You are on page 1of 13

Nama : Riska Dwi Indriyanti

NIM : P07120117079

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak .
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor
swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika
hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum
yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi
pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.( Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi,


yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan
tata nilai baru dalam masyarakat,. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para
anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada
umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law)
dan Peraturan (Regulation). Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan,
dan cara bertindak (tentang organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita,
tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
usaha mencapai sasaran tertentu. Kebijakan berbeda makna dengan
Kebijaksanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kebijaksanaan adalah
kepandaian seseorang menggunakan akal budinya (berdasar pengalaman dan
pangetahuannya); atau kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan.
Kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang memperbolehkan sesuatu
yang sebenarnya dilarang berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan
kemanusiaan, keadaan gawat dll. Kebijaksanaan selalu mengandung makna
melanggar segala sesuatu yang pernah ditetapkan karena alasan tertentu. Menurut
UU RI No. 23, tahun 1991, tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan sejahtera
dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara soial dan ekonomi (RI, 1992). Pengertian ini cenderung tidak berbeda
dengan yang dikembangkan oleh WHO, yaitu: kesehatan adalah suatu keadaan
yang sempurna yang mencakup fisik, mental, kesejahteraan dan bukan hanya
terbebasnya dari penyakit atau kecacatan. Menurut UU No. 36, tahun 2009
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Kebijakan kesehatan membahas tentang penggarisan kebijaksanaan
pengambilan keputusan, kepemimpinan, public relation, penggerakan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan program - program kesehatan.

Langkah-langkah pembuatan kebijakan

Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan
membahas hanya tiga model.

Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan


merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki
cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-
tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara
jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun
1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai variasi, namun
memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The Decision Process: Seven
Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press: 1956; Jenkins,
W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin
Robertson: 1978).

Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah
yang teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting).
Kemudian setelah informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai
pilihan dan alternative kebijakan, sehingga dapat disusun sebuah kebijakan
(policy formulation). Kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan
yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu kebijakan yang
memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah kebijakan
yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy
implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan
masalah-masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan
dan memulai siklus ini kembali.

Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional


seperti ini. Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit
dan kompleks karena dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan
dan berbagai aktor, dipengaruhi pula oleh latar belakang pengalaman
implementasi kebijakan terkait atau kebijakan sebelumnya, di'arah'kan oleh
berbagai 'suara' kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki ranah politik
kepentingan.
Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses
pencarian informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya
sistematis, dan dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai
tujuan tidak dapat terlihat nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang
tersedia hanya bisa dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan
terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih seringkali adalah kebijakan yang
mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang mempertimbangkan
pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya, kebijakan
seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit
(Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration
Review 19 (2), p. 79-88).

Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model "tong
sampah" (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu
dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau
kebijakan terkait (policy stream) atau dari kepentingan politis (political stream).
Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan seringkali tidak terduga arahnya.
Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi yang diperkirakan dapat
berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can
Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972, p. 1-
25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins
College Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena
dimotivasi oleh hal-hal lain, yaitu:

1. Decision by Oversight: kebijakan dibuat for the sake of making deci¬sion


tanpa peduli apakah menyelesaikan masalah atau tidak.
2. Decision by Flight: keputusan tidak dibuat sampai masalahnya pergi
meninggalkan pilihan yang ada.
3. Decision by Resolution: masalah akan diselesaikan secara ad-hoc.
Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi
permasalahan. Para pengambil keputusan harus segera pindah ke 'penyelesaian'
masalah berikutnya.

2. Agenda setting

Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus


bersaing untuk mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di
berbagai level, termasuk agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan
presiden, dan agenda birokrasi. Aktor kunci yang menentukan pengaturan agenda
termasuk think tank, kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah.

Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model 'teknokratis'
dan model 'politik'. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai
hasil dari para pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan
beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari
pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan,
jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang
sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah
sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model politik,
pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat
dari perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan.
Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda
kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan' dan
'kesempatan untuk tindakan' (Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa
hanya itu permasalahan yang ada di lapangan. Dalam analisis kebijakan,
"masalah" merupakan konstruksi analitik, namun dalam politik "masalah" adalah
konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang
teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang
diakui atau disahkan sebagai "masalah" adalah produk dari proses politik. Oleh
karena itu, walau pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya
masuk ke dalam agenda kebijakan.

Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara.
Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak
memenuhi harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam
agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan
publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian
dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda
building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan
dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui
proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk
melalui dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan
agenda mass media (Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research:
Where has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p.
555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat bertindak sebagai pemicu
kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda kebijakan.
Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.
Gambar
4. Agenda Setting

Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus
menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi
pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari
bahwa tidak semua 'agenda publik' dan 'agenda media' akan masuk ke dalam
siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya
menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun memiliki
keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat
dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis.

3. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat


diterima untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda
kebijakan.

Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:

 Formulasi efektif, berarti bahwa kebijakan yang diusulkan dianggap


sebagai solusi yang valid, efisien, dan dapat diterapkan. Jika kebijakan ini
dilihat sebagai tidak efektif atau tidak bisa dijalankan dalam prakteknya,
maka tidak ada alasan yang sah untuk mengusulkan rumusan kebijakan
tersebut. Oleh karena itu, terdapat berbagai alternatif kebijakan yang
diusulkan. Ini adalah fase analisis dari perumusan kebijakan.
 Formulasi diterima berarti bahwa arah kebijakan yang diusulkan
kemungkinan akan disahkan oleh pengambil keputusan yang sah, biasanya
melalui suara mayoritas dalam proses tawar-menawar. Artinya, kebijakan
itu harus layak secara politis. Jika kebijakan kemungkinan akan ditolak
oleh pengambil keputusan, mungkin tidak praktis untuk menyarankan
kebijakan tersebut. Ini adalah fase politik perumusan kebijakan.

Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase
analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus
dianalisis untuk menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi
masalah, efisien dan dapat dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis
dalam rumusan kebijakan, misalnya:

1. Analisis Biaya-Manfaat
2. Model multiobjectives
3. Analisis Keputusan (decision analysis)
4. Analisis Sistem (system analysis)
5. Operation research
6. Nominal group technique

Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis
sistem yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke
lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu
hanyalah salah satu bagian saja dari proses rumusan kebijakan, karena ada fase
selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau ditunjuk secara politis
bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik dan
efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal
tersebut.

Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi


teknis mengenai cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari
kebijakan, baik atau buruk. Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung
jawab langsung kepada publik. Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas
nilai, dan beban efek keseluruhan pada akhirnya tetap harus diambil oleh para
pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel terhadap masyarakat dalam
sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya otorisasi dari para
pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang dan
kekuatan hukum.

Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara
kita. Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar
sebuah usulan kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya
dengan memahami proses perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi
aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dan siapa pengambil keputusan.
Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry point' ke dalam area
kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang
terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya
dapat dimasuki dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan

Adanya Pengaruh Tekanan-Tekanan Dari Luar

Seringkali administrator harus membuat keputusan karena adanya tekanan-


tekanan dari luar, walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan dengan nama
“rational comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan
harus mempertiimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan
penilaian ”rasional” semua, tetapi proses dan prosedur pembuatan keputusan itu
tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata. Sehingga adanya tekanan-tekanan dari
luar tiu ikut berpengaruh terhadap proses pembuatan keputusannya.

Adanya Pengaruh Kebiasaan Lama (Konservatisme)

Kebiasaan lama organisasi (Nigro menyebutnya dengan istilah “sunk costs”)


seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu sekali dipergunakan
untuk membiayai progama-progama tertentu, cenderung akan selalu diikuti
kebiasaan itu oleh para administrator kendatipun misalnya keputusan-keputusan
yang nerkenaan dengan itu telah dikritik sebagai salah dan perlu di ubah.
Kebiasaan lama itu akan terus diikuti lebih-lebih kalau suatu kebijaksanaan yang
telah ada dipandang memuaskan. Kebiasaan-kebiasaan lama tersebut seringkali
diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering segen secara terang-
terangan mengkritik atau menyalahkan kebiasaankebiasaan lama yang telah
berlaku atau yang dijalankan oleh para pendahuluannya, apalagi para
administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan karirinya.

Adanya Pengaruh Sifat-Sifat Pribadi

Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak


mempengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya. Seperti misalnya alam proses
penerimaan/pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi
pembuat keputusan berperan besar sekali.

Adanya Pengaruh Dari Kelompok Luar

Lingkungan sosial dan para pembuat keputusan juga berpengaruh terhadap


pembuatan keputusan, seperti contoh mengenai masalah pertikaian kerja, pihak-
pihak yang bertikai kurang menaruh respek pada upaya penyelesaian oleh orang
alam, tetapi keputusankeputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang dianggap
dari luar dapat memuaskan mereka. Seringkali juga pembuatan keputusan
dilakukan dengan mempertimbangkan pengalamanpengalamandari orang lain
yang sebelumnya berada diluar bidang pemerintahan.

Adanya Pengaruh Keadaan Masa Lalu

Pengalaman latihan dan pengalaman (sejarah) Pekerjaan yang terdahulu


berpengaruh pada pembuatan keputusan. Seperti misalnya orang sering membuat
keputusan untuk tidak melimpahkan sebagian dari wewenang dan tanggungjawab
kepada orang lain karena khawatir kalau wewenang dan tanggung jawab yang
dilimpahkan itu disalahgunakan. Atau juga orang-orang yang bekerja di kantor
pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan,
dan sebagainya. Di samping adanya faktor-faktor tersebut diatas, Gerald E.
Caiden menyebutkan adanya beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya
membuat kebijaksanaan, yaitu sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-
bukti sulit disimpulkan; adanya pelbagai macam kepentingan yang berbeda
mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula, dampak kebijaksanaan
sulit dikenali, umpan balik keputusan bersifat sporadis, proses perumusan
kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan sebaliknya.

• Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak


berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem
tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembahasan dan keputusan kebijakan; faktor struktural meliputi pula jenis
ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja. Contoh, pada saat gaji perawat rendah,
atau terlalu sedikit pekerjaan yang tersedia untuk tenaga yang sudah terlatih,
negara tersebut dapat mengalami perpindahan tenaga professional ini ke sektor di
masyarakat yang masih kekurangan. Faktor struktural lain yang akan
mempengaruhi kebijakan kesehatan suatu masyarakat adalah kondisi demografi
atau kemajuan teknologi. Contoh, negara dengan populasi lansia yang tinggi
memiliki lebih banyak rumah sakit dan obat-obatan bagi para lansianya, karena
kebutuhan mereka akan meningkat seiring bertambahnya usia. Perubahan
teknologi menambah jumlah wanita melahirkan dengan sesar dibanyak negara.
Diantara alasan-alasan tersebut terdapat peningkatan ketergantungan profesi
kepada teknologi maju yang menyebabkan keengganan para dokter dan bidan
untuk mengambil resiko dan ketakutan akan adanya tuntutan. Dan tentu saja,
kekayaan nasional suatu negara akan berpengaruh kuat tehadap jenis layanan
kesehatan yang dapat diupayakan.
• Faktor budaya, dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat
dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau
menantang pejabat tinggi atau pejabat senior. Kedudukan sebagai minoritas atau
perbedaan bahasa dapat menyebabkan kelompok tertentu memiliki informasi yang
tidak memadai tentang hak-hak mereka, atau menerima layanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan khusus mereka. Di beberapa negara dimana para wanita tidak
dapat dengan mudah mengunjungi fasilitas kesehatan (karena harus ditemani oleh
suami) atau dimana terdapat stigma tentang suatu penyakit (missal: TBC atau
HIV), pihak yang berwenang harus mengembangkan sistem kunjungan rumah
atau kunjungan pintu ke pintu. Faktor agama dapat pula sangat mempengaruhi
kebijakan, seperti yang ditunjukkan oleh ketidak-konsistennya President George
W. Bush pada awal tahun 2000-an dalam hal aturan sexual dengan meningkatnya
pemakaian kontrasepsi atau akses ke pengguguran kandungan. Hal tersebut
mempengaruhi kebijakan di Amerika dan negara lain, dimana LSM layanan
kesehatan reproduksi sangat dibatasi atau dana dari pemerintah Amerika
dikurangi apabila mereka gagal melaksanakan keyakinan tradisi budaya President
Bush.
• Faktor internasional atau exogenous, yang menyebabkan meningkatnya
ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama
internasional dalam kesehatan. Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan
dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama
organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral. Contoh, pemberantasan
polio telah dilaksanakan hampir di seluruh dunia melalui gerakan nasional atau
regional, kadang dengan bantuan badan internasional seperti WHO.
Namun, meskipun satu daerah telah berhasil mengimunisasi polio seluruh
balitanya dan tetap mempertahankan cakupannya, virus polio tetap bisa masuk ke
daerah tersebut dibawa oleh orang-orang yang tidak diimunisasi yang masuk
lewat perbatasan. Seluruh faktor tersebut merupakan faktor yang kompleks, dan
tergantung pada waktu dan tempat. Contoh, pada abad 19, Inggris mengeluarkan
kebijakan kesehatan mengenai penyakit menular seksual diseluruh Kerajaan
Inggris Raya. Berdasar asumsi kolonial yang dominan, meskipun melihat
bagaimana suku dan jenis kelamin diterapkan dalam masyarakat Inggris, tetap
mempertimbangkan kebijakan yang mencerminkan prasangka dan asumsi
kekuasaan penjajah, daripada kebijakan yang sesuai dengan budaya setempat.
Levine (2003) menggambarkan keadaan di India, pekerja seks wanita harus
mendaftarkan diri kepada pihak kepolisian sebagai pekerja prostitusi, suatu
kebijakan yang didasarkan pada kepercayaan Inggris bahwa prostitusi tidak
membawa tabu atau stigma tertentu di India. Kepolisian kolonial yang mengurusi
prostitusi mengharuskan rumah-rumah pelacuran untuk mendaftar kepada pihak
berwenang setempat. Asumsi bahwa pemilik rumah pelacuran kejam dan tidak
mengakui kebebasan para pekerjanya menyebabkan pihak colonial yang
berwenang memaksakan suatu pendaftaran yang mewajibkan pemilik rumah
pelacuran bertanggung jawab untuk memeriksakan pekerja mereka. Di Inggris
sendiri, rumah pelacuran illegal dan kebijakan mengenai pekerja seks wanita yang
ada adalah yang khusus mengurusi mereka “yang berkeliaran di jalan”.
Contoh menarik bagaimana konteks mempengaruhi kebijakan dipaparkan oleh
Shiffman dan rekannya (2002). Mereka membandingkan hak reproduksi di Serbia
dan Croatia, dimana, setelah pemerintahan federal Yugoslavia terpecah,
pemerintah menganjurkan para wanitanya untuk memiliki lebih banyak anak.
Penulis berpendapat bahwa kebijakan yang mendukung kelahiran disebabkan oleh
keyakinan para elit dikedua negara bahwa ketahanan nasional sedang diujung
tanduk. Keyakinan para elit ini disebabkan oleh beberapa faktor: salah satunya
adalah pergeseran dari filosofi sosialis mengenai emansipasi wanita ke ideologi
yang lebih nasionalis. Faktor yang lain adalah perbandingan yang dibuat oleh
kalangan elit antara tingkat kesuburan yang rendah diantara suku Serb di Serbia
dan suku Croats di Croatia, dengan tingkat kesuburan yang lebih tinggi di
kelompok suku lain yang terdapat di dua negara.

You might also like