Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebudayaan papua dilihat dari segi letak, pemerintahan, iklim,
topografi,sosial budaya, bahasa dan agamanya.
2. Untuk mengetahui kebudayaan papua dilihat dari alat musik, tarian tradisional, pakaian adat dan
rumah adatnya.
3. Mengetahui dampak berbagai kebudayaan di Papua terhadap kesehatan masyarakat setempat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebudayaan papua dilihat dari segi letak, pemerintahan,iklim, topografi,sosial budaya,
bahasa dan agamanya.
Letak
Papua ialah sebuah daerah di Indonesia yang terletak di bahagian barat kepulauan New
Guinea dan pulau-pulau di sekitarnya.Papua kadangkala dipanggil sebagai Papua Barat kerana
Papua boleh dirujuk kepada seluruh kepulauan New Guinea atau bahagian selatan negara
jirannya, Papua New Guinea. Papua Barat ialah sebutan yang lebih disukai oleh para nasionalis
yang ingin memisahkan Papua daripada Indonesia dan membentuk negara sendiri. Daerah
(Provinsi) ini dahulu dikenali dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973,
namanya kemudian ditukarkan menjadi Irian Jaya oleh Suharto, nama yang tetap digunakan
secara rasmi hingga tahun 2002. Nama daerah (provinsi) ini diganti menjadi Papua sesuai dengan
UU No 21/2001 Autonomi Khusus Papua. Pada masa era penjajahannya, wilayah ini
disebut New Guinea Belanda (Dutch New Guinea).
Papua merupakan daerah (provinsi) yang terletak di wilayah paling timur negara
Republik Indonesia dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak
dijamah oleh manusia dan Papua kaya dengan sumber alam yang menjanjikan peluang untuk
berniaga dan berkembang. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut dan berbagai biotanya
dan berjuta-juta tanahnya yang sesuai untuk pertanian. Dalam perut buminya juga menyimpan
gas asli, minyak dan berbagai bahan galian yang hanya menunggu untuk dikelola.
Pemerintahan
Daerah (Provinsi) Papua beribu kota di Jayapura dan terdiri dari : 9 Pemerintahan
Kabupaten iaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak
Numfor, Yapen Waropen dan Nabire. Dua Pemerintahan Kota iaitu Kota Jayapura dan Kota
Sorong, tiga Pemerintahan Kabupaten Administratif iaitu Puncak Jaya, Paniai dan Mimika.
Jumlah Kecamatan di Papua adalah 173 kecamatan yang mencakupi 2.712 desa dan 91
kelurahan.
Geografi
Papua terletak pada kedudukan 0° 19' - 10° 45' LS dan 130° 45' - 141° 48' BT,
menempati setengah bagian barat dari Papua yang merupakan pulau terbesar kedua
selepas Greenland. Secara fizikal, Papua merupakan daerah (provinsi) terbesar di Indonesia,
dengan luas daratan 21,9% dari jumlah kesuluruhan tanah seluruh Indonesia iaitu 421,981 km²,
membujur dari barat ke timur (Sorong - Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 batu) dan dari utara
ke selatan (Jayapura- Merauke) sepanjang 736 km (456 batu). Selain daripada tanah yang luas,
Papua juga memiliki banyak pulau sepanjang pesisirannya. Di pesisiran utara terdapat Pulau
Biak, Numfor, Yapen dan Mapia. Pada bahagian barat ialah Pulau Salawati, Batanta, Gag,
Waigeo dan Yefman. Pada pesisiran Selatan terdapat pula Pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak
dan Panjang, sedangkan di bahagian timur bersempadan dengan Papua.
Iklim
Papua terletak tepat di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun kerana daerahnya yang
bergunung-gunung maka iklim di Papua sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Di
daerah pesisiran barat dan utara beriklim tropika lembap dengan tadahan hujan rata-rata
berjumlah diantara 1.500 - 7.500 mm pertahun. Tadahan hujan tertinggi terjadi di pesisir pantai
utara dan di pegunungan tengah, sedangkan tadahan hujan terendah terjadi di pesisir pantai
selatan. Suhu udara bervariasi sejajar dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan
ketinggian 100 m ( 900 kaki ), secara rata-rata suhu akan menurun 0.6 °C.
Topografi
Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran
tinggi yang dipenuhi dengan hutan hujan tropika, padang rumput dan lembah. Pada bahagian
tengah pula terdapat rangkaian pergunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bahagian
daripada pegunungan tersebut adalah pergunungan Jayawijaya yang terkenal kerana di sana
terdapat tiga puncak tertinggi yang walaupun terletak dalam garisan khatulistiwa namun selalu
diselimuti oleh salji di puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030 m (15.090 kaki), puncak
Trikora 5,160 m (15,480 kaki) dan puncak Yamin 5,100 m (15.300 kaki). Sungai-sungai besar
beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Sungai Digul yang bermula dari
pedalaman kabupaten Merauke mengalir ke Laut Arafura. Sungai Warenai, Wagona dan
Mamberamo yang melewati Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Jayapura bermuara di Samudera
Pasifik. Sungai-sungai tersebut mempunyai peranan penting bagi masyarakat sepanjang
alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan harian, sebagai nelayan mahupun sebagai
sarana penghubung ke daerah luar. Selain itu terdapat pula beberapa danau, diantaranya yang
terkenal adalah Danau Sentani di Jayapura, Danau Yamur, Danau Tigi dan Danau Paniai di
Kabupaten Nabire dan Paniai.
Sosial Budaya
Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik
dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeza. Dengan mengacu pada perbezaan topografi
dan adat istiadatnya maka secara amnya, penduduk Papua dapat di bezakan menjadi 3 kelompok
besar iaitu:
Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah
panggung), mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan.
Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, danau dan lembah serta kaki
gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil
hutan.
Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana.
Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah
atau patrilinea.
Bahasa
Di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang
ada. Aneka bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok
etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara rasmi
oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman.
Agama
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat
di Papua dan dalam hal ketuhanan, Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Majoriti
penduduk Papua beragama Kristian, namun demikian, seiring dengan perkembangan kemudahan
pengangkutan dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga
semakin berkembang. Banyak orang asing maupun rakyat Indonesia sendiri yang melakukan
misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka berperanan penting dalam
membantu masyarakat melalui sekolah-sekolah mubaligh, bantuan perobatan mahupun secara
langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar Bahasa Indonesia
dan pengetahuan-pengetahuan amal yang lain - lainnya. Mubaligh juga merupakan pelopor
dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum dibina oleh
penerbangan biasa.
2.2. Kebudayaan papua dilihat dari alat musik, tarian tradisional, pakaian adat dan rumah
adatnya
Preleukoplakia
Preleukoplakia adalah suatu lesi yang dapat dijumpai pada masyarakat yang mempunyai
kebiasaan menyirih di mana gambaran klinisnya yang spesifik berupa lesi berwarna abu-abu
ataupun putih keabu-abuan tetapi bukan merupakan lesi putih dan disertai pola lobular yang
sedikit di mana pola tersebut memiliki batasan yang tidak jelas dan dikarakteristikkan sebagai
reaksi tingkat rendah atau sedang dari suatu lesi.
Leukoplakia
Leukoplakia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya bercak
putih yang tidak normal dan tidak dapat dihapus dan terdapat pada membran mukosa. Untuk
menentukan diagnosa yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti, baik secara klinis
maupun histopatologi.
Lesi ini biasanya terdapat di mukosa bukal baik unilateral ataupun bilateral. Biasanya
menunjukkan lesi putih berwarna putih keabuan yang tidak dapat dibersihkan. Secara klinis
permukaan mukosa kasar dan adanya tekstur seperti Linen dan secara patologis terlihat epitel
mengalami parakeratinisasi.
Lesi mukosa penyirih harus dapat dibedakan dengan lesi akibat kebiasaan mengigit, di
mana kedua lesi ini mirip baik secara klinis maupun histologi. Sebagai contoh, lesi akibat
kebiasaan mengigit adalah kebiasaan yang tidak disengaja. Sedangkan lesi mukosa penyirih
adalah lesi yang disengaja.
Meluasnya kasus HIV/AIDS di Papua sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual
masyarakatnya yang sering melakukan seks bebas dan berganti-ganti pasangan seks. Perilaku
tersebut tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu masing-masing tetapi juga berkaitan
dengan adat-istiadat dan budaya yang telah lama berkembang.
Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2006, sebagian besar masyarakat Papua
telah mengetahui bahwa salah satu penyebab penularan HIV adalah hubungan seksual dengan
berganti-ganti pasangan. Ada 46,4 persen penduduk yang tahu bahwa dengan berganti-ganti
pasangan akan mudah tertular HIV.
Namun permasalahannya adalah meskipun sebagian besar masyarakatnya telah
mengetahui hal tersebut, mereka tetap melakukannya. Bahkan sebagian besar pelakunya adalah
para remaja baik di daerah terpencil maupun perkotaan. Mereka berdalih bahwa hal tersebut
merupakan sesuatu yang wajar dan telah menjadi budaya sejak lama. Padahal sebagaimana telah
dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa penyebab terbesar terjadinya penyebaran HIV/AIDS
adalah melalui kontak seksual baik melalui anal maupun oral.
Menurut H.L. Bloom, salah satu faktor penentu status kesehatan seseorang selain
tersedianya pelayanan kesehatan dan keturunan (genetika) adalah faktor perilaku individu
maupun masyarakat dan faktor lingkungan termasuk didalamnya lingkungan fisik (alam)
maupun lingkungan social (adat-istiadat, budaya, kebiasaan, dan sebagainya).
Dari kasus HIV/AIDS yang terjadi di Papua terdapat kecenderungan bahwa faktor
perilaku dan social-budaya merupakan faktor utama terjadinya penyebaran penyakit tersebut.
Namun demikian, perilaku seks bebas tersebut tidak serta merta berdiri sendiri tanpa adanya
factor lain yang mendukung pola perilaku tersebut. Bila dipelajari lebih lanjut pola perilaku seks
bebas tersebut diawali dengan adanya budaya dan adat-istiadat yang mendorong terjadinya pola
perilaku seperti itu.
Budaya seks bebas yang dilakukan setiap diadakannya pesta adat membentuk pola
perilaku seks bebas sebagai suatu hal yang wajar di dalam masyarakat Papua. Sudah merupakan
hal yang lazim bagi mereka untuk melakukan seks bebas, bahkan ada suatu budaya dimana
setiap perempuan Papua yang akan menikah harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan 10
orang laki-laki yang berasal dari keluarga mempelai laki-lakinya dengan tujuan untuk
meningkatkan kesuburan. Padahal perilaku seks dengan berganti-ganti pasangan seperti itu dan
tanpa menggunakan kondom dapat meningkatkan resiko penyebaran HIV/AIDS dibandingkan
dengan melakukan seks dengan pasangan tetap.
Virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh melalui cairan yang dihasilkan oleh alat
kelamin dan masuk melalui luka yang terjadi saat melakukan hubungan seks tanpa pengaman
baik yang dilakukan bersama pasangan tetap maupun dengan berganti-ganti pasangan. Kemudian
virus tersebut akan merusak sistem kekebalan tubuh penderitanya dengan masa inkubasi selama
selama 1-3 bulan. Virus tersebut akan menular ke orang lain ketika berhubungan seks tanpa
pengaman dengan si penderita. Lalu virus tersebut akan semakin berkembang menjadi AIDS
setelah 10 tahun dan akan menyebabkan kematian bagi penderitanya.
Demikianlah faktor-faktor dan penyebab tingginya penyebaran HIV/AIDS di Papua.
Penting diketahui bahwa munculnya suatu perilaku tidak selalu karena terbentuk begitu saja,
lebih dari itu ada faktor lain berupa kebudayaan, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik yang
dapat menjadi faktor pendukung maupun pencetus munculnya suatu perilaku.
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1. Papua adalah daerah yang unik dan terdiri dari berbagai macam budaya dan kepercayaan
2. Beberapa kebudayaan masyarakat papua antara lain : Budaya Menyirih, Budaya Persalinan,
dan Budaya Seks Bebas
3. Budaya atau Kepercayaan masyarakat setempat berdampak negative/merugikan masyarakat
khususnya dari segi kesehatan
4. Budaya menyirih, bila menyirih dilakukan terlalu sering dan dalam frekuensi yang terlalu sering
dapat berdampak timbulnya lesi bahkan kanker pada mulut
5. Budaya persalinan, akibat adanya anggapan yang salah dari masyarakat terhadap persalinan
menyebabkan proses persalinan malah berbahaya bahkan dapat mengancam keselamatan ibu
dan anak
6. Budaya seks bebas, di Papua dianggap lazim untuk melakukan seks bebas bila ada pesta atau
perayaan besar dan minimnya pengetahuan masyarakat serta kebiasaan masyarakat setempat
yang kerap melakukan seks bebas dengan PSK tanpa kondom menyebabkan penyebaran
HIV/AIDS di Papua meningkat tajam dan telah menelan banyak korban