You are on page 1of 14

EMERGENSI ONKOLOGI

I. Pendahuluan
Kanker sendiri dan terapinya dapat menyebabkan kondisi yang gawat. Pasien kanker
seringkali memiliki masalah medis yang rumit dalam mendiagnosis penyakit kanker,
seperti penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik atau diabetes mellitus.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan efek langsung dan tidak langsung dari
keganasan.

II. Definisi
Emergensi onkologi adalah suatu kondisi akut yang disebabkan oleh kanker ataupun
terapinya, dimana memerlukan intervensi yang cepatuntuk menghindari kematian atau
kerusakan permanen yang berat.

III. Klasifikasi
Kegawatdaruratan pada pasien kanker dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
yang berbeda, yaitu :
1. Kegawatdaruratan obstruksi atau struktural yang disebabkan adanya desakan
tumor.
2. Masalah hormonal atau metabolik.
3. Sekunder akibat komplikasi yang berasal dari efek – efek terapi.

1. Kegawatdaruratan onkologi obstruksi dan struktural


Pada kelompok ini penyebabnya antara lain : sindrom vena cava, kompresi
medula spinalis, peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi saluran kemih,
hemoptisis dan obstruksi jalan napas.

Sindrom Vena Cava Superior


Vena vena besar pada rongga toraks sangat mudah mengalami kompresi dan
obstruksi. Jika vena cava superior terbendung, maka seringkali terjadi efusi pleura,
edema pada muka, kepala, extremitas bagian atas, dan trakea. Pada bentuk yang lebih
berat lagi dapat terjadi edema otak, terjadinya pengisian atrium jantung ( gangguan
“preload”). Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari berat ringannya obstruksi
pada vena cava superior, dan juga ada tidaknya obstruksi pada organ organ vital
disekitarnya (trakea dll). Pada umumnya SVC (“Superior Vena Cava Syndrome”)

1
disebabkan karena keganasan pada rongga mediastinum. Angka pada literatur barat
dikatakan kurang lebih 75 % disebabkan oleh keganasan pada paru, sedangkan
sisanya disebabkan oleh karena limfoma, lesi jinak seperti TBC ataupun thrombosis
vena o.k CVP. Di Indoensia angka ini belum jelas.
Diagnosa. Edema dari muka, adanya kongesti vena vena di leher, lengan atas.
Jika SVC terjadi secara perlahan-lahan, seringkali diagnosa lebih sulit ditegakkan,
dan memerlukan pemeriksaan khusus seperti venografi, radioisotop. CT Scan dengan
bantuan kontras, biasanya dapat memastikan lokasi dari obstruksi, dan kira kira
penyebab obstruksi tersebut. Diagnosa histopatologi/ sitologi, didapatkan dari biopsi
lesi yang dicurigai atau metastasenya, sitologi sputum, bronkoskopi, FNA (untuk
limfoma, tumor paru). Bahkan kadang kadang tindakan yang lebih agresif seperti
torakotomi ataupun mediastinoscopi pun dilakukan. Seringkali tindakan untuk
memastikan diagnosa ditunda agar keadaan darurat penderita dapat diatasi terlebih
dahulu.
Terapi.Terapi sangat tergantung dari etiologi SVC. Dalam keadaan darurat,
(adanya obstruksi trakea), maka diagnosa etiologi ditangguhkan. Radioterapi dengan
dosis harian yang lebih tinggi merupakan terapi pilihan. (Biasanya diberikan 4.0 Gy
perhari), sampai mencapai 30 - 50 Gy. Pada keganasan sistemik, maka kemoterapi
merupakan pilihan yang lain. Pilihan kemoterapi sangat tergantung pada kecurigaan
terhadap data histopatologi / sitologi ataupun kecurigaan kita. Kombinasi radioterapi
dan khemoterapi merupakan pilihan yang diharapkan dengan cepat akan
mengecilkan masa tumor yang menyebabkan kompresi. Kortikosteroid dosis tinggi
merupakan obat yang hampir selalu diberikan, untuk mengurangi edema, dan reaksi
inflamasi sebagai akibat tumor nekrosis ataupun lisis setelah pengobatan. Pengobatan
untuk lesi benigna, seperti TBC statika, anti trombus diberikan sesuai etiologinya.
Prognosa. Pada keganasan, umumnya “dubious ad malam” oleh karena
adanya SVC menunjukan keadaan stadium yang telah lanjut.

Obstruksi Jalan Nafas


Obstruksi trakea seringkali terjadi sebagai akibat penekanan akibat keganasan
yang berasal dari luar trakea, dan sering juga terjadi akibat lesi yang benigna.
Sedangkan obstruksi dari bronkus lebih sering terjadi sebagai akibat keganasan dari
endo-bronchus (bronchogenic carcinoma) tersebut. Metastase pada trakea ataupun
bronkus adalah sangat jarang (kurang dari 2%). Obstruksi jalan napas dapat juga
terjadi oleh karena tracheomalacia, stenosis pasca radioterapi.
Diagnosa. Sulit untuk membedakan obstruksi tersebut pada trakea ataupun
bronkus. Biasanya gejala dan tanda yang sering muncul adalah :

2
- Dyspnea
- Orthopnea
- Batuk
- Suara nafas berbunyi
- Stridor
- Suara serak / berubah
- Hemoptisis
Foto toraks dan foto leher (tehnik jaringan lunak) dapat membantu diagnosa
obstruksi jalan napas, yaitu dengan melihat penyempitan trakea, tarikan terhadap
trakea, bronkus, atelektasis dll.
Terapi. Terapi darurat sangat diperlukan secepatnya untuk mencegah
kematian. Trakeostomi rendah dapat dilakukan pada cincin trakea bagian bawah,
sedikit diatas manubrium sterni. Dalam keadaan stenosis trakea yang cukup panjang,
sering kali diperlukan dilatasi dari stenosis, dan dipasang kanula trakeostomi yang
cukup panjang (mungkin tidak tersedia di Indonesia), ataupun dengan pemasangan
T-tube.

Kompresi Medula Spinalis


Kompresi medula spinalis hampir selalu merupakan kedaruratan onkologis,
terutama jika gejala kerusakan neurologis terjadi secara cepat, oleh karena jika telah
terjadi kelumpuhan atau paraplegia, maka harapan untuk pulih kembali menjadi
semakin kecil. Penekanan pada medulla spinalis sering terjadi pada metastase
karsinoma mamma, paru, prostat, mieloma multiple, limfoma. Seringkali metastase
tersebut terdapat pada epidural, ataupun pada corpus vertebrae, yang kemudian
tumbuh menekan pada medula spinalis, ataupun menimbulkan fraktur kompresi pada
vertebra, dan menekan medula spinalis.
Gejala Klinis Dan Diagnosa. Sering kali gejala dan tanda yang muncul,
bukan sebagai akibat langsung dari kompresi medulla spinalis, melainkan sebagai
akibat dari “para - neoplastic syndrome”.Gejala sebagai akibat langsung kompresi
biasanya a.l :
- Gejala awal yang muncul adalah rasa nyeri lokal pada daerah tumor /
metastase. Nyeri dirasakan semakin bertambah jika penderita batuk, bersin,
membungkuk dan sebagainya.
- Hal diatas diikuti dengan gangguan sensoris, seperti parestesia, anestesia,
dingin, dan sebagainya.
- Gangguan motorik.
- Jarang dijumpai gangguan fungsi vegetatif.

3
Diagnosa ditegakkan dengan :
- Pemeriksaan foto polos x-ray, untuk melihat proses osteolitik, atau
osteoblastik, fraktur kompresi.
- CT Scan
- Myelografi
- Pemeriksaan dengan bahan radioisotop.
- MRI, dikatakan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
- Pemeriksaan CSF tergantung ada tidaknya indikasi dan kontraindikasi.
Terapi. Terapi terhadap kompresi medula spinalis yang disebabkan oleh
metastase keganasan, sangat tergantung pada :
- Sensitivitas keganasan tersebut terhadap radioterapi.
- Tersedianya ahli untuk melakukan dekompresi bedah.
- Level dari kompresi tersebut.
- Cepat lambatnya gangguan neurologis terjadi.
- Pernah tidaknya menjalani kemoterapi, dan sensitif tidaknya terhadap
kemoterapi.

Sebagai dasar terapi yang dipilih adalah :


- Radioterapi. Meskipun hal ini bersifat paliatif. Adapun dasar pemilihan radioterapi,
adalah pada umumnya tumor telah bersifat sistemik. Dosis radiasi perhari adalah
harus cukup tinggi 3 - 4 Gy.
- Pembedahan dekompresi / laminektomi, biasanya dengan approach posterior,
mengingat kausa kompresi adalah kolapsnya corpus vertebrae yang terletak
didepan medulla spinalis. Sehingga pada laminektomi untuk dekompresi pada
bagian posterior vertebra, akan lebih mengurangi stabilitas vertebra yang terkena.
Pada kompresi didaerah servikal, maka dekompresi bedah cukup memegang
peranan penting untuk mencegah terjadinya paralisis pada otot otot pernafasan.
Pada keadaan dimana tumor primer tidak diketahui, maka laminektomi dan
pengambilan jaringan tumor, dapat bersifat paliatif dan sekaligus diagnostik.
- Kortikosteroid (dosis tinggi : dexamethasone 4-10 mg / 6 jam), dapat mengurangi
edema peritumoral dan memperbaiki fungsi neurologis.
- Kemoterapi. Terutama untuk keganasan yang telah diketahui sensitif terhadap
kemoterapi.
- Gabungan dari semua modalitas diatas. Dilakukan pada keganasan dengan
agresifitas yang tinggi, seperti “multiple myeloma”, “limfoma”, dsb.

4
Tamponade Jantung dan Effusi Pleura
Biasanya tamponade jantung lebih sering terjadi sebagai akibat invasi
langsung keganasan paru ataupun esophagus. Sedangkan metastase hematogen
biasanya berasal dari keganasan paru, payudara, limfoma, leukemia, melanoma
ataupun sarkoma. Lebih jarang lagi berasal dari keganasan G.I tract. Komplikasi
radiasi didaerah toraks, juga dapat menimbulkan tamponade jantung (“post-radiation
pericarditis”).
Efusi pleura juga merupakan kedaruratan yang sering muncul pada penderita
dengan keganasan (10%), dan harus mendapatkan perhatian yang serius. Pada wanita
efusi pleura sering dijumpai pada keganasan payudara, ovarium, uterus dan serviks.
Efusi pleura terjadi sebagai akibat meningkatnya permeabilitas kapiler, naiknya
tekanan hidrostatis, hipoalbuminemia, gangguan drainase limfe akibat obstruksi oleh
tumor, reaksi inflamasi akibat tumor dsb. Gejala dan tanda yang muncul tergantung
dari derajat efusi tersebut dan kausanya.
Gejala dan Tanda Klinis. Effusi Pleura : Sesak napas, batuk, nyeri toraks
merupakan gejala utama. Takipnea, ekspansi toraks yang terbatas, redup pada
perkusi, turunnya fremitus suara, deviasi trakea dll, merupakan tanda yang dapat
dijumpai. Effusi Percardium : Batuk, sesak napas, nyeri toraks, ortopnea, palpitasi,
anxietas / gelisah, pusing, fatique, Distensi vena jugular (eksterna), pembengkakan
gambaran jantung, suara jantung terdengar lemah dan jauh, aritmia, “pericardiac
friction rubs”.
Diagnosa. Effusi Pleura : Klinis, fisik diagnostik yang baik. Radiologi :
tumpulnya sinus phrenico-costalis (AP atau lateral foto), perselubungan hemitoraks,
atau bilateral, mediastinal shifting. Sitologi cairan pleura. Lab/ biokimia cairan
pleura : CEA dll. Torakosintesis : diagnostik dan terapeutik, biopsi pleura,
thorakoskopi, Thorakotomi diagnostik. Effusi Percardium : Klinis, fisik diagnostik
yang baik. Radiologi : perubahan “contour” dari jantung, “water – bottle heart”. C.T
scan, ekokardiografi, EKG, Pericardiosentesis : Sitologis, terapeutik.
Terapi. Pada prinsipnya bersifat paliatif, dengan prognosa rata- rata buruk.
 Effusi Pleura.
- Skleroterapi : “tetracyclin intrapleural”.
Dosis : Tetracyclin 1 gram ( bisa lebih). Quinacrine.
Lidokaine 150 mg, Premedikasi : narcotik. Obat obat lain :
Bleomycin, Nitrogen mustard, Thiotepa, 5FU, Talc, radiasi,
BCG dan corynebacterium parvum.
- Radioterapi eksternal : terutama untuk limfoma.

5
- Pembedahan : pleurektomi, pleuro-peritoneal shunting
(Denver shunt).

 Effusi Pericardium.
- Drainase dengan kateter.
- Penyuntikan obat kedalam rongga pericard : nitrogen
mustard, thio tepa, quinacrine.Radioterapi : terutama
untuk lymphoma.
- Pembedahan : pemasangan kateter intra perikard, sampai
terjadi simpisis antara perikardium dan epikardium.
- Prognosa buruk.
-
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Kedaruratan yang muncul pada metastase serebral diakibatkan oleh kenaikan
tekanan intrakranial, herniasi otak ataupun perdarahan otak. Sedangkan meningitis
karsinomatosa, tampaknya akan lebih sering diketemukan, oleh karena makin banyak
“survivor” pasien dengan limfoma, ataupun leukemia, dengan kemajuan kemoterapi.
Karena kemoterapi pada umumnya tidak dapat menembus “blood brain barrier”,
maka tumor primer diluar CNS seringkali dapat terkontrol dengan baik.
Diagnosa Klinis. Metastase serebral :
- Terutama sebagai akibat tekanan intrakranial yang meningkat, adanya
penekanan pada lokasi tertentu, dan adanya edema otak.
- Gejala yang sering muncul yaitu menurunnya status mental, vomitus, nausea,
dan headache.
- C.T scan, MRI.
- Mielografi, jika ada tanda tanda kompresi spinal.
- FNA baik intraoperatif maupun melalui “burr hole”, untuk diagnosa pasti.
Meningitis karsinomatosa :
- Gejala yang muncul berupa kelainan neurologis yang tidak mengarah pada
satu lokasi / area.
- Headache, vomitus, nausea, perubahan status mental, lethargi, hilangnya
memori.
- Pemeriksaan CSF terutama untuk sitologis.
- CT scan / MRI
- Mielografi jika ada tanda tanda kompresi spinal.

6
Terapi. Metastasis otak. Kortikosteroid dosis tinggi. (deksamethasone 10 mg
tiap 6 jam perhari), yang diteruskan selama terapi radiasi dijalankan. Hal ini untuk
mencegah terjadinya edema otak sekunder sebagai akibat radiasi. Radioterapi.
“Gamma knive” jika lesi kecil. Pembedahan ini penting jika kemungkinan metastase
masih diragukan (tidak ada tumor primer, ataupun tidak ada riwayat pernah
menderita tumor ganas). Pembedahan juga penting dieprtimbangkan pada keadaan
dimana tumor primer dapat terkontrol dengan baik, dan tidak menunjukan adanya
diseminasi sistemik ditempat lain.
Terapi pada meningitis karsinomatosa. Pemberian “intrathecal
chemotherapy” sendiri atau dikombinasi radioterapi dilokasi tumor sesuai dengan
defisit neurologis. Adapun obat obat yang digunakan a.l : methotrexate, thiotepa,
cytosine arabinose. Tergantung dari jenis keganasan yang menjadi etiologi (lmfoma,
leukemia ). Injeksi intraventrikuler dapat pula dipertimbangan, terutama untuk
mencapai dosis terapeutik dilokasi ini. Radiasi “whole brain and brain stem” dengan
dosis 30 Gy, dalam waktu 2 minggu, jika lokasi defisit neurologis tidak jelas.

Uropati Obstruksi
Biasanya berhubungan dengan keganasan dari rongga abdomen,
retroperitoneal, dan pelvis. Gejala dan tanda tanda yang muncul tergantung dari
tempat obstruksi. Obstruksi pada “bladder neck” biasanya disebabkan oleh
keganasan prostat (laki laki), Ca cervix (wanita). Obstruksi pada ureter biasanya
disebabkan oleh keganasan yang terletak intra abdominal atau paraaortal, seperti
misalnya sarkoma, limfoma, metastase keganasan pada kelenjar getah bening para -
aorta. “Obstructive uropathy” pada umumnya disebabkan oleh proses keganasan itu
sendiri, meskipun perlu juga dipertimbangkan sebagai akibat keadaan benigna,
ataupun komplikasi terapi terhadap keganasan. Seperti misalnya striktura urethra
akibat pembedahan atau radioterapi, abses, hematoma pada pelvis. Pada keadaan
keganasan tertentu, sering terjadi “acute nephropathy” sebagai akibat batu asam urat
yang tertimbun pada tubulus ginjal, misalnya pada myeloproliferative disorder,
lymphoma.
Gejala klinis dan diagnosis. Timbulnya retensi urine, nyeri pada pinggang
(‘flank pain”), hematuria, ataupun infeksi saluran kemih berulang, merupakan tanda
tanda adanya obstruksi saluran kemih. Seringkali obstruksi ini tidak terdiagnosa,
sampai terjadinya kegagalan fungsi ginjal. Terjadinya gangguan pada proses
pengosongan kandung kemih akan menimbulkan gejala “hesitancy”, “urgency”,
“nocturia”, “frequency” dan lemahnya pancaran miksi. Adanya gejala oliguria
berganti - ganti dengan poliuria, menunjukan adanya obtruksi partial dari ginjal.

7
Pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pembesaran prostat, retensi kandung kemih,
terabanya ginjal. Menurunnya tonus sphincter anus, dan refleks bulbocavernosus
menunjukan kemungkinan suatu “neurogenic bladder” o.k metastase.
Pada prinsipnya kausa dan lokasi obstruksi harus dapat didiagnosa.
- Lab : BUN, S creatinin, elektrolit darah, calcium, asam urat, DL, UL
- USG dari ginjal
- I.V.P
- CT. Scan
- Scintigrafi ginjal
- “Percutaneous antegrade pyelografi” untuk kepentingan diagnostik dan juga
terapeutik
- Endoskopi dan “retrograde pyelography” jika diperlukan.
Terapi. Terapi terhadap keganasan primer. Retensi urine dapat diatasi dengan
kateterisasi, sistostomi suprapubis. Jika obstruksi terletak pada ureter dan terjadi
hidronefrosis, dan pertimbangan tumor dapat dikontrol dengan modalitas terapi yang
ada, maka perlu dipertimbangkan nephrostomi. Radioterapi ataupun kemoterapi
terhadap kausa / keganasan yang menekan. dengan mempertimbangkan dosis obat
terhadap fungsi ginjal dsb. Koreksi terhadap kelainan elektrolit dan kimia darah.

Hemoptisis Masif
Didefinisikan sebagai ekspetoran atau dahak dengan volume yang bervariasi
dari satu episode keluar 100 cc hingga > 600 cc darah dalam 24 – 48 jam
Gejala klinis. Pendarahan pada saluran nafas dapat menyebabkan
kegawatdaruratan berupa obstruksi jalan napas, aspirasi, anemia atau syok
hipovoemia juga dipertimbangkan akibat hemoptisis masif.
Metastasis endobronkial yang berasal dari tumor carcinoid, kanker payudara,
kolon atau ginjal, melanoma dan sarkoma juga menyebabkan hemoptisis. Adapun
kondisi yang bukan disebabkan keganasan, yaitu infeksi jamur, trombositopenia
ataupun gangguan koagulasi lainnya.
Saluran nafas harus dilindungi dengan intubasi dan direkomendasikan pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil, dyspnea berat atau hipoksia. Pemberian
oksigan, cairan, penahan batuk dan koreksi gangguan pembekuan darah. Penggunaan
laser fototerapi neodymium – yttrium – garnet digunakan sebagai terapi laiatif dan
kratif pada pasien dengan tumor endobronkial. Embolisasi arteri bronkhial dapat
mengurangi rembesan darah sebelum dilakukan pembedahan , namun seringkali
terjadi pendarahan berulang. Radioterapi dapat menghentikan pendarahan dengan
cara meyebabkan nekrosis dan trombosis pembuluh darah penyebab.

8
2. Kegawatdaruratan Metabolik
Kedaruratan onkologis merupakan kedaruratan yang “under reportation”. Oleh
karena seringkali tidak memberikan gejala ataupun tanda yang jelas, kecuali
dilakukan “assesment” secara baik.
Adapun kedaruratan metabolik yang akan sering dijumpai adalah a.l :

Hiperkalsemia.

Terjadi jika mobilisasi Ca dari tulang melampaui kemampuan ekskresi Ca


oleh ginjal. Dan keganasan merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan
terjadinya hiperkalsemia. Keganasan yang sering menimbulkan hiperkalsemia adalah
keganasan payudara, paru, hipernefroma, multiple mieloma, SCC leher kepala,
esophagus dan tiroid. Sebaliknya keganasan glandula paratiroid seringkali
menimbulkan hiperkalsemia, akan tetapi sangat jarang dijumpai. 80% dari
hiperkalsemia o.k keganasan akan didapatkan adanya metastase pada tulang, akan
tetapi luas kerusakan tulang tersebut paralel dengan tinggi rendahnya kadar kalsium
dalam darah. Kenaikan kalsium dalam darah menunjukan progresi keganasan, dan
seringkali merupakan indikator adanya prognose yang buruk. 20% dari
hiperkalsemia tidak menunjukan adanya metastase tulang, dan pada keadaan ini
peneliti mencurigai adanya substansi hormonal seperti “parathyroid – hormone like
susbtances” ataupun “osteolytic prostaglandins” yang disekresikan oleh sel sel tumor
yang akan menimbulkan mobilisasi Ca. Pada multiple myeloma, hiperkalsemia
terjadi oleh karena adanya produk “osteoclast activating factors (OAF)” oleh sel
plasma abnormal, dan bukan akibat efek langsung dari sel tumor terhadap tulang.
Adanya metastase tulang ataupun efek indirek dari substansi hormonal ektopik akan
menstimuli aktifitas dan proliferasi osteoklas. SCC dari leher kepala ataupun
esophagus seringkali menyebabkan gejala gejala seperti hiper-paratiroidisme, oleh
karena produksi “parathormon” ataupun substansi “parathyrotropic”.
Biasanya berhubungan dengan hiperkalsemia, maka akan terjadi pula
“hipofosfatemia”, kenaikan “cyclic AMP” dan kenaikan “bone alkali phosphatase”.
Gejala klinis dan diagnosis. Hiperkalsemia memberikan keluhan : rasa lelah,
anorexia, nausea, poliuria, polidipsia dan konstipasi. Secara neurologis hiperkalsemia
memberikan tanda kelemahan otot, lethargy, apathy, dan hiporefleksi. Tanpa terapi
gejala gejala ini akan semakin berat, dan akan timbul perubahan status mental,
psikosis, kejang – kejang, koma dan akhirnya meninggal dunia. Pasien dengan
hiperkalsemia yang lama, akan terjadi kerusakan tubulus ginjal yang permanen
berupa “renal tubular acidosis”, glukosuria, aminoasiduria, dan hiperfosfaturia.

9
Kematian tiba tiba dapat terjadi sebagai akibat aritmia cordis, jika terjadi kenaikan
akut dari Ca. EKG sering menunjukan adanya perubahan “pemendekan interval QT,
pelebaran gelombang T, bradikardia, dan memanjangnya PR.
Terapi. Seringkali dijumpai keadaan dehidrasi pada pasien dengan
hiperkalsemia.
- Pada keadaan hiperkalsemia yang ringan, maka terapi cukup diberikan
rehidrasi saja. Dan jika terdapat modalitas terapi anti tumor yang efektif,
maka pemberian terapi anti tumor akan menurunkan Ca darah secara
otomatis.
- Ca serum harus dikoreksi, sampai pengobatan anti tumor yang efektif dapat
dimulai. Mobilisasi pasien untuk mencegah osteolisis, konstipasi harus
diobati.
- Rehidrasi dengan NaCl fisiologis akan meningkatkan ekskresi Ca. Rehidrasi
dapat diberikan dengan cepat (250 – 300 ml / jam) dan diberikan furosemid
I.V untuk mencegah reabsorbsi Ca.
- Pada “multiple myeloma”, “lymphoma”, “leukemia, dan “carcinoma mamma
pemberian kortikosteroid untuk menghambat reabsorbsi tulang dan kerja
OAF, dilaporkan cukup efektif. Dosis yang diperlukan cukup besar, yaitu
antara 40 – 100 mg prednisolon / hari.
- Pemakaian obat obat yang akan meningkatkan ca darah harus dihindari.
(diuretik thiazide, vit A dan vit D).
- Obat khusus untuk hipercalcemia adalah “mithracin (plicamycin)”. Suatu
agen kemoterapi yang dapat bekerja efektif mencegah reabsorbsi tulang
dengan menurunkan jumlah dan aktifitas dari osteoklas.
- Calcitonin juga bekerja menghambat reabsorbsi tulang, dan akan
menurunkan kadar Ca beberapa jam setelah pemberian. Pemakaian
calcitonin seringkali harus dikombinasi dengan glucorticoid untuk mencegah
terjadinya “tachyphylaxis”.
- Pemberian “diphosphonat” pada hipercalcemia oleh karena karsinoma
mamma atau “multiple nyeloma” cukup memberikan hasil, meskipun
pemberian I.V dari diphosphonat dilaporkan memberikan komplikasi
hipotensi, hipocalcemia, gagal ginjal dan kematian. Demikian juga
pemberian phosphat I.V tidak dianjurkan oleh karena tingginya komplikasi
yang terjadi.

10
Uric Acid Nephropathy
Nephropathy o.k asam urat sering terjadi pada keganasan yang mempunyai
“turn over cell” yang tinggi. Hal ini sering terjadi pada keadaan dimana terapi
sitotoksik diberikan dan terjadi kematian sel-sel tumor secara masif (“tumor lysis
syndrome”). Sel-sel tumor yang mati ini akan menimbulkan hiperuricemia dan
penumpukan kristal asam urat pada traktus urinarius. Tipe keganasan yang
menimbulkan kedaruratan ini antara lain : limfoma (Burkitt lymphoma), leukemia
dan “myeloproliferative disorder”. Lysis dari tumor yang menimbulkan “tumor lysis
syndrome” juga dapat terjadi pada pengobatan dengan radiasi.
Gejala klinis. Sebagai gejala dan tanda-tanda yang sering terlihat adalah
uremia, seperti a.l nausea, vomitus, lethargy, dan oliguria. Pengobatan yang dini
akan memberikan hasil kembalinya fungsi ginjal. Kadang-kadang sulit dibedakan
antara nephropathy akibat hiperuricemia, ataupun gagal ginjal oleh kausa lain dengan
sekunder hiperuricemia. Pemeriksaan asam urat darah pada keadaan akut seringkali
mencapai rata rata 20,1 mg/dL (berkisar antara 9.2 – 92 mg/dL). Jika terjadi “nyeri
pinggang” dan hematuria, maka perlu dilakukan USG untuk melihat obstruksi ureter.
IVP sebaiknya dihindarkan untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada
“tumor lysis syndrome” sering juga terjadi hiperphophatemia dan hipocalcemia.
Pemeriksaan lab yang diperlukan antara lain BUN, Serum Kreatinin, Ca, phosphor,
dan asam urat.
Terapi. Objektif dari pengobatan adalah pencegahan. Pasien dengan resiko
tinggi dilakukan terapi pencegahan a.l hidrasi yang cukup, allopurinol, dan
alkalinisasi urine.

Inappropriate secretion of antidiuretic hormone


The Innapropriate secretion of the antidiuretic hormone ( SIADH ) harus
dipikirkan apabila terdapat hiponatremia. SIADH disebabkan oleh karena produksi
arginin vasopressin (AVP) oleh sel – sel tumor. Hiponatremiaberkaitan dengan
hiperosmolaritas plasma dan osmolaritas urin yang meningkat,bersamaan dengan
ekskresi sodium yang tinggi sodium urin tanpa penurunan volume plasma. SIADH
dapat disebabkan oleh obat – obat seperti anti depresi , ACE – inhibitor dan agen –
agen antineoplasma seperti cyclophospamide, vincristin, melphalan, cisplatin atau
vinorelbine, pembedahan, penyakit paru jinak, dan tumor yang paling sering
berkaitan dengan penyakit ini adalah kanker small – cell.
Gejala klinis. Meskipun seringkali asimptomatik, adanya manifestasi klinis
seringkali berkaitan dengan beratnya hiponatremia. Perubahan aal termasuk
anoreksia, depresi, iritabilitas, letargi, kram otot, lemah dan perubahan tingkah laku.

11
Namun apabila kadar sodium plasma turun di bawah 110 mEq/l terjadi depresi
refleks tendon dalam, pseudobulbar palsy, kejang dan koma dapat terjadi.
Terapi. Apabila SIADH disebabkan oleh tumor maka terapi harus
berdasarkan keganasan yang terjadi. Pada kasus kanker small - cell paru, kemoterapi
harus dimulai sesegera mungkin untuk mengontrol situasi, atau pada tumor yang
resisten terhadap kemoterapi, restriksi air dan pemberian demeclocyline harus
dipertimbangkan.

3. Kegawatdaruratan pada Terapi

Sindrom Lisis Tumor


Merupakan komplikasi yang amat serius dari pengobatan kanker dengan
kemoterapi, radiasi, terapi hormonal serta cryotherapy yang memerlukan perawatan
multidisiplin di ruang ICU untuk mencegah terjadinya gagal ginjal dan kematian.
TLS dapat timbul spontan pada penderita dengan limfoma dan lekemia. Umumnya
penderita dengan massa tumor yang bulky dan besar serta sensitif terhadap
kemoterapi atau radiasi mudah terkena TLS. Sindroma ini dipicu oleh “turn over
cell” yang cepat dan peningkatan dari materi intraseluler ke dalam aliran darah, yang
melampaui kemampuan ekskresi ginjal sehingga terjadi peningkatan kadar elektrolit
yang membahayakan penderita. TLS dapat terjadi setelah pengobatan Limfoma
(Burkitt’s Lymphoma, Non Hodgkin Lymphma), Acute Lymphoblastic Leukemia,
Acute Nonlymphoblastic leukemia, atau Chronic Myelogenous Leukemia fase blast
crisis, Kanker paru small cell, metastasis kanker payudara dan metastasis
meduloblastoma
Gejala klinis yaitu hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia , dan
hipokalsemia
Pencegahan yaitu dengan rehidrasi, membuat ph urine menjadi alkali selama
1-2 hari pertama pengobatan, pemberian alupurinol, pada tumor-tumor yang besar
sudah dapat diberikan sebelum kemoterapi dimulai
Terapi :
- Monitor EKG pada keadaan hiperkalemia atau hipokalsemia
- Pada hiperkalemia diberikan insulin dan glukosa, loop diuretika dan sodium
bikarbonat, calcium, oral atau rectal kayexalate setiap 6 jam.
- Bila kondisi memburuk atau hiperkalemia tak teratasi dipertimbangkan untuk
hemodialisis.

Reaksi anafilaktik karena agen kemoterapi

12
Reaksi anafilaktik yang berhubungan dengan agen kemoterapi kadangkala
menyebabkan kegawatdaruratan medis. Manifestasi klinis yang penting adalah
angioedema dan urtikaria.
Gejala klinis. Nyeri perut, dada terasa sesak, obstruksi saluran nafas atas,
bronkospasme dan hipotensi.
Terapi. Tiga masalah yang butuh ditangani pada reaksi anafilaktik adalah
pengenalan secara dini, mempertahankan jalan nafas dan support hemodinamik.
Menghentikan obat kemoterapi sebagai penyebab reaksi alergi. Obat penyebab
paling sering terhadap alergi adalah golongan taxane ( paclitaxel dan doxetaxel
)sebelumnya dapat diberikan kortikosteroid dan antihistamin pada infus pada
waktu jam 1, 3 atau 24 jam. Apabila reaksi alergi minor maka infus carboplatin
dapat diteruskan, dan dapat diberikan injeksi dipenhydramin 50 mg IV, apabila
masih terdapat reaksi ketika pasien pulang ke rumah maka dianjurkan untuk
minum diphenhydramin oral 25 – 50 mg tiap 4 sampai 6 jam ).

Sistitis hemoragik
Sistitis hemoragik dapat terjadi pada pasien yang menerima ifosfamide atau
cyclophospamide. Keduanya merupakan agen alkylating yang dimetabolisme oleh
acrolein, sebuah bahan kimia dengan iritasi yang kuat yang diekskresikan ke urin.
Gejala klinis. Dysuria, rasa terbakar, frekuensi, gross hematuria, urgensi dn
inkontinensia.
Terapi. Pemberian hidrasi cairan intravena maupun oral meningkatkan aliran
urin dan mengurangi kontak acrolein dengan mukosa kandung kemih. Mesna juga
diberikan dengan fosfamide atau dengan cyclophospamide dosis tinggi untuk
mendetoksifikasi akrolein dan metabolitnya di urin dan sangat penting untuk
mencegah sistitis hemoragik. Namun apabila terapi ini gagal maka dapat
dilakukan irigasi dengan larutan formalin selama 10 menit dapat menghentikan
pendarahan. Pada kasus yang ekstrim dimana pendarahan tidak berhenti, ligasi
pembedahan atau embilisasi arteri hipogastrika, kadangkala sistektomi diperlukan.

IV. Kesimpulan
Dalam beberapa dekade terakhir, prognosis kanker kanker membaik dan
beberapa berhasil disembuhkan. Perlunya untuk mengenali dan mengobati
komplikasi pasien kanker yang gawat dan darurat, baik karena kanker, metabolisk
kanker atau hormonal maupun efek dari terapi kanker. Perhatian harus tertuju
kepada support organ vital atau kualitas hidup jangka panjang dari pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Cervantes A., Chirivella. Oncological Emergencies. Annals of Oncology 15 (


supplement 4) : iv299 –iv306, 2004.
2. Stolinsky DC . Emergencies in Oncology : current management. West J Med
129:169 -176, Sep 1978.
3. Lewis MA; Hendrickson AW; Moynihan TJ. Oncologic Emergencies :
Pathophysiology, Presentation, Diagnosis, and Treatment. 2011. American Cancer
Society.
4. Quint LE. Thoracic Coplication and Emergencies in Oncologic Patients. Cancer
Imaging (2009) 9, S75 – S82.
5. Kar M. Oncological Emergencies. Journal of Indian Academy of Clinical Medicine
Vol 5, No 1

14

You might also like