You are on page 1of 14

Mata kuliah : Keperawatan Diabetes Melitus

Dosen : DR.Yusran Haskas,SKM,.S.Kep.,Ns,M.kes

TREND DAN ISSUE PERAWATAN DIABETES MELITUS

Kelompok I
Maratul Azizah (NH0116985)
Jermina Elefina Letsoin (NH0116078)
Mirna Aprianti (NH0116091)
Ika Nurjulianti (NH0116070)
Hasrianti (NH0116062)
Moh.Athal Aftal Sofhyan (NH0116095)
Ulfa Muhriana (NH0116201)
Muliana (NH0116099)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT.Karena dengan rahmat
dan hidayah serta karunianya, sehingga masih diberi kesempatan untuk bekerja
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Trend dan Issue perawatan Diabetes
Melitus” makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Diabetes
Melitus.
Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar kami,
dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak kami harapkan.

Makassar, 24 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................. ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................
B. Tujuan....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Trend Dan Issue Perawatan DM............................................
BAB IV PENUTUP..................................................................................
A. Kesimpulan............................................................................
B. Saran......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB II
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes sepertinya sudah menjadi trend dikalangan masyarakat di


Indonesia yang mayoritasnya mengkonsumsi makanan berkerbohidrat tinggi
seperti nasi. Sudah tidak asing bukan mendengar kata diabetes mellitus ? Ya,
mungkin ada yang lebih familiar dengan sebutan kencing manis. Sebenarnya
apasih Diabetes Mellitus itu ?.

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronik pada sistem


endokrin yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula darah melebihi
kadar normal Hal tersebut dikarenakan kekurangan hormon insulin akibat
ketidakmampuan kelenjar pankreas memproduksi insulin secara maksimal.
World Health Organization (WHO) menyebutkan jumlah penderita DM di
Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 8,4 juta orang dan menempati urutan ke-
4 terbesar di dunia. Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030
prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.

Di Propinsi Jawa Tengah, jumlah kasus DM tertinggi di Kabupaten


Cilacap (3,9%), diikuti Kabupaten Tegal Kota (3,1%), Surakarta (2,8%), dan
Pemalang (2,1%) (Riskesda, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda)
tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu
14,7%.

Riwayat keluarga dengan diabetes melitus memiliki resiko menderita DM


sebesar 15%. Jika kedua orang tua memiliki DM maka resiko untuk menderita
DM adalah 75% (Diabates UK, 2010). Resiko untuk mendapatkan DM dari
ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan DM.

1
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuuk mengetahaui
perbagai trend dan issue dalam perawatan DM.

2
TREND DAN ISSUE PERAWATAN DM

A. TREND

1. Perkembangan Terkini di Bidang Terapi Farmakologis Diabetes


Melitus

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penderita Diabetes


Melitus (DM) di seluruh dunia, semakin pesat pula perkembangan di
bidang terapi farmakologis DM. Di satu sisi, perkembangan ini
menyediakan harapan baru bagi penderita DM. Di sisi lain, timbul banyak
pertanyaan baru mengenai waktu dan cara pemberian golongan obat
terbaru itu.

Acara tahunan PERKENI (Perhimpunan Endokrinologi Indonesia)


yang luas dikenal sebagai Jakarta Diabetes Meeting (JDM) mengumpulkan
praktisi medis dari seluruh negeri untuk mendiskusikan isu-isu tersebut
serta isu terkini seputar DM secara umum. Bertempat di Hotel Mercure,
Ancol, acara yang berlangsung dari 12 hingga 13 November 2011, ini
mengambil tema “The Art of Diabetes Management: Stratification
Approach”.
Terlepas dari ketersediaan sekian banyak golongan obat antidiabetik
oral (OAD) seperti metformin, sulfonilurea, glitazon maupun insulin,
mayoritas pasien gagal mencapai atau mempertahankan kontrol gula
darah. Guideline dari American Diabetes Associtation (ADA)
merekomendasikan metformin sebagai obat antihiperglikemik lini
pertama. Begitu metformin gagal, direkomendasikan penambahan OAD
lain. Sayangnya, kombinasi obat seringkali menimbulkan efek samping
yang signifikan dan menghambat intensifikasi terapi. Penambahan berat
badan dan hipoglikemia merupakan dua dari sekian banyak efek samping
yang menghambat kemajuan terapi pada penderita DM. Sesi simposium
JDM pertama didedikasikan untuk membahas perkembangan terbaru di

3
bidang terapi DM dengan tajuk “Current an Future Treatment in Managing
Diabetes: GLP-1 analogue or Insulin?”
Analog GLP-1 merupakan kelas obat antidiabetik terbaru dengan cara
kerja yang menyerupai hormon endogen, yaitu glucagon-like peptide
(GLP). GLP-1 sendiri merupakan salah satu jenis hormon saluran cerna
yang bernama inkretin. Inkretin dilepaskan ke sirkulasi sebagai respons
dari nutrisi yang sedang dicerna dari makanan. Menurut Prof. Dr. dr.
Sarwono Waspadji, SpPD-KEMD, efek dari inkretin ini pertama kali
diketahui setelah adanya pengamatan bahwa pemberian glukosa secara
oral dan intravena menghasilkan respons yang berbeda. Rangsangan
pelepasan insulin dari pankreas lebih besar setelah pemberian glukosa oral
dibandingkan dengan glukosa intravena yang diberikan dalam jumlah
sama.
Analog GLP-1 sendiri bukanlah satu-satunya terapi yang berbasis
inkretin. Diketahui pula bahwa terdapat enzim bernama DPP-4 yang
menghancurkan GLP-1. Berangkat dari pemahaman mengenai hal
tersebut, peneliti menetapkan penghambatan enzim DPP-4 atau dikenal
sebagai inhibitor DPP-4, atau ‘gliptin’ sebagai target terapi selanjutnya.
Gliptin akan mencegah degradasi dari analog GLP-1 dan memperpanjang
waktu paruhnya.
Kedua terapi berbasis inkretin ini memiliki sejumlah keunggulan
dibandingkan para pendahulunya. Selain penurunan HbA1C dan kadar
glukosa darah yang signifikan, terdapat manfaat-manfaat lain. Oleh karena
sekresi dari inkretin bergantung dari keberadaan glukosa di saluran cerna,
terjadi penurunan risiko hipoglikemia apabila dibandingkan dengan OAD
lainnya. “GLP-1 dikaitkan pula dengan timbulnya rasa kenyang yang
selanjutnya diikuti penurunan asupan makanan. Hasil akhir dari keadaan
ini adalah penurunan berat badan atau sekurang-kurangnya penderita tidak
bertambah berat badan. Inilah sebabnya analog GLP-1 direkomendasikan
pada pasien dengan berat badan berlebih,” demikian menurut dr. E. M.
Yunir, SpPD-KEMD. Ditambahkan pula oleh beliau mengenai adanya

4
penelitian yang mendapati preservasi fungsi sel beta pankreas setelah
konsumsi obat tersebut. Saat ini, analog GLP-1 belum ada di Indonesia,
namun kehadirannya diharapkan dalam waktu dekat.
Selain analog GLP-1, topik lain yang cukup menyita perhatian adalah
perkembangan terbaru dari terapi insulin. Insulin dibutuhkan secara
mutlak oleh pasien DM tipe 1 yang tidak lagi memiliki sel beta pankreas
fungsional serta oleh pasien DM tipe 2 dengan fungsi sel beta pankreas
yang menurun secara progresif. Untuk pasien DM tipe 2, pemberian
insulin masih cukup problematik. Walaupun penambahan insulin berimbas
pada penurunan kadar glukosa darah secara signifikan, banyak pasien
tidak mampu mencapai target HbA1C setelah pemberian regimen insulin
konvensional. Selain itu, muncul kekhawatiran mengenai hipoglikemia.
“Dapat timbul resistansi insulin fisiologis pada pasien DM yang kapok
setelah mengalami kejadian hipoglikemia,” demikian ujar dr. Tri Juli Edi
Tarigan, SpPD, pada kesempatan yang sama.
Sebuah studi yang dijalankan oleh Rury R. Holman, dkk., dari
kelompok studi 4-T berupaya menggambarkan perbandingan berbagai
jenis insulin sebagai tambahan untuk terapi OAD pada pasien DM tipe 2.
Studi ini membandingkan pemberian insulin aspart bifasik (basal ditambah
prandial), insulin prandial, dan insulin basal detemir pada pasien yang
sudah mendapat dosis maksimal metformin dan sulfonilurea yang mampu
ditoleransi. Hasilnya, didapatkan bahwa penambahan insulin bifasik atau
prandial lebih menurunkan kadar HbA1C dibandingkan pemberian insulin
basal. Bagaimanapun, diamati pula adanya peningkatan risiko
hipoglikemia dan penambahan berat badan pada pemberian kedua
kelompok insulin pertama.
Insulin basal detemir pun ternyata memiliki kelebihan lain dalam hal
variabilitas intraindividu. Lebih dari 98% insulin detemir di aliran darah
terikat pada albumin, sehingga ia didistribusikan lebih lambat ke jaringan
target perifer. Penambahan asam lemak juga menjadikan detemir tidak
mudah mengalami presipitasi saat pemberian atau saat diabsorpsi.

5
Stabilitas semacam ini lah yang berkontribusi mengurangi proses yang
tidak dapat diperkirakan sebelumnya, yaitu variabilitas intraindividu, pada
pemberian detemir. Salah satu merk insulin detemir yang beredar luas di
Indonesia adalah Levemir keluaran Novo Nordisk. Dengan alat injeksi
yang mudah digunakan oleh pasien, Levemir menyediakan alternatif terapi
yang baik untuk menurunkan hambatan adherensi terhadap terapi insulin
pada pasien DM tipe 2.
2. Program penanggulangan penyakit Diabetes Mellitus di Indonesia
Program pencegahan primer di Indonesia telah dilaksanakan oleh PT
Merck Indonesia Tbk bekerja samadengan Depkes RI dan organisasi
profesi (PERKENI) dan organisasi kemasyarakatan (PERSADI dan PEDI)
yaitu program bertajuk Pandu Diabetes dengan simbol Titik Oranye.
Melakukan kegiatan-kegiatan antara lain memberikan informasi dan
edukasi mengenai Diabetes Mellitusdan pemeriksaan kadar gula darah
secara gratis bagi sejuta orang yang telah diluncurkan olehMenkes pada 15
Maret 2003.Menteri Kesehatan Dr .dr .Siti Fadillah Supari, Sp.JP (K) akan
membentuk direktorat baru di Departemen Kesehatan untuk menangani
Penyakit Tidak Menular (PTM ) karena berdasarkan data Depkes untuk
jumlah pasien Diabetes rawat inap maupun rawat jalan di rumah sakit
menempati urutan pertama untuk seluruh penyakit endokrin. Terdapat
klinik kaki diabetes di salah satu rumah sakit milik pemerintah yang
merupakan bentuk layanan yang diberikan bagi penderita diabetes.Ini
salah satu bentuk perhatian pemerintah kepada penderita Diabetes
Mellitus mengingat penderita Diabetes sangant rentan untuk terkena
infeksi, hal ini juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi amputasi
kaki akibat pekait Diabetes Mellitus.
Federasi Diabetes Internasional (IDF) mengeluarkan pernyataan
konsensus baru mengenai pencegahan diabetes, menjelang resolusi Majelis
Umum PBB pada bulan Desember 2006 yang menghimbau aksi
internasional bersama. Konsensus IDF baru ini merekomendasikan bahwa
semua individu yang beresiko tinggi terjangkiti diabetes tipe-2 dapat

6
diidentifikasi melalui pemeriksaan oportunistik oleh dokter, perawat,
apoteker dandengan pemeriksaan sendiri.
Profesor George Alberti, mantan presiden IDF sekaligus
penulis bersama konsensus baru IDF mengatakan: ³Terdapat banyak bukti
dari sejumlah kajian di Amerika Serikat, Finlandia, Cina, India dan Jepang
bahwa perubahan gaya hidup (mencapai berat badan yang sehat dan
kegiatan olahraga yang moderat) dapat ikut mencegah berkembangnya
diabetes tipe-2 pada mereka yang beresiko tinggi (2-6). Konsensus baru
IDF ini menganjurkan bahwa hal ini haruslah merupakan intervensi awal
bagi semua orang yang beresiko terjangkiti diabetes tipe-2, dan juga fokus
dari pendekatan kesehatan penduduk .´(SUMBER: Federasi Diabetes
Internasional )

B. ISSUE
1. Isu mutakhir tentang penyakit Diabetes Mellitus
a. Adanya hubungan timbal balik antara periodontitis (infeksi pada
mulut) dengan Diabetes Mellitus, keterlibatan dokter gigi dalam
penanganan pasien Diabetes Mellitus perlu ditingkatkan
b. Dokter gigi dituntut untuk lebih aktif memposisikan diri sebagai mitra
dokter umum/dokter spesialis dalam penanganan pasien Diabetes.
c. Perlu adanya perlindungan kepada obat tradisional untuk penyakit
Diabetes Mellitus agar tetap asli dari tanaman obat dan tidak diberi
tambahan zat kimia.
d. Perlu dipelajari lebih lanjut dengan mengadakan pendekatan kasus
dengan metode penelitian yang khusus pula mengapa penderita IDDM
dapat bertahan hidup selama 1minggu tanpa insulin dengan melalui
penggantian insulin atau adaptasi
e. Obat anti Diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada Diabetes
Mellitus denganTuberkulosis paru karena adanya efek rifampicin dan
isoniazid yang mengurangi efek obat tersebut

7
f. Kadar glukosa darah yang terkontrol pada penderita Diabetes Mellitus
dapat menurunkan derajat kegoyahan gigi sebesar 51,45%
g. Melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan aktif yang
diisolasi dari buahmengkudu untuk mengetahui efeknya dalam
menurunkan kadar gula darah
h. Perlu dikembangkan kegiatan di kelompok-kelompok masyarakat guna
meningkatkan pengetahuan kesehatan terutama gizi, sehingga
masyarakat mempunyai pengetahuan dankemampuan untuk
menangani masalah kesehatan yang dihadapinya
i. Perlunya melakukan penelitian isolasi kandungan Eugenia Polyantha
j. Menguji khasiat hipoglikemianya untuk menurunkan kadar glukosa
darah
2. Terampil Gunakan Insulin Melalui INSPIRE
Insulin termasuk salah satu terapi kunci dalam penatalaksanaan
diabetes mellitus (DM). Akan tetapi, tidak semua dokter, baik dokter umum
maupun spesialis, menguasai teknik terapi insulin secara mahir. Oleh
karena itu, dibutuhkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan
memberikan terapi insulin.
Dalam mengelola diabetes, dibutuhkan kontrol gula darah, yang salah
satunya dapat dicapai melalui pemberian insulin. Akan tetapi, seiring
semakin majunya ilmu pengetahuan, modalitas terapi insulin juga
mengalami perkembangan.Para dokter harus menguasai metode terapi
insulin yang mampu memberikan hasil terbaik bagi pasien.
Diharapkan dengan adanya INSPIRE ini pengelolaan diabetes di
Indonesia, khususnya pemberian terapi insulin, menjadi semakin optimal
demi meningkatkan kualitas hidup pasien.
3. Terapi Hiperglikemia Intensif vs Konvensional di ICU
Hiperglikemia adalah hal yang sering terjadi pada pasien dengan
penyakit akut, termasuk mereka yang dirawat di ruang rawat intensif (ICU).
Hiperglikemia berat berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas, sehingga dipikirkan untuk mengontrol kadar glukosa darah

8
dengan ketat. Namun demikian, terdapat kontroversi dalam pengontrolan
kadar glukosa darah. Ada ahli yang menyarankan pengontrolan secara
ketat, tetapi ada pula yang lebih memilih cara konvensional.
Untuk memilih metode mana yang paling baik untuk diterapkan,
dilakukanlah suatu penelitian yang bernama (NICESUGAR). Sebanyak
6104 pasien ICU yang memiliki karakteristik dasar yang sama direkrut
untuk penelitian ini. Mereka dibagi menjadi dua kelompok.Pada kelompok
pertama (3054 orang) diterapkan metode intensif, sedangkan pada
kelompok kedua (3050 orang) diterapkan metode konvensional.Pada
metode intensif, glukosa darah dijaga ketat pada kisaran 81 sampai 108
mg/dL.Sementara itu pada metode konvensional, target glukosa darah yang
diinginkan hanya 180 mg/dL atau kurang.
Normoglycemia in Intensive Care Evaluation?Survival Using Glucose
Algorithm Regulation Terapi Hiperglikemia Intensif vs Konvensional di
ICU Setelah mengikuti para responden tersebut selama 90 hari, tercatat
bahwa kejadian hipoglikemia berat (kadar glukosa darah kurang atau sama
dengan 40 mg/dL) dialami oleh 6,8% responden dari kelompok pertama
dan hanya 0,5% dari kelompok kedua. Sementara itu, kematian dialami
oleh 27,5% pasien dari kelompok intensif, dibandingkan dengan 24,9% dari
kelompok konvensional. Perbedaan persentase sebanyak 2,6% tersebut
didapati bermakna. Kematian karena penyebab kardiovaskular juga lebih
banyak didapati pada kelompok satu daripada kelompok dua.Namun
demikian, tidak didapati adanya perbedaan lama perawatan antara dua
kelompok tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, studi NICE-SUGAR mengambil
kesimpulan bahwa terapi hiperglikemia konvensional, yaitu dengan
mempertahankan target glukosa darah kurang atau sama dengan 180 mg/dL
memiliki mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi
hiperglikemia intensif, yaitu dengan menjaga kadar glukosa darah antara 81
sampai 108 mg/dL.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan trend dan issue perawatan DM yaitu ada beberapa trend
atau perkembangan terapi dalam bidang farmakaologi dan penanggulangan
Diabetes Mellitus.

B. Saran
1. Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend
dan issue perawatan diabetes melitus diindonesia,sehingga dapat dikembangkan
dalam tatanan layanan keperawatan
2. Diharapkan bahwa perawat bisa menindaklanjuti trend dan issu tersebut melalui
kegiatan riset sebagai dasar untuk pengembangan Evidance Based Nursing
Practice dilingkungan rumah sakit dan lingkungan perawatan medikal bedah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Engkartini, 2015. Trend Prevalensi Penyakit Diabetes Melitus (Dm) Tipe 2 Di Rumah Sakit
Umum Daerah (Rsud) Cilacap Tahun 2009-2015. Email : engkar_06@yahoo.com.

11

You might also like