You are on page 1of 4

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terong ( Solanum melongena L. ) merupakan komoditas pertanian yang

dibutuhkan di Indonesia, hal ini disebabkan terong mempunyai kandungan gizi

cukup lengkap dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Biasanya digunakan

sebagai bahan makanan, bahan terapi, dan bahan kosmetik alami. Tanaman terong

banyak mengandung kalium dan vitamin A yang berguna bagi tubuh. Komposisi

kimia terong per 100 g yaitu air 92,70 g; abu (mineral) 0,60 g; besi 0,60 mg;

karbohidrat 5,70 g; lemak 0,20 g; serat 0,80 g; kalori 24,00 kal; fosfor 27,00 mg;

kalium 223,00 mg; kalsium 30,00 mg; protein 1,10 gram; natrium 4,00 mg;

vitamin B3 0,60 mg; vitamin B2 0,05 mg; vitamin B1 10,00 mg; vitamin A

130,00 SI; dan vitamin C 5,00 mg (Budiman, 2008).

Kebutuhan terong di Provinsi Riau setiap tahun semakin meningkat tetapi

produksi terong semakin menurun. Data yang diperoleh dari BPS Provinsi Riau

(2017), produksi terong di Riau mengalami penurunan, pada tahun 2014 produksi

14.883 ton dengan luas areal tanam 1.553 ha sedangkan pada tahun 2015 produksi

12.102 ton dengan luas areal tanam 1.321 ha. Penyebab rendahnya produksi

disebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil panen yang dapat dipasarkan,

sehingga perlu adanya usaha dalam peningkatan produksi baik dengan

penggunaan varietas unggul, teknik budidaya, serta pemupukan yang berimbang.

Pemupukan merupakan suatu tindakan pemberian unsur hara ke dalam

tanah untuk peningkatan kesuburan tanah. Sisa tanaman dan kotoran ternak yang

dikenal sebagai bahan organik dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan

kesuburan tanah (Sutanto, 2002). Bahan baku pupuk organik dapat berasal dari
2

sisa tanaman salah satunya adalah ampas sagu yang dimanfaatkan dalam bentuk

kompos.

Tanaman sagu (Metroxylon sp.) termasuk salah satu komoditi bahan

pangan yang banyak mengandung karbohidrat. Pengolahan sagu hanya

menghasilkan pati sekitar 16-28% dari bobot batang sagu yang termanfaatkan,

sisanya adalah berupa kulit dan ampas yang biasa disebut ela sagu (Syakir dkk,

2009). Menurut La Habi (2007), ela sagu segar mengandung 26% C-organik, 1%

N total, 1,03% P tersedia, 0,29% K, 3,84% Ca dan 0,05% Mg.

Ampas sagu merupakan limbah yang mengandung senyawa asam yang

tinggi dan berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Namun demikian, ampas

sagu juga mengandung unsur hara yang penting untuk tanaman tetapi masih dalam

jumlah yang sedikit. Pembuatan kompos ampas sagu adalah salah satu cara yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan unsur hara ampas sagu sehingga

dapat digunakan untuk tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian Syakir (2010) kandungan hara limbah sagu

terdiri dari N, P, K, Ca dan Mg, dan mengalami peningkatan setelah dikomposkan

jika dibandingkan kandungan awal limbah ampas sagu. Ampas sagu segar

memiliki ratio C/N yang tinggi (70%). Menurut Tampoebolon (2009) rasio C/N

ampas sagu adalah 409,23 yang tidak dapat langsung diberikan ke tanah, tetapi

perlu dikomposkan lebih dulu.

Proses pengomposan yang optimal bergantung pada aktivitas berbagai

jenis mikroorganisme dekomposer. Aktivator atau mikroorganisme

mempengaruhi proses pengomposan melalui dua cara, cara pertama yaitu dengan

menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif dalam menghancurkan bahan


3

organik (pada aktivator organik), kedua yaitu meningkatkan kadar N yang

merupakan makanan tambahan bagi mikroorganisme tersebut (Yanqoritha, 2013).

Berdasarkan laporan Nurmajdi (2002) bahwa pemanfaatan EM4 terbukti

mampu meningkatkan hasil bawang merah jika digunakan sebagai bioaktivator

dalam pengomposan pupuk kandang sapi dibandingkan bioaktivator lain seperti

Aspergillus, Trichoderma dan Azotobakter. Lalu Jasmaniar (2006) telah

membuktikan bahwa pemanfaatan kompos sampah kota dengan bioaktivator

Trichoderma mampu meningkatkan hasil jagung varietas Sukmaraga meningkat

hingga 7,2 ton/ha dari hanya 6 ton/ha dari perlakuan jenis kompos lainnya.

Hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia menghasilkan kompos

dengan rasio C/N yang mendekati rasio C/N tanah. Menurut Djuarnani et al.

(2005) proses pengomposan yang baik yaitu dengan rasio C/N antara 20 – 40,

namun rasio C/N yang ideal bagi kehidupan mikroorganisme dalam proses

pengomposan ialah sebesar 30. Kadar air atau kelembaban yang ideal untuk

proses pengomposan adalah sebesar 50 – 60%, dengan pH optimum antara 6 – 8.

Berdasarkan uraian diatas, penulis melakukan penelitian yang berjudul

“Pengaruh Pemberian Kompos Limbah Ampas Sagu dengan Beberapa

Aktivator Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Terong

(Solanum melongena L. )”

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk

kompos ampas sagu dengan aktivator yang berbeda serta kompos terbaik dalam

meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman terong.


4

1.3. Hipotesis

Kompos limbah ampas sagu dengan aktivator yang tepat dapat

menghasilkan kompos dengan rasio C/N, pH dan kandungan unsur hara yang

ideal sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman terong.

You might also like