Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN MATERI
Mawarda Nurodanika
16504244009
Dosen Pegampu :
Prof. Dr. Herminarto Sofyan, M.Pd.
Pendidikan adalah sesuatu yang hak bagi setiap manusia. Salah satunya
pendidikan kejuruan yang berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika
(Etische Politiek) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah
Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebuah tulisan oleh Mr. C. Th. Van Deventer,
mengungkapkan bahwa kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap
pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,
khususnya di Hindia Belanda, sementara Belanda menyatakan dirinya sebagai
bangsa dengan peradaban yang tinggi.
Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda
di tanah jajahannya, Hindia Belanda yang mengeruk keuntungan yang luar biasa,
oleh sebab itu muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang
parlemen Belanda tahun 1901. Pemerintah Balanda berusaha mengembangkan
ekonomi agar memiliki anggaran sendiri hingga akhirnya dari pendidikanlah unsur
yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan kejuruan adalah salah satu di
dalamnya, dimana dari sekolah kejuruan akan diperoleh lulusan dengan keahlian
dibidang teknik.
Pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan yang
digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia. Pada saat itu Belanda
sedang dalam masa penjajahan ke tanah Indonesia, sedang pada saat itu jika hanya
dengan mengandalkan potensi yang ada maka tidak akan berkembang. Lalu dengan
mengembangkan pendidikan Sekolah Pertukangan tidak hanya berusaha
meningkatkan pendidikan warga negara Belanda kepentingan mereka, tetapi ikut
bertanggungjawab kepada Indonesia sebagai tanah jajahannya walaupun memang
hanya khusus kaum bangsawan pada saat itu.
Ada tiga kota besar di Indonesia yang dibangun sekolah pertukangan terseut, yaitu:
Surabaya, Betawi dan Semarang. Kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan
Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan
pertanian praktis. Kemudian dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana
banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian
pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain. Walaupun bagaimana juga
pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa
dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi.
Memang tidak secara singkat perkembangan yang terjadi sedemikian majunya,
karena dalam masa penjajahan adalah masa sulit dan masa yang tidak
menyenangkan bagi yang terjajah, sehingga sangat banyak hambatan dan rintangan
yang membuat banyak instansi sekolah yang dipergunakan sebagai proses
pendidikan ini berkembang sesuai perkembangan perekonomian saat itu.
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode utama,
yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada zaman
kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode dari
pendidikan di Indonesia. Di antara pendidikan pada zaman sebelum masa
kemerdekaan yaitu; (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan, (2) pendidikan
yang berbasis kepentingan penjajah, (3) pendidikan dalam rangka perjuangan
kemerdekaan (Depdikbud, 1996). Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi
menjadi tiga babak yaitu; (1) tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I; (2) sejak pelaksanaan
Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998 dan (3) periode
reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak
tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan mengalami desentralisasi yang
radikal (Jalal & Supriyadi, 2001). Satu setengah abad pendidikan kejuruan di
indonesia
Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10
abad sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang
berbasis keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam.
Namun baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa
Portugis di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul
pendirian sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia
Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa
Barat. Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah intelektualismenya,
yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan kerja yang kemudian
berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 1960-
an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak lebih maju daripada
Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Waktu Indonesia mampu
mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun harus membangun sistem
pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya dari sistem pendidikan
Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi landasannya. Sampai pada
tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda, isinya
mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan
kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sinilah
memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan oleh ratu
Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan kesepakatan
untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah pertam yang
didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat Gubernur Jenderal
kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian Pendidikan
Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900
nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan Kejuruan
(Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900 nomor
49/2280).
Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar
cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara yang
kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan
adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan
bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia
waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras
dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan
Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka
kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan
dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas
Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun),
pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di
Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah
Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali
sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping
Sekolah Tingkat Menengah.
Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan
banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya
dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat
besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun 1998,
siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar 37 %
dari seluruh populasi SLTA di Indonesia.
Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada PELITA I
dan II. Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia
menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral
REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I
dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah
melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan. Tahun pertama
Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan, dengan
dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I
(1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan
membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik)
dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO
serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek
Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan pusat penyelenggaraan di
STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung, dengan sasaran
utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek STM
Pembangunan dan BLPT.
Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan
teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan World
Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah Belanda
maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru teknik.
Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973, dan Mr.
Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang waktu
itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre). Pendidikan Kuantitatif
Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV Dalam rangka pembaharuan sistem
pendidikan nasional telah ditetapkan visi pendidikan nasional, yaitu terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah terutama dalam proses pendidikan.
Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan televisi
untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut kebijakan
karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan
pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya yang maju
menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula. Sebaliknya
masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada
masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang
pendidikan. Berdasarkan pengkajian Komisi PBB Untuk Pembangunan
Pengetahuan dan Teknologi (United Nations Commission on Science and
Technology for Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara
teknologi informasi dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di
semua sektor. Oleh karena itu disarankan agar semua negara angota PBB
memanfaatkan potensi TIK secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat
berpengetahuan. Perubahan Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan
berbagai usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan
mulai tahun 1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan
mulai Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek
seperti berikut: Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan
daya tampung siswa, Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas
lulusan melalui peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga
pengajar dan peningkatan tenaga pengajar, relevansi ditingkatkan dengan
mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum dengan kebutuhan industri/dunia kerja,
Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk
menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan tenaga kerja
atau persyaratan mandiri, Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan
pengelolaan pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu.
Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak
terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan, faktor-
faktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial Budaya,
faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap jenis dan
jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses pelaksanaan
pendidikan kejuruan. Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu
lembaga pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama
pendidikan, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode
pengajaran dan evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan
dalam pendidikan kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan
Kurikulum 1984.
Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam Pembaruan
Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan antara lain;
1. Kurikulum dan Program Pendidikan, 2. Penyesuaian Masa Pendidikan, 3.
Pembaruan melalui Kurikulum 1984, 4. Fasilitas Pendidikan, 5. Tenaga
Kependidikan, 6. Manajemen dan Administrasi, 7. Kesiswaan, 8. Pendirian dan
Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan, dan 9. Efisiensi Biaya Pendidikan.
Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan
menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan mutu
Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan,
masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar,
serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Dibutuhkan suatu strategi pecahan
masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, dengan
menyesuaikan program-program pendidikan menengah kejuruan dengan berbagai
kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas kesempatan belajar bagi
setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan tenaga pengajar yang
memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas pendidikan, sedang dalam
asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan pendidikan dengan
mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah kejuruan yang diharapkan
terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, jika diperlukan
dilaksanakan studi banding ke luar negeri.
Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V Dalam rangka
pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan program telah
tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan yang akan
diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan, pariwisata,
perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu,
terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan
kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa
faktor yang mempengaruhi, seperti ; 1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia
dengan sejarah pertumbuhannya, 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang merupakan warisan dari zaman sebelum Perang Dunia II, dan 3. Peta geografi
indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak jumlahnya dengan ragam
tingkat perkembangannya.
Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan menjadi
beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh pemerintah
antara lain seperti di bawah ini :
1. Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan.
2. Pembiayaan.
3. Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri.
4. Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5. Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri.
6. Usulan proyek-proyek baru.
7. Hal-hal yang memerlukan perhatian.
Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan
Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh
Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut
belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada
pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka
harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal, luwes,
adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan menengah
kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan operasional, seperti;
1. Masalah Konsepsi, 2. Masalah Program, 3. Masalah Operasional 4. Perlunya
Pembaruan.
Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk
pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and
Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan,
wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai
tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya
pendidikan kejuruan.
Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi. Berdasarkan Kurikulum 1984,
bidang-bidang keahlian dalam lingkungan pendidikan menengah kejuruan meliputi
enam kelompok, yaitu; 1. Kelompok Teknologi dan Industri, 2. Kelompok
Pertanian dan Kehutanan, 3. Kelompok Bisnis dan Manajemen, 4. Kelompok
Pariwisata, 5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat dan 6. Kelompok Seni dan
Kerajinan. Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang keahlian
Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan
diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun
1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan
Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini
dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM
Pembangunan 4 tahun. Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem
Ganda di SMK.
PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara
operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan.
Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk
meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan
bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan
praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG.
Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya
bertumpu pada upaya merangkul industri.
Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor
pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan
Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik
di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga
diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri,
Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik
Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di
Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan
sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan
Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan
Perundang-undangan.
Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau
langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat
lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan
memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan
faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan
keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya
industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain
(misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja)
akan layu dan mati.
Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan global
manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-cepatnya dan
sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan paradigma
tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal dengan
New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu industri
manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya. Langkah-
langkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur menjadi
bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan kemitraan.
Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin dalam
Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui: a. Integrated Product and
Process Development (IPPD), b. Flexible and Modular Equiments and Processes,
c. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE , d. didukung oleh suatu
Enterprise-Wide Computing Environment, e. didukung oleh jaringan komunikasi
global.
Menjelang 2020, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh
dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam
yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar
potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan
pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut
untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan
memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang
sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi
pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang
bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa
depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian
dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usaha-
usaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional
maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra
kerjasama.
Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali
konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka
peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan
(trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun
internasional. Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Menata
ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel dengan
menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis kompetensi. Menata ulang
program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK dengan menerapkan
Competency Based Training (CBT).
Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Para pengambil
keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi, permasalahan, dan
tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta kaitannya dengan ketenaga-
kerjaan, bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah,
reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.
Bab II
KEADAAN PENDIDIKAN KEJURUAN
PADA PJP 1
1. Pra-PeIita I
Pendidikan kejuruan pada Pra-Pelita I belum memiliki tujuan yang jelas, pelajaran
bersifat teoritis, kualifikasi tamatan tidak jelas kaitannya dengan tingkat keahlian
di dunia kerja, tidak adanya keseragaman antar jenis sekolah dalam
pengorganisasian kurilkulumnyar metode penyampaian yang berpusat pada guru,
fasilitas praktek kurang memadai, dan juiillah serta mutu guru yang sangat tidak
memadai.
3. Pelita II (1974/1975-1978/1979)
Pada Pelita Il dilakukan pembangunan 4 BLPT baru (Yogyakarta, Semarang,
Padang dan Palembang) untuk melayani praktek kejuruan para siswa dari 10 STM
di sekitar BLPT-BLPT tersebut. Pengembangan guru-guru teknologi dan kejuruan
ditakukan meialui program "in-service " yang diselenggarakan di Bandung
(Teknologi) dan Ragunan (Kejuruan); pengadaan dan Pengcmuangan Guru untuk
mencapai kualifikasi Sl dan D3 lewat ptogram "pre-senvice training " yang iebih
terarah melalui kerjasama antara Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
dengan Fakultas Keguruan Teknik IKIP Yogyakarta dan Padang; dan rehabiiitasi
serta pembangunan sejumiah SMK baru. Dalam Pelita II, tepatnya tahun 1975,
sekolah kesenian yang dibina oleh Direktorat jenderal Kebudayaan dialihkan ke
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Dapat disarikan bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita II mulai
dititik beratkan pada kesesuaiannya dengan kebutuhan tenaga kerja dalam
pembangunan nasional. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembenahan
pendidikan kejuruan untuk diselaraskan dengan struktur piramida tenaga kerja
Indonesia saat itu. Namun demikianr konsep pendidikan kejuruan pada Pelita II
memiliki banyak kelemahan, khususnya yang berkaiktan dengan penerapan
kurikulum 1976 SMK, antara lain :
a. Karena tujuan SMK terminal, maka SMK kurang diminati oleh masyarakat,
terutama oleh masyarakat yang berasal dari kalangan menengah dan atas.
b. Pemisahan teori kejuruan dan praktek kejuruan akibat pengaruh konsep
Bloom Taxonomy (yang memisahkan antara Kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor), menyebabkan kurang sambungnya antara teori kejuruan
dan praktek kejuruan dan sering terjadi konflik antara keduanya. Akibatnya,
program kejuruan tersebut kurang bermakna bagi penyiapan peserta didik
untuk memasuki lapangan kerja.
c. Kurikulum 1976 SMK sangat sarat pedoman dan petunjuk pelaksanaan,
sampai-sampai cara mengajarpun dibuatkan petunjuk pelaksanaan (juklak)
melalui pendekatan PPSI. Akibatnya para guru menjadi kurang kreatif dan
kurang berani mengambii prakarsa- prakarsa baru yang inovatif.
d. Sangat sedikitnya jumlah jam, pelajaran Matematika menyebabkan
rendahnya kemampuan berplkir logis tamatan SMK, sehingga mereka tidak
berkembang di tempat kerja, apa!agi jika mereka meneruskan ke jenjang
pendidikan tinggi.
Secara khusus pada tahun terakhir Pelita V (1993/1994) dilakukan pengkajian yang
seksama terhadap keberadaan pendidikan menengah kejuruan pada saat itu,
inventarisasi terhadap gagasan-gagasan inovatif, mempelajari ketentuan pada
aturan perundang-undangan yang ada dalam kaitannya dengan GBHN 1993 sebagai
langkah persiapan memasuki Repelita VI yang merupakan bagian penting dari PJP
ll.
Bab III
TUNTUTAN PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG 11
Bab IV
TINJAUAN TEORITIK DAN EMPIRIK PENDIDIKAN KEJURUAN
Berikut akan disampaikan tinjauan teoritik dan empirik pendidikan kejuruan,
dengan harapan agar para pembaca tidak ragu lagi terhadap keberadaan pendidikan
kejuruan. Tinjauan ini selanjutnya akan merupakan jastifikasi perubahan dari
pendidikan kejuruan model lama menjadi pendidikan kejuruan model baru
1. Tinjauan Teoritik
a. Pentingnya Tenaga Terampil
banyak negara mulai menyadari pentingnya tenaga terampil bagi kemajuan
bangsanya. Keunggulan industri suatu bangsa, boleh dikata sangat ditentukan oleh
kualitas tenaga kerja terampil yang terlibat langsung dalam proses produksi, tenaga
kerja yang berada di “front-Iine" (sebagaimana yang selalu dibanggakan oleh
bangsa Jerman). Karena itu, mutu tenaga kerja pada bagian Iini harus ditingkatkan.
Berikut adalah beberapa alasan pentingnya tenaga terampil :
1) Tenaga kerja terampil, adalah orang yang terlibat Iangsung dalam proses
produksi barang maupun jasa, karena itu menduduki peranan penting dalam
menentukan tingkat mutu dan biaya produksi.
2) Tenaga kerja terampil 'sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
industrialisasi suatu negara.
3) Persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam. Tenaga kerja
terampil adalah merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan
global.
4) Kemajuan teknologi adalah faktor penting dalam meningkatkan
keunggulan. Dan penerapan teknologi supaya berperan menjadi faktor
keunggulan tergantung pada tenaga kerja terampil menguasai dan
mengaplikasikannya.
5) Orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja
dan produktif. Semakin banyak warga suatu bangsa yang terampil dan
produktif maka semakin kuat kemampuén ekonomi negara yang
bersangkdtan.
6) Semakin banyak warga suatu bangsa yang tidak terampil, maka semakin
tinggi kemungkinan pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi
negara yang bersangkutan.
Secara teoritik, pendidikan kejuruan sangat dipentingkan karena dua ha]. Pertama,
lebih 80 % tenaga kerja di lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke
bawah dan sisanya kurang dari 20% bekerja pada lapisan atas. Kedua, kenyataan
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil tamatan Sekolah Menengah Atas yang
melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan
jelas merupakan hal penting.
Tamatan SMK terbiasa santai dengan jam belajar dan bekerjai’ yang
sedikit, padahal di industri harus bekerja keras dengan jam kerja
rata-rata 40 jam per minggu, bahkan sering bekerja sampai malam
hari.
2. Program
3. Operasional
Pada akhir PelitaV ditemukan banyak perilaku salah dalam kegiatan belajar
mengajar di SMK (Iihat Tabel 2), bahkan terbentuk menjadi kebiasaan yang
diterima menjadi suatu kewajaran. Beberapa contoh yang ditemukan, antara lain
:
c. Membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja “asal jadi". Banyak
kegiatan praktek siswa dikerjakan hanya formalitas telah mengerjakan
saja, tanpa adanya standar mutu yang harus dicapai. Guru memang
memberi angka, tetapi angka adalah “angka guru", tidak ada hubungan
dengan standar mutu di dunia kerja. Kebiasaan siswa mengerjakan
pekerjaan dengan kualitas asal jadi membentuk sikap dan kebiasaan
tamatan SMK kurang memahami dan kurang peduli terhadap
mutu/tidak memiliki ”sense ofqua/ity” dan ”sense of added value".
Konsep lama yang bersifat supply driven, tidak dapat lagi dipertahankan.
Pendidikan kejuruan akan bermakna dan akan menjadi efektif, hanya dengan
cara melibatkan pihak dunia kerja berperan serta dalam totalitas program
pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikannya,
pelaksanaan, evaluasi, dan pemasaran tamatannya. Dunia kerja yang lebih tahu
kebutuhannya, dan dunia kerja adalah pihak yang langsung berhadapan dengan
dampak kemajuan IPTEK. Karena itu, pihak dunia kerja perlu dan harus
dilibatkan secara tersistem.
Program yang diformulasikan dalam kurikulum 1994juga perlu diperbaiki,
supaya lebih berorientasi pada pencapaian kompetensi dan mampu memberi
bekal dasar yang kuat menghadapi perubahan dan tantangan masa mendatang.
BAB 6
WAWASAN LINK AND MATCH SEBAGAI DASAR PEBAHARUAN
4. Wawasan Keunggulan
Wawasan keunggulan “link and match” memberikan pandangan
bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi akan memiliki
keunggulan dalam persaingan di dunia kerja dan faktor keunggulan akan
membuat indonesia dapat bersaing secara kompetitif dalam dunia industri
dan perdagangan. Sehingga lulusan dari sekolah euruan diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk persaingan idustri dan pedagangan global.
Dalam menghadapi persaingan global pendidikan kejuruan perlu
memperhatikan hal-hal berikut.
a. Program pendidikan kejuruan perlu dibekali kemampuan
berfikir logis, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bererja
sama, kemampuan menggunakan data, dankemampuan
menguasai IPTEK untuk dapat mampu berkontribusi dalam
persaingan global.
b. SMK harus dapat menimbulkan iklim persaingan di skolah
dengan cara seperti memberikan penghargaan kepada siswa
yang berprestasi dan mengikuti perlombaan sehingga siswa
dapat terpacu untuk dapat mengembangkan potensi diri.
c. SMK harus menerapkan metode pembelajaran yang menuntut
siswa untuk kreatif dengan tingkat keberhasilan tertentu dan
tidak mudah merasa puas dengan hasil yang dicapai.
d. SMK harus dapat menimbulkan stigma bahwa persaingan
bukanlah hal yang menakutkan akan tetapi persaingan adalah
salah satu ajang yang digunakan untuk memacu semangat dan
kreaktifitas fiswa.
5. Wawasan Profesionalisme
Wawasan profesionalisme yang sesuai dengan kebijakan link and match
mengharapkan sekolah dapat membentuk nlai provesionalisme bukamn
melalui metode ceraamah verbal melainkan melalui pembiasaan pada
proses pembelajaran selama tiga tahun di sekolah kejuruan. Sehingga
sekolah mampu berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya industri ,
antara lain dengan:
a. Guru di sekolah harus dapat memposisikan dirinya sebagai contoh yang
bersikap provesional.
b. Manajemen sekolah harus dapat menciptakan iklim organisasi skolah.
7. Wawasan Efisiensi
Wawaasan efisiensi yang sesuai dengan kebijakan “link and match”
adalah lulsan SMk harus memberikan hasil lulusan yang memiliki daya
guna dalam persaingan perdagangan maupun persainagn industi, hal ini
harus sebanding dengan biaya investasi penddidikan SMK yang cukup
tinggi sehingga diharapkan lulusan SMK memiliki daya guna yang tinggi
pula agar tingkat efisiensi produk lulusan SMK sebanding dengan investasi
biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah.
BAB VII
DIMENSI PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN
6. Perubahan Dari Sistem Yang Tidak Mengakui Keahlian Yang Telah Diperoleh
Sebelumnya. Ke Sistem Yang Mengakui Keahlian Yang Diperoleh Dari Mana
Dan Dengan Cara Apapun Kompetensi Itu Diperoleh (Recognition Of Prior
Learning).
Kenyataan empirik membuktikan, bahwa pengalaman kerja seseorang
mampu membentuk kemampuan mengerjakan sesuatu pekerjaan(kompetensi)
bagi orang tersebut. Tetapi sistem lama pendidikan kejuruan tidak mengakui
kompetensi seseorang yang diperoleh dari pengalaman kerja, dan hanya
mengakui apa yang didapatkan siswa dari hasil proses belajar mengajar di
sekolah. Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan
pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh
seseorang. Sistem ini akan memotivasi ban yak orang yang sudah memiliki
kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan
pengakuan sebagai bekal untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk
ini SMK perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrumen dan kemampuan
menguji kompetensi seseorang darimana dan dengan cara apapun kompetensi
itu didapatkan.
7. Perubahan Dari Pemisahan Antara Pendidikan Dengan Pelatihan Kejuruan, Ke
Sistem Baru Yang Mengintegrasikan Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan
Secara Terpadu.
Sistem lama selalu berusaha membuat batasan yang tegas antara
pendidikan kejuruan dengan pelatihan kejuruan, sekalipun batasan itu tidak
memberikan arti yang bermakna. Dalam kenyataan di dunia kerja, kebanyakan
perusahaan memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan
kompetensi dan produktivitas kerja orang tersebut tanpa melihat apakah
kompetensi itu diperoleh dari satuan pendidikan, pelatihan atau pengalaman
kerja. Pembatasan yang selalu dipaksakan justru menutup peluang yang
didapat oleh seseorang dari proses pelatihan untuk melanjutkan pendidikannya
secara berkelanjutan. Program baru pendidikan yang mengemas pendidikannya
dalam bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan
dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi.
Sistem baru akan memberikan artikulasi antara program pelatihan kejuruan dan
program pendidikan kejuruan. Untuk memudahkan proses Dimensi Pembaruan
Pendidikan Kejuruan 75 artikulasi, beberapa SMK akan sekaligus didorong
dan disiapkan melaksanakan program pelatihan berbasis kompetensi.
8. Perubahan Dari Sistem Terminal Ke Sistem Berkelanjutan.
Sistem lama kurang memberi peluang bagi tamatan SMK untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(cenderung dead end). Sekalipun kesempatan untuk melanjutkan terbuka,
tetapi tetap harus melalui proses seleksi dengan materi ujian seleksi yang sama
dengan tamatan SMU dan tidak memberi penghargaan terhadap kompetensi
kejuruan yang didapat dari SMK serta potensi keahlian yang diperoleh dari
pengalaman kerja. Sistem baru tetap mengharapkan dan mengutamakan
tamatan SMK langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga kerja produktif,
dapat memberi return atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui ban yak
tamatan SMK yang potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih
berkembang lagi setelah bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (misalnya
program Diploma), melalui suatu proses artikulasi yang mengakui dan
menghargai kompetensi yang diperoleh dari SMK dan dari pengalaman kerja
sebelumnya. Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien diperlukan
"program antara" (bridging program) guna memantapkan kemampuan dasar
tamatan SMK yang sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjut ke
program pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa SMK potensial
(terpilih), disiapkan untuk mampu melaksanakan program Diploma.
Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang harus
dipelajari, ditetapkan berapa lama pendidikan dan pelatihan itu akan dilaksanakan,
kemudian disepakati berapa lama dilaksanakan di sekolah dan berapa lama di
institusi pasangannya. Selanjutnya perlu disepakati pola atau model pengaturan
penyelenggaraan program, khususnya yang menyangkut tentang kapan
dilaksanakan di lembaga pendidikan (di SMK) dan kapan di institusi pasangannya.
(d) Tugas MS
Mengkoordinasikan kegiatan penyesuaian materi pendidikan di
sekolah dan di institusi pasangannya (industri/ perusahaan).
Pada umumnya peserta didik telah ikut aktif dalam proses produksi,
sehingga pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan.
lnstitusi pasangan dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk
mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (dari sekolah), demi
kepentingan khusus perusahaan.
6) Jaminan Keterlaksanaan
Sementara belum ada aturan perundang-undangan yang berlaku
secara nasional, maka diperlukan naskah kerjasama antara pihak SMK
dengan dunia usaha/industri, yang isinya setidak-tidaknya memuat:
Tujuan kerjasama melaksanakan PSG;
3) Pelaksanaan Bertahap
Pelaksanaan tahap awal ini akan merupakan langkah uji coba (try-
out) yang akan selalu diikuti dengan langkah pemantauan dan analisis
berkelanjutan, dan pada gilirannya diharapkan dapat terformulasikan
konsep dan pelaksanaan PSG yang benar-benar mantap dan cocok untuk
kondisi Indonesia Pelaksanaanya akan ditentukan oleh kesiapan SMK yang
bersangkutan, terutama kesiapan dalam menjalin hubungan kerjasama
dengan industri/ perusahaan untuk menjadi institusi pasangan.
4) Pembinaan Manajemen Sekolah
Bab IX
1. Pembaruan wawasan
a. Pola pikir melihat pendidikan menengah kejuruan dari sudut
pendidikan semata, yang memikirkan pendidika menengah
kejuruan sebagai sub-sistem dari sistem pendidikan nasional
saja, juga sebagai sub-sistem dari sistem pembangunan
sumberdaya manusia
b. Pihak pendidikan lebih mengetahui kebutuhan dunia kerja,
karena itu berhak dan perlu diajak ikut serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pendidikan menengah kejuruan
c. Kepedulian terhdapat mutu dan keunggulan, dan pemahan
terhadap phenomena globalisasi, era baru adalah era persaingan,
diperlukan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi dan
memiliki keunggulan
7. Penyempurnaan Kurikulum
Perbaikan kurikulum dari pendidikan berbasis sempit menjadi
pendidikan berbasis mendasar, penyempurnaan GBPP dari orientasi
pengajaran mata pelajaranpaket – paket kopetensi, penyepurnaan
metodologi pengajaran dari metode maju berkelanjutan
8. Penataan dan pengebangan manajemen SMK
Pelaksanaan program PSG di SMK mengandung banyak sekali
kegiatan baru yang sebelumnya tidak ada, dan memiliki misi
pembaruam dari sistem lama ke sistem baru. Keberhasilan
pelaksanaan program PSG dan ketuntasan pencapaian misinya,
sangat dominan dipengaruhi oleh kehandalan manajemen sekolah.
Dan kehandalan manajemen sekolah sangat dominan dipengaruhi
oleh kualitas Kepala Sekolah sebagai manajer
9. Pelaksanaan unit Prosuksi pada SMK
Pengembangan kegiatan unit produksi pada SMK telah
mendapatkan penekanan penting sejak awal Pelita VI. Kegiatan
penting ini (yang memang memungkinkan sesuai dengan PP no. 29
tahun 1990), selain dimaksudkan untuk menambah penghasilan
sekolah dan sekaligus ikut mendukung peningkatan produktifitas
nasional. Program unit produksi ini diharapkan berfungsi sebagai
pranata (means) menggiring SMK berwawasan pasar (market),
berwawasan mutu, berwawasan keunggulan dan berwawasan
ekonomi. Perkembangan sampai dengan tahun 1997/1998 harus
diakui belum memuaskan. Kemajuan yang telah dicapai terasa
sangat lamban, kelambanan ini terutama disebabkan oleh kekurang
siapan sumberdaya manusia SMK melakukan kegiatan yang bersifat
bisnis. Kegiatan bisnis adalah sesuatu yang baru bagi mereka, dan di
luar jangkauan pemikiran mereka. Namun demikian, dengan
dukungan kebijakan dan penciptaan iklim yang kondusif untuk
pengembangan Unit Produksi, sebanyak +50 SMK telah mulai
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Keberhasilan beberapa
SMK mengembangkan unit produksinya akan menjadi model atau
contoh-contoh keberhasilan untuk ditiru SMK lainnya. Apabila
semakin banyak SMK berhasil mengembangkan unit produksinya,
maka kesulitan SMK mencari industri tempat praktek kerja industri
sebagian akan teratasi
11.Gebyar SMK
Gebyar telah tumbuh menjadi suatu program rutin SMK di tiap
propinsi. Kegiatan Gebyar yang pada dasarnya berfungsi sebagai
FAIR", media promosi, media perdagangan, media pemasaran
produk dan jasa SMK telah dilaksanakan sekali setahun di tiap
Propinsi sejak tahun 1995, tahun 1996 dan tahun 1997. Kegiatan
Gebyar SMK yang melibatkan secara langsung Majelis Sekolah,
MPKP dan Pemerintah Daerah setempat telah berhasil:
a. Mengangkat rasa percaya diri SMK, karena terbukti mereka
berani dan mampu tampil berhadapan dan bekerjasama dengan
masyarakat industri dan masyarakat luas.
b. Memacu SMK menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas
unggu untuk dijual dan dipamerkan pada acara Gebyar.
c. Mendorong peningkatan unit produksi pada SMK
d .Menuntun SMK berwawasan pasar, berwawasan bisnis,
berwawasan mutu dan berwawasan keunggulan
e. Membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat industri,
bahwa SMK masa kini telah lain dari SMK masa dulu.
BAB X