You are on page 1of 12

Oleh: Dr.

Jasim Al-Muthawwa’

Penerjemah: Ust Fadhail Hosni, Lc (PJ Syar’i KAF Surabaya)

Seorang ibu berkata: Anakku berusia 8 tahun dan selalu bertanya, kenapa kita mati? Orang
kedua bertanya: Pada usia berapa saya berbicara dengan anak-anakku tentang surga dan
neraka? Orang ketiga: Sulit menjelaskan tentang hari kebangkitan dan fase-fase hari akhir ke
anak-anak, apa yang harus aku katakan kepada mereka? Orang keempat: Anak perempuanku
bertanya, apakah di surga ada binatang dan game? Orang kelima: Anakku usia 13 tahun
bertanya, apa yang terjadi pada orang mati dalam kubur?

Inilah beberapa pertanyaan yang saya terima seputar bagaimana mendidik anak-anak dan
berbicara dengan mereka tentang hari akhir.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus menentukan usia dan tingkat
pemahaman anak, karena biasanya anak-anak di bawah usia 7 tahun sulit bagi mereka untuk
menyerap hal-hal ghaib (metafisik) atau membayangkannya. Karena itu kita harus
memperhatikan sisi ini ketika kita berbicara dengan anak-anak.

Anak-anak usia dini penting sekali memfokuskan mereka selama bercakap bahwa Allah
mencintai mereka dan menginginkan kebaikan bagi mereka. Kita berbicara tentang sifat-sifat
Allah, kekuatan, dan keindahan ciptaan-Nya, dan kita wajib bersyukur kepada-Nya karena
Dia telah memberikan nikmat kesehatan, kesejahteraan dan kehidupan, tanpa masuk pada
detail hari akhir dengan fase-fasenya, mulai masuk kubur, hari kebangkitan, al-hasyr
(manusia dikumpulkan), didalamnya syafa’at, hisab, mizan (timbangan amal), tathayur
shuhuf (pembagian catatan amal), telaga, ujian keimanan manusia, titian shirat, jahannam,
qantharah (tempat membalas hukuman), kemudian terakhir surga. Maka tidak perlu masuk
pada detail ini semua saat berbicara dengan anak-anak dibawah usia 7 tahun. Tidak dilarang
berbicara dengan mereka seputar surga di dalamnya terdapat semua yang diinginkan mereka
dari permainan, coklat dan lainnya hingga kita bisa membuat mereka menginginkan surga
dan cinta Allah swt.

Sedangkan anak-anak yang usianya lebih dari 7 tahun, tidak masalah masuk kedalam yang
lebih rinci secara umum dan tidak terlalu detail pada fase-fase hari akhir. Namun, anak-anak
yang usianya lebih dari 12 tahun berbicara dengan mereka denga sangat rinci dan detail,
karena mereka telah mendekati usia baligh dan pemikirannya telah matang.

Adapun pertanyaan masalah kematian, kita jelaskan dengan cara yang benar dan sederhana
sesuai pemahaman anak, saya ingat ketika seorang suami bersama istrinya datang kepada
saya dan mengeluh soal penolakan istrinya untuk melakukan perjalanan (safar) dan ketika
dicari akar masalahnya ditemukan bahwa neneknya dulu meninggal saat ia masih kecil lalu
ibunya berkata bahwa nenekmu sedang bepergian (safar), lalu ia menjadi benci bepergian dan
takut sejak hari itu.

Jawaban yang salah akan mengantarkan pendidikan yang salah. Kematian adalah sebuah fase
dari kehidupan. Ketika anak menyaksikan burung mati, kita tanamkan kesempatan ini dan
berbicara tentang kematian bahwa kematian adalah fase lain dari kehidupan selain dunia di
mana manusia berpindah untuk menemui Tuhannya. Tetapi yang terpenting kita beramal
shaleh di dunia agar fase kematian lebih indah dari dunia di mana kita hidup. Seperti inilah
kita berbicara dengan anak tentang kematian tanpa menakuti-nakuti dan berdusta.

Sedangkan jika anak berusia lebih dari 7 tahun, kita beri maklumat tambahan bersifat umum.
Dan anak yang berusia lebih dari 12 tahun atau mendekati usia baligh, kita bisa bicara
dengannya seputar keluarnya ruh, nikmat dan siksa kubur tapi secara ringkas juga dan kita
fokus pada pentingnya manusia menjadi shalih dan taat kepada Tuhannya, memiliki akhlak
yang baik dan hubungan baik dengan orang lain serta melayani masyarakat.

Kita fokus mengarahkan anak untuk beramal shalih dan kenikmatan akhirat lebih kita
fokuskan daripada informasi yang menakutkan dan menyeramkan.

Inilah jawaban dalam kondisi kita berbicara dengan anak. Sedangkan jika anak bertanya
kepada kita dan ia memiliki informasi rinci yang ia dengar dari orang lain, maka dalam hal
ini jawaban kami untuknya berbeda dan merincinya pada beberapa poin, kita bersikap jujur
dengannya saat memberikan informasi tanpa masuk terlau detail hingga kita bisa
menenangkannya.

#2kurikulum

#imansebelumquran

#adabsebelumilmu
PENTAS ANAK KITA BUKAN DI AJANG LOMBA
Mimpi Nabi Yusuf
Suatu ketika Nabi Yusuf alayhi salam berkata kepada Nabi Ya’qub, “Wahai ayahku,
sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya
sujud kepadaku.” (QS 12:4)

Allah subhanahu wa ta’ala memberi pemuda yang suci ini sebuah anugerah yang besar. Nabi
Ya’qub melihat pertanda ini sejak putranya masih kecil. Kelak dia akan menjadi pembesar
yang mulia, dan keluarganya akan berkumpul hormat padanya. Namun saat ini, Ya’qub
alayhi salam mengetahui bahwa persaudaraan di antara ke-12 putra tidaklah harmonis. Ini
diungkap oleh Al-Qur’an dalam ayat-Nya,

“(Yaitu) Ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin)
lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan
(yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.” (QS 12:8)

Yusuf dan Bunyamin adalah saudara satu ibu, berbeda dengan 10 saudaranya yang lain.
Rupa-rupanya terselip perasaan iri di dalam hati, yang kemudian menjerumuskan mereka
dalam sebuah pesekongkolan. “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia kesuatu daerah (yang tak
dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah
kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS 12:9)

Hal ini sudah diperkirakan oleh ayah mereka, yang mengenal dengan baik watak putra-
putranya. Maka dari itulah jauh hari sebelum tragedi persekongkolan itu terjadi, saat si kecil
Yusuf mengisahkan mimpinya, sang ayah sudah berpesan, “Hai anakku, janganlah kamu
ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”

Siap Menerima Kabar Baik

Terkadang kita beranggapan, semua orang lebih suka mendengar kabar baik daripada kabar
buruk. Ternyata tidak semuanya siap, dan yang penting bukanlah suka atau tidak suka,
melainkan siap atau tidak siap. Kesiapan itu bentuknya adalah kesabaran dan ketaqwaan,
sedangkan ketidaksabaran dan maksiat adalah bukti ketidaksiapan.

Bukankah kita melihat orang yang kaget menerima kabar bahwa dia memenangkan hadiah
puluhan juta, atau mendapatkan warisan yang menjadikannya mendadak kaya, kemudian
berfoya-foya dan berlebih-lebihan (boros). Allah memperingatkan kita dalam maksiat ini,
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS 17:27).

Bukankah kita telah mendengar kisah si botak, si buta, dan si kusta yang disembuhkan Allah
subhanahu wa ta’ala dari penyakit yang dideritanya dan diberikan modal berupa hewan
ternak. Setelah mereka menjadi orang kaya, diujilah ketiganya dengan malaikat yang
menyerupai kondisi mereka dulu waktu sakit, yang datang dan meminta-minta. Ternyata
mereka ingkar, kecuali si buta yang bersyukur dan bersedekah.

Kabar baik tidak selalu membuat penerimanya menjadi baik, namun juga tidak otomatis
membuatnya menjadi buruk, hal itu sangat tergantung kepada jiwa penerimanya. Demikian
pula kabar buruk tidak serta merta akan membawa dampak buruk, meski juga tidak selalu
memberi dampak baik, lagi-lagi itu kembali kepada jiwa kita masing-masing: bagaimana
menyikapi dengan benar.

Maka agama ini menuntun kita untuk bersikap di tengah-tengah: SYUKUR & SABAR. Bila
mendapat kebaikan kita bersyukur, dan bila mendapat keburukan kita bersabar.

Bagaimana Menerapkannya Sehari-hari?

Dalam keluarga seringkali kita mendapat kabar gembira. Kala anak mulai pandai mengeja
hijaiyah, sementara usianya masih batita, tahanlah dulu kegembiraan. Janganlah kita buka
tabirnya pada semesta, semisal dengan “Alhamdulillah bu, si kecil sudah bisa mengaji,
padahal baru 2 tahun…”

Untuk apa menceritakannya kepada tetangga? Yang malah bisa memancing rasa iri saudara,
bila juga memiliki anak namun belum sepandai anak kita. Ingatlah, itu tidak akan
menambahkan kemuliaan kita.
Saat dia beranjak mengkhatamkan Qur’an di usia yang sangat belia, pendamlah dulu perasaan
bangga. Hingga dia berhasil menyelesaikan hafalan Qur’annya, janganlah tenggelam dalam
euforia, semisal mengumumkannya di media sosial, atau mengikutsertakannya dalam lomba-
lomba yang menjadikannya mengira untuk piala-lah dia menghafal kitab suci, yang
membuatnya menyangka bahwa kemenangannya adalah bukti dirinya telah berjalan lurus di
jalan Rabb-nya.

Bukan Tujuan Pendidikan Kita

Tujuan kita mendidik anak bukanlah supaya menjadi nomor satu karena telah melampaui
prestasi anak lain seusianya, bukan. Bukan pula mencari pengakuan dari manusia. Manisnya
buah-buah yang dapat kita petik semenjak dini usianya belum mencapai ujung pendidikan
kita. Perjuangannya masih melempang panjang di masa depannya. Prestasi sejati adalah
ketaatan kepada Ilahi, yang kerap kali tiada berbanding lurus dengan pujian-pujaan manusia.
Adalah tanggung jawab orang tua untuk menjaga mereka agar tetap jernih, tidak terkotori
oleh penyakit riya’, tidak melenceng karena mengejar dunia.

Bukankah kita senantiasa ingin meneladani kesederhanaan Uwais al Qarni, yang tiada dikenal
di bumi namun terkenal di langit?

Inilah ikhlas.

Penyejuk jiwa itu adalah ketika anak-anak kita istiqomah menegakkan shalat meski dibasuh
air dingin di tengah malam, tanpa kehadiran mata yang menyaksikan, tak ada lisan yang
menceritakan. Penentram hati itu adalah ketika mereka siap membela kehormatan agama
Allah meski nyawa menjadi taruhannya. Penawar jerih payah itu adalah ketika mereka selalu
melambungkan selaksa doa saat jiwa kita telah berpisah dari raga.

Inilah ikhlas.

Maka, kini simpanlah pekik gembira dan jadikanlah sebagai bait-bait doa di malam hari saat
Dzat Sang Penggenggam Jiwa turun ke langit dunia. Gantilah euforiamu dengan tekad yang
mengiringi tiap detik episode kehidupan anak. Pasanglah hijab-hijab untuk mereka dari mata
serta hati yang mungkin berbenih dengki. Bersabarlah, agar segenap ikhtiarmu berbuah surga.

Ya Allah Bimbing Kami

#2kurikulum

#imansebelumquran

#adabsebelumilmu
Generasi Yang dinanti
Jum’at ini, kembali merasakan dan menyaksikan pemandangan keimanan. Seorang assatidz
mentasmi’kan hafalan juz 29 dari surah Al Mulk hingga surah Al Muzammil.

Tak lama setelah tasmi’ dimulai, sampailah bacaan hingga surah Al Haqqah. Satu persatu
santri terisak, meneteskan air mata. Terlebih ketika sampai pada ayat-ayat yang bicara
tentang surga, azab dan neraka.

Tangis tak kuasa terbendung membanjiri pelupuk mata kami semua, tak terkecuali para
assatidz dan assatidzahnya.

Saat tasmi’ selesai, sebagian santri masih terisak. Assatidz yang tasmi’ hafalannya berucap :

“Maafkan kesalahan dan kekeliruan ustadz ya nak. Maafkan ustadz yang masih banyak
kekurangan ini. Seharusnya kalian mendapatkan guru yang lebih baik dari ustadz, lebih
bertakwa, lebih alim, lebih takut kepada Allah”.

Kami, para assatidz meresapi betul kalimat-kalimat tersebut. Betapa kami masih jauh dari
layak untuk menjadi guru bagi anak-anak istimewa tersebut.

Selepas tasmi’, masing-masing santri kembali ke kelas bersama gurunya masing-masing.


Dialog dan penguatan keimanan disampaikan.

Sebelum pulang, saya menutup halaqoh kelas dengan dua buah pertanyaan;

1. Santri yang tadi menangis saat mendengarkan Al Quran dibacakan, acungkan


tangannya..

Sebagian besar santri mengacungkadn Tanya, dan saya mulai menanyakan tentang alas an
kenapa mereka menangis? Ternyata dari Jawaban mereka yang kian membuat kami
terhenyak sekaligus termotivasi.

Salah seorang santri berucap, “aku menangis, karena aku nggak tau ustadz, amal baik atau
amal buruk yang lebih banyak. Aku takut masuk ke neraka dan ingin banget masuk ke
surga”.

2. Sebelum tadi tasmi’, seorang ustadz memberikan amanah pada kalian untuk
memperbanyak do’a di hari Jumat. Apa sih yang kalian mintakan ke Allah,
boleh ceritakan ke ustadz?

Semua santri mengacungkan tangannya, saya menunjuk beberapa santri untuk berbicara.

Seorang santri berucap, “Aku berdoa supaya dimasukkan ke dalam surga firdaus dan bertemu
dengan rasulullah”.
Santri lain berujar, “Aku berdoa supaya bisa dimasukkan ke dalam surga sekeluarga beserta
kaum muslimin seluruhnya”

Allahu akbar

Mata kami makin berkaca-kaca, tak kuasa menahan haru biru kesyukuran yang membuncah.

Hal seperti inilah yang selalu menjadi penguat kami, ketika kelelahan dan keletihan mendera
sekujur tubuh

Nak, kami titipkan masa depan ummat ini, di pundak-pundak kalian kelak.

Biarlah kami menjadi batu-bata dan pondasi bagi kebesaran kalian di masa depan.

Ya Allaah, bimbinglah kami

#2kurikulum

#imansebelumquran

#adabsebelumilmu
ORANGTUA YANG HILANG DI ZAMAN NOW

Tiga elemen pendidikan yaitu peran sekolah, guru, dan orang tua. Bila kita lihat hari ini,
kebanyakan sekolah-sekolah yang ada kehilangan salah satu perannya. Apakah itu?

Jawabannya adalah peran orang tua. Ya, peran orang tua yang hilang…
Mengapa hilang?

Dari beberapa calon orang tua santri yang diwawancarai, jawaban mereka rata-rata:

1. Orang tua yang sibuk


2. Orang tua santri kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran
3. Orang tua santri tidak tahu detil dan urutannya apa yang diajarkan oleh guru kepada anak-
anak mereka. Bagaimana keimanan mereka, adab mereka, juga kemampuan anak anak
mereka. Tiba-tiba ulangan, UTS, hingga akhirnya pembagian raport… Saat pembagian raport
ngobrolnya lama, entah apa yang diobrolkan.

Peran orang tua santri hampir diambil alih semua oleh guru dan sekolah. Peran orang tua
santri baru akan dilibatkan dalam biaya bulanan atau uang masuk yang sifatnya transaksional.

Orang tua santri kurang begitu tahu apa yang diajarkan oleh guru di dalam kelas. Kurang tahu
perkembangan sehari-hari anak-anak kandung yang dilahirkan dari rahimnya.

Padahal nantinya, para orang tua yang akan diminta pertanggungjawabannya, bukan gurunya
apalagi sekolah. Jawaban apa yang akan diberikan kepada malaikat jika peran orang tua santri
sudah hilang?

Sekolah boleh tidak ada. Guru-guru akan pergi, namun peran orang tua tidak boleh pergi lalu
hilang dimakan sistem dan zaman yang usang ini.

Hadirnya Kuttab, sejatinya ingin mengembalikan peran orang tua dalam mendidik anak anak
mereka.
Guru hanya sekadar membantu… Semua akan dikembalikan pada orang tua, elemen yang
paling bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka.

#2kurikulum

#imansebelumquran

#adabsebelumilmu
TERNYATA INILAH HIKMAHNYA

Link artikel sebelumnya:


http://www.kuttabalfatih.com/berbaik-sangkalah-kepada-nya/

Setelah pertanyaan malaikat tentang apa hikmah dari penciptaan manusia kepada Allah
sebagaimana al Hafidz Ibnu Katsir sampaikan di kitabnya Qashash al Qur’an, maka Allah
pun menjawab pertanyaan para malaikat dengan firman-Nya: “Qaala innii a’lamu maa laa
ta’lamuun.” “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”

Ayat di atas terdapat pada surat al Baqarah ayat 30. Kalau kita perhatikan dengan seksama
ayat ini, maka akan kita temukan dua kata yang berakarkan ilmu, yaitu “a’lamu” dan
“ta’lamuun” hal ini memberi petunjuk pentingnya bertindak dan berucap dengan ilmu.

Berikutnya adalah firman Allah diatas menjelaskan pada kita, betapa luasnya ilmu yang
dimiliki Allah, oleh karenanya salah satu dari nama-nama Allah adalah al ‘Aliim dan kata al
‘Aliim dalam al Qur’an terulang sampai 154 kali.

Tahukah kita posisi keberapa nama Allah “al ‘Aliim” disebut dalam al Qur’an? ‘Athif Rajab
al Qaanuu’ dalam al I’jaz al Bayani fi Nadzmi Khawatim al Ayat kata al ‘Aliim menduduki
posisi pertama diantara nama-nama Allah yang sering disebut dalam al Qur’an.

Inilah sebabnya kenapa Islam mengawali perjalanannya dengan kata “Iqra” bacalah, karena
membaca adalah jalan untuk meraih ilmu dan dengan ilmu Allah ingin mengangkat derajat
umat Islam di atas umat-umat yang lain, sebagaimana kata al ‘Aliim nama Allah yang paling
banyak terulang dalam al Qur’an.

Hal ini yang ingin disampaikan Allah kepada seluruh makhluk-Nya, bahwa ilmu Allah sangat
luas dan ilmu makhluk-Nya hanya sedikit sebagaimana firman Allah: “Wamaa uutiitum
minal ‘ilmi illa qaliilan”. Kalau ilmu makhluk-Nya (termasuk kita) hanya sedikit, maka
tunduklah kepada Dzat yang memiliki ilmu yang sangat luas.

Ketundukan inilah yang ditunjukkan para malaikat di hadapan Allah dengan cara bertanya
apa hikmah di balik penciptaan manusia, yang oleh Allah dijawab dengan: “Innii a’lamu maa
laa ta’lamuun.”

Berkaitan dengan firman Allah tersebut, al Hafidz Ibnu Katsir dalam Qashash al Qur’an
menyampaikan terkait hikmah penciptaan manusia: “Akan muncul dari golongan manusia
para Nabi, Rasul, orang-orang jujur dan para pejuang di jalan Allah.”

Iya, akan muncul orang-orang beriman, shalih, baik dan penyeru kebaikan yang melalui
mereka Allah ingin memakmurkan bumi, sehingga nama Allah disucikan dan diagungkan
kurang lebih seperti itulah makna ungkapan al Hafidz Ibnu Katsir.

Kemunculan para Nabi, Rasul, orang-orang jujur dan para pejuang di jalan Allah tidak
terlepas dari bekal yang diberikan Allah kepada mereka, dan bekal itu adalah ayat setelahnya:
“Wa ‘allama Aadama al asmaa-a kullahaa,” “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama
semuanya.”
Subhaanallah, ternyata dari awal penciptaan manusia Allah sudah kaitkan dengan aktifitas
keilmuan. Lalu kenapa kita berpaling dari ilmu, kalau sejarah kita sangat akrab dengan
keilmuan?

Maka bacalah wahai anak cucu Adam, supaya hikmah penciptaan kita menyebar di seluruh
pelosok alam.

#2kurikulum

#imansebelumquran

#adabsebelumilmu

#sentuhanembunAMT
#2

You might also like