Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian
Pengertian typhoid fever dikemukakan oleh para ahli yang berkecimpung dalam dunia
kedokteran khususnya yang mendalami penyakit dalam. Berikut ini penulis akan
menyajikan beberapa pengertian dari typhoid fever.
Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella Thyposa dengan gejala demam 1 minggu atau lebih disertai gangguan
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Penularannya secara faeco oral
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman salmonella (Devid
Werner,1993).
Thypoid abdominalis (Demam Thypoid, Enteric Fever) ialah penyakit infeksi akugt yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1
minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI, 2000).
Typhoid abdominalis adalah infeksi penyakit akut yang biasanya terdapat pada saluran
cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran
(Suryadi, 2001).
B. Etiologi
Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah kuman Salmonella typhi yang
merupakan kuman gram negatif dan tidak menghasilkan spora. Kuman Salmonella
typhii ini dapat hidup baik pada suhu manusia (36 – 37oC) maupun pada suhu yang lebih
rendah dari 36 oC, serta mati pada suhu 70 oC maupun oleh anti septik. Saat ini diketahui
bahwa kuman ini hanya menyerang manusia. Salmonella typhii mempunyai tiga macam
antigen yaitu:
1. Antigen O = Ohne Hauch: somatic antigen (tidak menyebar)
2. Antigen H = Hauch (menyebar) terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.
3. Antigen V1 = kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi
O antigen terhadap fagositosis.
C. Patofisiologi
Kuman Salmonella thyposa masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan
minuman yang tercemar. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang makan dan
minum, makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus yang mencapai
jaringan limfoid plaque di ilium terminalis yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk
bersama-sama cairan, maka terjadi pengenceran asam lambung yang mengurangi daya
hambat terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Daya hambat asam lambung ini
juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung, sehingga bakteri akan lebih
leluasa masuk ke dalam usus penderita, memperbanyak diri dengan cepat, kemudian
memasuki saluran limfe dan akhirnya mencapai aliran darah. Kuman Salmonella
thyposa kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar
limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini Salmonella typhi masuk aliran darah melalui ductus thorasicus. Kuman-
kuman Salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari
usus. Salmonella typhi bersarang di plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain
sistem retikuloendotelial. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang. Adapun reaksi kuman terhadap tubuh manusia melakukan aktifitas terbesar
pada sistem retikuloendotelial dan empedu dimana organ yang lebih dahulu diserang
adalah usus.
Patofisiologi
Pada Hakikatnya Aktifitas Dari Kuman Salmonella Typhi Dibagi Menjadi Empat
Tingkatan :
1. Tingkat I
Merupakan masa inkubasi 10 – 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari susunan
retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma yang
mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman sampai
membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut jaringan limfoid
akan melebar mengakibatkan pelebaran pembuluh darah, sehingga susunan
retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang dan hemopoesis menjadi
rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat ini, bercak payeri,
limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak membengkak dan menonjol ke atas
permukaan selaput lendir.
2. Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak. Oleh
sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti keropeng yang
berwarna kuning kelabu.
3. Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak (ulkus)
pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus. Tepi tukak
jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya menembus sub
serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi yang menyebabkan
peritonitis dan syok.
4. Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada perforasi. Selain
menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti :
a. Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa
merah akan membesar ( splenomegali ) hati juga membesar ( hepatomegali ).
b. Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam kandung
empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
c. Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel tubulus
mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya terhambat.
d. Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi
hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
1. Darah tepi
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit. Mungkin
terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana
dan mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, tetapi hasilnya berguna untuk
membantu untuk menentukan penyakitnya dengan cepat (adakalanya dilakukan
pemeriksaan sumsum tulang tetapi sangat jarang sekali) bila hal itu dilakukan daerah
yang akan dipungsi, dapat pada tibia, perlu dilakukan pembersihan ekstra kemudian
dikompres dengan alkohol 70%.
2. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal
merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara pasti.
Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya.
(diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
a. Biakan Empedu
Biakan empedu basil Salmonella thypii dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan
feses, dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu,
pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan
diagnosis, sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua
kali berturut-turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar
sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier).
b. Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien thypoid
dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang positif
ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka
kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah
titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis.
Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap
tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh.
Pemeriksaan widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh
menderita typhoid fever (disebut negatif semu). Sebaliknya titer dapat positif
semu karena keadaan sebagai berikut :
1) Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi
basil coli patogen pada usus.
2) Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
3) Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix).
4) Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada
keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala hampir
sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan) ialah terdapat
pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu pemeriksaan darah
seperti pasien typhoid biasa.
F. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
1. Pemberian antibiotik; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan:
a. Kloramfenikol; dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan
selama demam dilanjutkan sampai dua hari bebas demam, kemudian dosis
diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama lima hari kemudian. Penelitian terakhir
(Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih
memperlihatkan hasil penurunan suhu empat hari, sama seperti obat-obat terbaru
dari jenis kuinolon.
b. Ampisilin/Amoksilin; dosis 50 – 150 mg/kg BB, diberikan selama dua minggu.
c. Kotrimoksazol; 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg
trimetoprim, diberikan selama dua minggu.
d. Sefalosporin generasi II dan III. Di subbagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-
RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik.
Demam umumnya mereda pada hari ketiga atau menjelang hari keempat.
Regimen yang dipakai adalah :
a. Seftriakson 4 gr/hari selama tiga hari
b. Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
c. Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama enam hari
d. Ofloksasin 600 mg/hari selama tujuh hari
e. Pefloksasin 400 mg/hari selama tujuh hari
f. Fleroksasin 400 mg/hari selama tujuh hari.
2. Istirahat dan perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal tujuh hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Duduk dilakukan pada hari kedua bebas
panas, berdiri dilakukan pada hari ketujuh bebas panas, berjalan dilakukan pada hari
kesepuluh bebas panas. Mobilisasi dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan diri, kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
3. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi biasa
sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian
vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan
dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi
dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan intensif dengan
nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja
secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada rejatan
septik. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.
G. Pencegahan
Usaha pencegahan typhoid fever dibagi dalam :
a. Usaha terhadap lingkungan hidup
1) Penyediaan air minum atau bersih
2) Pembuangan kotoran manusia yang higienis pada tempatnya
3) Pemberantasan lalat dan senantiasa menutup makanan
4) Pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan
b. Usaha terhadap manusia
1) Pendidikan kesehatan terhadap masyarakat
2) Menemukan dan atau mengawasi carier typhoid
3) Imunisasi
H. Komplikasi
I. Prognosis
Umumnya prognosis demam pada anak baik asal penderita cepat berobat. Mortalitas
pada penderita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila
terdapat gejala klinis yang berat seperti :
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinue.
b. Kesadaran turun sekali seperti delirium, sopor atau koma.
c. Terdapat komplikasi yang berat seperti dehidrasi dan asidosis, peritonitis,
bronkhopneumonia dan lain-lain.
d. Keadaan gizi penderita anak (malnutrisi energi protein)
Relaps (kambuh)
Relaps adalah berulangnya gejala typhoid, akan tetapi berlangsung lebih ringan dan
singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan kembali normal. Terjadinya
sukar diterangkan. Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-
organ yang tidak dapat dimusnahkan, baik oleh obat maupun zat anti. Mungkin terjadi
pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan
jaringan-jaringan fibrosis.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPRAWATAN
Proses keperawatan adalah masalah yang dinamis dalam usaha memperbaiki atau memelihara
pasien ke taraf yang optimal melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal dan
membantu memenuhi kebutuhan pasien. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu :
a. Pengkajian
b. Diagnosa keperawatan
c. Perencanaan
d. Evaluasi
1. Pengkajian
Aktivitas/ Istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan, malaise
Tanda : Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari – hari
karena keletihan, peningkatan suhu secara akut.
Sirkulasi
Gejala : ~
Tanda : Dalam keadaan normal nadi dimana seharusnya setiap
kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 –
15 x/menit, sedangkan pada penderita ini kenaikan
nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor resiko, perubahan pola
kegiatan/aktivitas
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
Makanan/Cairan
Gejala : Mual/Muntah, anoreksia, penurunan berat badan.
Turgor kulit buruk, sering berkeringat, penurunan
Tanda : berat badan, penurunan masa otot/ lemak sub kutan.
Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan melakukan aktivitas/
peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehari – hari.
Tanda : Kebersihan buruk, badan berbau.
Keamanan
Gejala : Adanya infeksi berulang
Tanda : ~
Interaksi Sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan
Tanda : Kelalaian huungan dengan orang lain/ anggota
keluarga.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus typhoid fever, yang diambil
beberapa literatur yaitu Carpenito (1999; hal 192) dan Doenges (1999; hal 471), adalah
sebagai berikut:
a. Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit terhadap jaringan yang meradang, perubahan pada regulasi
temperatur, peningkatan tingkat metabolisme, penyakit.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri abdomen) b/d proses inflamasi usus; iritasi, perforasi.
c. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) b/d intake
inadekuat; disfungsi usus, abnormalitas metabolik, pembatasan makanan secara medik.
d. Gangguan keseimbangan volume cairan b/d output yang berlebihan; gangguan
absorpsi cairan misalnya kehilangan fungsi kolon, status hipermetabolik misalnya
inflamasi dan proses penyembuhan.
e. Intoleran aktifitas b/d kelemahan fisik.
f. Resiko terjadi komplikasi (Peritonitis) b/d invasi kuman menembus lumen usus.
g. Kurang pengetahuan keluarga (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis,
pengobatan, dan perawatan b/d kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi
informasi, tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
3. Perencanaan
a. Dx I : Peningkatan suhu tubuh b/d rangsangan endotoksin terhadap sintesa dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang, perubahan pada
regulasi temperatur.
Tujuan: Suhu tubuh kembali normal.
Kriteria hasil :
« Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36 – 37,5oC), mukosa bibir lembab,
turgor kulit baik.
« Bebas dari kedinginan.
« Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan.
Rencana Tindakan:
1. Kaji tingkat kenaikan suhu tubuh dan perubahan yang menyertai.
2. Beri kompres hangat pada daerah dahi, aksila dan lipat paha
3. Monitor tanda vital setiap satu jam.
4. Anjurkan orang tua untuk memberi banyak minum.
5. Anjurkan orang tua untuk memakaikan pakaian yang tipis dan menyerap keringat
serta membatasi jumlah selimut.
6. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian antipiretik contoh paracetamol.
4. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan :
1. Suhu tubuh anak menunjukkan batas normal 36 0C – 37,5 0C
2. Tidak terjadi komplikasi apapun pada anak
3. Anak dapat beraktivitas dengan toleransi yang baik
4. Keluarga mengerti tentang kondisi anak, tentang penyakit, pengobatan, pencegahan,
pengobatan serta prognosis penyakit
5. Intake dan outpu cairan terpenuhi dengan baik
6. intake dan output diit balance sesuai dengan kondisi anak
DAFTAR PUSTAKA