You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a
profit”. Dalam rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk
kemudian menjual barang itu dengan cara besar-besaran. Profit baru muncul
dengan kegiatan ekonomi yang memakai sitem keuangan. Benarlah dikatakan
Robert Solomon bahwa profit merupakan buah hasil suatu tansaksi moneter.
Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua belah pihak
menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh
dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian.
Menurut pandangan yang tersebar agak luas, kapitalisme meliputi tiga unsur
pokok ; lembaga milik pribadi, praktik pencarian keuntungan, dan kompetisi
dalam sistem perekonomian pasar bebas. Tiga unsur ini tentu saja berkaitan
erat satu sama lain. Keuntungan hanya bisa diperoleh dengan menggunakan
modal yang menjadi milik priadi dan perolehan keuntungan khususnya pada
skala besar-besaran hanya dimungkinkan dalam rangka pasar bebas. Jika
akumulasi modal merupakan inti kapitalisme, maka perolehan keuntungan
dalam hal ini memegang peranan besar, karena justru dengan meningkatkan
laba atau keuntungan bobot modal bertambah besar, yang lalu dapat
diinvestasikan dalam usaha produktif, sehingga menghasilkan kekayaan lebih
besar lagi dan seterusnya.
Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus
mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja,
organisasi not for profit pun pasti sewaktu-waktu berurusan dengan etika.
Perspektif baik/buruk secara moral selalu muncul, jika manusia bertemu
dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi perusahaan sebagai organisasi
for profit menampilkan lebih banyak masalah etis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Memaksimalisasi Keuntungan sebagai cita-cita kapitalisme liberal

Keuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab bisnis secara sederhana dapat


digambarkan sebagao “to provide products or services for a profit”. Menyediakan
suatu produk atau jasa secara percuma tidak bisa dikatakan sebagai bisnis. Itulah
sebab mengapa bisnis tidak bisa disamakan dengan kegiatan amal. Menawarwakan
produk atau jasa secara percuma bisa dikatakan bisnis apabila itu bertujuan untuk
promosi. Dengan melakukan promosi perusahaan akan lebih mudah untuk
memperkenalkan produk atau jasa kepada publik. Walaupun seperti itu tetap saja
tujuan perusahaan memberikan produk atau jasanya secara percuma bertujuan
untuk mempunyai konsumen dan keuntungan.

Keuntungan tidak diperoleh secara kebetulan tapi berkat upaya khusus dari
orang yang mempergunakan uang. Uang yang diperoleh berdasarkan kupon undian
atau judi tidak disebut sebagai keuntungan,berbeda uang yang dihasilkan dengan
pedagangan saham (walaupun di sini beberapa perkembangan baru seperti
derivatives oleh banyak orang dinilai sudah mendekati perjudian). Keuntungan
berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa
profit seluruhnya tergantung pada kepiawaian si pebisnis. Untuk sebagian
perolehan keuntungan tergantung juga faktor mujur atau sial. Sebagaimana pelaut
tidak pernah dapat meramalkan perkembangan cuaca dengan sempurna,demikian
juga pebisnis tidak bisa menguasai semua seluk beluk ekonomi. Karena itu
diadakan transaksi keuangan yang bisa menghasilkan keuangan,selalu mengandung
juga risiko untuk mengalami kerugian. Maka dari itu faktor risiko dalam bisnis tidak
boleh diabaikan.

Karena hubungan dengan transaksi uang itu,perolehan keuntungan secara


khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurut pandangan yang terbesar
agak luas,kapitalisme meliputi tiga unsur pokok:lembaga pribadi,praktek pencarian

2
keuntungan,dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Pandangan ini sudah
ditemukan pada ekonom Australia-Amerika yang terkenal,Joseph Schumter,dan
masih berkumandang pada pengarang modern tentang etika bisnis sekarang ini.
Tiga unsur ini tentu saja erat berkaitan satu sama lain. Keuntungan hanya bisa
diperoleh dengan menggunakan modal yang menjadi milik pribadi dan perolehan
keuntungan khususnya dalam sekala besar-besaran hanya dimungkinkan dalam
rangka pasar bebas. Kalau akumulasi modal modal merupakan inti
kapitalisme,maka perolehan keuntungan dalam hal ini memegang peranan
besar,karena justru dengan meningkatkan laba atau keuntungan bobot modal
bertambah besar,yang lalu dapat diinvestasikan dalam usaha produktif,sehingga
menghasilkan kekayaan lebih besar lagi,dan seterusnya.

Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen


ekonomi. Metode kuantitatif yang dipakai dalam manajemen ekonomi
mengandaikan keuntungan sebagai tujuan perusahaan. Ekonomi terapan justru
mencapai coraknya sebagai ilmu yang sistematis dan memiliki kerangka logis yang
ketat,karena hanya memandang keuntungan sebagai tujuan perusahaan.

Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan


,dengan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena dalam keadaan
semacam itu karyawan diperalat begitu saja. Jika keuntungan menjadi satu-satunya
tujuan,semuanya dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan
itu,termasuk juga karyawan yang bekerja dalam perusahaan. Akan
tetapi,memperalat karyawan karena alasan apa saja berarti tidak menghormati
mereka sebagai manusia.dengan demikian telah dilanggar prinsip etis yang paling
mendasar :kita harus saling menghormati martabat manusia.Immanuel Kant,filsuf
Jerman abad ke-18 meumuskan prinsip etis paling mendasar sebagai
berikut:”Hendaklah memperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada
dirinyadan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Dalam berbagai situasi,seorang
manusia dipakai demi tercapainya tujuan orang lain. Direktur mempergunakan
sekretarisnya demi tujuannya. Dan semua karyawan dalam perusahaan
dipekerjakan untuk merealisasikan tujuan perusahaan. Tetapi disamping membantu

3
untuk mewujudkan tujuan perusahaan,para karyawan harus diperlakukan juga
sebagai tujuan sendiri. Mereka tidak boleh dipergunakan sebagai sarana belaka
melainkan tetap diberikan hak yang sepantasnya. Misal, gaji yang pantas,keamanan
dan keselamatan tempat kerja dst.

Sejarah mencatat bahwa pada awal era industrialisasi para pekerja diperalat
dan diperas dengan cara yang tidak manusiawi. Industri sebagai cara berproduksi
dengan memakai mesin pada skala besar-besaran merupakan fenomena baru pada
waktu itu. Untuk menjalanka mesin-mesin ditarik pekerja dari daerah pertanian
miskin. Keadaan ini pertama kali muncul di Inggris pada akhir abad ke-18 dan
terutama berkembang di bidang tekstil (kain dan wol),baja, dan pertambangan batu
bara. Dari tahun 1760 sampai 1830 revolusi industri praktis terbatas pada Inggris
saja. Untuk menghasilkan keuntungan tenaga buruh dihisap begitu saja,upah yang
diberikan sangat rendah,jam kerja yang ditentukan sangt panjan,tidak ada jaminan
kesehatan,jika sakit diberhentikan,dalam keadaan lain buruh diberhentikan semena-
mena,banyak memakai pekerja wanita dan anak di bawah umur,karena kepada
mereka diberikan upah yang lebih rendah dan tidak memberontak dan seterusnya.

Gerakan sosialisme berhasil sedikit demi sedikit memperbaiki nasib kaum


buruh. Yang dalam hal inidimaksud adalah serikat buruh:dengan bersatunya buruh
untuk menuntut haknya. Sekikat buruh pertama terbentuk di Inggris yang mana
merupakan negara pelopor revulusi industri. Awal didirikan serikat buruh
pemerintah bersikap curiga bahkan bermusuhan. Gerakan organisasi buruh
berkembang sebagai kekuatan politik dengan terbentuknya partai sosialis. Lama-
kelamaan menghasilkan perbaikan bagi kaum burh. Di Inggris pada 1847
ditebtukan peraturan hukum yang berhasil dengan efektif membatasi jam kerja
dalam pabrik untuk wanita dan anak sampai jam 10 per hari.. Marx dan Engels
menyebut “the Ten Hours Bill” ini dalam Manisfesto komunis,tetapi peraturan ini
oleh mereka tentu tidak dinilai menyentuh akar penindasan kaum buruh. Di Belanda
pada tahun 1874 diberlakukan undang-undang yang melarang anak di bawah umur
12 tahun bekerja. Dan pada tahun 1920-an Internasional Labour Organization (ILO)
yang baru terbentuk, menentukan standar bagi para pekerja 8 jam sehari dan 48 jam

4
seminggu. Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai
tujuan usaha ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Melalui
perjuangan yang panjang ketidakadilan terhadap buruh di negara industrialisasi
mulai teratasi. Selanjutnya,dunia harus banyak belajar dari sejarah tersebut.
Negara-negara berkembang yang mulai mengembangkan industri baru pada paro
abad 20 ini tidak boleh mengulangi kejadian masa silam. Harus ada upaya agar
tidak terjadi perlakuan tidak baik terhadap buruh,seperti: menetapkan undang-
undang perburuhan yang baik,kebebasan serikat buruh,jaminan sosial,asuransi
kesehatan dan sebagainya.

2.2 Masalah Pekerja Anak

Child Labor merupakan topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah
ini sekaligus juga sangat kompleks, karena faktor-faktor ekonomis disini dengan
aneka macam cara bercampur baur dengan faktor-faktor budaya dan sosial. Untuk
dapat membentuk pertimbangan etis tentang masalah ini, pertama-tama harus
menjadi jelas apa yang dimaksud dengan Child labor. Child labor yang dimaksud
disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak dbawah umur demi pembayaran
uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Logisnya, “dibawah umur”
harus disamakan dengan batas umur wajib belajar. Namun, anak yang dalam
lingkungan keluarga menjalankan tugas-tugas pekerjaan, tidak selalu bisa
dikatakan mempraktekan pekerjaan anak. Contohnya yaitu pada sektor pertanina
dan peternakan dimana sering kali anak-anak diikutsertakan dalam masa panen
pada sektor pertanian dan memeras sapi, memberi pakan ternak pada sekor
peternakan. Kasus-kasus tersebut belum menimbulkan masalah etis karena yang
akan dibahas lebih lanjut disini adalah dalam zaman industrialisasi yang banyak
terjadi masalah etis secara serius.

Berdasarkan undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi


Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan
Bekerja mengatur dengan jelas tentang umur minimum seseorang untuk bekerja
sebagai berikut,

5
A. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan pendidikannya belum
dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk
bekerja pada tahap permulaan.

B. Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun ditetapkan untuk jenis pekerjaan
yang berbahaya “yang sifat maupun situasi dimana pekerjaan tersebut dilakukan
kemungkinan besar dapat merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-
anak”.

C. Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan ditetapkan pada umur
13 tahun. Serta pada Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa
pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dan dalam ketentuan undang-undang
tersebut, anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun. Berarti 18 tahun
adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja.

Dalam laporan ILO (1996), diestimasikan bahwa di negara berkembang


masih ada 250 juta anak dibawah umur 14 tahun yang bekerja. Di antaranya 120
juta anak bekerja purna waktu, sedangkan 130 juta anak bekerja penggal waktu.
Anak-anak yang dipelajari dalam laporan tersebut berumur antara 5 dan 14 tahun
serta bekerja selama 9 jam sehari selama 6 atau bahkan 7 hari dalam seminggu.
Peristiwa-peristiwa tersebut sangat lah disayangkan sedangkan seorang anak harus
memiliki waktu untuk bermain dan tidak sepantasnya ia diharuskan bekerja karena
pekerjaan adalah wilayah orang dewasa. Dalam konteks ini sangat penting kita
menyadari perbedaan antara main dan kerja. Pekerjaan adalah kegiatan manusiawi
yang serius dan dilakukan karena terpaksa. Sedangkan kegiatan main adalah
kegiatan yang hanya dilakukan karena senang, tanpa keterpaksaan dan suatu
kegiatan untuk mengisi waktu luang. Bagi anak mestinya waktu masih sama dengan
waktu terluang, setidak-tidaknya diluar waktu belajar. Tidak mengherankan, bila
dalam Declaration Of the Rights Of the Child yang diproklamasikan oleh sidang
umum perserikatan bangsa-bangsa pada 1959, dikatakan bahwa “Anak harus
mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju pada
maksud yang sama seperti pendidikan”. Maksud deklerasi anak ini adalah agar

6
setiap anak boleh menikmati masa anak yang bahagia. Dalam rangka itu ditegaskan
antara lain: “Anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur minimum
yang tepat; ia sekali-kali tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan atau
pekerjaan apa saja yang bisa merugikan kesehatan atau pendidikannya atau
mengganggu perkembangan fisik, psikis, atau moralnya”.

Berikut dua alasan mengapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak perlu dianggap
tidak etis,

1. Pekerjaan itu melanggar hak para anak

Masa anak adalah periode pertama dalam hidup seorang manusia dari segala ciri
khasnya. Kita melanggar hak anak, jika kita menuntut dari mereka apa yang kita
tuntut dari orang dewasa dan dengan mempekerjakan anak kita melakukan hal
demikian, sebab bekerja adalah secara tipikal tugas dan tanggung jawab orang
dewasa.

2. Mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair

Mempekerjakan anak biasanya dilakukan agar dapat menekan biaya produksi dan
dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan
bisnis yang tidak menggunakan tenaga anak karena menganggap itu cara
berproduksi yang tidak etis.

Karena alasan-alasan tadi mempekerjakan anak menjadi tidak etis. Akan


tetapi, disini etika tidak boleh menjadi rigorus. Sebab, jika anak buruh tidak bekerja,
belum tentu mereka akan menjadi lebih baik. Bahkan bisa jadi malah menjadi anak
jalanan atau malah dijadikan budak. Perlu kita ketahui, nasib banyak keluarga di
dunia ketiga menjadi lebih baik ketika anak-anaknya bekerja. Pekerjaan yang
dilakukan oleh anak kadang-kadang memiliki segi positif juga, karena dengan
bekerja seorang anak akan memperoleh ketrampilan tertentu.

Dalam zaman kita sekarang, pekerja anak tampak sebagai suatu masalah
khusus dalam hubungan dengan industri garmen, sepatu, atau alat olah raga, mainan
anak, dan sebagainya, yang mempercayakan pembuatan produknya kepada

7
kontraktor dalam kuantitas besar, yang pada gilirannya mencari lagi subkontraktor-
subkontraktor untuk kuantitas yang dapat menjamin harga yang paling murah. Para
kontraktor mempunyai jaringan subkontraktor yang sungguh-sungguh global.
Mereka akan mencari subkontrakor dengan tawaran yang paling menguntungkan,
entah di Afrika, Amerika selatan, Cina, Atau Asia Tenggara dan kantor pusat sering
tidak sanggup untuk melihat seluk beluk semua kontrak terakhir ini. Para manajer
di kantor pusat cenderung mengkonsentrasikan kepada kualitas produk dan harga
yang kompetitif. Disini global ekonomi memperlihatkan salah satu akibat
negatifnya.

Beberapa kasus masalah pekerja anak dan cara untuk mengatasi masalah tersebut,

Kasus 1 : Perusahaan Nike yang menggunakan tenaga buruh anak dalam


pabrik-pabriknya di asia

Solusi Kasus 1 : Kesadaran dan aksi dari pihak publik konsumen, kosnumen dan
beberapa LSM melakukan aksi mengajak publik amerika untuk memboikot produk-
produk Nike. Slogan reklame Nike yang terkenal “just do it” mereka putarbalikan
menjadi “just don’t do it”.

Kasus 2 : Perusahaan Levi-Strauss terlanjur bekerjasama dengan dua


kontraktor yang mempekerjakan buruh anak dengan umur dibawah 14 tahun.

Solusi kasus 2 : Membuat dan menegakkan kode etik oleh perusahaan, dimana
antara lain ditegaskan bahwa perusahaan tidak akan memanfaatkan tenaga kerja
dibawah umur dan untuk anak-anak yang sudah terlanjur dipekerjakan tidak
diberhentikan tapi dibiayai untuk mendapatkan pendidikan dengan tetap mendapat
bayaran upah serta akan dipekerjakan kembali ketika sudah cukup umur.

Solusi lain : Melengkapi produk dengan No Sweat Label, yang menjamin


produk itu tidak dibuat dengan menggunakan tenaga anak atau dengan kondisi kerja
yang tidak pantas. Label-label ini tentu harus dikeluarkan oleh instansi yang
memiliki kredibilitas tinggi di mata masyarakat. Salah satu dampak positif dari No
Sweat Label yang terdapat di Amerika yaitu menunjukan penelitian bahwa 84%

8
konsumen Amerika bersedia untuk mengeluarkan satu dollar ekstra bagi sepotong
pakain berharga $20 asal dapat dipastikan produk tersebut dibuat dengan kondisi
kerja yang baik.

Di Indonesia sendiri pekerja anak merupakan masalah besar. Berdasarkan


data yang dikeluarkan BPS, mencatat proporsi pekerja anak pada 2017 sebesar 1,5
persen dari total populasi anak sebesar 84,4 juta jiwa. Mereka tak mengenyam
bangku sekolah sama sekali. Lama bekerja pun beragam, mulai dari satu jam hingga
97 jam seminggu. Mayoritas pekerja anak bekerja di sektor pertanian, kehutanan,
dan perikanan, sekitar 41,74 persen, merujuk data Survei Sosial Ekonomi Nasional
dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 yang diolah tim Lokadata
Beritagar.id. Sebanyak 1,5 persen pekerja anak dari total populasi anak itu,
jumlahnya setara 1,2 juta anak. Berbeda dengan kondisi di perdesaan, mayoritas di
perkotaan mereka bekerja di sektor perdagangan (23 persen) dan industri
pengolahan di pabrik (22,3 persen). Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada data
berikut,

Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik (Maret 2017)

9
Sumber : Susenas, Badan Pusat Statistik (Maret 2017)

Akar dari munculnya pekerja anak adalah kemiskinan dan minimnya


pendidikan. Kemiskinan menuntut anak menjadi pendongkrak perekonomian
keluarga dan merelakan pendidikan mereka. Studi dari peneliti University Malaysia
of Sarawak Haszelinna dan Arabsheibani dari London School of Economics
menegaskan kemiskinan menjadi faktor utama seorang anak bekerja. Kemiskinan
dipantik oleh krisis ekonomi pada 1997-1998 yang menuntut anak untuk bekerja
memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, rendahnya latar belakang pendidikan orang
tua berdampak pada anggapan sekolah menjadi tak penting jika sudah bisa
menghasilkan uang. Sejalan dengan itu, studi Hasxelinna dan Arabsheibani yang
menunjukkan semakin tinggi latar belakang pendidikan kepala keluarga, semakin
kecil potensi seorang anak diminta untuk bekerja. Jawa Tengah merupakan provinsi
dengan persentase pekerja anak tertinggi di Jawa, sebesar 1,5 persen, disusul oleh
Jawa Barat, dengan proporsi 1,42 persen. Adapun persentase tertinggi di Indonesia
yakni Papua (5,1 persen), diikuti dengan Gorontalo (2,5 persen), Sulawesi Selatan
(2,2 persen), Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat masing-masing 2,1 persen.

Untuk mengatasi berbagai masalah pekerja anak tersebut, Pemerintah


Indonesia telah melakukan berbagai upaya menanggulangi masalah pekerja anak,
seperti program nasional Pengurangan Pekerja Anak dalam Rangka Mendukung
Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) yang mengkhususkan pada pengurangan
pekerja anak, terutama yang bekerja pada Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
(BPTA), dan pekerja anak yang putus sekolah dari Rumah Tangga Sangat Miskin
(RTSM). Dalam usaha mencapai target pengentasan kemiskinan, pemerintah

10
mengandalkan Program Keluarga Harapan (PKH) tersebut. Servei dari sejumlah
pihak, termasuk Bank Dunia menunjukkan, PKH efektif menurunkan kemiskinan.
Lebih rincinya lagi, disebutkan bahwa PKH berdampak meningkatkan kunjungan
ibu hamil ke fasilitas layanan dasar kesehatan sebesar tujuh persen. Selain itu,
imunisasi lengkap meningkat delapan persen dan pemeriksaan kesehatan balita
meningkat 22 persen. Di bidang pendidikan, peningkatan partisipasi SD meningkat
2,2 persen dan SMP 4,4 persen. Sementara pengeluaran keluarga untuk makanan
berprotein tinggi meningkat 10 persen. Temuan lainnya, adanya penurunan anak
dengan kasus "stunting" sebesar 2,7 persen. Selain itu, pemerintah juga telah
meratifikasi melalui Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan
Bekerja, Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No.
182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-
bentuk Pekerjaan Terburuk untuk anak dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai hal yang berhubungan pekerja
anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak,
pengupahan dan perlidungan bagi pekerja anak. Pemerintah juga terus
mengupayakan melalui sosialisasi Road Map Menuju Indonesia Indonesia Bebas
Pekerja Anak Tahun 2022, Bulan Bebas Pekerja Anak (1 Juni), Pencanangan
Kabupaten/Kota Bebas Pekerja Anak di Kabupaten Serdang Bedagai dan
Kabupaten Gianyar. Tak hanya itu, pemerintah pun telah melakukan pencanangan
zona bebas pekerja anak di Kawasan Industri Makassar (KIMA), Karawang
International Industrial City (KIIC), Modern Cikande Industrial Estate (MCIE),
Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC).

Intinya adalah peran serta masyarakat, pemerintah pusat, dan daerah serta
instansi terkait dibutuhkan untuk meningkatkan sinergisitas guna mengurangi
jumlah pekerja anak dan mengembalikannya ke dunia pendidikan serta kebaikan
dan kesejahteraan anak tidak pernah boleh dikorbankan kepada keuntungan
ekonomis. Dimana berikut juga terdapat program pemerintah yang menargetkan
Indonesia bebas pekerja anak pada tahun 2020.

11
Sumber : Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia

12
2.3 Relativasi Keuntungan

Tidak bisa disangkal,pertimbangan etis mau tidak mau membatasi


peranan keuntungan dalam bisnis. Seandainya keuntungan merupakan faktor satu
satunya yang menentukan sukses dalam bisnis,perdagangan heroin,kokain,atau
obat terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat
membawa untung yang amat banyak. Perdagangan narkotika seperti itu justru
merupakan bidang dimana usaha bisnis langsung bentrok dengan pertimbangan etis
oleh karena itu,tidak merupakan good business sama sekali (good dalam arti
normal). Apa yang berlaku tentang bisnis narkotika,sebenernya berlaku juga untuk
bisnis pada umumnya. Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung
dimutlatkan dan segi moral dikesampingkan. Manajemen yang ingin berhasil
menentukan dengan jelas tujuan-tujuan yang mau dicapai. Dan dalam manajemen
ekonomi salah satu unsur penting adalah cos-benefit analysis. Supaya dapat
mencapai sukses, hasil dalam suatu usaha bisnis harus melebihi biaya yang
dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap berhasil bila menghasilkan laba.
Semuanya ini bisa diterima, asalkan tetap disertai pertimbangan etis. Bisnis menjadi
tidak etis, jika keuntungan dijadikan satu satunya objective atau benefit dimengerti
sebagai laba belaka mengorbankan semua faktor lain. Sekali lagi harus diingatkan
bagaimana sejarah industrialisasi nmenunjukan kemungkinan itu sebagai bahaya
yang bukan imajiner saja.

Di satu pihak perlu diakui, bisnis tanpa tujuan profit bukan bisnis lagi.
Supaya bisa tahan uji dalam skrining etika, tidak perlu bisnis berubah menjadi karya
amal. Bagaimanapun juga, keuntungan merupakan unsur hakiki dalam usaha bisnis.
Dan perusahaan mau tidak mau merupakan organisasi for profit. Supaya bisa
diterima di mata etika,tidak perlu perusahaan menanggalkan sifat itu. Pada taraf
ekonomi lebih luas peran keuntungan tidak boleh diabaikan. Seluruh sistem
ekonomi pasar bebas akan ambruk, kalau keuntungan dicopot dari setiap kegiatan
bisnis. Kegagalan total sistem ekonomi komunitis di Uni Sovirt dan satelit-
satelitnya antara lain disebabkan, karena sistem ini sebagai ekonomi berencana
tidak mengenal motif keuntungan.

13
Di lain pihak keuntungan tidak boleh dimutlakkan. Dalam uraian
sebelumnya sudah diberikan alasan-alasan cukup mengapa pertimbangan etika
harus membatasi perolehan untung. Maksimalisasi keuntungan sebagai satu-
satunya tujuan perusahaan akan mengakibatkan timbulnya keadaan yang tidak etis.
Dalam hal ini sistem ekonomi pasar bebas membantu,agar keuntungan tidak
menjadi eksesif. Karena sistem ditandai kompetisi antara pelbagai perusahaan,
monopoli tidak dimungkinkan dan akibatnya tingkat keuntungan dengan sendiri
dibatasi.

Akan tetapi, bisnis tidak menghadapi dilema: atau maksimalisasi


keuntungan atau bangkrut. Masih ada banyak kemungkinan di tengah-tengah. Perlu
di tekankan, keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengertian yang relatif.
Dengan cara berbeda-beda,banyak pengarang telah mencoba merumuskan
relativitas itu. Ronald Duska menegaskan bahwa kita harus membedakan antara
pupose (maksud) dan motive (motivasi). Maksud bersifat obyektif, sedangkan
motivasi bersifat subyektif. Kita memberi sedekah kepada seorang pengemis
supaya ia bisa makan (maksud), sedangkan motivasi kita adalah belas kasihan.
Motivasi menjelaskan (explain) mengapa kita melakukan sesuatu, tetapi maksud
membenarkan (justify) perbuatan kita itu. Keuntungan tidak merupakan maksud
bisnis. Maksud bisnis adalah menyediakan produk dan jasa yang bermanfaat untuk
masyarakat. Keuntungan hanya sekedar motivasi untuk mengadakan bisnis.
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale menegaskan bahwa manajer yang
semata-mata mengejar keuntungan dalam bisnisnya dapat dibandingkan dengan
pemain tenis yang memperhatikan papan angka dan tidak memperhatikan bola.
Maksudnya tentu bahwa bisnis mempunyai nilai intristik sendiri
(misalnya,memproduksi sesuatu yang berguna untuk masyarakat) dan tidak baru
menjadi bernilai karena membawa untung. Pebisnis Max DePree membandingkan
keuntungan dengan bernapas. Kita tidak hidup untuk bernapas, tetapi tidak
mungkin terjadi juga kita hidup tanpa bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis
hidup terus, tapi tidak menjadi tujuan terakhir bisnis. Norma Bowie
membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan kebahagian dalam hidup. Kita

14
tidak mengejar kebahagiaan demi dirinya sendiri. Kebahagiaan adalah akibat
simpangan, kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anak-anak.
Demikian keuntungan pun merupakan akibat sampingan dari bisnis,bukan
tujuannya sebenarnya.

Dengan demikian dan dengan banyak cara lain lagi dapat dijelaskan
relativitas keuntungan dalam usaha bisnis. Tetapi, bagaimanapun juga, keuntungan
dalam bisnis tetap perlu. Hanya tidak bisa dikatakan lagi bahwa profit merupakan
satu satunya tujuan bagi bisnis. Beberapa cara lain untuk melukiskan relativitas
keuntungan dalam bisnis, sambil tidak mengabaikan perlunya, adalah sebagai
berikut :

1. Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau


efisiensi manajemen dalam perusahaan
2. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk atau jasanya
dihargai oleh masyarakat
3. Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha
4. Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan
5. Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha

2.4 Manfaat Bagi Stakeholders

Satu cara lain lagi untuk menedekati tujuan perusahaan adalah melukiskan
tujuan itu sebagai the stakeholders benefit, “manfaat bagi stakeholdersí”. Konon,
istilah stakeholders untuk pertamakali muncul pada 1963 dalam sebuah
memorandum internal dari Stanford Research Institute, California.

Yang dimaksud dengan Stakeholders adalah orang atau instansi yang


bekepentingan dengan suatu bisnis atau perusahaan. R. Edward Freeman
menjelaskan stakeholders sebagai “Individu-individu atau kelompok-kelompok
yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya
dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.” Dalam bahasa Indonesia
kini sering dipakai terjemahan “pemangku kepentingan”. Stakeholders adalah
semua pihak yang berkepentingan dengan kegiatan suatu perusahaan.

15
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas pemangku kepentingan
internal dan eskternal. Pemangku kepentingan internal merupakan “orang dalam”
dari suatu perusahaan: orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam
kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan. Pemegang
kepentingan eksternal adalah “orang luar” dari suatu perusahaan, seperti para
konsumen, masyarakat, dan pemerintah. Tetapi garis pemisah antara stakeholders
internal dan eksternal tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.. Misalnya para
pemasok yang pada penjelasan sebelumnya masuk kedalam stakeholders eksternal,
namun apabila pemasok hanya memasok pada satu perusahaan saja maka akan
menjadi stakeholders internal. Nasib mereka juga seluruhnya tergantung pada nasib
perusahaan. Jika perusahaan menghentikan kegiatannya, mereka semua kehilangan
sumber pendapatannya.

Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah


tujuan perusahaan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan perusahaan merupakan
manfaat semua stakeholders. Tidak etis jika dalam suatu keputusan bisnis
perusahaan hanya melihat pada satu sisi saja, contohnya pemegang modal. Namun,
harus melihat sisi yang lain agar dapat merasakan manfaat yang sama.

2.5 Pembahasan Jurnal

Jurnal 1

Judul : Are Working children’s rights and child labour abolition


complementary or opposing realms?

Jurnal : Sage Journal

Volume & Halaman : 56(1) 80–91

Tahun : 2012

Penulis : Samuel Okyere

Tujuan penelitian : Artikel ini bertujuan meneliti kegelisahan para pekerja anak
yang berpotensi berbahaya dalam pekerjaannya; namun, pekerjaan mereka

16
merupakan sarana yang mereka gunakan untuk mengakses hak mereka atas
pendidikan dan peluang lainnya. Artikel ini juga menyatakan bahwa upaya
pencegahan pekerja anak harus mengenali dan dapat mengatasi segala kegelisahan
mereka. Artikel ini juga bertujuan untuk mengembangkan intervensi yang tidak
diragukan lagi dalam melayani sebagian kepentingan terbaik anak-anak yang
bekerja.

Subjek penelitian : Total 57 anak-anak berusia 14-17 dengan rincian 30 anak


perempuan dan 27 anak laki-laki yang bekerja di tambang emas milik Newmont
Ghana Gold Limited, anak usaha Newmont Mining Corporation.

Metode penelitian : Dalam tulisan ini, peneliti melakukan obsevasi serta


wawancara terstruktur dan tidak terstruktur.

Pembahasan :

1. Lokasi Tambang

Situs penambangan emas menyediakan pekerjaan untuk lebih dari 4000 pria, wanita
dan anak-anak dari daerah setempat dan daerah-daerah lain di Ghana. Tempat ini
memiliki luas sekitar tiga hektar dihiasi dengan gubuk yang terdiri dari area tidur,
bar, restoran, kandang, penyimpanan, toko, dan sebagainya. Situs tambang ini
muncul setelah terjadi perampasan terhadap petani dan penduduk setempat lainnya
dari tanah mereka untuk membuat jalan bagi sebuah tambang industri yang dimiliki
oleh Newmont Ghana Gold Limited, anak perusahaan dari Newmont Mining
Corporation. Melalui kemiskinan yang dihasilkan dan kesulitan yang dialami oleh
penduduk daerah yang sebagian besar hidup dari tanah mereka (Armstrong, 2008),
beberapa, bergabung dengan orang-orang dari seluruh negeri, mulai kegiatan
penambangan skala kecil di lokasi ini. Situs tambang ini penuh dengan batu-batu
tajam dan puing-puing batu yang digali keluar dari lubang penambangan.
Lingkungan pada umumnya tidak sehat dan berisiko bagi mereka yang tinggal dan
bekerja di sana. Semua itu membantah fakta bahwa tempat itu teratur dan
terorganisir dengan baik..

17
2. Partisipasi anak-anak di situs tambang

Terdapat suatu yang kontras bahwa ratusan anak-anak, termasuk 57 (30 perempuan
dan 27 anak laki-laki) yang membantu dengan penelitian ini, mencari penghasilan
dari peluang ini. Banyak yang berasal dari daerah sekitar lokasi, tetapi sejumlah
besar juga berasal dari jauh seperti tiga daerah utara Ghana. Temuan yang agak
tidak terduga adalah bahwa sebagian besar mereka, tepatnya, 50 dari mereka telah
menyelesaikan wajib belajar di Ghana. Mereka yang tinggal di daerah setempat
bekerja di sekitar jam sekolah mereka atau di akhir pekan sementara para migran
datang untuk bekerja selama liburan. Anak-anak bersama anggota keluarga lainnya
bekerja di tambang emas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ribuan anak
berusia antara 15 hingga 17 tahun bekerja di tambang emas tradisional Ghana.
Padahal, aturan internasional menegaskan larangan bekerja bagi anak-anak di
industri berbahaya. Aturan internasional juga melarang anak di bawah usia 18 tahun
bekerja di area tambang. Anak-anak belia harus bekerja membanting tulang di lahan
tambang liar yang mengisi sepertiga dari industri tambang Ghana. Mereka bekerja
tanpa pengawasan dan kontrol. Anak-anak itu memasuki terowongan tambang yang
gelap gulita. Anak-anak malang itu harus membawa beban yang beratnya melebihi
berat badan mereka sendiri

3.Faktor-faktor yang menginformasikan pekerjaan anak-anak di lokasi


penambangan rakyat

Seperti di banyak negara Afrika lainnya, kerja merupakan bagian integral dari masa
kanak-kanak di Ghana (Boas dan Hauser, 2006; Whitehead dan Hashim, 2005).
Retorika lokal menunjukkan bahwa anak yang baik adalah orang yang mematuhi
orang tua mereka dan bekerja keras untuk mendukung diri mereka sendiri dan
keluarga mereka (Obeng, 1998). Oleh karena itu, ada kecenderungan budaya dan
penerimaan keterlibatan anak dalam berbagai bentuk pekerjaan. Delap (2001) dan
Grootaert (1998) juga menyatakan bahwa kemiskinan adalah faktor pendorong
yang paling penting untuk pekerja anak.

18
Alasan utama anak-anak untuk berada di situs tambang itu karena keinginan untuk
mengurus diri sendiri dan membantu keluarga mereka, tetapi yang lebih penting,
untuk mengakses pendidikan, kesehatan, rezeki dan peluang lainnya yang tidak
dapat dijangkau mereka sebelum bekerja di sana. Seperti beberapa pernyataan yang
dicatat:

“Saya tidak akan melakukan pekerjaan ini jika saya tidak ingin pergi ke sekolah.
Ayah saya dan saya dulu bekerja di pertanian orang-orang pada awalnya tetapi suatu
hari dia memutuskan akan lebih baik jika saya bersekolah sebagai gantinya. Dia
tidak bisa selalu memberi saya uang sekolah jadi saya datang ke sini untuk
mendapatkan uang yang saya tabung untuk sekolah”. (Yakobus, 14)

“Saya ingin menjadi perawat ketika saya tumbuh dewasa karena saya dapat
memperoleh penghasilan yang cukup untuk mengurus diri saya dan keluarga saya.
Saya tahu jika saya tidak pergi ke sekolah, saya tidak pernah bisa menjadi perawat
dan itulah mengapa saya bekerja di sini. Segalanya sulit tetapi jika saya berhenti
sekolah, saya hanya akan tinggal di desa tanpa melakukan apa-apa dan menyia-
nyiakan hidup saya sehingga saya akan terus bekerja”. (Julie, 14)

4. Diskusi dan kesimpulan

Dalam upaya membantu pekerja anak, harus diakui bahwa banyak orang
menghadapi dua situasi ekstrem: "bahaya penghidupan ekstrim" dari kurangnya
sumber daya dan "bahaya kerja ekstrim" dari keterlibatan yang mereka lakukan
sebagai akibatnya. Saat ini, pembuat kebijakan dan mereka yang bekerja dengan
pekerja anak lebih menekankan pada penghapusan yang terakhir. Tidak diragukan
lagi, anak-anak menghadapi bahaya di hadapan mereka dalam pekerjaan
penambangan emas rakyat tersebut. Namun, menolak keterlibatan mereka tanpa
memperhitungkan dengan benar defisit yang pasti akan mereka derita, mungkin
juga bukan kepentingan terbaik mereka. Oleh karena itu, setiap intervensi yang
berupaya mengakhiri pekerjaan mereka di situs tambang harus sama-sama
menangani masalah yang menjadikan mereka berpartisipasi dan pekerja pada situs
tambang tersebut.

19
Jurnal 2

The Stakeholder Theory in the Modern Global Business Environment

Judul : The Stakeholder Theory in the Modern Global Business


Environment

Jurnal : International Management Journal

Volume & Halaman : Volume 1, Halaman 1-9

Tahun : 2013

Penulis : Tony Ike Nwanji & Kerry E. Howell

Pembahasan :

Teori stakeholder yang populer pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa korporasi
melihat teori pemegang saham (stockholder) tentang maksimalisasi laba, dan
memperhitungkannya mempertimbangkan kelompok pemangku kepentingan lain
yang dikaitkan dengan korporasi, dan yang berkontribusi pada pencapaian
perusahaan. Jurnal ini membahas mengapa teori pemegang saham dari model tata
kelola perusahaan gagal mengatasi masalah yang tidak etis mengenai praktik bisnis
manajemen perusahaan. Secara keseluruhan, jurnal ini berpendapat bahwa
penerapan teori etis deontologis dan teleologis bisa membantu dewan direksi
mengelola masalah-masalah pemangku kepentingan perusahaan mereka untuk
kepentingan perusahaan dan pemangku kepentingannya.

Shareholdership dan Stakeholdership: Mengidentifikasi Perbedaan

Masalah tata kelola perusahaan berpusat pada apakah Shareholder atau Stakeholder
adalah yang terbaik untuk perusahaan dan masyarakat, maka dari itu dewan
perusahaan harus mengikuti dalam urusan pengelolaan perusahaan (Sun, 2002).
Maka dari itu dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya pengembangan sebuah
perusahaan harus memiliki konsep Shareholder ataupun Stakeholder. Dalam masa
ke masa, untuk kedua konsep tersebut memiliki perkembangan sendiri, pada awal

20
mula konsep tata kelola perusahaan Shareholder memiliki peran lebih awal dan kuat
dalam tata kelola perusahaan. Dimana dalam konsep tata kelola perusahaan
Shareholder lebih dekat dengan Stockholder. Dimana Stockholder menekankan
kepentingan perusahaan pada kepentingan pemilik modal, jadi dimana kebijakan
serta pengambilan keputusan bisnis perusahaan berbasis pada kepentingan pemilik
modal, dimana pada konsep ini, pemilik modal memiliki peran yang sangat kuat
pada tujuan serta arah sebuah perusahaan. Dan dalam perkembangan konsep ini,
Stockholder berkembang menjadi Shareholder, dimana perbedaanya adalah pada
pusat kepentingan perusahaan mengalami pelebaran, yaitu pada ranah Top
Manajemen, sehingga arah serta keputusan perusahaan berbasis pada pemegang
modal serta pertimbangan Top Manajemen. Sehingga dua belah pihak ini
berkontribusi pada arah perusahaan kedepan. Adanya penambahan kepentingan ini
menjadikan segala keputusan kebijakan perusahaan menjadi lebih efektif dan
efesien dengan berbagai pertimbangan fakta dan data, Arah keputusan perusahaan
ini pada tahap Shareholder lebih melebar namun masih terpusat. Terpusat pada Top
Manajemen serta Pemegang Modal. Semakin berkembangnya teknologi dan
banyaknya permasalahan serta kasus baru mengenai tata kelola perusahaan, maka
pengembangan Stockholder menjadi Shareholder menemui babak selanjutnya,
perkembangan ini terjadi karena pengaruh permasalahan konsep tata kelola yang
baru pada konsep tata kelola Stockholder dan Shareholder. Sama seperti
pekembangan kepentingan pada konsep sebelumnya, perkembangan kepentingan
menjadi semakin melebar menjadi tahap Stakeholder yang dimana pelebaran terjadi
pada arah kepentingan serta tujuan perusahaan harus sesuai dengan kepentingan
dan tujuan para pemangku kepentingan yang ada diperusahaan tersebut. Pada
konsep tata kelola Stakeholder, mengedepankan kebaikan pada tujuan serta
kepentingan perusahaan agar memuaskan atau agar adil pada tiap pemangku
kepentingan di perusahaan tersebut. Stakeholder lebih mudah diterima oleh unsur
perusahaan karena pada teori Stakeholder, terbagi menjadi dua, yaitu yang
berhubungan langsung dengan perusahaan dan yang tidak berhubungan langsung
perusahaan. Yang pada intinya teori Stakeholder menyeluruh pada tiap peran dan
unsur perusahaan.

21
Pendekatan Analitis terhadap Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Donaldson dan Preston, (1995), menjelaskan bahwa penelitian tentang teori


stakeholder telah berjalan sepanjang tiga hasil yang sering membingungkan.
Pertama, ada instrumental pada teori stakeholder, yang mengasumsikan bahwa jika
manajer ingin memaksimalkan tujuan fungsi perusahaan mereka, maka mereka
harus mempertimbangkan kepentingan pemangku kepentingan. Kedua, ada
penelitian deskriptif tentang bagaimana manajer, perusahaan, dan stakeholder
sebenarnya berinteraksi. Yang ketiga, ada pengertian normatif dari stakeholder teori
yang mengatur apa yang harus dilakukan oleh para manajer.

Freeman (1984), mengusulkan kerangka kerja, yang cocok untuk tiga tingkat
pemangku kepentingan yaitu analisis - tingkat rasional, proses dan transaksional.
Pada tingkat rasional, sebuah pemahaman tentang siapa para pemangku
kepentingan korporasi dan apa mereka mengetahui yang dirasakan sangat
diperlukan. Pada tingkat proses, penulis mengklaim bahwa perlu untuk memahami
bagaimana

organisasi baik secara luar dan dalam saat mengelola hubungannya dengan
stakeholder dan apakah proses ini sesuai dengan peta stakeholder yang rasional
dengan organisasi. Pada tingkat transaksional, kita harus memahami rangkaian
transaksi atau tawar-menawar di antara perusahaan dan pemangku kepentingannya
dan menyimpulkan apakah negosiasi ini sesuai dengan peta pemangku kepentingan
dan proses organisasi untuk para pemangku kepentingan.

Kesimpulan

Makalah ini menyatakan bahwa perusahaan tidak bisa mengabaikan masalah-


masalah yang ada pada kepentingan pemangku kepentingan karena semua
Kelompok-kelompok pemangku kepentingan berkontribusi pada keberhasilan
perusahaan. Karena itu perlu bahwa dewan perusahaan dan manajemen mengambil
etika dari teori deontologis atau teori teleologis menjadi pertimbangan saat
menetapkan tujuan perusahaan. Para pemangku kepentingan dari sebuah
perusahaan berubah dari waktu ke waktu karena keputusan yang diambil oleh

22
manajemen sebagai akibat dari peristiwa eksternal yang berada di luar kendalinya.
Terserah manajemen untuk mencari tahu siapa pemangku kepentingan perusahaan
mereka dan apa yang mereka butuhkan. Penerapan pendekatan etis deontologis dan
teleologis untuk bisnis dalam keputusan yang memiliki nilai etika, dengan
memperhitungkan kepentingan stakeholder perusahaan dapat membantu
perusahaan tersebut memaksimalkan nilai shareholder, dan pergi bersama-sama
memenuhi kepentingan stakeholder.

JURNAL 3

Judul jurnal : International Journal of Social Economics

Judul artikel : Code of ethics and employee governance

Pengarang : Patrick A. McNutt, Charlie A. Batho

Metode pendekatan : Metodelogi berpusat pada pemerintah yang baik karyawan


– manajemen dan pekerja.

Tujuan

Isi

Banyak karyawan, baik secara sepihak atau melalui perusahaan yang baru-pedoman
pemerintah tertentu, memasuki dunia baru etika kerja dan usaha kerja. Tempat
produksi yang lebih kecil produksi yang berjalan pendek dan divisi tumbuh dari
tenaga kerja dengan mengacu pada keterampilan hirarki dan untuk durasi kerja yang
cepat menjadi normal. Dan di sinilah letak dilema moral untuk manajemen dalam
arti deontologis – manajemen memiliki tugas untuk pekerja. Banyak penekanan
harus ditempatkan pada karyawan pemerintahaan seperti pada pemerintahan tingkat
dewan. Tidak hanya untuk kepentingan perusahaan kecil tapi diatas semua untuk
kepentingan masyarakat.

23
Hasil penelitian

Komite yang ditunjuk perusahaan untuk memastikan bahwa pemerintah yang baik
adalah dipraktekkan di berbagai isu yang hubungannya dengan audit, remunerasi
dan janji. Namun, perdebatan tentang pemerintah sebagian besar diabaikan
pentingnya pemerintah yang baik di antara semua para karyawan. Ditemukan
bahwa pemerintahan di tingkat karyawan memerlukan kode etik yang tidak hanya
tentang benar dan salah,namun menekankan rasa kontrak tugas untuk sesama
karyawan pemangku kepentingan dalam perusahaan. Ini mendefinisikan esensi dari
kewajiban dan tugas dalam pemangku perusahaan s-perusahaan.

2.6 Kasus terkini yang berkaitan dengan materi keuntungan sebagai tujuan
perusahaan

A. Kasus Ratusan Anak Jadi Korban Eksploitasi Berkedok Magang

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan ratusan siswa


sekolah kejuruan menjadi korban eksploitasi dengan modus program magang ke
luar negeri. Modus baru ini menawarkan berbagai kemudahan sehingga pihak
sekolah dan orangtua tergiur, seperti tidak adanya pelatihan dan penggunaan visa
kunjungan.

Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno


Listyarti mengatakan bahwa sejak tahun 2009 salah satu perusahaan telah
mengirimkan 600 anak dari sejumlah sekolah di Jawa Tengah untuk dipekerjakan
di Selangor, Malaysia. Para korban dipaksa bekerja selama 18 jam per hari dan
mendapatkan upah yang rendah serta perlakuan yang tidak manusiawi.

"Dari tahun 2009 sampai saat ini korban eksploitasi sudah berjumlah 600 orang.
Tetapi kasus yang baru terungkap hanya satu, yang saat ini tengah disidangkan di
PN Semarang," kata Retno di Kantor KPAI, Menteng Jakarta Pusat, Selasa
(3/4/2018).

Selain itu Retno pun menjelaskan dari data yang dia peroleh dari DP3AKB Jawa
Tengah, bahwa di tahun 2018 siswa yang telah menjadi korban eksploitasi sebanyak

24
138 orang, yang terdiri dari 86 siswa dari NTT dan Jawa Timur serta 52 siswa yang
berasal dari SMK Kendal.

"Sampai saat ini pelaku program magang palsu tersebut sudah menjadi terdakwa,
yaitu Direktur PT Sofia, Windy yang bekerja sama dengan PT Walet Maxim
Birdnest milik Albert Tei di Selangor Malaysia. Untuk yang di NTT belum ada
tertuduhnya," ungkapnya.

Analisis Kasus :

1. Kurangnya pengawasan dan tidak selektifnya pihak sekolah yang


bersangkutan terhadap segala bentuk kerjasama yang ditawarkan oleh pihak
eksternal sehingga siswanya banyak yang menjadi korban eksploitasi
2. Kurang tegasnya pemerintah yang bersangkutan dengan kasus terkait
dibuktikan dengan hanya adanya 1 kasus yang baru terungkap.
3. Pemerintah lalai dalam memberikan penyadaran kepada pihak sekolah
sehingga program magang ke luar negeri menjadi kebanggaan dan nilai
tambah dari sekolah. Padahal itu merupakan kegiatan eksploitasi.

Solusi Terhadap Kasus :

1. Sekolah sebagai jembatan siswa terhadap berbagai macam program


kerjasama baik dalam bentuk magang dan lain-lain seharusnya lebih selektif
dan hati-hati serta harus dapat memastikan bahwa lembaga yang
menwarkan kerjasama adalah lembaga kredibel dan resmi.
2. Pemerintah harus menindak tegas segala bentuk eksploitasi yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan agar dapat menimbulkan efek
jera dan meminimalisir adanya kegiatan sejenis
3. Pemerintah seharusnya dapat bekerjasama dengan pihak sekolah untuk
memfasilistasi keperluan kegiatan magang siswa

B. Kasus Tenaga Kerja PT. Alpen Food Ice Cream Aice

PT Alpen Food Industri merupakan perusahaan yang bergerak dibidang makanan


khususnya pembuatan eskrim aice. Perusahaan yang telah berdiri 20 tahun yang

25
lalu di singapura telah berhasil memikat konsumen di Indonesia dengan konsep
penjualan eskrim di toko kelontong dengan harga murah namun rasa tidak kalah.

Dibalik kesuksesan aice yang menarik banyak konsumen di Indonesia namun ada
beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Berdasarkan portal berita tirto.id
disebutkan bahwa 644 dari 1.233 buruh yang bekerja pada pembuatan eskrim aice
merasa dirugikan oleh perusahaan karena tidak diberikan hak yang sesuai. Ada
beberapa kasus yang menjadi latar melatar belakanginya. Seperti,kisah Heti
Kustiati yang mengalami pingsan pada tangga 14 november 2017. Padahal saudara
Heti ini tidak memiliki riwayat penyakit. Setelah di periksa ke dokter Heti
dinyatakan mengalami penyakit bronkitis karena menghirup gas amonia yang bocor
pada pabrik. Sementara Acil, mata kanannya pernah meradang dan bengkak karena
tepercik cairan soda api. PT AFI tak memberikan pertolongan apa pun meski ia
hanya bisa melihat dengan mata kiri saja saat itu. Ia tidak diperbolehkan izin pulang
untuk istirahat akan tetapi disuruh tidur di musala pabrik. Dalam satu peristiwa lain,
seorang buruh bernama Ahmad Supriyanto meninggal dalam peristiwa kecelakaan
di jalan saat menuju pabrik dengan mengendarai sepeda motor. Nyawanya tak
tertolong karena tidak memiliki BPJS.

Kasus lain yang dialami gugun seorang buruh aice pemotong plastik. Pada tanggal
16 Mei 2017, mesin pemotong bermasalah. Ia bergegas memanggil pekerja bagian
mekanik. Saat diminta petugas mekanik untuk menarik plastik yang tersangkut
mesin, tanpa berpikir panjang Gugun melakukannya.

Jarinya terpotong. Darah mengucur deras. Peristiwa itu berlangsung cepat. Gugun
dibawa ke rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Aprilia Medika di Setu, Cikarang.
Kini jarinya yang terpotong sering ngilu. Ia kehilangan kekuatan untuk
menggenggam.

Analisis permasalahan :

• Ancaman PHK jika mogok kerja (kontrak kerja pasal 7 poin 8)

• Kecelakaan kerjaan ditanggung sendiri (kontrak kerja pasal 10 poin 2)

26
• Upah harian menyalahi uu ketenagakerjaan 13/2003

• 2003-agustus 2017 tanpa tunjangan transportasi,makan,cuti haid dan lahir

• Tidak ada jaminan kesehatan,kecelakaan kerja,hari tua,pensiun,dan kematian

• Tidak ada pemeriksaan kesehatan dan kondisi lapangan kerja

• Tidak diberitahu 7 hari sebelum masa kontrak berakhir

• Buruh bekerja dengan upah 2,9 juta dari yang seharusnya 3,2 juta (UMR)

Solusi

• Pemerintah mempertegas peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan serta


mengawasi keberjalanan uud tersebut

• Buruh melalui perantara serikat buruh melakukan konsolidasi dengan petinggi


perusahaan untuk mencari solusi

• Masyarakat melakukan aksi pemboikotan terhadap produk jika masalah tidak


kunjung selesai

C. Kasus 7 Perusahaan Pembuang Limbah ke Citarum, Berkasnya Sudah


Lengkap, Tinggal Masuk Pengadilan.

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Polisi terus menyelidiki sejumlah pabrik yang


kedapatan membuang limbah cair kotornya ke aliran Sungai Citarum, berikut anak
sungainya. Dalam proses penyelidikan itu pihak kepolisian menggandeng
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Dalam hal ini (penyelidikan) khusus. Kami dibantu dan didampingi KLHK mulai
dari ambil sampel limbah dari pabrik dan sampel air sungainya," ujar Kapolda
Jabar, Irjen pol Agung Budi Maryoto seusai menghadiri Audiensi Dalam Rangka
Mendukung Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum di
Hotel Hilton, Kota Bandung, Rabu (1/8/2018).

27
Menurut Kapolda, saat penyelidikan, proses pengambilan sampel dilakukan untuk
membandingkan kadar air limbah pabrik dengan air sungai, untuk menentukan ada
tidaknya korelasi dengan melihat baku mutu sesuai undang-undang lingkungan
hidup.

Jika saat penyelidikan ditemukan limbah cair yang dibuang perusahaan melebihi
baku mutu yang telah ditentukan, maka kata dia, polisi akan menaikkan status
penyelidikan ke penyidikan.

"Karena untuk menentukan kasus lingkungan ini tidak segampang itu. Prosesnya
tetap merujuk pada penegakkan hukum lingkungan," ujarnya.

Memang, lanjut dia, beberapa perusahaan penghasil limbah cair yang ada di DAS
Citarum sudah memperbaiki IPAL serta kinerja pengolahan limbahnya. Namun,
masih banyak juga perusahaan yang belum memperbaiki IPAL-nya.

Dari pengecekan di lapangan termasuk dari laporan Satgas Citarum Harum,


setidaknya ada 106 perusahaan yang diambil sampelnya. Menurut Agung, tujuh di
antaranya sudah ditingkatkan statusnya ke penyidikan. Bahkan sudah masuk dalam
pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah Lengkap (P21).

"Ada 21 perusahaan lain yang masih dalam penyidikan dan belum P21. Nah 39
perusahaan lainnya itu KLHK akan memberikan sanksi administrasi dulu," kata
Kapolda.

Analisis Kasus

Kasus diatas berikut merupakan kasus yang sangat meresahkan masyarakat serta
sangat berbahaya pada masyarakat secara umum serta kesehatan masyarakat secara
khusus, karena perusahaan tersebut membuang limbah yang memiliki kandungan
berbahaya ke sungai Citarum sehingga menyebabkan polusi dan secara langsung
berbahaya pada masyarakat sekitar.

Pada kasus ini dapat diketahui bahwa pembuangan limbah oleh perusahaan ke
sungai Citarum dilakukan secara sadar, pasti dalam pelaksanaan pembuangan

28
limbah ke sungai Citarum mengesampingkan beberapa aspek, standar, dan
peraturan yang pastinya sudah ditentukan oleh Pemerintah.

Memang pada awalnya kasus tersebut dapat menguntungkan beberapa pihak saja,
semisalnya menguntungkan beberapa manajemen karena dapat memotong ongkos
pengolahan limbah agar lebih terstreril dan tidak berbahaya pada lingkungan
sekitar. Namun, pada akhirnya saat kasus ini terungkap, perusahaan secara
keseluruhan akan mengalami kerugian yang besar. Karena perusahaan tersebut
dapat dijatuhi sanksi operasi oleh pemerintah, sehingga perusahan tidak dapat
beroperasi lagi. Dan pada akhirnya, seluruh perusahaan akan mengalami kerugian.

Solusi

Seharusnya perusahaan taat terhadap peraturan pemerintah yang sudah ditetapkan,


yang pada sebagaimana semestinya peraturan pemerintah dibuat untuk kebaikan
secara umum. Sehingga jika perusahaan mengikuti peraturan pemerintah, maka
secara tidak langsung, perusahaan sudah memperhatikan kebaikan secara umum.
Tidak hanya mengedepankan keuntungan secara maksimal, namun harus
mengedapnkan keuntungan secara masyarakat umum.

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Profit maximalization atau maksimalisasi keuntungan tidak semerta


mengenai jumlah keuntung an yang didapatkan tetapi juga membahas segala
yang berkaitan dengan etika dan tindakan-tindakan dalam mencapai
keuntungan tersebut

2. Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor)
adalah suatu tindaka tidak etis dan melanggar hukum yang berdampak buruk
bagi banyak pihak

3. Keuntungan bukan merupakan faktor satu-satunya yang menentukan sukses


dalam bisnis, tetapi perlu diperhatikan proses yang berkaitan dalam mencapai
keuntungan tersebut

4. Suatu cara lain untuk mendekati tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan
itu sebagai the stekeholders ‘benefit,” manfaat bagi stekeholders “.

3.2 Saran

Seluruh pihak baik masyarakat, orang tua, pemerintah, instansi pendidikan


sudah seharusnya dapat saling berkolaborasi dalam hal-hal kebaikan untuk
mendukung suatu gerakan ekonomi yang tidak saling merugikan satu sama lain
tetapi saling memberikan manfaat kepada satu dan yang lainnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius

Okyere, Samuel. 2012. Are Working children’s rights and child labour abolition
complementary or oposing realms?. Sage Journal, 56(1), 80-91.

Nwanji, Tony Ike & Kerry E. Howell (2013). The Stakeholder Theory In The
Modern Global Business Environment International Management Journals, 1(1),
8-9

31

You might also like