You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

DENGAN KUSTA

Disusun Oleh

Nama : Achmad Faozi

NIM : P1337420617047

Kelas : 2A3 Reguler

PRODI S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2019
1. KONSEP DASAR
1.2 Definisi
Penyakit kusta atu lepra (Morbus hansen) adalah penyakit infeksi
menahun akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium Leprae yang
secara primer menyerang syaraf tepi dan secara secunder menyerang kulit
dan organ lainya (WHO, 2010; Noto & Scrheuder, 2010).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi
klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan sepectrum yang berbeda
diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada
penderita kusta lepromatosa menyerang saluran pernafasan atas dan
kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dalam jumlah banyak. Pada
penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas
lesi tegas, mati rasa. (Jurnal Unversitas Sumatra Utara, 2012).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratosius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda
Adhi, 2010)

1.3 Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam,
bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel
dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 um dan
diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang
gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-
Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah
terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya
terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan (in vitro).
Mycobacterium Leprae bersifat obligat intraseluler yang menyerang
saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas,
hati, dan sumsum tulang kecuali susunan sistem saraf pusat. Masa
membelah diri bakteri ini selama 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40
hari sampai 40 tahun.

1.4 Klasifikasi
Klasifikasi kusta bertujuan untuk menentukan regimen pengobatan
prognosis, komplikasi dan perencanaan operasional. Sehubungan dengan
penggunaan regimen Multi Drug Therapy (MDT), maka WHO
mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe, yaitu:
1.4.1 PB (Pausi Basiler)
Tipe PB adalah tipe kusta kering, tipe kusta ini tidak menular
tetapi cukup berbahaya bagi penderita karena dapat menimbulkan
cacat bilatidak diobati dengan teratur.
1.4.2 MB (Muti Basiler)

Tipe MB ini sendiri adalah tipe kusta yang dapat menular ke


orang lain.

Sedangkan secara klinis kusta diklasifikasikan dalam beberapa


klasifikasi berikut:

a. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan salah stu klasifikasi umum yang
disebut juga klasifikasi iternasional dan memiliki tujuan untuk
menentukan regiemen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
Klasifikasi ini dibedakan menjadi: tipe I (inditerminate), tipe B
(Borderline), tipe L (lepromatus).
b. Klasifikasi Ridley Jopling
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi lima kelompok berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histoptologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini
juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun
klasifikasi Ridley Jopling adalah tipe TT (Tuberculoid– Tuberculoid),
tipe BB (Borderline–Borderline), tipe BT (Borderline–Tuberculoid),
tipe BL (Borderline–Leptromatous), tipe LL Lepromatous–
Lepromatous (Adhi Djuanda, 2010:4).

1.5 Tanda dan Gejala


1. Becak kulit berbentuk seperti koin dimana pada tempat bercak tersebut
hilangnya atau berkurangnya kemampuan untuk merasakan sensasi
sentuhan, nyeri, panas atau dingin (mati rasa)
2. Hilangnya kemampuan saraf yang terkena infeksi untuk merasakan
sensasi di kulit
3. Lemas dan kelemahan otot
4. Berubahnya kulit menjadi lebih tebal (pada kusta lanjut)
5. Kulit kering
6. Mengalami demam atau panas tinggi
7. Mengalami kerontokan pada alis rambut

1.6 Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta. Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon
seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat
merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat
pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering
terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.

1.7 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
basil tahan asam. Diagnosa pasti apabila adanya mati rasa dan kuman tahan
asam pada kulit yang (+) (positif)
2. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag
kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel
langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan)
didalam granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
3. Pemeriksaan Serologi
Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta,
tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum
timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan
adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan
diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi
klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini mungkin.
Beberapa pemeriksaan serologi yang sering dilakukan adalah
a. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibody-Absorption test)
b. Radio Immunoassay (RIA)
c. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
d. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

1.8 Penata Laksanaan


1. Beri penjelasan pada penderita tentang tindakan yang akan dilakukan.
2. Korek septum nasi dengan oese untuk mendapatkan sekret hidung
(tindakan ini sudah jarang dilakukan karena tidak nyaman untuk
penderita).
3. Kerokan dihasilkan dengan membuat irisan dangkal dengan skalpel
pada cuping telinga yang sebelumnya di desinfeksi dengan kapas
alkohol kemudian dijepit dengan jari sehingga pucat.
4. Korokan yang dihasilkan setelah mengadakan irisan dangkal dengan
skalpel pada lesi (makula) yang sebelumnya dijepit dengan pinset
sampai pucat.
5. Luka sayatan cukup ditekan dengan kapas steril yang kering untuk
menghentikan perdarahan.
2. WOC

M. Leprae Resiko Trauma Sensabilitas


M. Tuberkoloid

Menyerang kulit Menyerang saraf tepi Neuritis


dan saraf tepi sensorik & motorik

Macula, nodula, Ulkus Menyerang saraf ulnaris, nervus


papula popliteus, nervus aurikularis,
nervus radialis
Keganasan cancer
Kulit terlihat rusak epidemoid
Kelumpuhan otot

Malu Metastasea
Kontraktur otot dan sendi

Inefektif koping
individu
Gangguan aktivitas

Gangguan citra Amputasi


tubuh Hambatan mobilitas
fisik

Infasif bakteri

Gangguan rasa nyaman Perubahan aktivitas


Resti infeksi Nyeri

Resti Cidera Hambatan mobilitas


fisik
3. PENGKAJIAN
a. Biodata
Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat menyerang
semua usia, jenis kelamin; rasio pria dan wanita 2,3:1,0. Paling sering terjadi
pada daerah dengan sosial-strip ekonomi yang rendah dan insidennya
meningkat pada daerah tropis atau sub tropis. Kaji pula secara lengkap jenis
pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial-ekonomi, resiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
b. Keluhan Utama
Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa atau datang dengan keluhan
kontraktur pada jari-jari.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan bagaimana
proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan lainnya. Pada
beberapa kasus, ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas atau rasa tebal. Kaji
juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan laboratorium. Ini penting
untuk mengetahui apakah klien pernah menderita penyakit tersebut
sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat kulit yang dioles atau
diminum? pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga ditanyakan
apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah, obat apa yang
diminum? Teratur atau tidak?
d. Riwayat penyakit dahulu.
Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya, M. Leprae dapat masuk ke daam tubuh. Oleh
karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain
yang pernah diderita.
e. Riwayat penyakit keluarga.
Penyakit kusta ukan penyakit turunan, tetapi jika anggota keluarga atau
tetangga menderita penyakit kusta, risiko tinggi tertular sangat mungkin
terjadi. Perlu dikaji adakah anggita keluarga lain yangmenderita atau
memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun sudah
meninggal.
f. Riwayat psikososial.
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan. Ini
disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan respons masyarakat
di sekitar klien.
g. Kebiasaan sehari-hari.
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-hari,
perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan / nutrisi klien. Hal ini sangat
penting karena faktor gizi berkaitan erat dengan sistem imun. Apabila sudah
ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan kemampuan klien dalam
menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu.
h. Pemeriksaan fisik
Seperti pada kasus yang lain, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara
menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja. Kelenjar regional juga
harus diperiksa karena pada penderita kusta dapat pula ditemukan adanya
pembesaran beberapa kelenjar limfe. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan
denagan cara inpeksi,palpasi dan pemeriksaan sederhana menggunakan
jarum, kapas, tabung reaksi (masing-masing dengan air panas dan es),
pensil tinta dan sebagaiya.

Inpeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit.


Biasanya dapat ditemukan adanya macula hipopigmentasi/ hiperpigmentasi
dan eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin denga batas yang
kurang jelas atau jelas, bergantung pada tipe yang diderita. Pada tipe tuber
kuloid, dapat ditemukan gangguan saraf kulit yang disertai dengan
penebalan serabut saraf, nyeri akibat peradangan atau reaksi
fibrosis,anhidrasis, dan kerontokan rambut (sering dijumpai pada rambut
asli dan bulu mata).
Pada kusta tipe repromatus , dijumpai hidung pelana dan wajah
singa(lionin face). Selain itu, ada pula kelainan otot berupa atrofi distese
otot di yang di tandai dengan keumpuhan otot otot, diikuti kekakuan, sendi
atau kontraktur sehingga terjadi clow hean , drop put, dan drop hean,
kelainan pada tulang dapat berupa osteomilitis dan resopsi tulang yang
mengakibatkan pemendakan dan kerusakan tulang( ujung
bengkok),terutama jari jari tangan dan kaki.
Pada penderita kusta, dapat juga ditemukan kelain pada mata akibat
kelumpuhan m.orbicularis aulisehingga terjadi lago pthalamus atau mata
tidak dapat dipejam kan, akibatnya mata menjadi kering dan berlanjut pada
keratitis,ulkus kornea,iritis,iridosikilitik dan berahir dengan kebutaan.
Pada testis dapat terjadi patrofi yang mengakibatkan ginekomastia.
Kecatatan yang seringa diderita oleh penderita kusta disebabkan kerusakan
fungsi saraftepi dan neuritis waktu terjadi reaksi kusta, juga cidera pada
anesthesia.

4. RUMUSAN DIAGNOSA KEPERAWATAN (DAFTAR MASALAH)


1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan citra tubuh terhadap
lesi pada kulit.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot dan kaku
sendi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh
primer dan kerusakan integritas kulit.
4. Resiko trauma berhubungan dengan peningkatan resiko cidera jaringan
karena neuritis.
5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.
5. PERENCANAAN (NCP)

No Diagnosa NOC / Tujuan NIC/ Intervensi


Keperawatan
1 Gangguan citra Tujuan:  Kaji secara verbal
tubuh  Body image dan non verbal
berhubungan  Self esteem respon klien terhadap
dengan Kriteria hasil: tubuhnya
perubahan citra  Body image positif  Monitor frekuensi
tubuh terhadap  Mampu mengkritik dirinya
lesi pada kulit. mengindetifikasi  Jelaskan tentang
kekuatan personal pengobatan,
 Mendriskripsikan perawatan, kemajuan
secara faktual dan prognosis
perubahan fungsi penyakit
tubuh  Dorong klien
 Mempertahankan mengungkapkan
interaksi sosial perasaannya
 Identifikasi arti
pengurangan melalui
pemakaian alat
bantu.
2 Hambatan Tujuan :  Monitor TTV
mobilitas fisik  Joint movement : sebelum/sesudah
berhubungan aktive latihan dan lihat
dengan  Mobility level respon pasien saat
kontraktur otot  Self care : ADLs latihan
dan kaku sendi.  Tranfer performance  Konsultasikan
Kriteria hasil : dengan terapi fisik
 Klien meningkat dalam tentang rencana
aktivitas fisik
 Mengerti tujuan dalam ambulasi sesuai
peningkatan mobilitas dengan kebutuhan
 Mengungkapkan  Ajarkan pasien
perasaan secara lisan tentang teknik
dalam meningkatkan ambulasi
kekuatan dan  Kaji kemampuan
kemampuan berpindah. pasien dalam
mobilisasi
 Latih pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
kemampuan
3 Resiko infeksi Tujuan:  Bersihkan
berhubungan  Immune status lingkungan setelah
dengan  Knowledge : Infection dipakai pasien lain
ketidakadekuatan control  Pertahankan teknik
pertahanan tubuh  Risk control isolasi
primer dan Kriteria hasil:  Batasi pengunjung
kerusakan  Klien bebas dari tanda bila perlu
integritas kulit. dan gejala infeksi  Instruksikan pada
 Mendiskripsikan pengunjung untuk
proses penularan mencuci tangan saat
penyakit, factor yang berkunjung dan
mempengaruhi setelah berkunjung
penularan serta meninggalkan pasien
penatalaksanaannya  Gunakan sabun
 Menunjukkan antimikrobia untuk
kemampuan untuk cuci tangan
mencegah timbulnya  Cuci tangan sebelum
infeksi dan sesudah tindakan
 Jumlah leukosit dalam keperawatan
batas normal  Gunakan baju, sarung
 Menunjukkan perilaku tangan sebagai alat
hidup sehat pelindung
 Pertahankan
lingkungan aseptik
selama pemasangan
alat
4 Resiko trauma Tujuan : NIC :
berhubungan  Knowledge: personal  Sediakan lingkungan
dengan safety yang aman untuk
peningkatan  Safety behaviour: fall pasien
resiko cidera prevention  Identifikasi
jaringan karena  Safety behaviour: fall kebutuhan keamanan
neuritis. occurance pasien sesuai dengan
 Safety behaviour: kondisi fisik dan
physical injury fungsi kognitif serta
 Tissway intregity: skin riwayat penyakit
and mucosa membrane terdahulu pasien
Kriteria Hasil:  berikan penjelasan
 Pasien terbebas dari pada pasien dan
trauma fisik keluarga atau

 Lingkungan rumah pengunjung adanya

aman perubahan status

 Perilaku pencegaha kesehatan dan

jatuh penyebab penyakit

 Dapat mendeteksi
resiko
 Pengendalian resiko :
pengetahuan personal
safety

5. Resiko cidera Tujuan : NIC :


berhubungan  Risk control  Sediakan lingkungan
dengan Kreteria hasil : yang nyaman untuk
kerusakan  Pasien tebebas dari pasien
integritas kulit. cidera  Identifikasi
 Pasien mampu kebutuhan keamanan
menjelaskan cara pasien sesuai dengan
untuk mencegah cidera kondisi fisik dan
 Mampu mengenali fungsi kognitif serta
perubahan status riwayat penyakit
kesehatan terdahulu pasien
 Sediakan tempat
tidur yang nyaman
dan bersih
 Hindarkan
lingkungan yang
berbahaya
 Anjurkan keluarga
untuk menemani
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction.
Muttaqin Alim, Sari Kumala. 2013. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta: Salemba Medika.

You might also like