁
2
𝑛=
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑍 2 𝑎 𝑃(1 − 𝑃)𝑁
1− 2
39

Keterangan:

N21-α/2 = Tingkat kemaknaan 95%=1,96

d2 = Penugaan (presisi) = 0,01

P = 50% =0,5

N = Populasi (59)
2
𝑍1− 𝑎 𝑃(1 − 𝑃)𝑁
2
𝑛=
𝑑2 (𝑁 − 1) + 𝑍 2 𝑎 𝑃(1 − 𝑃)𝑁
1− 2

1,962 × 0,5 × (1 − 0,5)59


𝑛= 2
𝑑 (59 − 1) + 1,962 × 0,5(1 − 0,5)

3,8416 × 0,25 × 59
𝑛=
0,01 × (58) + 3,814 × 0,25

56,6636
𝑛=
0,58 + 0,9604

56,6636
𝑛=
1,5404

𝑛 = 36,78 (37 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡𝑎𝑛)

Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka besarnya sampel pada

penelitian ini adalah sebanyak 37 pasien penderita GGK yang menjalani

hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Bahteramas Sulawesi

Tenggara.

Adapun teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah

teknik accidental sampling. Accidental sampling yaitu pengambilan

sampel secara aksidental (accidental) dengan mengambil kasus atau

responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan

konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010). Sehingga dalam teknik sampling


40

di sini peneliti mengambil responden pada saat itu juga di ruang

hemodialisis Rumah sakit Bahteramas Sulawesi Tenggara.

D. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer merupakan sumber data pertama yang dimiliki peneliti

dengan cara wawancara atau pengisian kuesioner yang didapatkan

dari perorangan (Sugiyono, 2013). Data dikumpulkan dengan

menyebarkan angket quesioner kepada responden untuk mengetahui

hubungan kepatuhan dialisis dengan kualitas hidup pada penderita GGK

yang menjalani hemodialisis di ruang hemodialisis Rumah Sakit Umum

Bahteramas Sulawesi Tenggara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang sudah ada, peneliti memperolehnya

dari sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul

data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2013).

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang

diperoleh dari Rumah Sakit Bahteramas Sulawesi Tenggara.

E. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

1. Pengolahan Data

a. Editing, yaitu pemeriksaan data yang telah dikumpulkan. Dalam proses

ini, data dijumlahkan apakah jumlahnya sudah lengkap atau

belum dan dikoreksi apakah jawaban sudah terjawab semua atau

belum.
41

b. Coding, pemberian kode pada setiap variabel. Coding adalah

mengklasifikan jawaban ke dalam kategori tertentu.

c. Entry, yaitu Proses memasukkan data ke dalam program computer.

Data selanjutnya diinput kedalam lembar kerja SPSS untuk masing-

masing variabel. Urutan input data berdasarkan nomor responden dalam

kuesioner.

d. Tabulasi, yaitu membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan

penelitian atau yang diinginkan oleh peneliti.

e. Cleaning, yaitu pembersihan data atau penghapusan data-data yang

sudah tidak terpakai. Cleaning dilakukan pada semua lembar kerja

untuk membersihkan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses

input data. Proses ini dilakukan melalui analisis frekuensi pada semua

variabel. Data missing dibersihkan dengan menginput data yang benar.

2. Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan program komputer siap pakai yaitu SPSS versi 23.0. Teknik

analisis data yang digunakan dalam pengolahan data penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Analisis Univariat

Analisa data dilakukan secara manual dengan menggunakan

kalkulator/dengan cara manual, kemudian hasilnya disajikan dalam

bentuk tabel frekuensi disertai penjelasan-penjelasan dengan

menggunakan rumus (Arikunto, 2010).


42

𝑓
𝑋= 𝑥𝑘
𝑛

Keterangan:

f = frekuensi kategori variabel yang diteliti

n = jumlah sampel yang diteliti

k = konstanta (100%)

X = Persentase hasil penelitian (Arikunto, 2010)

b. Analisa Bivariat

Analisis Bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat

hubungan dua variabel yang meliputi variabel bebas dan variabel

terikat. Data dianalisis secara deskriptif maupun analitik dan

ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi. Analisis data dilakukan

untuk menguji hipotesis dengan menggunakan uji Chi-square (X2)

kontigensi 2x2 pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) maka rumus

yang digunakan sebagai berikut (Sugiyono, 2013) :

n [│ad – bc │ -½ n] 2
X2 =
(a + b)(a + c)(b + d)(c + d)
Dimana :

X2 : Nilai chi-square

n : Jumlah sampel

a,b,c,d : Nilai sel tabel 2X2


43

Tabel 1. Analisis Data Tabel 2x2

Faktor Resiko Efek Positif Efek Negatif Jumlah

Positif A B a+b
Negatif C D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Keterangan:

a = Responden dengan faktor resiko (+) mengalami efek (+)

b = Responden dengan faktor resiko (+) mengalami efek (-)

c = Responden dengan faktor resiko (-) mengalami efek (+)

d = Responden dengan faktor resiko (-) mengalami efek (-)

Pengambilan keputusan:

1) Berdasarkan perbandingan chi-square uji dan tabel

a) Jika x2 hitung < x2 tabel,maka Ho diterima

b) Jika x2 hitung > x2 tabel,maka Ho ditolak

2) Berdasarkan probabilitas

a) Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima

b) Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak.

Untuk mengukur tingkat keeratan hubungan antara dua

variabel,dengan mengunakan coefisien phi(Ø).dengan rumus sebagai

berikut:

X2
𝜑=√
n
44

Dimana:

Ø = Coofisien phi

X2 = Nilai chi-square dan

n = Besar sampel

Tabel 2. Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Terhadap


Koefisien Korelasi

Interval koefisien Tingkat hubungan


0,00 – 0,199 Sangat lemah
0,20 – 0,399 Lemah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Sugiyono, (2006).

F. Etika Penelitian

Dalam penelitian ini, masalah etika sangat diperhatikan dengan

menggunakan metode:

1. Informed concent (Lembar Persetujuan)

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan (informed concent).

Informed concent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan

informed concent adalah agar responden mengerti maksud dan tujuan

penelitian serta mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Dilakukan dengan cara tidak memberikan nama responden pada

lembar alat ukur, hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.
45

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset

You might also like