You are on page 1of 69

PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN

RINGKASAN MATERI

Mawarda Nurodanika
16504244009

Dosen Pegampu :
Prof. Dr. Herminarto Sofyan, M.Pd.

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
Dedi Supriadi (2002), Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia.
Jakarta : Dikemenjur.

Pendidikan adalah sesuatu yang hak bagi setiap manusia. Salah satunya
pendidikan kejuruan yang berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika
(Etische Politiek) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah
Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebuah tulisan oleh Mr. C. Th. Van Deventer,
mengungkapkan bahwa kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap
pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan,
khususnya di Hindia Belanda, sementara Belanda menyatakan dirinya sebagai
bangsa dengan peradaban yang tinggi.
Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda
di tanah jajahannya, Hindia Belanda yang mengeruk keuntungan yang luar biasa,
oleh sebab itu muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang
parlemen Belanda tahun 1901. Pemerintah Balanda berusaha mengembangkan
ekonomi agar memiliki anggaran sendiri hingga akhirnya dari pendidikanlah unsur
yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan kejuruan adalah salah satu di
dalamnya, dimana dari sekolah kejuruan akan diperoleh lulusan dengan keahlian
dibidang teknik.
Pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan yang
digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia. Pada saat itu Belanda
sedang dalam masa penjajahan ke tanah Indonesia, sedang pada saat itu jika hanya
dengan mengandalkan potensi yang ada maka tidak akan berkembang. Lalu dengan
mengembangkan pendidikan Sekolah Pertukangan tidak hanya berusaha
meningkatkan pendidikan warga negara Belanda kepentingan mereka, tetapi ikut
bertanggungjawab kepada Indonesia sebagai tanah jajahannya walaupun memang
hanya khusus kaum bangsawan pada saat itu.
Ada tiga kota besar di Indonesia yang dibangun sekolah pertukangan terseut, yaitu:
Surabaya, Betawi dan Semarang. Kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan
Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan
pertanian praktis. Kemudian dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana
banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian
pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain. Walaupun bagaimana juga
pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa
dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi.
Memang tidak secara singkat perkembangan yang terjadi sedemikian majunya,
karena dalam masa penjajahan adalah masa sulit dan masa yang tidak
menyenangkan bagi yang terjajah, sehingga sangat banyak hambatan dan rintangan
yang membuat banyak instansi sekolah yang dipergunakan sebagai proses
pendidikan ini berkembang sesuai perkembangan perekonomian saat itu.
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode utama,
yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada zaman
kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode dari
pendidikan di Indonesia. Di antara pendidikan pada zaman sebelum masa
kemerdekaan yaitu; (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan, (2) pendidikan
yang berbasis kepentingan penjajah, (3) pendidikan dalam rangka perjuangan
kemerdekaan (Depdikbud, 1996). Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi
menjadi tiga babak yaitu; (1) tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I; (2) sejak pelaksanaan
Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998 dan (3) periode
reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak
tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan mengalami desentralisasi yang
radikal (Jalal & Supriyadi, 2001). Satu setengah abad pendidikan kejuruan di
indonesia
Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10
abad sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang
berbasis keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam.
Namun baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa
Portugis di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul
pendirian sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia
Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa
Barat. Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah intelektualismenya,
yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan kerja yang kemudian
berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 1960-
an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak lebih maju daripada
Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Waktu Indonesia mampu
mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun harus membangun sistem
pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya dari sistem pendidikan
Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi landasannya. Sampai pada
tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda, isinya
mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan
kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sinilah
memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan oleh ratu
Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan kesepakatan
untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah pertam yang
didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat Gubernur Jenderal
kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian Pendidikan
Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900
nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan Kejuruan
(Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900 nomor
49/2280).
Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar
cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara yang
kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan
adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan
bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia
waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras
dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan
Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka
kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan
dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas
Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun),
pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di
Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah
Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali
sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping
Sekolah Tingkat Menengah.
Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan
banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya
dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat
besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun 1998,
siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar 37 %
dari seluruh populasi SLTA di Indonesia.
Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada PELITA I
dan II. Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia
menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral
REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I
dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah
melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang
kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan. Tahun pertama
Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan, dengan
dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I
(1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan
membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik)
dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO
serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek
Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan pusat penyelenggaraan di
STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung, dengan sasaran
utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek STM
Pembangunan dan BLPT.
Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan
teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan World
Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah Belanda
maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru teknik.
Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973, dan Mr.
Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang waktu
itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre). Pendidikan Kuantitatif
Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV Dalam rangka pembaharuan sistem
pendidikan nasional telah ditetapkan visi pendidikan nasional, yaitu terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang
selalu berubah terutama dalam proses pendidikan.
Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan televisi
untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut kebijakan
karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan
pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya yang maju
menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula. Sebaliknya
masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada
masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang
pendidikan. Berdasarkan pengkajian Komisi PBB Untuk Pembangunan
Pengetahuan dan Teknologi (United Nations Commission on Science and
Technology for Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara
teknologi informasi dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di
semua sektor. Oleh karena itu disarankan agar semua negara angota PBB
memanfaatkan potensi TIK secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat
berpengetahuan. Perubahan Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan
berbagai usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan
mulai tahun 1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan
mulai Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek
seperti berikut: Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan
daya tampung siswa, Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas
lulusan melalui peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga
pengajar dan peningkatan tenaga pengajar, relevansi ditingkatkan dengan
mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum dengan kebutuhan industri/dunia kerja,
Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk
menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan tenaga kerja
atau persyaratan mandiri, Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan
pengelolaan pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu.
Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak
terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan, faktor-
faktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial Budaya,
faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap jenis dan
jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses pelaksanaan
pendidikan kejuruan. Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu
lembaga pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama
pendidikan, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode
pengajaran dan evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan
dalam pendidikan kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan
Kurikulum 1984.
Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam Pembaruan
Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan antara lain;
1. Kurikulum dan Program Pendidikan, 2. Penyesuaian Masa Pendidikan, 3.
Pembaruan melalui Kurikulum 1984, 4. Fasilitas Pendidikan, 5. Tenaga
Kependidikan, 6. Manajemen dan Administrasi, 7. Kesiswaan, 8. Pendirian dan
Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan, dan 9. Efisiensi Biaya Pendidikan.
Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan
menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan mutu
Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan,
masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar,
serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Dibutuhkan suatu strategi pecahan
masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, dengan
menyesuaikan program-program pendidikan menengah kejuruan dengan berbagai
kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas kesempatan belajar bagi
setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan tenaga pengajar yang
memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas pendidikan, sedang dalam
asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan pendidikan dengan
mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah kejuruan yang diharapkan
terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, jika diperlukan
dilaksanakan studi banding ke luar negeri.
Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V Dalam rangka
pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan program telah
tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan yang akan
diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan, pariwisata,
perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu,
terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan
kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa
faktor yang mempengaruhi, seperti ; 1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia
dengan sejarah pertumbuhannya, 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang merupakan warisan dari zaman sebelum Perang Dunia II, dan 3. Peta geografi
indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak jumlahnya dengan ragam
tingkat perkembangannya.
Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan menjadi
beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh pemerintah
antara lain seperti di bawah ini :
1. Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan.
2. Pembiayaan.
3. Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri.
4. Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5. Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri.
6. Usulan proyek-proyek baru.
7. Hal-hal yang memerlukan perhatian.
Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan
Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh
Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut
belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada
pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka
harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal, luwes,
adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan menengah
kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan operasional, seperti;
1. Masalah Konsepsi, 2. Masalah Program, 3. Masalah Operasional 4. Perlunya
Pembaruan.
Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk
pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and
Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan,
wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai
tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya
pendidikan kejuruan.
Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi. Berdasarkan Kurikulum 1984,
bidang-bidang keahlian dalam lingkungan pendidikan menengah kejuruan meliputi
enam kelompok, yaitu; 1. Kelompok Teknologi dan Industri, 2. Kelompok
Pertanian dan Kehutanan, 3. Kelompok Bisnis dan Manajemen, 4. Kelompok
Pariwisata, 5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat dan 6. Kelompok Seni dan
Kerajinan. Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang keahlian
Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan
diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun
1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan
Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini
dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM
Pembangunan 4 tahun. Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem
Ganda di SMK.
PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara
operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan.
Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk
meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan
bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan
praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG.
Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya
bertumpu pada upaya merangkul industri.
Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor
pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan
Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik
di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga
diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri,
Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik
Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di
Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan
sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan
Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan
Perundang-undangan.
Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau
langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat
lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan
memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan
faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan
keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya
industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain
(misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja)
akan layu dan mati.
Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan global
manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-cepatnya dan
sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan paradigma
tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal dengan
New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu industri
manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya. Langkah-
langkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur menjadi
bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan kemitraan.
Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin dalam
Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui: a. Integrated Product and
Process Development (IPPD), b. Flexible and Modular Equiments and Processes,
c. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE , d. didukung oleh suatu
Enterprise-Wide Computing Environment, e. didukung oleh jaringan komunikasi
global.
Menjelang 2020, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh
dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam
yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar
potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan
pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut
untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan
memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang
sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi
pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang
bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa
depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian
dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usaha-
usaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional
maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra
kerjasama.
Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali
konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka
peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan
(trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun
internasional. Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Menata
ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel dengan
menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis kompetensi. Menata ulang
program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK dengan menerapkan
Competency Based Training (CBT).
Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Para pengambil
keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi, permasalahan, dan
tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta kaitannya dengan ketenaga-
kerjaan, bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah,
reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.

Putu Sudiro (2017).TVET Abad 21. Yogyakarta: UNY Press

A. Pendidikan Vokasional, Vokasi, Teknikal dan Kejuruan

Pendidikan Vokasional atau Vocational Education (VE) adalah pendidikan


untuk dunia kerja (Education for Vocation atau Education for Occupations).
Pendidikan Vokasional adalah pendidikan untuk mengembangkan ke-vokasi-an
seseorang sehingga memiliki kapasitas atau kapabilitas ditugasi atau diberi perintah
untuk melakukan pekerjaan atau jabatan tertentu. Billet (2011:2) menyatakan
Pendidikan Vokasional sebagai “Education for Occupations”. Kemudian Pavlova
(2009) menyatakan bahwa tujuan tradisional Pendidikan Vokasional sebagai
berikut:
Traditionally, direct preparation for work was the main goal of vocational
education. It was perceived as providing specific training that was reproductive and
based on teachers’ instruction, with the intention to develop understanding of a
particular industry, comprising the specific skills or tricks of the trade. Students’
motivation was seen to be engendered by the economic benefits to them, in the
future. Competency-based training was chosen by most governments in Western
societies as a model for vocational education (VE) (Pavlova, 2009: 7).
Tradisi Pendidikan Vokasional bertujuan menyiapkan lulusan untuk bekerja.
Persiapan bekerja adalah tujuan utama Pendidikan Vokasional. Agar siap bekerja
maka Pendidikan Vokasional memuat pelatihan khusus yang cenderung bersifat
reproduktif sesuai perintah guru atau instruktur dengan fokus perhatian pada
pengembangan kebutuhan industri, berisikan skill khusus atau triktrik pasar.
Motivasi utama Pendidikan Vokasional terletak pada keuntungan ekonomi untuk
masa depan. Walaupun sekarang sudah mulai berkembang dimana TVET mulai
memperhatikan pembangunan berkelanjutan dimana ekonomi bukan satu-satunya
variabel Pendidikan Vokasional. Pelatihan berbasis kompetensi dipilih sebagai
model Pendidikan Vokasional. Tradisi Pendidikan Vokasional mempersiapkan
tenaga kerja terlatih dengan skill tinggi yang tunduk pada pemberi kerja (Rojewski,
2009: 21). Tradisi ini ditentang oleh John Dewey. Dalam perspektif lain dari John
Dewey dalam Rojewski (2009:21) dinyatakan:
The principle goal of public education was to meet individual needs for personal
fulfilment and preparation for life. This required that all students receive vocational
education, be taught how to solve problems and have individual differences
equalized. Dewey rejected the image of students as passive individuals controlled
by market economy forces and existentially limited by inherently proscribed
intellectual capacities. In his view, students were active pursuers and constructors
of knowledge (Rojewski, 2009:21).
Pada literatur internasional tidak ditemukan istilah Pendidikan Vokasi dan
sekolah vokasi seperti yang dipakai di Indonesia. Sekali lagi Pendidikan Vokasi dan
sekolah vokasi tidak ada dalam nomenklatur internasional. Yang ada adalah
Pendidikan Vokasional atau sekolah vokasional. Pendidikan Vokasional adalah
pendidikan untuk mengembangkan kapasitas ke-vokasi-an seseorang agar dapat
dipanggil, diterima atau ditugasi bekerja pada satu bidang pekerjaan atau jabatan
tertentu. Dapat ditegaskan kembali bahwa istilah Pendidikan Vokasional lebih tepat
digunakan daripada Pendidikan Vokasi. Penggunaan istilah jalur pendidikan antara
akademik dan vokasi bisa dibenarkan karena jalur vokasi bermakna jalur menuju
panggilan kerja, sedangkan jalur akademik adalah jalur pendidikan yang lebih
bersifat umum.
Jika kata vokasi sebagai kata benda dikaitkan dengan kata pendidikan menjadi
Pendidikan Vokasi. Pendidikan Vokasi adalah pendidikan yang berkaitan dengan
pengembangan ilmu untuk memahami jenis-jenis perintah atau penugasan kerja
atau jabatan. Pendidikan Vokasi mengkaji jenis-jenis perintah penugasan pekerjaan
sebagai noun tidak mendalami sifat-sifat atau karakteristik pekerjaan itu sendiri.
Istilah Pendidikan Vokasi sebagai ilmu tentang jenis-jenis perintah atau penugasan
kerja sangat sempit dan bahkan dapat masuk dan menjadi bagian kecil dari
Pendidikan Vokasional. Pendidikan Vokasional jelas memiliki makna dan cakupan
pengembangan keilmuan lebih luas daripada Pendidikan Vokasi. Jika yang dikaji
dalam berilmu itu adalah sifat-sifat pekerjaan itu sendiri maka Pendidikan
Vokasional yang tepat digunakan. Jika yang dikaji jenis-jenis perintah atau
penugasan pekerjaan sebagai yang dibendakan maka Pendidikan Vokasi yang tepat
digunakan. Sekali lagi dalam nomenklatur internasional tidak ada Vocation
Education yang ada adalah Vocational Education atau Pendidikan Vokasional.
Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama dengan Pendidikan
Vokasional. Kata kejuruan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris kata
“vocational”. Untuk kasus di Indonesia istilah Pendidikan Vokasional dan
Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama. Secara akademik kedua istilah
ini tidak memberi makna yang berbeda. Pendidikan Kejuruan bukan bermakna
pendidikan pada jenjang menengah seperti yang digunakan dalam
perundangundangan sistem pendidikan Indonesia. Mestinya istilah Pendidikan
Vokasional atau Pendidikan Kejuruan dapat digunakan baik pada jenjang
pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Pemisahan penggunaan
Pendidikan Kejuruan untuk SMK/MAK dan Pendidikan Vokasi untuk politeknik
secara akademik menimbulkan kegamangan dan kesulitan dalam memahami dan
membedakan karena keduaduanya adalah pendidikan untuk dunia kerja. Sebagai
rekomendasi istilah yang digunakan adalah salah satu di antara pendidikan kejuruan
atau pendidikan vokasional.
Pendidikan Teknikal (Technical Education) adalah pendidikan yang
mengajarkan penerapan prinsip-prinsip dan teori bekerja kepada peserta didik
dalam menerapkan pengetahuannya pada situasi kerja yang baru dan terus berubah.
Pendidikan Teknikal mencakup pelatihan atau training keterampilan atau teknik-
teknik bekerja. Pendidikan dan pelatihan teknikal mengajarkan pengetahuan dan
skill khusus yang penting bagi pengembangan individu sebagai pekerja. Melalui
Pendidikan Teknikal seseorang mampu menyiapkan dirinya memiliki kapasitas
yang diperlukan dalam dunia kerja. Pendidikan Teknikal merupakan studi
kepemilikan keahlian kerja (occupational experts possess), kemampuan
menggunakan keahliannya dengan skill penuh pada situasi seperti apapun baik
sudah familier atau masih baru.
Pengetahuan tentang kerja dan sifat-sifat pekerjaan yang diperoleh melalui
Pendidikan Vokasional disempurnakan dengan skill teknis bagaimana menerapkan
pengetahuan kerja itu melalui Pendidikan Teknikal. Perpaduan kedua pendidikan
ini menghasilkan konsep Pendidikan Teknikal dan Vokasional atau Technical and
Vocational Educatin (TVE). Pendidikan Teknikal menyatu dengan Pendidikan
Vokasional sehingga muncul Technical and Vocational Education (TVE). TVE
adalah pendidikan formal di sekolah dan kampus. Oleh karena TVE hanya
menyangkut pendidikan persekolahan tentang technical and vocational maka ILO
mengusulkan adanya pelatihan disamping pendidikan. Usulan ini dalam rangka
pendidikan untuk semua. Pengembangan dan pemberian bekal bekerja tidak semua
dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Pemberian bekal bekerja juga perlu
difasilitasi melalui pelatihan nonformal dan informal. ILO bersama UNESCO
dalam kongres internasional kedua di Korea pada tahun 1999 menetapkan konsep
pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional dengan nama Technical and
Vocational Education and Training (TVET). Sejak itu terminologi TVET
digunakan secara baku dalam semua kajian akademik dan literatur pendidikan
Vokasional. TVET digunakan sebagai strategi pemenuhan pendidikan untuk semua
(Education for All=EFA) dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
(Education for Sustainable Development=ESD).
TVET dalam nomenklatur Pendidikan Vokasional menjadi komprehensif
digunakan dalam proses pendidikan dan pelatihan untuk dunia kerja. Makna ini
penting sekali bagi pengembangan pembelajaran baik di sekolah maupun di luar
sekolah termasuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS). TVET sebagai strategi EFA
menyangkut pendidikan dan pelatihan untuk semua kaum. TVET juga digunakan
untuk rehabilitasi anak-anak bermasalah dan anak berkebutuhan khusus.
Pemahaman makna TVET memberi landasan yang jelas bagaimana para
pengembang dan pelaku TVET mengembangkan learning outcome, kurikulum,
pembelajaran, pemenuhan sarana-prasarana pendidikan, mengembangkan standar
kompetensi pendidik dan tenaga kependidikannya. Pengembangan pengetahuan
dan skill bekerja tidak hanya dilakukan melalui pendidikan tetapi juga melalui
pelatihan dan pelatihan kembali sehingga semua orang dapat meningkatkan
kompetensi dan skill kerjanya dan berkembang karirnya.
Dalam keilmuan pendidikan vokasional termasuk dalam adult education.
TVET disesuaikan dengan tingkat umur, kematangan, kedewasaan dan kesiapan
anak untuk mengapresiasi pekerjaan. Di Indonesia batasan minimal usia kerja 18
tahun sebagai batasan umur setelah melewati pendidikan menengah (SMK).
Apresiasi terhadap pekerjaan penting maknanya bagi peserta didik dan lulusan
satuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional. Kematangan dan kedewasaan peserta
didik dalam Pendidikan Teknikal dan Vokasional sangat penting dan perlu
mendapat kajian yang cukup. Kekurangdewasaan peserta didik Pendidikan
Vokasional mengakibat berbagai resiko mulai dari permasalahan motivasi belajar
sampai dengan permasalahan keselamatan kerja dalam menjalani pelatihan-
pelatihan kerja. Lulusan Teknikal dan Vokasional yang tidak memanfaatkan
kompetensi yang diperoleh dari berbagai jenis pendidikan dan pelatihan
merupakan bentuk in-efisiensi Pendidikan Vokasional. Pendidikan Vokasional
tanpa memberi dampak diperolehnya pekerjaan akan sia-sia dan in-efisien, karena
tujuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional adalah untuk membangun kompetensi
kerja dan produktivitas lulusan.
Negara-negara Asia Tenggara menggunakan istilah Vocational and Technical
Education and Training (VTET) yang intinya sama dengan TVET. Negara-negara
Asia Tenggara menekankan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan dan pelatihan
teknik dan kejuruan. VTET lebih menekankan dua hal yang berbeda antara
pendidikan yang berbau teori dan pelatihan yang berbau skill. Pendidikan memuat
materi-materi umum yang bersifat normatif dan adaptif dan pelatihan memuat
praktikum pengembangan skill motorik berbagai pekerjaan. Model itu lebih
menekankan aspek-aspek keterampilan atau skill motorik dibandingkan
pengembangan karir secara terprogram. Istilah Vocational Education and Training
(VET) dan Vocational and Technical Education (VTE) digunakan di Australia.
Pendidikan Vokasional di Australia juga sangat maju. Perkembangan Pendidikan
Vokasional di Australia sangat didukung oleh lembagalembaga risetnya yang
sangat intens didalam melakukan kajiankajian dan pengembangan Pendidikan
Vokasional. National Centre for Vocational Education Research (NCVER) adalah
salah satu lembaga riset nasional Australia yang sangat profesional dalam
melakukan kajian pengembangan dan publikasi Pendidikan Vokasional di
Australia. Di Eropa saat ini muncul lagi nomenklatur Vocational and Professional
Education and Training (VPET). Istilah ini bukan hal baru karena dorongan
pekerjaan semakin kearah pekerjaan sebagai profesi (Sudira, 2011).
Indonesia menggunakan nomenklatur pendidikan kejuruan pada tingkat
menengah dan pendidikan vokasi pada tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan
kejuruan diselenggarakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan Vokasi diselenggarakan di Politeknik dan
Sekolah Vokasi dengan jenjang Diploma 1, Diploma 2, Diploma 3, dan Diploma 4.
Sekolah Vokasi lahir di universitas besar yang kemudian disapih dari induknya
karena kelahirannya tidak cocok dengan visi-misi universitas sebagai lembaga
pendidikan berbasis riset. Pemilihan nomenklatur Pendidikan Kejuruan dan
Pendidikan Vokasi belum menunjukkan konsep yang jelas. Penetapan nomenklatur
baru didasarkan pada perbedaan tingkatan pelaksanaan pendidikannya. Indonesia
dapat dikatakan belum memiliki konsep yang jelas tentang pendidikan dan
pelatihan teknikal dan vokasional. Akibatnya pendidikan kejuruan dan pendidikan
vokasi menjadi ranahnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan
Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi. Sedangkan pelatihan kejuruan menjadi
ranah Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Departemen Perindustri-an,
Departemen Ketenaga Kerjaan, Departemen Dalam Negeri. Kondisi semacam ini
perlu menjadi perhatian bersama, bagaimana mulai membangun framework yang
utuh tentang pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional yang komprehensif.
Negara-negara berpenduduk besar dengan disparitas kemampuan pendidikan yang
lebar lebih tepat menggunakan TVET. Akses pendidikan dunia kerja yang bersiat
formal yang masih relatif rendah dapat diatasi melalui pelatihan-pelatihan singkat
pada kompetensi atau skill tertentu saja tanpa harus memalui pendidikan formal
yang panjang. Demikian juga bagi pekerja aktif dalam meningkatkan
kompetensinya dapat dilakukan melalui pelatihan singkat selain pendidikan formal
yang menyita waktu, biaya, dan produktivitas kerja.
Secara yuridis definisi dasar pendidikan kejuruan Indonesia dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Pasal 15 UU Sisdiknas menyatakan pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang
tertentu. Kemudian pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan
tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan kejuruan
diselenggarakan di SMK dan MAK. Pendidikan vokasi diselenggarakan di
Akademi, Sekolah Tinggi, Politeknik, Institut, dan Universitas. Pasal ini
menegaskan bahwa pendidikan kejuruan dan vokasi adalah pendidikan yang
utamanya menyiapkan peserta didik untuk bekerja. Penggunaan istilah pendidikan
kejuruan pada tingkat menengah dan pendidikan vokasi untuk pendidikan tingkat
tinggi secara akademik tidak memiliki makna yang jelas. Perbedaan istilah itu
hanya membedakan level penyelenggaraannya. Apakah vokasi lebih tinggi levelnya
dari kejuruan juga tidak bisa dijelaskan. Bagaimana jika dibalik?
Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dinyatakan bahwa Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) satuan pendidikan menengah kejuruan adalah untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan bidang
kejuruannya. SKL ini mengandung empat aspek pokok, yaitu: (1) meningkatnya
kecerdasan dan pengetahuan sebagai bagian aspek pendidikan otak; (2) dimilikinya
kepribadian dan ahklak mulia sebagai personifikasi dari pendidikan hati nurani; (3)
dimilikinya keterampilan agar dapat menghidupi dirinya secara mandiri; (4) dapat
menempuh studi lanjut sesuai bidang kejuruan yang telah diambil.
Definisi pendidikan kejuruan kembali dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP)
17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang
menyatakan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP,
MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui
sama atau setara SMP atau MTs. Pemerintah kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan
pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pasal 157 ayat 2
menyatakan satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi
berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejuruan
yang terkait dengan potensi ekonomi, sosial, dan/atau budaya setempat yang
merupakan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah.
Definisi dan tujuan pendidikan kejuruan dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 lebih mengesankan pengaruh mazab Prosser dengan filosofinya
esensialisme, sedangkan dalam PP 19 Tahun 2005 deskripsi SKL SMK lebih kuat
menunjukkan pengaruh mazab Dewey dengan filosofinya pragmatisme.
Mencermati hukum-hukum formal pendidikan kejuruan atau vokasional yang ada,
sesungguhnya belum menegaskan arah dan jati diri pendidikan kejuruan atau
vokasional Indonesia dalam pengembangan SDM Indonesia kedepan.
Secara yuridis formal pendidikan kejuruan di Indonesia diselenggarakan di SMK
dan MAK. Sejalan dengan otonomi daerah pembinaan penyelenggaraan pendidikan
kejuruan di SMK dan MAK diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dengan
memperhatikan keunggulan potensi lokal baik dalam sektor ekonomi, sosial, dan
budaya daerah. Ketentuan hukum otonomi pendidikan ternyata membawa
konsekuensi tersendiri yaitu tidak meratanya kapasitas dan kemampuan daerah
dalam mengembangkan pendidikan vokasional. Demikian juga penyetaraan
program-program pendidikan vokasional dengan koridor pengembangan ekonomi
belum tertata dengan baik. Masing-masing provinsi di Indonesia belum memiliki
kapasitas yang sama dalam melakukan pengembangan pendidikan vokasional.
Akibatnya pertumbuhan pendidikan vokasional di Indonesia tidak akan merata,
terjadi kesenjangan kualitas antara sekolah kejuruan atau vokasional antardaerah.
Pemerintah daerah belum dapat memahami posisi dan fungsi pendidikan vokasional
dengan baik. Tujuan penyelenggaraan pendidikan vokasional adalah untuk
pengentasan kemiskinan, peningkatan pendapatan asli daerah, peningkatn kualitas
tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan, penguatan dan konservasi budaya dan tata
nilai.
Untuk mewujudkan pendidikan vokasional yang baik diperlukan proses
vokasionalisasi. Tujuan utama vokasionalisasi adalah untuk meningkatkan
relevansi pendidikan dan bimbingan kejuruan dengan perkembangan kebutuhan
keduniakerjaan dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang kompetitif dan
berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan. Vokasionalisasi tidak boleh
terjebak hanya pada orientasi pasar yang sempit. Vokasionalisasi harus membangun
masyarakat sejahtera sekarang dan masa depan tanpa batas waktu. Vokasionalisasi
juga membawa visi misi membangun dan menjaga jagat raya beserta seluruh isinya
menjadi “hamemayu ayuning bhawana”. Dunia yang sudah “ayu” atau baik
diperbaiki kembali secara terus menerus agar tambah baik. Vokasionalisasi tidak
boleh terjebak pada kebutuhan sesaat yang sempit apalagi mengancam
kelangsungan hidup. Ini pesan moral vokasionalisasi masyarakat melalui
pendidikan kejuruan dan vokasional.
Pendidikan kejuruan sebagai pendidikan untuk dunia kerja dalam mengisi peluang-
peluang kerja yang ada perlu menjalankan fungsi-fungsi dasar pendidikan kejuruan
yaitu: (1) melakukan transmisi kultur (budaya); (2) transmisi skills/kemampuan;
(3) transmisi nilai dan keyakinan; (4) persiapan untuk hidup produktif; (5)
pemupukan interaksi kelompok; (6) pengembangan kearifan dan keunggulan lokal.
Pendidikan kejuruan/vokasional sebagai pendidikan untuk pengembangan
kompetensi kerja sumber daya insani (SDI) akan berhasil baik jika mampu
menumbuhkembangkan esensi dan eksistensi manusia melalui pendidikan kejuruan
yang memasyarakat, berbudaya kompetensi dalam tatanan kehidupan berdimensi
lokal, nasional, regional, dan global. Sebagai produk masyarakat, pendidikan
kejuruan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dimana pendidikan kejuruan
dikembangkan. Pendidikan kejuruan tumbuh dari masyarakat, berkembang
bersama budaya dan tradisi masyarakat setempat, memperhatikan kearifan lokal,
keunggulan lokal, potensi wilayah, dukungan masyarakat, partisipasi dan
kerjasama masyarakat, ada konsensus yang kuat diantara masyarakat dengan
lembaga pendidikan kejuruan. Visi pendidikan kejuruan seharusnya kongruen
dengan visi masyarakat dimana pendidikan kejuruan dikembangkan (Tilaar, 1999;
Sudira, 2012).
Kehidupan modern bercirikan perubahan tanpa henti. Terjadi pelipatan
pengetahuan super cepat dan tuntutan skill baru dengan siklus masa hidup yang
sangat pendek. Kondisi semacam ini membutuhkan budaya belajar dan habit belajar
sepanjang hayat, belajar dari berbagai sumber. Keterampilan belajar yang baik
adalah kunci sukses di Abad XXI. Keterampilan belajar Abad XXI adalah
keterampilan belajar orde tinggi dengan ciri pokok kritis dalam berpikir, kreativitas,
kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain dari berbagai
etnis, serta cerdas merayakan setiap keberhasilan hidupnya. TVET dikatakan
berhasil melakukan edukasi bangsa jika mampu membangun budaya hidup pada
seluruh masyarakatnya menjadi insaf akan teknologi, memahami dan melek
teknologi, memiliki kapabilitas menerapkan teknologi, kreatif menemukan
teknologi baru, kritis mengambil sikap bagaimana dan mengapa menggunakan
teknologi. Budaya semacam ini merupakan budaya TVET yang peduli, sadar,
melek, insaf, berkemampuan, kreatif, kritis terhadap teknologi. Mampu
menerapkan teknologi pada sektor produksi agar semakin produktif dan
memuaskan pelanggan dalam sektor layanan. Budaya konsumtif harus diwaspadai
sebagai kegagalan edukasi TVET. Keberhasilan TVET dalam membangun budaya
rekayasa membutuhkan dukungan sains yang memberi eksplanasi dan verifikasi
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan empat tujuan pembelajaran TVET maka muncul konsep belajar
(learning), belajar kembali (relearning), tidak belajar sesuatu yang usang
(unlearning), berlatih (training), berlatih kembali (retraining), tidak berlatih sesuatu
yang tidak bermanfaat (untraining). Dalam TVET pendidikan dan pelatihan
berjalan seirama. Pendidikan mewakili kegiatan pembelajaran berjenjang dalam
satu kualifikasi tertentu, sedangkan pelatihan mewadahi kegiatan pembelajaran
untuk satu skill atau kompetensi tertentu.
Pengembangan pendidikan kejuruan/vokasional membutuhkan kebijakan lintas
departemen. Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan ekonomi tidak mungkin
dapat berdiri sendiri berkembang di bawah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan atau Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan Vokasional
membutuhkan kebijakan bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi, Departemen Perekonomian, Departemen
Perdagangan, Departemen Perindustri-an, Departemen Ketenagakerjaan, dan
Departemen Dalam Negeri. Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan
perindustrian seharusnya digunakan sebagai dasar perencanaan kebutuhan
pengembangan ketenaga kerjaan, jenis dan jumlah bidang keahlian kejuruan yang
dibutuhkan. Departemen Dalam Negeri juga ikut memfasilitasi pengembangan
pendidikan kejuruan sesuai kebutuhan otonomi daerah. Permasalahan ini adalah
permasalahan makro pendidikan kejuruan/vokasional Indonesia yang tidak dapat
diselesaikan dengan perbaikan-perbaikan mikro semata seperti perbaikan
kurikulum, sarana-prasarana, proses pembelajaran, pendidik dan tenaga
kependidikan, pembiayaan. Problematika mendasar pendidikan
kejuruan/vokasional di Indonesia ada pada tataran kebijakan. Adanya Direktorat
Pembinaan SMK tidak cukup mengatur pengembangan pendidikan
kejuruan/vokasional di Indonesia karena secara struktural tidak memiliki
kewenangan sampai membuat kebijakan ketenagakerjaan.
B. Cakupan Bidang TVET

Pada penetapan UNESCO bahwa “Technical and Vocational Education and


Training (TVET) is concerned with the acquisition of knowledge and skills for the
world of work” maka Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk dunia kerja
memiliki cakupan bidang pendidikan yang sangat luas mulai dari program studi di
perguruan tinggi dengan status yang tinggi sampai pendidikan menengah dengan
status yang rendah hingga pelatihanpelatihan singkat kompetensi kerja baik formal,
nonformal, maupun informal. Pendidikan di perguruan tinggi dengan status tinggi
seperti pendidikan dokter, pendidikan notaris, pendidikan bisnis, teknik dan
sebagainya termasuk dalam cakupan Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan
yang konsern pada pemerolehan pengetahuan dan skill untuk okupasi. Semua
pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi jika mengorientasikan
lulusannya untuk bekerja maka termasuk dalam cakupan bidang Pendidikan
Vokasional (TVET).
Disisi lain pendidikan di SMK, politeknik, dan pendidikan keguruan teknik masih
dikategorikan sebagai Pendidikan Vokasional dengan status menengah. Sejauh ini
masyarakat vokasional masih banyak salah memahami dimana pendidikan
kejuruan/vokasional baru dipahami sebagai pendidikan yang diselenggarakan di
SMK dan
Politeknik. Bahkan pendidikan di Politeknik masih disebut sebagai pendidikan
vokasi. Kesalahan dalam memahami konsep pendidikan vokasi pada level
pengambil kebijakan sangat merugikan. Mengapa demikian? Karena akan
berdampak banyak secara struktural. Perspektif ini tentu belum sesuai dengan
hakikat dari Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk okupasi.
Pemahaman hakikat Pendidikan Vokasional yang hanya dipandang sebagai
pendidikan berstatus bawah perlu diluruskan pemahamannya. Penegakan kembali
pemahaman makna Pendidikan Vokasional pada hakikat atau kesejatiannya akan
bermanfaat dan dapat meningkatkan citra Pendidikan Vokasional sebagai
pendidikan berkelas. TVET dibutuhkan dalam semua lapisan dan jenis pendidikan.
TVET setidaknya diselenggarakan untuk empat tujuan pokok yaitu: (1) persiapan
untuk kehidupan kerja meliputi pengenalan bakat diri peserta didik, pemberian
wawasan tentang pekerjaan-pekerjaan yang dapat mereka pilih; (2) melakukan
persiapan awal bagi individu untuk kehidupan kerja meliputi pengembangan
kapasitas diri untuk pekerjaan yang dipilih; (3) pengembangan kapasitas
berkelanjutan bagi individu dalam kehidupan kerja mereka agar mampu melakukan
transformasi kerja (kapabilitas) selanjutnya; (4) pemberian bekal pengalaman
pendidikan untuk mendukung transisi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya
sebagai pilihan bagi setiap individu atau mungkin karena tekanan perubahan
pekerjaan lintas kehidupan kerja mereka.
TVET konsern mendidik dan melatih peserta didik dalam proses menemukan
jalan bagi setiap individu dalam mengidentifikasi pekerjaan yang cocok untuk
dirinya, awal dari pengembangan kapasitas yang diperlukan dalam pekerjaan, dan
perbaikan kapasitas itu menjadi kapabilitas untuk pengembangan berkelanjutan
melalui kehidupan kerja sebagai cara untuk menguatkan keberlanjutan kemampuan
kerjanya. Dalam hal ini termasuk menghubungkan dirinya dengan spesialisasi
pekerjaan yang cocok untuk karir mereka. TVET mencakup pendidikan dan
pelatihan penyiapan tenaga kerja sesuai kebutuhan dan permintaan lapangan kerja.
Merawat karir mereka hingga mencapai posisi yang sesuai dengan jalur kehidupan
yang diminati dan dipilihnya.
C. TVET: Visi Abad XXI
Perubahan-perubahan serta lompatan besar yang terjadi pada Abad XXI
memberi tantangan signifikan pada sistem TVET. Globalisasi, revolusi teknologi
informasi dan komunikasi Abad XXI telah menyebabkan perubahan sosial dan
ekonomi yang ditandai oleh peningkatan mobilitas tenaga kerja dan permodalan,
peningkatan kesenjangan antara kaum kaya dan miskin, percepatan dan berlipatnya
perkembangan pengetahuan dan ide-ide baru yang semakin kreatif. Perubahan
sosial dan ekonomi membutuhkan transformasi pembangunan berkelanjutan untuk
semua orang, kebutuhan pembangunan manusia, pemberdayaan dengan semakin
mampu berpartisipasi dalam dunia kerja. Globalisasi dan revolusi teknologi
informasi dan komunikasi telah memberi sinyal kuat perlunya paradigma baru
pengembangan sumber daya manusia. Kongres kedua TVET di Seoul pada Tahun
1999 menetapkan TVET sebagai pendidikan dan pelatihan yang digunakan untuk
merealisasikan budaya perdamaian, pembangunan berkelanjutan, kohesi sosial dan
pemberdayaan masyarakat. Sistem TVET diharapkan memainkan peran
pengembangan skill untuk semua masyarakat baik kaya maupun miskin sebagai
bagian dari hak azasi manusia.
Visi TVET Abad XXI diarahkan pada pengembangan pendidikan untuk
semua, belajar sepanjang hayat, kesejajaran dan pemerataan kesejahteraan,
pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Sistem TVET direformasi dengan
paradigma baru pendidikan yang lebih fleksibel, inovatif, produktif, memberi
skills sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali tenaga
kerja. Belajar sepanjang hayat dikembangkan sebagai bagian dari aspek budaya
yang memberi keuntungan bagi diri, lingkungan, dan ekonomis. TVET memberi
inspirasi bagi kaum muda sikap positif untuk beriovasi.
Visi TVET Abad XXI diarahkan untuk mewujudkan pemenuhan enam cita-cita
yaitu:
1. Tantangan TVET dalam menghadapi perubahan tuntutan Abad XXI dalam
bidang ekonomi dan sosial yang berimplikasi pada tranformasi meningkatnya
mobilitas tenaga kerja dan permodalan, kesenjangan kaum kaya dengan kaum
miskin, akses pendidikan yang semakin mahal, terganggunya keseimbangan alam.
TVET dihadapkan pada tantangan kebutuhan pengembangan kapasitas dan
pemberdayaan sumber daya manusia di dunia kerja. TVET memiliki peran krusial
dalam penyediaan skill untuk semua umat manusia termasuk kaum miskin atau
kaum kurang beruntung dan masyarakat berkebutuhan khusus atau dipabel. Sistem
TVET kemudian perlu direformasi pada paradigma baru menuju keberhasilan,
fleksibilas, inovasi dan produktivitas, memberikan skill yang dibutuhkan, menuju
pemenuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali pekerja aktif, kaum
pengangguran dengan misi memberi peluang kerja untuk semua pada sektor
ekonomi baik formal maupun informal. Harus ada kerjasama baru di antara
pendidikan dan dunia kerja dalam mengembangkan kompetensi, etika kerja, skill
teknologi dan kewirausahaan.
2. Pengembangan sistem TVET sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat
membangun mentalitas pengalaman berkehidupan diseluruh dimensi baik sosial,
budaya, ekonomi, spiritualitas. TVET harus semakin terbuka, fleksibel, dan
berorientasi pada pembelajar. TVET disamping memberi skill bekerja juga harus
menyiapkan individu memiliki skill bermasyarakat dan memenuhi kebutuhan
seluruh kehidupannya termasuk berkeluarga. Budaya belajar dan belajar tentang
budaya dimasyarakatkan. Hal ini penting karena ketegangan budaya antaretnis
sering menjadi penghambat dalam bekerja. TVET memberi inspirasi kaum muda
sikap positif pada inovasi, menyiapkan transisi dari sekolah ke dunia kerja.
3. Inovasi proses pendidikan dan pelatihan. Pendekatan inovatif dalam TVET
merupakan tantangan Abad XXI. Reorientasi kurikulum, pembelajaran, dan
asesmen TVET menuju inovasi dan pemenuhan kebutuhan Abad XXI sangat
penting dilaksanakan. Teknologi informasi dan komunikasi membuka potensi luas
dalam pengembangan pembelajaran berbasis TIK. TIK digunakan untuk
penyediaan perluasan layanan TVET untuk semua masyarakat. Metode-metode
baru yang lebih efektif dan efisien terus diterapkan dalam pembelajaran, asesmen,
akreditasi, dan sertifikasi kompetensi. TVET penting menyiapkan pre-vokasional
bagi peserta didik pada tingkat SMP, karena spektrum pendidikan kejuruan sangat
kompleks yang memerlukan persiapan untuk memilih.
4. TVET untuk semua. TVET merupakan instrumen bagi semua warga masyarakat
dalam merespon tantangan kehidupan Abad XXI khususnya tantangan dalam
peningkatan produktivitas. TVET merupakan tool yang efektif untuk peningkatan
kohesi sosial, integrasi, dan rasa percaya diri masyarakat. Programprogram TVET
Abad XXI harus dirancang untuk kebutuhan yang menyeluruh dan mengakomodasi
kebutuhan semua pembelajar mulai dari pendidikan dan pelatihan di sekolah
(SMK/MAK, Sekolah Luar Biasa, Pendidikan Luar Sekolah, Perguruan Tinggi,
Balai Diklat, Yayasan anak-anak cacat, Pusat rehabilitasi sosial, pelatihan untuk
kaum perempuan dan ibu rumah tangga dll. Komitmen TVET untuk semua
membutuhkan rancangan kebijakan dan strategi yang baik, peningkatan pemenuhan
sumberdaya baik dana maupun manusia, lingkungan pelatihan yang terbuka dan
bersahabat.
5. Perubahan peran bagi Pemerintah dan Stakeholder. TVET Abad XXI
membutuhkan pola partnership diantara pemerintah, pemberi kerja, lapangan
kerja/pekerjaan, industri, trades union dan masyarakat. Partnership harus memiliki
tujuan memantapkan budaya belajar di seluruh lapisan masyarakat dan memberi
penguatan ekonomi, peningkatan kohesi sosial, menguatkan identitas budaya
bangsa, keberagaman, dan kemanusiaan. Pelatihan untuk semua jenis-jenis
pekerjaan menyangkut hakhak asasi manusia, pembinaan struktur lembaga
swadaya masyarakat, peningkatan belajar sepanjang hayat, partisipasi luas dalam
pendidikan dan pelatihan, mendorong etika kerja dengan spirit kewirausahaan.
Pemerintah dan swasta memanfaatkan TVET sebagai investasi pendidikan dan
pelatihan masa depan bukan biaya program dengan pengembalian yang signifikan
dalam bentuk tenaga kerja terlatih, produtif, siap berkompetisi secara internasional.
6. Peningkatan kerjasama internasional dalam TVET. Dukungann UNESCO dan
ILO, World Bank, OECD sangat dibutuhkan untuk pengembangan TVET Abad
XXI. Kerjasama internasional dalam peningkatan kualitas program-program TVET
dikembangkan untuk saling mendukung pengembangan berbagai pelatihan skill.
Kerjasama utara selatan perlu ditingkatkan.

Wardiman Djojonegoro. (1998). Pengembangan Sumberdaya Manusia melalui


SMK. Jakarta : PT. Jayakarta Agung Offset

Bab II
KEADAAN PENDIDIKAN KEJURUAN
PADA PJP 1

1. Pra-PeIita I
Pendidikan kejuruan pada Pra-Pelita I belum memiliki tujuan yang jelas, pelajaran
bersifat teoritis, kualifikasi tamatan tidak jelas kaitannya dengan tingkat keahlian
di dunia kerja, tidak adanya keseragaman antar jenis sekolah dalam
pengorganisasian kurilkulumnyar metode penyampaian yang berpusat pada guru,
fasilitas praktek kurang memadai, dan juiillah serta mutu guru yang sangat tidak
memadai.

2. Pelita I (1969/1970 - 1973/1974)


Pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita I masih berpusat pada pengadaan
fasilitas dan identifikasi gagasan-gagasan inovatif sebagai persiapan Pelita II dalam
pembenahan Pendidikan kejuruan agar sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dalam
pembangunan nasional. Meskipun demikian, gagasan-gagasan pada Peiita I secara
terbatas telah diwujudkan, misalnya : rehabilitasi sebagian SMK, pembangunan 5
BLPT, pengembangan 12 IPT menjadi 8 STM Pembangunan dan 4 SMT Pertanian,
dan pendirian PGPT.

3. Pelita II (1974/1975-1978/1979)
Pada Pelita Il dilakukan pembangunan 4 BLPT baru (Yogyakarta, Semarang,
Padang dan Palembang) untuk melayani praktek kejuruan para siswa dari 10 STM
di sekitar BLPT-BLPT tersebut. Pengembangan guru-guru teknologi dan kejuruan
ditakukan meialui program "in-service " yang diselenggarakan di Bandung
(Teknologi) dan Ragunan (Kejuruan); pengadaan dan Pengcmuangan Guru untuk
mencapai kualifikasi Sl dan D3 lewat ptogram "pre-senvice training " yang iebih
terarah melalui kerjasama antara Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan
dengan Fakultas Keguruan Teknik IKIP Yogyakarta dan Padang; dan rehabiiitasi
serta pembangunan sejumiah SMK baru. Dalam Pelita II, tepatnya tahun 1975,
sekolah kesenian yang dibina oleh Direktorat jenderal Kebudayaan dialihkan ke
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Dapat disarikan bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita II mulai
dititik beratkan pada kesesuaiannya dengan kebutuhan tenaga kerja dalam
pembangunan nasional. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembenahan
pendidikan kejuruan untuk diselaraskan dengan struktur piramida tenaga kerja
Indonesia saat itu. Namun demikianr konsep pendidikan kejuruan pada Pelita II
memiliki banyak kelemahan, khususnya yang berkaiktan dengan penerapan
kurikulum 1976 SMK, antara lain :
a. Karena tujuan SMK terminal, maka SMK kurang diminati oleh masyarakat,
terutama oleh masyarakat yang berasal dari kalangan menengah dan atas.
b. Pemisahan teori kejuruan dan praktek kejuruan akibat pengaruh konsep
Bloom Taxonomy (yang memisahkan antara Kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor), menyebabkan kurang sambungnya antara teori kejuruan
dan praktek kejuruan dan sering terjadi konflik antara keduanya. Akibatnya,
program kejuruan tersebut kurang bermakna bagi penyiapan peserta didik
untuk memasuki lapangan kerja.
c. Kurikulum 1976 SMK sangat sarat pedoman dan petunjuk pelaksanaan,
sampai-sampai cara mengajarpun dibuatkan petunjuk pelaksanaan (juklak)
melalui pendekatan PPSI. Akibatnya para guru menjadi kurang kreatif dan
kurang berani mengambii prakarsa- prakarsa baru yang inovatif.
d. Sangat sedikitnya jumlah jam, pelajaran Matematika menyebabkan
rendahnya kemampuan berplkir logis tamatan SMK, sehingga mereka tidak
berkembang di tempat kerja, apa!agi jika mereka meneruskan ke jenjang
pendidikan tinggi.

4. Pelita III (1979/1980 - 1983/1984)


pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita III lebih cenderung melanjutkan
Pelita II, dengan penekanan pada konsolidasi dan aktualisasi peningkatan mutu,
relevansi pendidikan dan perluasan kesempatan pendidikan kejuruan melalui
pembangunan SMK baru.
5. Pelita IV (1984/1985 - 1988/1989)
Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol pada Pelita IV adalah
penyernpurnaan Kurikulum SMK 1976 menjadi kuriku!um SMK 1984. Berbeda
dengan kuriku[um SMK 1976, maka jenis pengelompokkan pendidikan kejuruan
Kurikulum SMK 1984 menjadi pertanian dan kehutanan, rekayasa, usaha dan
perkantoran, kesehatan dan kemasyarakatan, kerumahtanggaan, dan budaya.
pada dasarnya, kurikulum SMK 1984 (Lampiran 2) memiliki karakteristik sebagai
berikut :
Pertama, kurikulum SMK 1984 tidak hanya bersifat terminal seperti kurikulum
1976, tetapi juga memberi peluang siswanya untuk me!anjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi.
Kedua, adanya keterpaduan antara teori dan praktek kejuruan, yang sebelumnya
terpisah. Karena itu, Kurikulum 1984 juga mengintegrasikan domain kognitif,
afektif dan psikomotor yang sebelumnya terpisah-pisah.
Ketiga titik beratnya pada proses tanpa mengabaikan hasil pendidikan.
Keempat, istilah yang digunakan adalah kelompokr rumpun dan program studi.
Kelima, kurikulum disusun dengan pola program inti dan program pilihan.
Program inti wajib diikuti oleh semua siswa, sedang program pilihan mengacu
kepada kemampuan profesional, disesuaikan dengan
bakat, minat, dan kebutuhan lingkungan. Program pilihan dituangkan dalam
berbagai macam program studi. Proporsi antara program inti dan program pilihan
adalah 60% dibanding 40%.
Keenam , tidak ada lagi semester bersama pada kelas 1 seperti kurikulum
sebelumnya.
Ketujuh, secara umum Kurikulum SMK 1984 masih meneruskan Kurikulum 1
976, hanya tidak bersifat terminai. Porsi jam mata pelajaran Matematika juga tetap
kecil seperti kurikulum sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa Pelita IV pendidikan kejuruan telah mengupayakan
terlaksananya amanat GBHN 1983 yang meliputi peningkatan daya tampung, mutu,
dan relevansi. Namun demikian, peningkatan mutu akibat penambahan jumlah
siswa yang tidak sebanding dengan fasilitas dan guru yang tersedia, belum
terealisasinya kerjasama secara melembaga antara pendidikan kejuruan dengan
dunia kerja, realisasi kerjasama baru sampai pada tahap dialog yang sifatnya umum,
penyelenggaraan pendidikan kejuruan masih sepenuhnya dilakukan oleh satu
pihak, yaitu sekolah. Karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan pada saat itu
juga cenderung "supply driven" dan "school based approach ".

6. Pelita V (1989/1990 - 1993/1994).


realisasi pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita V, antara lain: (1)
kemantapan sistem pendidikan menengah kejuruan yang tertuang dalam PP No. 29
tahun 1990, kelembagaan SMK dengan Kepmendikbud No. 490/U/1992, dan
Kurikulum 1994 SMK dengan Kepmendikbud No. 080/U/1993; (2) penataan dan
pemantapan manajernen sekolah yang dilakukan melalui pendekatan
Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS); (3) pengembangan fungsi PPPG "
Kejuruan" menjadi Pusat Pengembangan Pendidikan Kejuruan; (4) perintisan unit
produksi; (5) perintisan dan pengembangan institusi pasangan; serta (6)
melanjutkan program rehabilitasi fasilitas fisik sekolah dan pembangunan sekolah
baru.

Secara khusus pada tahun terakhir Pelita V (1993/1994) dilakukan pengkajian yang
seksama terhadap keberadaan pendidikan menengah kejuruan pada saat itu,
inventarisasi terhadap gagasan-gagasan inovatif, mempelajari ketentuan pada
aturan perundang-undangan yang ada dalam kaitannya dengan GBHN 1993 sebagai
langkah persiapan memasuki Repelita VI yang merupakan bagian penting dari PJP
ll.

Bab III
TUNTUTAN PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG 11

1. GBHN 1993 dan Repelita VI


Dalam GBHN 1993 ditetapkan bahwa : "Sasaran Umum Pembangunan Jangka
Panjang Kedua, adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram
dan sejahtera lahir batin .... " Guna mencapai sasaran umum ini ditetapkan titik berat
pembangunan pada bidang ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan,
seiring dengan kualitas sumber daya manusiar dan didorong secara saiing
memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang
lainnya.
Dari amanat GBHN 1993 dan jabarannya dalam Repelita VI, terasa kuat sekali
bahwa pembangunan bidang pendidikan ditekankan pada peningkatan kualitas
yang terkait dan sepadan dengan pembangunan di bidang-bidang lainnya melalui
kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Bagi pembangunan
pendidikan kejuruan, amanat GBHN 1993 dan Repetita VI tersebut rnemiliki
implikasi bahwa kualitas dan relevansi perlu mendapat penekanan dan dijalankan
melalui kemitraan antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha.

2. Ekonomi Baru Indonesia dan Tantangan Mutu Tenaga Kerja


Saat ini Indonesia telah memasuki ekonomi baru, dari era pertanian menuju ke era
industri dan jasa,yang ditunjukkan oleh gejala-gejala sebagai berikut:
Pertama, perlahan dan pasti, struktur ekonomi Indonesia telah bergeser dari sektor
pertanian ke sektor industri dan jasa. Pergeseran struktur ekonomi ini ditunjukkan
oleh data distribusi presentase PDRB Propinsi menurut lapangan usaha termasuk
Migas. Terlihat bahwa PDRB industri dan jasa (lainnya) semakin kuat. Data ini
juga didukung oleh prosentase penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan
1995. . Ini berarti bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor industri dan jasa akan
semakin banyak pula.
Kedua, dilihat dari sektor formal dan informal, perkembangan ekonomi di
Indonesia masih menunjukan proporsi yang sama kuat antara sektor formal dan
informal. dapat dilihat bahwa sampat pada tahun 2000, proporsi tenaga informal
masih cukup besar yaitu 58,140/0. Dalam keadaan seperti ini pendidikan kejuruan
harus juga menyiapkan tamatannya untuk bekerja di sektor informal, tidak hanya di
sektor formal saja.
Ketiga, penyerapan tenaga kerja bagi tamatan SMK cukup menggembirakan.
Angka pengangguran tamatan SMK relatif iebih kecil dibanding tamatan jenis dan
jenjang pendidikan lainnya Tanda-tanda semacam ini memberi petunjuk bahwa
perluasan pendidikan kejuruan dapat menjamin prospeknya. Namun demikian
keje!ian terhadap pemilihan program studi yang ditawarkan harus dilakukan agar
hasilnya benar-benar relevan dengan kebutuhan pembangunan pada umumnya,
dunia usaha pada khususnya.

3. Globalisasi Perdagangan dan Investasi


Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan sumberdaya
manusia yang tangguh untuk menghadapi persaingan bebas. Sadar tentang hal ini,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil langkah-langkah
kebijakan yang mengarah pada kemampuan untuk mendukung terciptanya
sumberdaya manusia yang mampu menghadapi persaingan bebas.
Tahun 2003 (AFTA) dan 2020 (APEC) adalah waktu dimana Indonesia sudah harus
melaksanakan semua jadwal komitmen berbagai sektor perdagangan bebas. Ini
berarti bahwa lalu lintas perdagangan antara
Indonesia dengan negara-negara lain sudah tidak ada lagi hambatan tarif dan quota.
Implikasinya bagi pengembangan mutu sumber daya manusia rasanya sudah jelas,
yaitu Indonesia harus mempersiapkan Sumber daya manusia bermutu kelas dunia.
Ini bukan hanya impian, akan tetapi merupakan visi yang harus diwujudkan.

Bab IV
TINJAUAN TEORITIK DAN EMPIRIK PENDIDIKAN KEJURUAN
Berikut akan disampaikan tinjauan teoritik dan empirik pendidikan kejuruan,
dengan harapan agar para pembaca tidak ragu lagi terhadap keberadaan pendidikan
kejuruan. Tinjauan ini selanjutnya akan merupakan jastifikasi perubahan dari
pendidikan kejuruan model lama menjadi pendidikan kejuruan model baru
1. Tinjauan Teoritik
a. Pentingnya Tenaga Terampil
banyak negara mulai menyadari pentingnya tenaga terampil bagi kemajuan
bangsanya. Keunggulan industri suatu bangsa, boleh dikata sangat ditentukan oleh
kualitas tenaga kerja terampil yang terlibat langsung dalam proses produksi, tenaga
kerja yang berada di “front-Iine" (sebagaimana yang selalu dibanggakan oleh
bangsa Jerman). Karena itu, mutu tenaga kerja pada bagian Iini harus ditingkatkan.
Berikut adalah beberapa alasan pentingnya tenaga terampil :
1) Tenaga kerja terampil, adalah orang yang terlibat Iangsung dalam proses
produksi barang maupun jasa, karena itu menduduki peranan penting dalam
menentukan tingkat mutu dan biaya produksi.
2) Tenaga kerja terampil 'sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
industrialisasi suatu negara.
3) Persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam. Tenaga kerja
terampil adalah merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan
global.
4) Kemajuan teknologi adalah faktor penting dalam meningkatkan
keunggulan. Dan penerapan teknologi supaya berperan menjadi faktor
keunggulan tergantung pada tenaga kerja terampil menguasai dan
mengaplikasikannya.
5) Orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja
dan produktif. Semakin banyak warga suatu bangsa yang terampil dan
produktif maka semakin kuat kemampuén ekonomi negara yang
bersangkdtan.
6) Semakin banyak warga suatu bangsa yang tidak terampil, maka semakin
tinggi kemungkinan pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi
negara yang bersangkutan.
Secara teoritik, pendidikan kejuruan sangat dipentingkan karena dua ha]. Pertama,
lebih 80 % tenaga kerja di lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke
bawah dan sisanya kurang dari 20% bekerja pada lapisan atas. Kedua, kenyataan
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil tamatan Sekolah Menengah Atas yang
melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan
jelas merupakan hal penting.

Arti Pendidikan Kejuruan


Rumusan arti pendidikan kejuruan bervariasi menurut subyektivitas si perumus.
Rupert Evans (1978) misalnya, mendefinisikan bahwa pendldikan kejuruan adalah
bagian dari sistem pendidikan 'yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu
bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada
bidangbidang pekerjaan lainnya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa
setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan, sepanjang bidang studi tersebut
dipelajari lebih mendalam daripada bidang studi lainnya dan kedalaman itu
dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Dengan demikian Bahasa
lnggris yang dipelajari lebih mendalam daripada lainnya untuk tujuan bekerja, maka
bahasa lnggris tersebut merupakan pendidikan kejuruan.
Menurut Undang-Undang No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional: ”Pendidikan
Ke/uruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat
beker/a da/am bidang tertentu. " Arti pendidikan kejuruan ini dijabarkan lebih
spesifik dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah, yaitu: Pendidikan Menengah Ke/‘uruan adalah pendidikan pada
jen/‘ang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan
siswa untuk pe/aksanaan jenis peker/aan tertentu. ”
Fungsi Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan memiliki multi-fungsi yang kalau dilaksanakan dengan baik
akan berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Fungsi-fungsi dimaksud antara lain meliputi :
1) Sosialisasi
2) Asimilasi dan konservasi budaya
3) kesatuan dan persatuan budaya
4) tidak sekedar berfungsi mengajarkan apa yang ada

Tujuan Pendidikan Kejuruan


Banyak rumusan pendidikan kejuruan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, dua
diantaranya adalah sebagai berikut : Rupert Evans (1978) merumuskan bahwa
pendidikan kejuruan bertujuan untuk: |(a) memenuhi kebutuhan masyarakat akan
tenaga kerja; (b) meningkatkan pilihan pendidikan bagi setiap individu; dan (c)
mendorong motivasi untuk belajar terus. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor
29 tahun 1990 merumuskan bahwa ”Pendidikan Menengah Ke/uruan
mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta
mengembangkan sikap profesional. " Tujuan yang dirumuskan PP 29 ini kemudian
dijabarkan lagi dalam Keputusan Mendikbud No. 0490/ U/ 1990 seperti berikut: (a)
mempersiapkan siswa untuk meianjutkan kejenjang pendidikan yang lebih dan/atau
meluaskan pendidikan dasar; (b) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota
masyarakat dalam mengadakan hubungan timbai balik dengan lingkungan sosial,
budaya, dan sekitar; (c) meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat
mengembangkan diri sejalan dengan pengembangan ilmu, teknologi dan kesenian,
serta (d) menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan
sikap profesional.

Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan


Menurut Charles Prosser (1925), prinsip-prinsip pend‘idikan kejuruan dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan d.imana siswa di'latih
merupakan replika hingkungan dimana nanti ia akan bekeqa.
2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas
Iatihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang
ditetapkan di tempat kerja.
3) Pendidikan kejuruan akan efektifjika dia melatih seseorang dalam kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap
individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada
tingkat yang paling tinggi
5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau
pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya,
yang menginginkannya dan yang dapat untung da)nya.
6) Pendidikan kejuruan akan efektifjika pengalaman latihan untuk membentuk
kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya.
7) Pendidikan kejuruan akanefektifjika gurunya telah mempunyai pengalaman
yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetal‘nuan pada operdsi
dan proses kerja yang akan dliakukan.
8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh
seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut.
9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar
(memperhatikan tanda-tanda pasar kerja).
10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika
pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai).
11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu
okupasi tertentu adalah dari pengaiaman para ahli pada okupasi tersebut.
12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda
satu dengan yang lainnya.
13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai
dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang
paling efektif jika diiakukan lewat pengajaran kejuruan.
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan
dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat
peserta didik tersebut
15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengaiir
daripada kaku dan terstandar.
16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi
maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi
Bab V
PERMASALAHAN DAN PERLUNYA PEMBARUAN PENDIDIKAN
KEJURUAN
1. Konsep

Konsep pendidikan kejuruan model konvensional yang dimiliki oleh


lndonesia sampai dengan akhir PJP l, dapat digambarkan dengan ciri-ciri
.sebagai berikut :

a. Slipply Driven, totalitas pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan


program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan pendidikan (Pengajaran),
penilaian hasil belajar (evaluasi) dilakukan secara sepihak oleh para
pelaku pendidikan

b. School Based Program, seluruh kegiatan pendidikan dilakukan di


sekolah, 40 jam pelajaran per minggu (30 jam a' 60 menit) rata-rata
setiap hari belajar di sekolah dari pukul 07:00 sampai pukul 13:30.
Sistem konvensional selalu berusaha melengkapi dan memodernisasi
peralatan praktek kejuruan dengan maksud menghasilkan tamatan yang
berkualitas profesional dan siap pakai, padahal yang terjadi adalah
pemborosan, karena secara teoritis tidak mungkin. Selengkap apa dan
semodem apapun fasilitas praktek pendidikan kejuruan yang ada di
sekolah, kegiatannya akan tetap bersifat simulasi (tiruan), dan proses
pengajaran simulasi tidak akan pernah mencapai keahlian yang
berkualitas profesional.

Kenyataan yang di hadapi di SMK pada kondisi akhir PJP I, "setting”


sekolah dengan program, kegiatan, perilaku, kebiasaan dan sistem
nilainya membentuk kesenjangan antara "dunia sekolah", dengan “dunia
industri". Berbagai kebiasaan dan perilaku tersebut pada akhirnya
membentuk “dunia sekolah" yang jauh berbeda dengan “dunia industri"
yang bercirikan budaya kerja industri. Berbagai kebiasaan dan perilaku
yang pada akhirnya membentuk “sikap” tamatan SMK yang tidak sesuai
dengan tuntutan dunia industri antara Iain:

 Tamatan SMK terbiasa santai dengan jam belajar dan bekerjai’ yang
sedikit, padahal di industri harus bekerja keras dengan jam kerja
rata-rata 40 jam per minggu, bahkan sering bekerja sampai malam
hari.

 Tamatan SMK kurang memiliki kepedulian dan keterkaitan pada


mutu, karena di sekolah kurang mengajarkan resiko kerugian atas
kegagalan, sedangkan di industri kegagalan adalah kerugian yang
harus ditanggung oleh pekerja dan perusahaan.

 Di SMK Pertanian misalnya, banyak kegiatan keahlian yang


dikerjakan pada pagi, sore atau malam hari (misalnya mengawinkan
ikan, memerah susu, menyadap karet dsb). Padahal sekolah hanya
menyediakan jam kerja, dari p/ukul 07:00 sampai dengan pukul
13:30.

c. Tidak ada Recognition of Prior Learning, membuat program pendidikan


kejuruan menjadi kaku dan tidak efektif. Keahlian kejuruan pada
dasarnya diperoleh dimana saja dan melalui cara apa saja. Bisa diperoleh
di sekolah, di pusat-pusat pelatihan, melalui pengalaman bekerja di
dunia kerja, atau melalui berbagai pengalaman hidup di masyarakat.
Tetapi yang terjadi, keahlian yang diperoleh di .. luar SMK tidak diakui
dan tidak dihargai oleh sistem SMK. Bahkan seorang siswa SMK yang
memperoleh kesempatan bekerja di dunia kerja, akan mengalami
kesulitan masuk kembalimeneruskan sekolahnya, dan apabila diterima,
tidak memperole'n penghargaan atas keahlian ya'ng diperoleh dari
pengalaman kerjanya.
d. “Dead End", setelah tamat dari SMK, masuk ke dunia kerja, seakanakan
itulah akhir karir pendidikan tamatan SMK. Belum ada system
pendidikan kejuruan yang menghargai dan mengakui keahlian yang
diperoleh tamatan SMK dari pengalaman kerjanya, yang sebenarnya
dapat diperhitungkan sebagai modal untuk mengikuti pendidikan
kejuruan yang lebih tinggi dan sekaligus memotivasi tamatan SMK
berprestasi dan belajar lebih banyak dari pengalaman kerjanya.

e. Guru Kejuruan yang tidak berpengalaman industri. Secara teoritis guru


hanya akan mengajarkan apa yang dia tahu, apa yang dia bisa. dan
mentransfer nilai-nilai melalui perilaku kerjanya. Guru SMK, yang
diperoleh melalui tamatan segar dari lKlP, yang tidak memiliki
pengalaman kerja industri. dan sulit mema’nami wawasan mutu (sense
of quality), wawasan pasar (sense of economy/sense of business),
wawasan keunggulan (sense of competitive advantage), wawasan nilai
tambah (sense of added value). Bahkan sikap guru tamatan IKIP, sangat
kuat dipengaruhi oleh “perilaku dan kebiasaan dosen" yang mengajar
mereka, dengan ciri “kebebasan akademik” yang kurang pas dengan
kebutuhan SMK.

f. Pendidikan merupakan tanggungjawab Depdikbud, adalah konsep


berpikir yang dimiliki oleh masyarakat industri, para pelaku pendidikan,
dan masyarakat luas. Dengan konsep berpikir seperti ini, masyarakat
industri kurang merasa peduli dan tidak merasa terikat untuk turut serta
memikirkan dan melaksanakan pendidikan kejuruan. Bahkan pada awal
pertumbuhan era industrialisasi Indonesia, kebanyakan industriawan
berpikiran bahwa pendidikan dan pelatihan tenaga kerja itu adalah cost,
dan para industriawan tersebut masih mengandalkan daya saingnya pada
upah buruh murah, belum pada kualitas tenaga kerjanya. Di sisi lain,
para pelaku pendidikan juga memiliki konsep berpikir yang Sama. Para
pembina dan pelaku pendidikan kejuruan di SMK berpendapat
“merekalah yang menjadi pemilik SMK, merekalah yang paling
bertanggungjawab tentang SMK, mereka jugalah yang paling berhak,
paling tahu, dan paiing bisa melaksanakan program SMK". Konsep
berpikuir seperti ini telah memperlebar jarak antara “dunia pendidikan
ke’juruan" dengan “dunia industry”.

g. Pendidikan kejuruan masih berorientasi pada penyiapan keahlian untuk


mengisi keperluan sektor formal, padahal lapangan kerja yang terbuka
sangat potensial, dan masih lebih besar di sektor informal.

h. Pembiayaan pendidikan kejuruan (di SMK Negeri) masih sangat


tergantung pada subsidi pemerintah pusat (sangat dependable), padahal
potensi masyarakat sangat besar untuk digali, dan kemampuan
keuangan pemerintah akan selalu terbatas.

2. Program

Program pendidikan kejuruan yang diformulasikan dalam Kurikulum 1994


(yang disiapkan pada Pelita V), masih merupakan produk dari konsep seperti
tersebut di atas, cenderung bersifat ”Supply Driven ” untuk ”School Based
Program Sekalipun dalam proses penyusunan Kurikulum 1994 telah melalui
proses validasi sebagai implementasi prinsip relevansi, namun yang menyusun
kurikulum tersebut adalah pakar pendidikan dari lingkungan Depdikbud. Dan
sekalipun telah dialokasikan satu catur wulan untuk kegiatan praktek kerja
lapangan, programnya disusun oleh sekolah dan pelaksanaannya dititipkan
tanpa pengawasan ke lapangan kerja.

Beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari program pendidikan


Kurikulum 1994 adalah :
a. Program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran matamata
pelajaran, dan tidak terfokus pa’da pencapaian kompetensi sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja.

b. Penjurusan yang dimulai dari awal (tahun pertama) kurang memberikan


dasar yang kuat dan bekal dasar yang memadai untuk fleksibilitas
menghadapi perkembangan masa mendatang.

c. Muatan program yang akan menjadi kompetensi kunci menghadapi


pelkembangan masa mendatang beium memadai. Misalnyd jam
pelajaran Matematjka dan llmu Pengetghuan Alam masih sedukit
(bahkan ada yang berak'nir di tingkat H). Muatan untuk kemampuan
berkomunikasi, kemampuan bekerjasama, dan kemampuan
menggunakan informasi, juga masih belum terprogram dengan jelas.
Jumlah jam pelajaran per minggu (42 jam pelajaran = 31,5 jam a' 60
menit) belum merupakan jam yang membiasakan siswa memasuki jam
kerja dunia industri.

3. Operasional

Pada akhir PelitaV ditemukan banyak perilaku salah dalam kegiatan belajar
mengajar di SMK (Iihat Tabel 2), bahkan terbentuk menjadi kebiasaan yang
diterima menjadi suatu kewajaran. Beberapa contoh yang ditemukan, antara lain
:

a. Pelajaran praktek dasar kejuruan tidak diajarkan secara mendasar.


Kesalahan yang diterima menjadi suatu kewajaran, antara Iain : mutu
hasil kerja dibiarkan apa adanya tanpa standar mutu; guru yang kurang
bermutu ditugaskan mengajar di tingkat l; dan alat yang sudah tua atau
sudah tidak baik dipakai oleh siswa tingkat l. Ada sikap dan pola pikir
yang salah, seakan-akan pada tingkat pertama, tingkat awal, mutu itu
tidak terlalu penting. Padahal, untuk mendapatkan suatu program
pendidikan dan pelatihan yang bermutu tinggi, harus diawali dengan
dasar yang kuat dan benar.
b. Dalam pelajaran praktek, siswa sering dibiarkan bekerja dengan cara
yang salah. Tadak mengikuti langkah kerja yang benar, posisi tubuh
dan gerak tangan tidak diperhatikan. Padahal secara teknis, kualitas dan
produktivitas hasil kerja seseorang sangat ditemukan oleh cara kerja
yang benar. Jumlah waktu pengalaman kerja seseorang dapa’c
menlingkatkan kualitas dan produktivitas hasil kerja, apabi!a
dikerjakan dengan dasar yang benar dan cara kerja yang benar.
Membiarkan tiga atau lebih siswa bekerja pada satu mesin bubut;
membiarkan siswa bekerja d.i Iiantai padahal'a‘da rheia kerja;
membiarkan siswa memakai pahat untuk fungsi obeng dan sebaliknya
obeng berfungsi sebagai pahat; membiarkan siswa memakai kawat
untuk mengganti baut (dengan alasan kalau tidak ada rotau akarpun
berguna); adalah contoh-contoh cara kerja yang salah, tetapi dibiarkan
oleh guru, sebagai hal yang wajar.

c. Membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja “asal jadi". Banyak
kegiatan praktek siswa dikerjakan hanya formalitas telah mengerjakan
saja, tanpa adanya standar mutu yang harus dicapai. Guru memang
memberi angka, tetapi angka adalah “angka guru", tidak ada hubungan
dengan standar mutu di dunia kerja. Kebiasaan siswa mengerjakan
pekerjaan dengan kualitas asal jadi membentuk sikap dan kebiasaan
tamatan SMK kurang memahami dan kurang peduli terhadap
mutu/tidak memiliki ”sense ofqua/ity” dan ”sense of added value".

d. Kegiatan praktek siswa tidak mengikuti prinsip 'belajar tuntas (mastery


learning). Misalnya, pada minggu tertentu siswa mengerjakan satuan
pekerjaan tertentu, dan tidak selesai. Namun sekalipun pekerjaan
tersebut belum/tidak selesai, pada minggu berikutnya siswa sudah
beralih pada satuan pekerjaan berikutnya; pekerjaan inipun tidak
selesai sampai tuntas, minggu berikutnya sudah beralih lagi ke satuan
pekerjaan yang lain lagi. Sehingga bisa terjadi, seorang siswa yang
belajar selama tigq tahun di SMK, tidak pernah mengerjakan satupun
satuan pelajaran sampai tuntas. Akibatnya, setelah siswa tamat dari
SMK, tidak memiliki kemampuan dan tidak percaya diri untuk
mengerjakan pekerjaannya.

e. Siswa sering bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan guru. Guru


pasif, bahkan ada yang menghilang setelah membagi-bagi pekerjaan
kepada siswa. Keadaan seperti ini yang membuat siswa semaunya, bisa
dengan cara yang salah, dan hasui kerja asal jadi. Siswa sering
dibiarkan bekerja tanpa memperhatikan persyaratan keselamatan kerja.
Akibatnya ada siswa yang mengelas tanpa kacamata pélindung dan
masker e.indung untuk mulut. Scko!ah kurang menyadari, bahwa siswa
mungkin belum merasakan akibat negatif pada saat itu, tetapi sangat
membahayakan di kemudian hari.

f. Masih sering dijumpai kebiasaan siswa bekerja praktek dengan cara


yang tidak bertanggungjawab. Misalnya tidak mengisi kartu pemakaian
mesin sebelum dan sesudah memakai mesin, tidak\ merapihkan dan
membersihkan mesin setelah selesai digunakan, dan tidak merapihkan
tempat bekerja setelah selesai dipakai.

g. Masih sering ditemukan siswa bekerja praktek tanpa diser'tai lembar


kerja. Guru hanya menjelaskan pekerjaan secara lisan, dan siswa
mengerjakannya hanya dengan cara "kira-kira".

h. Masih banyak guru yang berada di sekolah hanya pada jam


mengajarnya saja, dan perilaku seperti ini dianggap sebagai suatu yang
wajar. Padahal setiap guru sebagai pegawai negeri harus berada di
sekolah selama 37,5 jam (a’ 60 menit) per minggu, dan sisa waktu di
luar jam mengajar seharusnya digunakan untuk perencanaan program
pengajaran, penyusunan bahan ajar, evaluasi hasil pengajaran,
memberi bimbingan pada siswa yang memerlukan pelayanan khusus,
dan mengembangkan materi ajarannya.
i. Masih ditemukan ada gum yang mengajar dengan cara menulis di
papan tulis. Bahkan ditemukan siswa yang menulis bahan ajar di papan
tulis, dan gurunya sendiri menghilang.

j. SMK kurang memiliki wawasan ekonomi. Sering ditemukan peralatan


mesin yang ada di sekolah, dipakai dengan jam pemakaian yang
rendah, atau jam pemakaian bengkel yang rendah, tanpa ada rasa
bersalah (tanpa guilty feeling) pada guru, atau kepala bengkel. Bahkan
banyak sekolah (dengan biaya investasi besar)‘hanya dipakai dari
puku|07100 sampai pukul 13:30 setiap hari, tanpa disadari oieh
manajemen sekolah bahwa ketidakterpakaian pada siang-soremalam
hari. adalah suatu pemborosan (waste).

k. Kurang kepedulian untuk membentuk “etos-kerja". Perilaku, kebiasaan


dan iklim sekolah secara menyeluruh sulit diharapkan berperan untuk
membentuk etos keq'a siswa. Etos kerja, sebagai suatu dorongan yang
timbul dari diri seseorang (bersifat intrmsik) untuk mengejar mutu dan
produktivitas yang tinggi, hanya mungkin terjadi apabila iklim belajar
mengajar di sekolah kondusif untuk itu.

Dengan gambaran permasalahan yang diuraikan di atas, baik permasalahan


pada konsep, program dan operasionaln)'a,-~perbaikan pendidikan menengah
kejuruan memerlukan pembaruan secara menyeluruh, bersifat terobosan, tidak
cukup hanya dengan cara-cara konvensional, atau pgrsifat tambal sulam.

Konsep lama yang bersifat supply driven, tidak dapat lagi dipertahankan.
Pendidikan kejuruan akan bermakna dan akan menjadi efektif, hanya dengan
cara melibatkan pihak dunia kerja berperan serta dalam totalitas program
pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikannya,
pelaksanaan, evaluasi, dan pemasaran tamatannya. Dunia kerja yang lebih tahu
kebutuhannya, dan dunia kerja adalah pihak yang langsung berhadapan dengan
dampak kemajuan IPTEK. Karena itu, pihak dunia kerja perlu dan harus
dilibatkan secara tersistem.
Program yang diformulasikan dalam kurikulum 1994juga perlu diperbaiki,
supaya lebih berorientasi pada pencapaian kompetensi dan mampu memberi
bekal dasar yang kuat menghadapi perubahan dan tantangan masa mendatang.

Gambaran perilaku-salah seperti dikemukakan di atas, telah terlanjur


diterima sebagai kewajaran, sesuatu yang tidak masalah. Kebiasaan salah yang
menjadi wajar ini, telah ikut membentuk "sikap salah" dan “sistem nilai salah"
pada para pelaku pendidikan kejuruan. Untuk mengubah sikap salah dan sistem
nilai salah ini memang memerlukan waktu (sesuai dengan teori perubahan
perilaku), tetapi harus dimulai dan dilakukan secara taat azas (konsisten) dalam
kurun waktu yang agak lama.

Momentum waktu memasuki tahun pertama PJP ll,, tahun pertama .


Rapelita VI tahun 1994/1995, adalah waktu yang tidak boleh dilepas begitu saja.
Dan kebijakan Link and Match yang diperkenalkan pada tahun 1993/1994
(tahun terakhir Pelita V), adalah suatu kebijakan yang dibutuhkan pendidikan
kejuruan.

BAB 6
WAWASAN LINK AND MATCH SEBAGAI DASAR PEBAHARUAN

Sistem pendidikan sekolah kejuruan dengan seting konvensional sudah tidak


dapat lagi dipertahankan karena menganut prinsip “suply and driven” dan “school
based program” yang dinilai sangat lamban dan tidak mampu mengikuti
perkemangan jaman dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Oleh karena itu diperkenalkan sistem “link and match” sebagai kebijakan
operasional yang diuraikan sebagai berikut.
1. Wawasan Sumber Daya Manusia
Wawasan sumberdaya manusia menuntut supaya penyelengaraan
pendidikan terhadap SMK tidak hanya sekedar layanan sosial masyarakat,
akan tetapi harus dapat benar-benar diandalkan dan memiliki kontribusi
dalam kemajuan ekonomi dan mengurangi angka pengangguran sehingga
biaya yang di investasikan oleh pemerintah dalam pembangunan dan biaya
operasional sekolah kejuruan tidak hanya sekedar penyelenggaraan
pendidikan demi pendidikan.
Pegukuran tingkat keberhasilan sekolah kejuruan menggunakan
sistem “rate of return” biaya operasional sekolah kejuruan dengan tingkat
keberhasilan lulusan terserap dalm dunia kerja.
2. Wawasam Masa Depan
Wawasan masa depan “link and match” mengandung pemikiran
bahwa prokduk pendidikan masa kini adalah hasil dari roses pendidikan
pada masa lalu, dengan artian bahwa kualitas peserta didik SMK
dipengaruhi dengan kualitas pendidikan selama tamatan pendidikan dasar
selama sembilan tahun. Lehkarena itu hasil dari produk pendidikan sekolah
kejuruhan juga dipengaruhi oleh kualitas pendidikan yang diterima oleh
lulusan selama tiga tahun menjalani pendidikan kejuruan di SMK, sehingga
sebagai lulusan sekolah kejuruan diharapkan mengandung muatan:
a. Kompetensi prduktif, yang memunginkan tamatan SMK dapat
terserap lapangan pekerjaan setelah lulus.
b. Memiliki keunggulan dalam faktor kompetitif untuk dapat
menghadapi persaingan dan kerja sama di dunia kerja.
c. Memiliki bekal dasar kemampuan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap sebagai dasar menguasai perkembangan iptek.
3. Wawasan Mutu
Wawasan “link and match”untuk mengukur mutu tamatan sekolah
kejuruan berdasarkan mngukur kompetensi tenaga kerja berupa kualitas
hasil kerja dan tingkat produktifitasnya, beberapa prinsip yang diperhatikan
dalam penerapan wawasan mutu sesuai kebijakan link and match, antara
laim:
a. Ukuran yang diunakan untuk mengukur tingkat kompetensi
lulusan SMK menggunakan uji kompetnsi yang diselengarakan
oleh pihak dunia kerja dengan standar ukuran dunia kerja.
b. Tingkat produktivitas kerja dan kualitas hasil kerja seseorang
sangat dipengaruhi oleh cara kerja, sehingga SMK dituntut
untuk dapat melatih penggunaan iptek serta membentuk sikap
pembiasaan kerja yang benar.
c. Guna mendapatkan standar hasil mutu sesuai ukuran dunia kerja,
SMK diharapkan dapat berkerja sama dengan industri dalam
mewujudkan standar mutu dan standar kerja sesuai dalam dunia
industri.

4. Wawasan Keunggulan
Wawasan keunggulan “link and match” memberikan pandangan
bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi akan memiliki
keunggulan dalam persaingan di dunia kerja dan faktor keunggulan akan
membuat indonesia dapat bersaing secara kompetitif dalam dunia industri
dan perdagangan. Sehingga lulusan dari sekolah euruan diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk persaingan idustri dan pedagangan global.
Dalam menghadapi persaingan global pendidikan kejuruan perlu
memperhatikan hal-hal berikut.
a. Program pendidikan kejuruan perlu dibekali kemampuan
berfikir logis, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bererja
sama, kemampuan menggunakan data, dankemampuan
menguasai IPTEK untuk dapat mampu berkontribusi dalam
persaingan global.
b. SMK harus dapat menimbulkan iklim persaingan di skolah
dengan cara seperti memberikan penghargaan kepada siswa
yang berprestasi dan mengikuti perlombaan sehingga siswa
dapat terpacu untuk dapat mengembangkan potensi diri.
c. SMK harus menerapkan metode pembelajaran yang menuntut
siswa untuk kreatif dengan tingkat keberhasilan tertentu dan
tidak mudah merasa puas dengan hasil yang dicapai.
d. SMK harus dapat menimbulkan stigma bahwa persaingan
bukanlah hal yang menakutkan akan tetapi persaingan adalah
salah satu ajang yang digunakan untuk memacu semangat dan
kreaktifitas fiswa.

5. Wawasan Profesionalisme
Wawasan profesionalisme yang sesuai dengan kebijakan link and match
mengharapkan sekolah dapat membentuk nlai provesionalisme bukamn
melalui metode ceraamah verbal melainkan melalui pembiasaan pada
proses pembelajaran selama tiga tahun di sekolah kejuruan. Sehingga
sekolah mampu berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya industri ,
antara lain dengan:
a. Guru di sekolah harus dapat memposisikan dirinya sebagai contoh yang
bersikap provesional.
b. Manajemen sekolah harus dapat menciptakan iklim organisasi skolah.

6. Wawasan Nilai Tambah


Wawasan nilai tambah sesuai dengan kebijakan “link and match”
menuntun lulusan SMK berproses sekaligus menghasilkan tamatan yang
berwawasan nilai tambah untuk ini SMK harus memperhatikan nilai-nlai
berikut:
a. Kualitas seorang lulusan SMK jika dibandingkan dengan tiga tahun
sebelumnya sebelum masuk sekolah kejuruan harus memiliki nilai
tambah berupa kemampuan sesuai dengan bidangnya, jika lulusan SMK
masih menganggu maka dapat dikatakan tidak memiliki nilai tambah.
b. Kualitas barang dan jasa lulusan SMK harus lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kualitas dari lulusan non SMK.
c. Dengan kemampuan yang dimiliki lulusan SMK diarapkan dapat
memiliki kemampuan memilih dan membuat pilihan, serta mengerjakan
pekerjaan yang memberi nilai tambah yang lebih tinggi.

7. Wawasan Efisiensi
Wawaasan efisiensi yang sesuai dengan kebijakan “link and match”
adalah lulsan SMk harus memberikan hasil lulusan yang memiliki daya
guna dalam persaingan perdagangan maupun persainagn industi, hal ini
harus sebanding dengan biaya investasi penddidikan SMK yang cukup
tinggi sehingga diharapkan lulusan SMK memiliki daya guna yang tinggi
pula agar tingkat efisiensi produk lulusan SMK sebanding dengan investasi
biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah.

BAB VII
DIMENSI PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN

Hakekat pembaruan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebijakan link and


match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan demi
pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit menjadi pendidikan
kejuruan sebagai program pengembangan sumberdaya manusia. Berbagai dimensi
pembaruan yang diturunkan dari kebijakan link and match, antara lain adalah :
1. Perubahan Dari Pendekatan Supply Driven Ke Demand Driven.
Pendekatan lama yang bersifat supply driven dilakukan secara sepihak
penyelenggara pendidikan kejuruan, mulai dari kegiatan perencanaan,
penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan dan evaluasinya.
Pendekatan lama yang telah berproses sejak lama dan telah dianggap menjadi
sesuatu yang baku, telah membentuk sistem nilai dan sikap, seolah-olah
"pendidikan kejuruan itu adalah urusan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dan bahkan dalam sikap para pelaku pendidikan kejuruan
terbentuk kesan, bahwa merekalah yang paling berhak, palingtahu, dan paling
bisa melaksanakan pendidikan kejuruan".Dengan kebijakan link and match,
terjadi perubahan dari pendekatan supply driven ke pendekatan demand
driven. Pengertian demand driven, mengharapkan justru pihak dunia usaha,
dunia industri, dunia kerja yang seharusnya lebih berperan menentukan,
mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah
pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam
perencanaan pembangunan pendidikan kejuruan, pihak dunia kerja ikut
menentukan, di mana SMK harus dibangun, dan jurusan atau program studi
apa yang diperlukan. Dalam penyusunan program pendidikan (kurikulum),
dunia kerja ikut menentukan standard kompetensi yang harus dicapai setiap
tamatan SMK, karena mereka yang lebih tahu kebutuhan di dunia kerja. Dalam
pelaksanaan, dunia kerja juga ikut berperan serta, karena proses pendidikan itu
sendiri lebih dominan dalam menentukan kualitas tamatannya, serta dalam
evaluasi hasil pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan supaya hasil
pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur dengan ukuran dunia kerja.
2. Perubahan Dari Pendidikan Berbasis Sekolah (School Based Program) Ke
Sistem Berbasis Ganda (Dual Based Program).
Model lama dengan sitem berbasis sekolah dimana program pendidikan
sepenuhnya dan seutuhnya dilaksanakan di sekolah, telah membiasakan
sekolah kejuruan terasing dari dunia kerjanya, dan sekolah membentuk
dunianya sendiri yang disebut dunia sekolah. Dunia sekolah tidak mengenal
kegagalan sebagai kerugian financial, karena segala sesuatu itu bisa diulang.
Dunia sekolah terbiasa santai, karena tidak mengenal delivery time. Dunia
sekolah kurang mengenal sense of quality karena hasil pekerjaannya tidak
terkait dengan pasar (market) ke pendidikan berbasis ganda sesuai dengan
kebijakan link and match, mengharapkan supaya program pendidikan kejuruan
itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program pendidikan dilaksanakan di
sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan sebagian lainnya
dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang diperoleh
melalui prinsip learning by doing. Pendidikan yang dilakukan melalui proses
bekerja di dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan dan nilai-
nilai dunia kerja yang tidak mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain
pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan
nilai tambah, dan pembentukan etos keria.
3. Perubahan Dari Model Pengajaran Yang Mengajarkan Mata-Mata Pelajaran
Ke Model Pengajaran Berbasis Kompetensi.
Perubahan ke model pengajaran berbasis kompetensi, bermaksud
menuntun proses pengajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi
atau satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi ini sekaligus
memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan, dari model lama
berbentuk silabus (berisi uraian mata pelajaran yang harus diajarkan) ke dalam
kemasan berbentuk paket-paket kompetensi.
4. Perubahan Dari Program Dasar Yang Sempit (Narrow Based) Ke Program
Dasar Yang Mendasar, Kuat Dan Luas (Broad Based),
Program pendidikan lama pada SMK (Kurikulum 1984 dan Kurikulum
1994), menganut pola penjurusan bidang keahlian yang sempit mulai dari
tingkat I. Selain itu, dalam perilaku pengajaran di tingkat I, pada umumnya
masih dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak penting sehingga guru yang
kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat I, alat yang sudah tua/sudah
rusak dipakai di tingkat I, dan disiplin belajarpun dibiarkan longgar di tingkat
I. Kebijakan link and match menuntut adanya pembaruan, mengarah kepada
pembentukan dasar yang mendasar, kuat, dan lebih luas. Sistem baru yang
berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan
menganut prinsip, tidak mungkin membentuk sumberdaya manusia yang
berkualitas dan yang memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan
pembentukan dasar (pondasi) yang kuat. Pengalaman di negara maju juga telah
menunjukkan, bahwa perkembangan iptek telah menimbulkan kemungkinan
terjadinya perubahan pekerjaan di dunia kerja, misalnya ada pekerjaan tertentu
yang telah diambil alih oleh robot. Karena itu, sistem baru harus memberi dasar
yang lebih luas tetapi kuat dan mendasar, yang memungkinkan seseorang
tamatan SMK memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan
perubahan pekerjaan.
5. Perubahan Dari Sistem Pendidikan Formal Yang Kaku, Ke Sistem Yang Luwes
Dan Menganut Prinsip Multy Entry, Multy Exit.
Pengertian pendidikan formal telah menggiring pendidikan menengah
kejuruan pada format pendidikan umum, antara lain dengan batasan usia
peserta didik, harus mengikuti sistem catur wulan, mengikuti system
penjadwalan mingguan klasikal, mengikuti kalender ulangan dan libur yang
sama dengan kalender persekolahan secara umum. Sejalan dengan perubahan
dari supply driven ke demand driven, dari schools based program ke dual based
program, dari model pengajaran mata pelajaran ke program berbasis
kompetensi, diperlukan adanya keluwesan yang memungkinkan pelaksanaan
praktek kerja industri, dan pelaksanaan praktek kerja industri, dan pelaksanaan
prinsip multy entry, multy exit. Prinsip ini memungkinkan siswa SMK yang
telah memiliki sejumlah satuan kemampuan tertentu (karena program
pengajarannya berbasis kompetensi), mendapatkan kesempatan kerja di dunia
kerja, maka siswa tersebut dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan kalau
siswa tersebut ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan program SMK-
nya, maka sekolah harus membuka diri menerimanya, dan bahkan menghargai
dan mengakui keahlian yang diperoleh siswa yang bersangkutan dad
pengalaman kerjanya. Selain itu, sistem program berbasis ganda juga
memerlukan pengaturan praktek kerja di industri sesuai dengan aturan kerja
yang berlaku di industri yang tidak sama dengan aturan kalender belajar di
sekolah.

6. Perubahan Dari Sistem Yang Tidak Mengakui Keahlian Yang Telah Diperoleh
Sebelumnya. Ke Sistem Yang Mengakui Keahlian Yang Diperoleh Dari Mana
Dan Dengan Cara Apapun Kompetensi Itu Diperoleh (Recognition Of Prior
Learning).
Kenyataan empirik membuktikan, bahwa pengalaman kerja seseorang
mampu membentuk kemampuan mengerjakan sesuatu pekerjaan(kompetensi)
bagi orang tersebut. Tetapi sistem lama pendidikan kejuruan tidak mengakui
kompetensi seseorang yang diperoleh dari pengalaman kerja, dan hanya
mengakui apa yang didapatkan siswa dari hasil proses belajar mengajar di
sekolah. Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan
pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh
seseorang. Sistem ini akan memotivasi ban yak orang yang sudah memiliki
kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan
pengakuan sebagai bekal untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk
ini SMK perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrumen dan kemampuan
menguji kompetensi seseorang darimana dan dengan cara apapun kompetensi
itu didapatkan.
7. Perubahan Dari Pemisahan Antara Pendidikan Dengan Pelatihan Kejuruan, Ke
Sistem Baru Yang Mengintegrasikan Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan
Secara Terpadu.
Sistem lama selalu berusaha membuat batasan yang tegas antara
pendidikan kejuruan dengan pelatihan kejuruan, sekalipun batasan itu tidak
memberikan arti yang bermakna. Dalam kenyataan di dunia kerja, kebanyakan
perusahaan memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan
kompetensi dan produktivitas kerja orang tersebut tanpa melihat apakah
kompetensi itu diperoleh dari satuan pendidikan, pelatihan atau pengalaman
kerja. Pembatasan yang selalu dipaksakan justru menutup peluang yang
didapat oleh seseorang dari proses pelatihan untuk melanjutkan pendidikannya
secara berkelanjutan. Program baru pendidikan yang mengemas pendidikannya
dalam bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan
dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi.
Sistem baru akan memberikan artikulasi antara program pelatihan kejuruan dan
program pendidikan kejuruan. Untuk memudahkan proses Dimensi Pembaruan
Pendidikan Kejuruan 75 artikulasi, beberapa SMK akan sekaligus didorong
dan disiapkan melaksanakan program pelatihan berbasis kompetensi.
8. Perubahan Dari Sistem Terminal Ke Sistem Berkelanjutan.
Sistem lama kurang memberi peluang bagi tamatan SMK untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
(cenderung dead end). Sekalipun kesempatan untuk melanjutkan terbuka,
tetapi tetap harus melalui proses seleksi dengan materi ujian seleksi yang sama
dengan tamatan SMU dan tidak memberi penghargaan terhadap kompetensi
kejuruan yang didapat dari SMK serta potensi keahlian yang diperoleh dari
pengalaman kerja. Sistem baru tetap mengharapkan dan mengutamakan
tamatan SMK langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga kerja produktif,
dapat memberi return atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui ban yak
tamatan SMK yang potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih
berkembang lagi setelah bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (misalnya
program Diploma), melalui suatu proses artikulasi yang mengakui dan
menghargai kompetensi yang diperoleh dari SMK dan dari pengalaman kerja
sebelumnya. Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien diperlukan
"program antara" (bridging program) guna memantapkan kemampuan dasar
tamatan SMK yang sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjut ke
program pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa SMK potensial
(terpilih), disiapkan untuk mampu melaksanakan program Diploma.

9. Perubahan Dari Manajemen Terpusat Ke Pola Manajemen Mandiri (Prinsip


Desentralisasi).
Pola manajemen lama yang cenderung mengarahkan dan mengendalikan
secara ketat dari Pusat, telah terasa membentuk sikap ketergantungan yang
berlebihan dari para pelaksana pendidikan di lapangan, membuat mereka tidak
percaya diri melaksanakan tugas profesinya tanpa petujuk pelaksanaan dari
pusat, kurang kreatif, kurang inisiatif dan tidak inovatif. Pola baru manajemen
mandiri dimaksudkan memberi peluang kepada Propinsi dan bahkan sekolah
untuk menentukan kebijakan operasional, asal tetap mengacu kepada kebijakan
nasional. Kebijakan nasional dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis,
supaya memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan berimprovisasi dan
melakukan inovasi. Kunci utama untuk memandirikan manajemen SMK
adalah dengan mencari, menyiapkan, dan menempatkan Kepala Sekolah yang
berkualitas unggul, serta didukung oleh sistem motivasi yang terpercaya
(reliable) yang secara taat azas memberikan penghargaan kepada mereka yang
pantas dihargai, dan menindak mereka yang pantas ditindak.

10. Perubahan Dari Ketergantungan Sepenuhnya Dari Pembiayaan


Pemerintah Pusat, Ke Swadana Dengan Subsidi Pemerintah Pusat. Sistem
lama SMK yang lebih banyak menggantungkan dirinya pada alokasi biaya
operasional dari pusat, cenderung membuat sekolah pasif, tidak kreatif, kurang
berinisiatif mencari tambahan dana, walaupun alokasi dana operasional yang
disediakan oleh pemerintah pusat tidak memadai. Di sisi lain, ditemukan
beberapa SMK Swasta yang sepenuhnya mandiri, bisa berkembang
meningkatkan mutu sekolahnya tanpa dukungan dana dari luar. Sejalan dengan
prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan manajemen sekolah,
dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan dapat
mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi alokasi dana dari
pemerintah pusat bersifat membantu atau subsidi. Sistem ini juga diharapkan
mampu mendorong SMK berpikir dan berperilaku ekonomis.
Bab VIII
PENDIDIKAN SISTEM GANDA
Salah satu bentuk nyata implementasi kebijakan link and match adalah
pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Pendidikan Sistem Ganda pada dasarnya mengandung dua prinsip utama,
yaitu : 1. Program pendidikan kejuruan pada SMK adalah program bersama (joint)
antara SMK dengan industry. Prinsip ini merupakan konkritisasi peralihan dari
supply driven ke demand driven. Peralihan dalam arti kewenangan dan tanggung
jawab secara sepihak oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke arah
kebersamaan dan tanggung jawab bersama dengan pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan kejuruan. 2. Program pendidikan kejuruan
dilakukan di dua tempat, sebagian program yaitu teori dan praktek dasar kejuruan
dilaksanakan di sekolah (SMK), dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja,
yaitu keahlian produktif yang diperoleh melalui kegiatan bekerja di dunia kerja.
Pola penyelengggaraan pendidikan di dua tempat ini, akan memaksa SMK
mendekatkan dunia sekolah ke dunia kerja, menyesuaikan isi dengan kebutuhan
dunia kerja, untuk mempermudah transfer nilai-nilai dan perilaku kerja
sebagaimana yang berlaku di dunia kerja.
1. Konsep Pendidikan Sistem Ganda
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan
sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang
diperoleh melalui bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu
tingkat keahlian profesional tertentu. Dalam pengertian tersebut, tersirat ada dua
pihak yaitu lembaga pendidikan dan pelatihan, dan lapangan kerja
(industri/perusahaan atau instansi tertentu) yang secara bersama-sama
menyelenggarakan suatu program pendidikan dan pelatihan kejuruan. Kedua belah
pihak secara sungguh-sungguh terlibat dan bertanggung jawab mulai dari tahap
perencanaan program, tahap penyelenggaraan, sampai pada tahap penilaian dan
penentuan kelulusan peserta didik, serta upaya pemasaran tamatannya.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG
bertujuan untuk : 1) Menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional,
yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja
yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, 2) Meningkatkan dan memperkokoh
keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara lembaga pendidikan dan
pelatihan kejuruan dengan dunia kerja, 3) Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional, dengan
memanfaatkan sumberdaya pelatihan yang ada di dunia kerja, 3) Memberi
pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses
pendidikan.
Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda sebagai salah satu bentuk
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan, didukung oleh beberapa faktor
yang menjadi komponen-komponennya, antara lain lnstitusi Pasangan, Program
Pendidikan dan Pelatihan Bersama, Kelembagaan Kerjasama, Nilai Tambah, dan
Jaminan Keberlangsungan (Sustainability).
1) Institusi Pasangan

Pendidikan Sistem Ganda hanya mungkin dilaksanakan apabila


terdapat kerjasama dan komitmen antara institusi pendidikan kejuruan
(dalam hal ini SMK) dan institusi lain (industri/ perusahaan atau
instansi lain yang berkepentingan dengan tenaga kerja) yang memiliki
sumber daya untuk mengembangkan keahlian kejuruan, untuk bersama-
sama menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan.
2) Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama

Program pendidikan dan pelatihan yang harus disepakati


bersama itu, paling tidak meliputi: (a) Standar Kompetensi/Keahlian
Tamatan Pendidikan Sistem Ganda diarahkan untuk menghasilkan
tamatan yang memiliki keahlian /kompetensi tertentu secara terstandar
sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Oleh karena itu segala sesuatu
yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
pendidikan harus senantiasa mengacu kepada pencapaian standar
kemampuan/ kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatan pekerjaan atau
profesi tertentu yang berlaku di lapangan kerja. (b) Standar Pendidikan
dan Pelatihan Untuk mencapai penguasaan standar kemampuan
tamatan yang telah ditetapkan, diperlukan suatu proses pendidikan dan
pelatihan yang dirancang secara terstandar dengan ukuran isi, waktu
dan metode tertentu.
 Komponen Umum (Normatif), dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki watak
dan kepribadian sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.

 Komponen Dasar Kejuruan (Adaptif), untuk memberi bekal


penunjang bagi penguasaankeahlian profesi dan bekal kemampuan
pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
 Komponen Kejuruan (Produktif), berisi materi yang berkaitan
dengan pembentukan kemampuan keahlian tertentu sesuai program
studi masing-masing untuk bekal memasuki dunia kerja.

Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang harus
dipelajari, ditetapkan berapa lama pendidikan dan pelatihan itu akan dilaksanakan,
kemudian disepakati berapa lama dilaksanakan di sekolah dan berapa lama di
institusi pasangannya. Selanjutnya perlu disepakati pola atau model pengaturan
penyelenggaraan program, khususnya yang menyangkut tentang kapan
dilaksanakan di lembaga pendidikan (di SMK) dan kapan di institusi pasangannya.

3) Sistem Penilaian dan Sertifikasi

Pengukuran dan penilaian keberhasilan peserta didik dalam


mencapai kemampuan sesuai dengan standar profesi (standar keahlian
tamatan) yang telah ditetapkan, harus dilakukan melalui proses dan
sistem penilaian dan sertifikasi yang disepakati bersama.
4) Kelembagaan Keriasama

Pelaksanaan PSG memerlukan dukungan dan jaminan


keterlaksanaan melalui lembaga kerjasama. Lembaga kerjasama ini
melibatkan pihak pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan) dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan
pendidikan dan pelatihan kejuruan (stakeholders), antara lain pihak
KADIN, Organisasi Pekerja, Asosiasi Profesi dan Tokoh Masyarakat.
Kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung dan menjamin
keterlaksanaan PSG adalah : MAJELIS PENDIDIKAN KEJURUAN.
Pada tingkat nasional, disebut Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat
Nasional (MPKN), pada tingkat propinsi disebut Majelis Pendidikan
Kejuruan tingkat Propinsi (MPKP) dan pada tingkat sekolah disebut
Majelis Sekolah (MS).dengan peran dan tugas masing-masing sebagai
berikut:
(a) Peran dan Tugas MPKN
 Merumuskan kebijaksanaan pengembangan pendidikan dan
pelatihan kejuruan.

 Berhak menentukan standar, baik standar jabatan, standar


kompetensi, standar sistem pendidikan dan pelatihan maupun
standar pengujian dan sertifikasinya melalui badan pembantu tetap
(standing committee) yaitu Kelompok Bidang Keahlian (KBK).

 Mengembangkan Standarisasi Profesi, Sistem Pendidikan dan


Pelatihan, Sistem Pengujian dan Sertifikasi dan Pemasaran Tamatan.

 Merumuskan kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan


kejuruan yang menghendaki bahwa proses belajar tidak hanya
berlangsung di sekolah, tetapi juga di industri. Keduanya harus
saling melengkapi (complement) Karena dunia usaha dan industri
telah merupakan bagian integral sistem pendidikan dan pelatihan
kejuruan.

 Pembaruan pendidikan dan pelatihan kejuruan menghendaki bahwa


SMK perlu memanfaatkan sumberdaya pendidikan yang tersedia di
masyarakat seoptimal mungkin.

 Memotivasi pihak-pihak pada tingkat pusat (nasional) dan


internasionai untuk berperan serta secara aktif dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan.

 Memotivasi dunia usaha dan industri akan lebih efektif jika


dilakukan oleh MPKN.

(b) Peran dan Tugas KBK


 Menganalisis dan merumuskan standarjabatan profesi kejliruan
dalam bidang keahliannya masing-masing. serta menyusun standar
kemampuan (kompetensi) dari setiap jenjang jabatan profesi
tersebut.

 Menyusun rambu-rambu materi pendidikan dan pelatihan yang akan


dituangkan dalam kurikulum.

 Menyusun sistem evaluasi dan sertifikasi serta pola penyelenggaraan


pendidikan dengan memadukan kegiatan belajar di sekolah dan
kegiatan bekerja di industri dalam satu kesatuan program PSG.

 Menyusun sistem akreditasi.

(c) Tugas MPKP


 Menjabarkan kebijaksanaan dan program MPKN untuk
dilaksanakan pada tingkat Propinsi;
 Menghimpun dan menggerakkan potensi dunia usaha dan industri
untuk aktif dalam pelaksanaan PSG;

 Merumuskan dan mengajukan rekomendasi pengembangan


pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk dilaksanakan di Propinsi
yang bersangkutan;

 Melaksanakan Lomba Keterampilan Kejuruan (LKK) tingkat


Propinsi;

 Mempromosikan PSG di Propinsi yang bersangkutan.

 Mengkoordinasikan Kegiatan MS.

(d) Tugas MS
 Mengkoordinasikan kegiatan penyesuaian materi pendidikan di
sekolah dan di institusi pasangannya (industri/ perusahaan).

 Menjadi mitra SMK dalam mendekati dan mengajak dunia


usaha/industri agar mau menjadi institusi pasangan untuk
melaksanakan PSG.

 Menjadi mitra SMK dalam merumuskan dan penandatanganan


naskah kerjasama antara SMK dan institusi pasangannya (dunia
usaha/industri) untuk pelaksanaan PSG;

 Memonitor pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda, baik di SMK


maupun di institusi pasangannya (dunia usaha/industri) serta
memberikan motivasi.

 Membentuk tim sistem pengujian dan sertifikasi dan memasarkan


tamatan SMK.

5) Nilai Tambah dan lnsentif

Ada beberapa keuntungan atau nilai tambah yang didapat


dengan melakukan kerja sama dengan indutri, diantanya:
(a) Nilai tambah bagi institusi pasangan (Industri/Perusahaan).
 lnstitusi pasangan dapat mengenal persis kualitas peserta didik yang
.belajar dan bekerja di perusahaannya.

 Pada umumnya peserta didik telah ikut aktif dalam proses produksi,
sehingga pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan.
 lnstitusi pasangan dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk
mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (dari sekolah), demi
kepentingan khusus perusahaan.

 Memberi kepuasan tersendiri bagi dunia usaha dan industri yang


menjadi institusi pasangan, karena memperoleh pengakuan ikut serta
menentukan masa depan bangsa melalui PSG.

(b) Nilai Tambah Bagi Sekolah


 Mmberikan pengertian kepada siswa dalam memasuki dunia kerja
lebih terjamin ketercapaiannya.

 Terdapat kesesuaian dan kesepadanan yang lebih pas, antara


program pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja (sesuai dengan
kebijakan link and match).

 Mengatasi permasalahan biaya, sarana, dan prasarana pendidikan di


sekolah

 Memberi kepuasan bagi penyelenggara pendidikan kejuruan (SMK


dan para pelaku Iainnya), karena tamatannya Iebih terjamin
memperoleh bekal keahlian yang bermakna.

(c) Nilai Tambah Bagi Peserta Didik


Bagi siswa PSG akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain:
 Setelah lulus peserta didik akan memiliki bekal keahlian profesional
untuk terjun ke lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan/
pengembangan dirinya secara berkelanjutan.

 Rentang waktu (lead-time) untuk mencapai keahlian profesional


menjadi Iebih singkat, karena setelah tamat PSG tidak memerlukan
waktu latihan lanjutan untuk mencapai tingkat keahlian siap pakai.

 Keahlian profesional yang diperoleh melalui PSG dapat mengangkat


harga dan rasa percaya diri siswa.

6) Jaminan Keterlaksanaan
Sementara belum ada aturan perundang-undangan yang berlaku
secara nasional, maka diperlukan naskah kerjasama antara pihak SMK
dengan dunia usaha/industri, yang isinya setidak-tidaknya memuat:
 Tujuan kerjasama melaksanakan PSG;

 Program PSG, meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan yang akan


dilaksanakan di sekolah dan di institusi, serta model
penyelenggaraannya;

 Jumlah peserta PSG;

 Tanggung jawab masing-masing pihak;

 Pelayanan/kemudahan bagi peserta;

 Administrasi bagi penyelenggara dan hai-hal lain yang dianggap


perlu

Pendidikan Sistem Ganda (PSG), dengan konsep seperti diuraikan di atas,


adalah sesuatu yang baru, bahkan dapat disebut sebagai "inovasi pendidikan
kejuruan” yang mengandung muatan perbaikan dan penyempurnaan terhadap
sistem lama yang bersifat konvensional.
Ada beberap strategi pengembangan yang ditempuh adalah sebagai
berikut :
a. Pentahapan dan Pembabakan

1) Proses pemahaman sampai kepada keberterimaan program PSG,


diharapkan dapat berlangsung selama lima tahun (kurun waktu Pelita VI).
2) Proses pembentukan kepedulian dan komitmen, akan bisa dibentuk apabila
pihak-pihak yang berkepentingan telah mulai melihat dan merasakan secara
nyata hasil positif PSG itu sendiri. Hasil ini diharapkan baru bisa dirasakan
setelah sepuluh tahun (pada kurun waktu Repelita VII).
3) Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan SMK terpilih yang
telah siap dengan institusi pasangannya.
4) Keterlaksanaan program PSG yang mantap dan terstandar, diharapkan
terjadi pada awal Repelita VIII.
5) Sekalipun kemantapan program PSG baru terjadi pada awal Repelita VIII,
proses pengenalan dan pelaksanaan PSG diharapkan telah dapat memberikan
hasil nyata berupa peningkatan mutu tamatan SMK. sejak Pelita VL
6) Pembabakan ini diharapkan sejalan dengan langkah penyiapan sumberdaya
manusia menghadapi komitmen AFTA tahun 2003, dan komitmen APEC pada
tahun 2010 dan 2020.
Pelaksanaan dan Pengembangan PSG pada SMK dibagi dalam 3 Jalur,
diantaraya sebagai berikut:
1) Jalur l (Optimalisasi Peningkatan Mutu)

Program ini pada dasarnya merupakan upaya pemasyarakatan


PSG pada semua SMK dengan mengoptimalkan kondisi dan sumberdaya
yang tersedia. Dengan diberlakukannya PSG secara menyeluruh dan
bertahap ini pada gilirannya diharapkan terbentuk citra umum bahwa
PSG merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang paling ideal
bagi pencapaian misi dan tujuan pendidikan dan pelatihan kejuruan,
sehingga akan menjadi ciri khas (trade mark) bagi SMK.
2) Jalur ll (Pengembangan Sistem Terstandar)

Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan model PSG


terstandar (Standardized System Development), dilakukan melalui uji
coba pada beberapa SMK secara terbatas. Pada program jalur ll (Track
II) ini dilakukan upaya-upaya yang optimal, agar program yang telah
dirancang secara teustandar didukung oleh SDM, manajemen, sarana dan
prasarana yang juga terstandar.
3) Jalur III (Pengembangan Pusat Pengembangan Keahlian Kejuruan).

Pendirian pusat-pusat pengembangan keahlian tersebut akan


dapat meningkatkan daya saing dan daya dukung SMK dalam
mengakomodasi dan memenuhi tuntutan kebutuhan lapangan kerja,
khususnya yang bersifat mendesak (immediately) dan atau keahlian yang
sangat khusus (specific), sehingga tidak mungkin dilayani dengan
program reguler yang tersedia.
MeIalui jalur III (track Ill) ini industri dan perusahaan didorong
membangun training centre, sehingga dapat ikut aktif melaksanakan PSG
sejak awal (tahun pertama) program SMK.
Jalur ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah (Depdikbud)
dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang tersedia (seperti Balai
Latihan Pendidikan Teknik BLPT), dapat pula dilakukan oleh pihak
dunia usaha/industri (misalnya beberapa perusahaan yang belum
memiliki training centre bergabung mendirikannya), atau perpaduan
antara pihak pemerintah dan dunia usaha/industri.
b. Pengembangan SMK Sebagai Pusat Pengembangan Budaya Profesional.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam upaya
memacu sekolah melakukan PSG untuk menghasilka budaya yang baik
pada siswa dalam menjalankn pekerjaan, antara lain :
1) Inisiatif Sekolah

Kemampuan manajemen sekolah dalam mendekati dan


meyakinkan, atau menjual programnya ke dunia usaha dan industry
sangat diperlukn. Karena itu inisiatif sekolah sangat diperlukan dan
diutamakan.
Kegiatan kerjasama dengan industri/dunia usaha yang telah lama
dikembangkan di SMK, dapat menjadi modal dasar untuk lebih
difokuskan kepada kerjasama pelaksanaan PSG.
2) Keluwesan (Fleksibilitas)

Tingkat kesediaan dan kesiapan yang bervariasi ini dapat


diakomodasikan dengan model penyelenggaraan, antara lain : (a) Dapat
berbentuk day release, dapat berbentuk block release, dapat berbentuk
hour release, atau gabungan dari ketiganya. (b) Subkomponen praktik
keahlian produktif yang dilaksanakan melalui kegiatan bekerja Iangsung
di industri/perusahaan dapat dimulai pada tahun pertama, tahun kedua,
atau tahun ketiga, bahkan bisa saja pada tahun keempat. (c) Standar
keahlian profesional yang akan dicapai melalui model penyelenggaraan
yang bervariasi, mengacu kepada pencapaian standar minimal profil
kemampuan tamatan pada buku kurikulum SMK (1994).
Selain itu, dalam memenuhi langkah awal pelaksanaan PSG,
tidak dituntut kewajiban yang dapat memberatkan industri/ perusahaan
yang menjadi institusi pasangan. Bahkan kalau perlu, pemerintah (dalam
hal ini Depdikbud) dapat memberi subsidi untuk sebagian keperluan
pelaksanaan program yang dilaksanakan di industri/perusahaan.

3) Pelaksanaan Bertahap

Pelaksanaan tahap awal ini akan merupakan langkah uji coba (try-
out) yang akan selalu diikuti dengan langkah pemantauan dan analisis
berkelanjutan, dan pada gilirannya diharapkan dapat terformulasikan
konsep dan pelaksanaan PSG yang benar-benar mantap dan cocok untuk
kondisi Indonesia Pelaksanaanya akan ditentukan oleh kesiapan SMK yang
bersangkutan, terutama kesiapan dalam menjalin hubungan kerjasama
dengan industri/ perusahaan untuk menjadi institusi pasangan.
4) Pembinaan Manajemen Sekolah

Keberhasilan SMK melaksanakan PSG secara dominan ditentukan


kehandaian (reliability) manajemen sékolah yang bersangkutan. Sedangkan
kehandalan manajemen sekolah sangat dipengaruhi kapasitas Kepala
Sekolahnya, karena itu masalah kekepala sekolahan akan menjadi perhatian
khusus datam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda.
Masalah utama dalam mewujudkan pelaksanaan PSG antara lain
bagaimana melibatkan pihak dunia usaha/industry/lapangan kerja, untuk ikut
bertanggung jawab secara sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan
pendidikan kejuruan. Pengalaman selama ini mengajarkan, bahwa pendekatan
dan cara apapun yang dilakukan Depdikbud untuk melibatkan mereka, jika
sifatnya masih sepihak ternyata kurang/belum memberikan hasil yang
memuaskan.

Bab IX

HASIL – HASIL YANG DICAPAI PADA PELITA VI

Banyaknya apresiasi masyarakat terhadap SMK melalui mutu tamatan yang


semakin membaik, hasilnya terasa signifikan karena merupakan landasan yang kuat
bagi percepatan laju pembangunan pendidikan kejuruan pada masa mendatang.
Beberapa hal penting yang penting dan perlu dikemukakan, antara lain :

1. Pembaruan wawasan
a. Pola pikir melihat pendidikan menengah kejuruan dari sudut
pendidikan semata, yang memikirkan pendidika menengah
kejuruan sebagai sub-sistem dari sistem pendidikan nasional
saja, juga sebagai sub-sistem dari sistem pembangunan
sumberdaya manusia
b. Pihak pendidikan lebih mengetahui kebutuhan dunia kerja,
karena itu berhak dan perlu diajak ikut serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pendidikan menengah kejuruan
c. Kepedulian terhdapat mutu dan keunggulan, dan pemahan
terhadap phenomena globalisasi, era baru adalah era persaingan,
diperlukan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi dan
memiliki keunggulan

2. Pembentukan lembaga pendukung PSG


a. Pergerakan semua badan oragnisasi perusahaan dan asosiasi
profesi yang berada dibawah naungan organisasi Kadim dalam
mendukung pelaksanaan program PSG
b. Melakukan standarisasi kopetensi dan sistem pengujian dan
sertifikasi
c. Organisasiberperan aktif sebagai mitra SMK dalam totalitas
kegiatan SMK meliputi kegiatan penerimaan siswa baru,
pengkajian dan penyesuaian materi ajaran, pengaturan
penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan di industri,
pelaksanaan uji kopetensi, pelaksanaan sertifikasi, dan
pemasaran tamatan
3. Penyusunan perangkat pendukung (software) PSG
a. Konsep pendidikan sistem ganda
b. Pedoman sinkronisasi program pendidikan di sekolah dan
pelatihan di industri
c. Pengelolaan kegiatan belajar mengajar dalam PSG
d. Penilaian dan sertifikasi PSG
e. Sistem penerimaan siswa baru
f. Sistem pembibingan siswa PSG
g. Administrasi pendidikan siswa PSG
h. Optimalisasi dan eksplorasi sumber pembayaran PSG
i. Pengembangan kegiatan industri
j. Pengembangan industri pasangan
k. Pengembangan unit produksi di SMK
l. Pengelolaan fasilitas dan bahan plastik
m. Organisasi pelaksanaan PSG
n. Sistem monitoring dan evaluasi PSG
o. Kepala sekolah, guru dan instruktur
p. Pedoman teknis (Mannis) pelaksanaan PSG
4. Peningkatan Peran serta Industri dan peningkatan kesempatan kerja
industri bagi siswa SMK
a. Pemilihan siswa SMK untuk melaksanakan program PSG
b. Perkembangan jumlah industri yang ikut serta dalam
pelaksanaan program PSG dan perkembangan jumlah siswa
yang dilayani berpraktik kerja industri, adalah juga merupakan
gambaran keberterimaan program PSG di kalangan dunia usaha
dan industri
5. Peningkatan mutu dan pengakuan terhadap tamatan SMK
a. Kebanyakan perusahaan lebih menyukasi tamatan SMA dari
pada tamatan SMK
6. Peningkatan minat memasuki SMK
a. Keinginan masyarakat memasukan anaknya ke SMK Negeri
meningkat dengan tajam pada Pelita VI. Peninhkatan minat
masyarakat terhadap SMK di satu sisi merupakan hal yang
positif karena dapat memberikan gambaran perbaikan
kepercayaan masyarakat terhadap SMK, tetapi di sisi lain, daya
tampung SMK Negeri (yang bermutu baik) yang sangat terbatas,
merangsang pertumbuhan SMK Swasta (sebagian masih tetap
kurang bermutu).

7. Penyempurnaan Kurikulum
Perbaikan kurikulum dari pendidikan berbasis sempit menjadi
pendidikan berbasis mendasar, penyempurnaan GBPP dari orientasi
pengajaran mata pelajaranpaket – paket kopetensi, penyepurnaan
metodologi pengajaran dari metode maju berkelanjutan
8. Penataan dan pengebangan manajemen SMK
Pelaksanaan program PSG di SMK mengandung banyak sekali
kegiatan baru yang sebelumnya tidak ada, dan memiliki misi
pembaruam dari sistem lama ke sistem baru. Keberhasilan
pelaksanaan program PSG dan ketuntasan pencapaian misinya,
sangat dominan dipengaruhi oleh kehandalan manajemen sekolah.
Dan kehandalan manajemen sekolah sangat dominan dipengaruhi
oleh kualitas Kepala Sekolah sebagai manajer
9. Pelaksanaan unit Prosuksi pada SMK
Pengembangan kegiatan unit produksi pada SMK telah
mendapatkan penekanan penting sejak awal Pelita VI. Kegiatan
penting ini (yang memang memungkinkan sesuai dengan PP no. 29
tahun 1990), selain dimaksudkan untuk menambah penghasilan
sekolah dan sekaligus ikut mendukung peningkatan produktifitas
nasional. Program unit produksi ini diharapkan berfungsi sebagai
pranata (means) menggiring SMK berwawasan pasar (market),
berwawasan mutu, berwawasan keunggulan dan berwawasan
ekonomi. Perkembangan sampai dengan tahun 1997/1998 harus
diakui belum memuaskan. Kemajuan yang telah dicapai terasa
sangat lamban, kelambanan ini terutama disebabkan oleh kekurang
siapan sumberdaya manusia SMK melakukan kegiatan yang bersifat
bisnis. Kegiatan bisnis adalah sesuatu yang baru bagi mereka, dan di
luar jangkauan pemikiran mereka. Namun demikian, dengan
dukungan kebijakan dan penciptaan iklim yang kondusif untuk
pengembangan Unit Produksi, sebanyak +50 SMK telah mulai
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Keberhasilan beberapa
SMK mengembangkan unit produksinya akan menjadi model atau
contoh-contoh keberhasilan untuk ditiru SMK lainnya. Apabila
semakin banyak SMK berhasil mengembangkan unit produksinya,
maka kesulitan SMK mencari industri tempat praktek kerja industri
sebagian akan teratasi

10. pemasyarakatan program psg


Peningkatan jumlah industri yang ikut-serta dalam pelaksanaan
program PSG (seperti dikemukakan pada butir cidi atas), adalah juga
gambaran keberterimaan (acceptability) program PSG di kalangan
masyarakat industri. Selain itu, peningkatan animo siswa masuk ke
SMK, juga merupakan gambaran pengakuan dan keberterimaan
program PSG oleh masyarakat luas. Keberterimaan, pengakuan dan
penghargaan terhadap program PSG diperoleh melalui kegiatan
pemasyarakatan yang sangat intensif, antara lain melalui:
a. Publikasi melalui media massa (TV, Radio dan Surat Kabar). \
b. Promosi melalui kegiatan Gebyar di tiap Propinsi
c. Promosi langsung ke industri (door to door promotion), yang
dilakukan oleh seluruh lapisan pimpinanDepdikbud, mulai dari
unsur pimpinan Departemen di tingkat Pusat, tingkat Kanwil di
Propinsi dan tingkat Sekolah (SMK).
d. Kegiatan Seminar Lokakarya dan Rapat Kerja yang dilakukan
oleh MPKN (beserta KBK), MPKP dan Majelis Sekolah.
e. Kegiatan Lomba Keterampilan Siswa (LKS), pada tingkat
sekolah, tingkat propinsi dan tingkat nasional Media Buletin SMK
(Suara Membangun Kejuruan). f. Kegiatan promosi dan
pemasyarakatan telah menjadi wawasan bagi para pelaku dan
penanggung jawab program SMK, dan diharapkan dapat
berkembang lebih efektif pada masa-masa mendatang

11.Gebyar SMK
Gebyar telah tumbuh menjadi suatu program rutin SMK di tiap
propinsi. Kegiatan Gebyar yang pada dasarnya berfungsi sebagai
FAIR", media promosi, media perdagangan, media pemasaran
produk dan jasa SMK telah dilaksanakan sekali setahun di tiap
Propinsi sejak tahun 1995, tahun 1996 dan tahun 1997. Kegiatan
Gebyar SMK yang melibatkan secara langsung Majelis Sekolah,
MPKP dan Pemerintah Daerah setempat telah berhasil:
a. Mengangkat rasa percaya diri SMK, karena terbukti mereka
berani dan mampu tampil berhadapan dan bekerjasama dengan
masyarakat industri dan masyarakat luas.
b. Memacu SMK menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas
unggu untuk dijual dan dipamerkan pada acara Gebyar.
c. Mendorong peningkatan unit produksi pada SMK
d .Menuntun SMK berwawasan pasar, berwawasan bisnis,
berwawasan mutu dan berwawasan keunggulan
e. Membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat industri,
bahwa SMK masa kini telah lain dari SMK masa dulu.

12. Pelaksanaan Lomba Keterampilan Siswa (LKS).

Lomba keterampilan siswa telah tumbuh menjadi program reguler


tahunan pada tingkat sekolah, tingkat propinsi dan tingkat nasional.
Kegiatan ini bermaksud untuk dijadikan sebagai media persaingan
bagi siswa SMK dan untuk menghadapi persaingan mereka
memerlukan mutu dan keunggulan. Selain sebagai pranata (means)
persaingan, LKS juga terbukti efektif menjadi media promosi bagi
SMK, karena melalui unjuk kemampuan pada saat berlomba,
masyarakat semakin mengenal kualitas SMK dan sekaligus
memudahkan pemasaran tamatan SMK

13. Buku Putih "Skill Towards 2020" (Keterampilan Menjelang 2020).


Buku putih "Keterampilan Menjelang Tahun 2020", adalah hasil
kajian dan rumusan yang dihasilkan oleh satu kelompok kerja (Task
Force) yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No 0156/P/1995 tanggal 7 Juli 1995. Keanggotaan
kelompok kerja ini sungguh-sungguh sangat representatif, orang-
orang pilihan dari unsur dunia usaha dan industri, dari asosiasi
profesi, organisasi pekerja, anggota DPR, pakar pendidikan dan
tokoh masyarakat yang berpengaruh. Dalam proses penyusunan
buku ini, kelompok kerja telah melakukan studi perbandingan ke
manca negara, antara lain ke: Jerman, Belanda, Inggris, Australia,
Korea, Taiwan, Singapore, Malaysia dan Thailand
Buku Putih yang dihasilkan oleh kelompok kerja ini mengandung
nilai yang sangat tinggi, dan telah teruji melalui berbagai proses
validasi antara lain melalul forum diskusi dengan kalangan industri
dan melalui seminar di dalam dan di luar negeri. Isi buku ini antara
lain menyangkut visi dan tantangan yang dihadapi perekonomian
Indonesia di masa depan, strategi pengembangan sumberdaya
manusia dan rekomendasi kebijakan (policy recomendation)
pengembangan program pendidikan dan pelatihan kejuruan. Isi buku
ini yang sangat kuat dipengaruhi oleh pendapat anggota dari dunia
usaha dan industri serta asosiasi profesi, ternyata sangat sejalan
dengan kebijakan link and match, dan dapat menjadi landasan kuat
bagi pembaruan pendidikan dan pelatihan kejuruan

14. Kepmen Dikbud Tentang Pelaksanaan PSG.

Kepmendikbud tentang pelaksanaan PSG, disusun berdasarkan


pengalaman selama lebih dari tiga tahun pelaksanaan program PSG
pada SMK dan disusun bekerjasama dengan Sekretariat MPKN.
Kepmen ini tetap mengacu pada UU No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, GBHN 1993 tentang Pembangunan
Jangka Panjang Tahap Kedua, PP No. 29 tahun 1990, dan
Kepmendikbud No. 080/1993 tentang kurikulum 1994 SMK.
Dengan lahirnya Kepmen ini, maka semakin kuat dasar hukum
pelaksanaan program PSG pada SMK, dan tidak perlu ada keraguan
tentang kelanjutan pelaksanaan program PSG pada SMK

15. Sistem Evaluasi SMK

Sistem evaluasi hasil belajar siswa SMK, dilakukan dengan dua


cara, yaitu Pertama, dengan EBTANAS. Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional (EBTANAS) dilakukan oleh pihak Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan menghasilkan tanda bukti
keberhasilan yang disebut STTB (Surat Tanda bukti Tamat Belajar).
Pelaksanaan EBTANAS SMK baru diujicoba tahun 1995/1996
terbatas pada mata ujian Matematika, dan pada tahun 1996/1997
dilaksanakan secara penuh meliputi keseluruhan muatan program.,
Hasil EBTANAS tahun 1996/1997 telah memberikan pelajaran
berharga, yaitu peta mutu tamatan SMK per sekolah, per propinsi,
dan secara Nasional Cara evaluasi yang Kedua, yaitu dengan
melakukan uji kompetensi Uji kompetensi pada prinsipnya
dilakukan oleh pihak dunia usaha dan industri, dan ukuran yang
dipakai untuk mengukurpun adalah ukuran dunia kerja. Siswa atau
tamatan SMK yang berhasil dalam uji kompetensi memperoleh
Sertifikat Kompetensi.

16. Penyempurnaan Organisasi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan organisasi


Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, telah dilakukan
penyempurnaan organisasi dengan Keputusan Mendikbud No.
049/0/1997 tanggal, 24 Maret 1997 (Lampiran :15). Karakteristik
utama dari oraganisasi baru ini adalah tersedianya satu Sub
Direktorat yang menangani pengembangan dan pembinaan PSG,
dan keterpaduan pembinaan pada seluruh jenis sekolah (tidak lagi
terkotak-kotak menurut jenís sekolah seperti pada struktur
organisasi yang lama)

BAB X

PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN KEJURUAN PADA


PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEDUA
1. Pemberdayaan Majelis Pendidikan Kejuruan
2. Pengembangan Kurikulum
3. Penyusunan Paket Pengajaran Berbasis Kompetensi
4. Pengembangan Sistem Pengujian
5. Peningkatan Kepedulian Sistem Ganda
6. Pengembangan Unit Produksi
7. Peningkatan Mutu Guru
8. Peningkatan Manajemen Pendidikan Kejuruan
9. Peningkatan Lomba Keterampilan Siswa SMK
10. Sosialisasi dan Promosi SMK
11. Memberikan Pelayanan Khusus bagi yang Potensial dan Menjanjikan
12. Pengembangan PPPG Kejuruan
13. Pelaksanaan Program Keahlian Berbasis Kompetensi
14. Pemberlakuan multy Entry, Multy Exit

15. Pengakuan Terhadap Kompetensi yang diperoleh daei Pengalaman


Sebelumnya
16. Pengembangan Program Diploma
17. Pembangunan SMK Baru
18. Peningkatan Mutu SMK Swasta

You might also like