You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya,
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga
ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada
tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia,
yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.
Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan
Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai
patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat
ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk
menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper
mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih
diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh
pasien kusta.
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India. Pada 1995, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang
cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita
dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok
penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan
Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir
1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga,
bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan
menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan
multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan

1
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja
tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat
dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan
ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa
daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang
ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta ?
2. Bagaimana epidemiologi dari kusta ?
3. Bagaimana pengkajian keperawatan pada pasien kusta ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta.
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari kusta.
3. Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada pasien kusta.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2
A. Pengertian Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Kushta yang berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kusta yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1872 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli,
2003). Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.
Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Penyakit ini
sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta bukan penyakit
keturunan atau kutukan Tuhan. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia
Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk
ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-
pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia
diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agamanya dan berdagang.
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis

3
Reaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktif
disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati
dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata,otot, tulang, dan testis.
Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi yang berlangsung dalam waktu
lama, penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini dapat
menyebabkan gangguan kulit, saraf tepi, dan jaringan lain. Adapun penularan
penyakit kusta selama ini hanya diketahui melalui kontak langsung dengan
penderita penyakit kusta terutama yang sudah menahun.
Penyakit kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena dapat
menyebabkan pemendekan jari-jari atau cacat tubuh sehingga menimbulkan
masalah sosial, psikologis dan ekonomis. Penderita penyakit kusta bukan
menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakatnya.
Meski penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penderitanya
bisa mati karena sanksi sosial berupa tindakan diskrimanasi pengucilan dari
masyarakat. Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia sebagai penyumbang
penderita kusta terbanyak. Bahaya penyakit kusta adalah menyebabkan cacat
permanen pada anggota tubuh.

B. Etiologi Kusta
Penyebab kusta adalah kuman Mycobacterium leprae. Dimana
mikrobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan
asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit,

4
terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya Mycrobacterium
Tuberculosis, Mycrobakterium Leprae) yang menyebabkan penyakit menahun
dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion. Mycobacterium leprae
belum dapat dikultur pada laboratorium.

(Gambar 1. Mycobacterium leprae)

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah


dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga
faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan
pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula
mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan
adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa
inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan
pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan

5
kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa
masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

C. Epidemiologi

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas,


penularan di dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dekat dalam waktu
yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda
tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita,
yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan
penyakit kusta adalah :
1. Sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7 hari)
2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya dibawah umur 25 tahun karena
anak-anak lebih peka daripada orang dewasa, keduanya harus ada lesi
baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang.

6
3. Kontak dekat dan penularan dari udara (droplet).
4. Faktor tidak cukup gizi.
5. Kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat dalam jangka
waktu yang lama.
6. Lewat luka.
7. Saluran pernafasan atau inhalasi.
8. Air susu ibu (kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1) Faktor Kuman Kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh
(solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan
daripada kuman yang tidak utuh lagi. Mycobacterium leprae bersifat
tahan asam, berbentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar
0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta
dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 sampai 9 hari tergantung
suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid)
saja dapat menimbulkan penularan (Depkes RI, 2002).
2) Faktor Imunitas
Sebagian manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang
yang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2
orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh
pengobatan (Depkes RI, 2002).
3) Keadaan Lingkungan
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan
kemiskinan, merupakan faktor penyebab tingginya angka kusta.
Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas
merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4) Faktor Umur

7
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun
dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan
umur dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara
perlahan-lahan menurun.
5) Faktor Jenis Kelamin
Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak daripada wanita,
kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor
fisiologis seperti pubertas, menopause, kehamilan, infeksi dan
malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta.

D. Tanda dan Gejala Kusta


Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam tergantung dari tingkat atau
tipe dari penyakit tersebut. Secara umum tanda-tanda itu adalah :
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan atau tubuh manusia.
b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama
semakin melebar dan banyak.
c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,
aulicularis magnus serta peroneus.
d. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
e. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit.
f.Alis rambut rontok.
g. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka
singa).

Gejala-gejala umum pada kusta atau lepra, reaksi :


a. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
b. Anoreksia.
c. Nausea kadang-kadang disertai vomitus.

8
d. Cephalgia.
e. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
f.Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
Hepatospleenomegali.
g. Neuritis.

Bakteri penyebab kusta memiliki kemampuan yang lambat dalam


menginkubasi, maka gejala tidak akan muncul pada 1 tahun setelah seseorang
terinfeksi bakteri ini. Rata-rata gejala akan muncul pada kurun waktu 5 th – 7 th.
Gejala-gejala dari penyakit kusta antara lain:
1. Lesi di Kulit
Warna kulit lebih terang dari yang normal seperti panu.
2. Mati Rasa
Kulit yang berada di sekitar lesi menjadi kaku dan mati rasa yang
disebabkan karena kerusakan saraf tepi.
3. Kaku Otot
Disebabkan oleh infeksi bakteri yang menyerang otot, sehingga
menyebabkan otot kaku.
4. Ada bagian tubuh yang tidak berkeringat.
5. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka
Gejala dan tanda dari penyakit kusta berbeda-beda pada tiap tipenya,
namun pada umumnya kelainan kulit dimulai dari bercak putih bersisik halus pada
bagian tubuh ialah awal penyakit kusta.

Faktor resiko antara lain :


Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain

9
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta
dua kali lebih tinggi dari wanita.

E. Patogenesis Penyakit Kusta


1. Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai
timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-
tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali penderita tidak
menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya
penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun
banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita
kusta (Agusni, 2001).
2. Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang
terletak di perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang
dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C.
Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein
21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang -2 G receptor
sejenis  dipunyai sel schwann yaitu laminin-dystroglycam.
Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil  kusta pada
perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa
menangkap antigen seperti Mycobacterium leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II
yang mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta
dapat berkembang biak di sel schwann (Agusni, 2003).
3. Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil
kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan
proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan
spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari
semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity
sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae
tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag

10
untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan
pelumatan berhasil.
4. Keterkaitan Humoral Immunity dan Cell Mediated Immunity dalam
membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum
gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid – Tuberkuloid
(TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline – Borderline
(BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous –
Lepromatous (LL) (Jopling, 2003).

F. Pathways Penyakit Kusta

Kontak

Terinfeksi Tidak Terinfeksi

Subklinis 95 %

Sembuh
Indaterminate(1) 70%
30%
Determinate

I TT BT BB BL LL

Keterangan:
I = inderterminate
TT = tuberkuloid
BT = borderline tuberculoid

11
BB = mid boderline
BL = boderline lepromartous
LL = lepromatosa

G. Klasifikasi dan Gambaran Klinis Tipe Kusta


Penyakit kusta terdiri dari bermacam-macam tipe, berikut klasifikasi kusta
menurut Ridley Jopling berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo
patologik, dan status imun penderita menjadi : (Dirjen PPM & PLP, 1998)
1. Tipe Tuberkoloid (TT) : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa
dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah
biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan
sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA
( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
a. Mengenai kulit dan saraf.
b. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
c. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama
dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer
yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
d. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid (BT) : Lesi berupa makula/infiltrat
eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah,
gangguan sensibilitas ( + ).
a. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas
tipe TT.
c. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Boderline (BB) : Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa
permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan

12
infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu
jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan
jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
a. Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
b. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
c. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi
melebihi tipe BT, cenderung simetris.
d. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
e. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk
oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas
tipe ini.
4. Borderline Lepromatous (BL) : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah
banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas
sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out.
Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada
tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5. Lepromatous-Lepromatous (LL) : Lesi infiltrat eritematosa dengan
permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris.
BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung,
uji Lepromin ( - ).
a. Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
b. Distribusi lesi khas :
1) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

13
2) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor
tingkat bawah.
c. Stadium lanjutan :
1) Penebalan kulit progresif
2) Cuping telinga menebal
3) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat
disertai madarosis, intis dan keratitis.
d. Lebih lanjut
1) Deformitas hidung
2) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
3) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
4) Penyakit progresif, makula dan popul baru.
5) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
e. Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
a. Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal.
b. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan
saraf.
c. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
d. Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain, yaitu :


a. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
b. Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
c. Tulang dan sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
d. Lidah : ulkus, nodus

14
e. Laring : suara parau
f. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
g. Kelenjar limfe : limfadenitis
h. Rambut : alopesia, madarosis
i. Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstitial.
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

H. Bentuk-Bentuk Penyakit Kusta


Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk, yakni :
a. Bentuk Leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris
pada tubuh. Untuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung
banyak kuman.
b. Bentuk Tuberkoloid mempunyai kelainan pada jaringan syaraf, yang
mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena
kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman.
Diantara bentuk leproma dan tuberkoloid ada bentuk peralihan yang bersifat
tidak stabil dan mudah berubah-ubah.

I. Pengobatan Penyakit Kusta


Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-
an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122
negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991,
disetujui resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat

15
pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO
diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,
klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Obat terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi
kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi
ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan
pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan
mudah. Jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah.(berbagai sumber/Ijs)
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940-an,
tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat
bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan
tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. {ada 1960-an,
dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya
menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960-an dan 1970-an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi
kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.
Terapi multi obat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh
Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multi obat.
Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan
atau resistensi bakteri. Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit
untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah

16
kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA)
ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta
sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk
ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk
mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multi obat standar.[29] Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,
klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada
negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga
akhir 2010. Pengobatan multi obat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi
pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu
pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun 1952 di
Indonesia, memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan
mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah resistensi, hal ini
disebabkan oleh karena :
1. Dosis rendah pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra
reaksi.
2. Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya
penderita makan obat tidak teratur.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta
dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros
dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita
menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan
menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi
makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita
dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :

17
a. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan
RFT secara teliti.
1) Semua bercak masih nampak.
2) Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan
tangan
3) Semua syaraf yang masih tebal
4) Semua cacat yang masih ada.
b. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka
penderita Langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin
semar).
3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku
register. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus
memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
a. Pengobatan telah selesai.
b. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan
sampai luka.
c. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk
pemeriksaan ulang
J. Diagnosa Penyakit Kusta
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta
menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat
disekitarnya). Bila ada keragu-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus
berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang
mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan
kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :
a. Klinis
b. Bakteriologi
c. Immunologis
d. Hispatologis
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnese dan
pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya

18
dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit,
selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan
mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit
atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes
serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada
lepra.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

19
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah
mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat
menyebar ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat
karena adanya ulserasi, mutilasi, dan deformitas yang disebabkannya, sehingga
merupakan masalah sosial, psikologis, dan ekonomis. Penderita kusta menderita
bukan karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakat yang pasti akan
menjauhi si penderita karena takut tertular dan tampilan yang menyeramkan.
Berapa jumlah penderita di dunia belum dapat diketahui pasti, diperkirakan
sebanyak 15 juta. Terutama pada daerah tropis dan sutropis serta pada wilayah
yang status kesehatannya rendah dan status sosial ekonominya rendah. Karena
Mycobacterium Leprae dapat berkembang dengan cepat pada daerah dan wilayah
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Gomez H.F dan Cleary T.G., Kolera, Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2,
edisi 12, EGC, Jakarta, 1992, hal 102

Hassan R dkk, Kholerae, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I,Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta, 1985, hal 302-306.

20
Keusch G.T dan Deresiewicz R.L., Kolera, Harrison Prinsip-prinsipIlmu Penyakit
Dalam, Volume 4, Edisi 5, EGC, Jakarta, 2000, hal766-768.

21

You might also like