You are on page 1of 29

1

A. Latar Belakang

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus

diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangka pembangunan

kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem

kesehatan nasional. Bagi seseorang, kesehatan merupakan aset yang paling

berharga, sebab pada sisi ini setiap individu akan berusaha untuk tetap berada

dalam keadaan sehat dan sebisa mungkin menghindari faktor-faktor

penyebab yang dapat menimbulkan penyakit. Diperlukan pembangunan

ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang

menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas.

Peningkatan kualitas manusia Indonesia tidak akan tercapai tanpa

memberikan jaminan hidup kepada tenaga kerja dan keluarganya sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itulah sangat diperlukan

adanya perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin

hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta

perlakuan tanpa diskrimanasi atas dasar apa pun untuk mewujudkan

kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan

perkembangan kemajuan dunia usaha.1

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah

1
Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika,
Surabaya, hlm.6
2

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 mendefinisikan tenaga kerja

adalah Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan

guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan

bertujuan untuk menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan

tenaga kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kesempatan

kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dalam mewujudkan

kesejahteraannya.

Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun

2013, 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja

dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja. Tahun sebelumnya (2012) ILO

mencatatat angka kematian dikarenakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja

(PAK) sebanyak 2 juta kasus setiap tahun.2 Keselamatan dan kesehatan kerja

merupakan suatu masalah penting dalam setiap proses operasional, baik di

sektor tradisional maupun modern. Menurut ILO (2003), setiap hari rata- rata

6000 orang meninggal akibat sakit dan kecelakaan kerja atau 2,2 juta orang

2
http://www.depkes.go.id/article/print/201411030005/1-orang-pekerja-di-dunia-meninggal-setiap-
15- detik-karena-kecelakaan-kerja.
3

per tahun. Sebanyak 350.000 orang per tahun di antaranya meninggal akibat

kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja juga berakibat pada biaya; 1000 miliar

USD atau 20 kali dana bantuan umum yang diberikan ke negara berkembang.

Biro Statistik Buruh Statistics) Amerika melaporkan terdapat 5703

kecelakaan fatal atau 3,9 per 100.000 pekerja di tahun 2006. 3Angka

kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi. Mengutip data Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015

telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk

kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak

2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja.4 Tingginya angka kecelakaan

kerja dan penyakit akibat kerja dengan konsekuensi yang ditanggung oleh

masyarakat, komunitas, pelaku bisnis, dan pekerja serta keluarganya, secara

sosial cost tidak lagi dapat diterima (unacceptable). Terkait dalam hal ini

perlu dilakukan berbagai upaya dan pendekatan untuk mengurangi angka

kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang masih tinggi tersebut.Setiap

pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan

kerja dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan

meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak

3
Lientje Setyawati Maurits dan Imam Djati Widodo, “Faktor dan Penjadualan Shift
Kerja”, Volume 13, Nomor 2, Desember 2008

4
http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/5769/Jumlah-kecelakaan-kerja-di-
Indonesia-masih- tinggi.html
4

dasar yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur

di dalam Pasal 27 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan”, dan Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa“

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas kekeluargaan”.

Pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi merupakan

pelanggaran hak asasi manusia.

Keselamatan dan kesehatan kerja diselenggarakan untuk melindungi

keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang

optimal. Diantaranya memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan

derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi

kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Setiap perusahaan wajib menerapkan

sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan

sistem manajemen perusahaan. Sistem manajemen keselamatan dan

kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara

keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan,

tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi

pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan

kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko

yang berkaitan dengan kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja yang
5

aman, efisien, dan produktif.5

Konsep keselamatan dan kesehatan kerja (K3) cenderung lebih

diterapkan pada bidang pekerjaan konstruksi, industri, atau pun manufaktur.

Alasannya jelas, bidang-bidang seperti itulah yang mempunyai cakupan

jumlah pekerja yang lebih banyak dan mempunyai resiko kecelakaan pekerja

yang lebih besar. Memiliki jumlah pekerja yang lebih dari 100 (seratus) orang

memaksa perusahaan-perusahaan yang bergerak pada bidang kontruksi,

industri maupun manufaktur untuk mau tidak mau menjamin keselamatan dan

kesehatan para pekerjanya dengan mempertimbangkan resiko yang lebih

besar yang akan ditanggung oleh perusahaan tersebut jika hal itu tidak

dilakukan tentunya. Pasal 14 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1970

tentang Keselamatan Kerja bahwa pengurus wajib menyediakan secara cuma-

cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang

berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang

memasuki tempat kerja

tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut

petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. Jika dilihat dari hal-

hal fundamental dalam konsep keselamatan dan kesehatan kerja, seharusnya

bukan hanya bidang-bidang yang mempunyai cakupan tenaga kerja yang

lebih dari 100 (seratus) orang saja yang perlu menerapkan konsep

keselamatan dan kesehatan kerja, tetapi lingkungan kerja seperti pada bidang

5
Hardijan Rusli, 2011, Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan UU No. 13/2003/ tentang
Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.82.
6

kesehatan dan jasa lainnya seharusnya menerapkan konsep tersebut terlepas

dari seberapa banyak tenaga kerja yang ada di dalamnya. perusahaan yang

belum menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(SMK3) sesuai Pasal 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, disebabkan salahnya memahami substansi Keselamatan

dan Kesehatan Kerja, mereka menganggap Keselamatan dan Kesehatan Kerja

sebagai beban. Padahal Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan

investasi ketenagakerjaan jangka panjang.

Menurut Mahkamah tenaga vokasi atau tenaga kesehatan seperti

perawat dan apoteker sifat pekerjaannya adalah pendelegasian wewenang dari

tenaga medis. Mahkamah menilai tindakan medis terhadap tubuh manusia

yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai

tindakan yang tidak tepat dan berbahaya. Oleh karena itu, tenaga medis seperti

dokter dan dokter gigi, adalah tenaga profesional yang berbeda dengan tenaga

vokasi yang sifat pekerjaannya adalah pendelegasian wewenang dari tenaga

medis.Karena sifat dan hakikat yang berbeda antara tenaga medis dengan

tenaga profesi dan vokasi kesehatan lainnya maka pengaturan yang

menyentuh substansi keprofesian kedokteran tidak dapat digabung atau

disamaratakan dengan profesi lain. Oleh sebab itu kepastian hukum bagi

tenaga medis harus dapat memajukan dan menjamin pelayanan medik yang

berbeda dengan tenaga kesehatan lainnya.

Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2014 yang termasuk tenaga medis

meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis. Dokter
7

yang melakukan tindakan gawat darurat dan tindakan bedah adalah tenaga

kerja yang memiliki resiko untuk mengalami kecelakaan kerja atau tertular

penyakit akibat kerja dalam melakukan pekerjaannya. Dokter gigi juga tenaga

kerja yang memiliki resiko tinggi. Apabila cara menggunakan alat-alat

kedokteran dan kedokteran gigi tidak sesuai dengan standar prosedur

operasional kelengkapan alat pelindung diri, maka dapat menimbulkan

resiko-resiko yang cukup berbahaya, seperti tertular penyakit-penyakit

Hepatitis, HIV/AIDS, TBC, influenza, dan penyakit menular lainnya,

mengalami kecelakaan kerja seperti tertusuk alat-alat kedokteran yang tajam,

terkena radiasi, terpapar bahan-bahan kimia yang berbahaya. Kesehatan dan

keselamatan kerja dalam praktik dokter gigi ditujukan agar semua faktor

risiko pekerjaan dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kesehatan dokter

dan dokter gigi, serta semua penyakit dan gangguan kesehatan dapat dihindari

selama pelayanan perawatan guna tercapainya derajat kesehatan bagi

dokter,dokter gigi dan pasien pengunjungnya.6 Di Amerika Serikat

dilaporkan 2 orang penderita tertular HIV dipraktek dokter gigi serta

diperoleh bukti bahwa mereka tertular ditempat praktek dokter gigi yang

tidak melakukan tindakan pencegahan secara ideal. Apabila di negara maju

masih terdapat hal semacam itu, maka dapat diasumsikan bahwa di negara

berkembang seperti Indonesia tindakan pencegahan masih belum memadai.7

6
Dede Rohimah, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Lingkungan Klinik Dokter Gigi,
sebagaimana dapat diakses pada https://www.scribd.com/doc/239130400/K3-Di-Lingkungan-
Klinik-Dokter-Gigi
7
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1147/fkg-
sondang2.pdf?sequence=1&isAllowed=y,
8

Profesi dokter gigi rentan tertular penyakit yang diidap pasiennya.

Termasuk virus mematikan HIV/AIDS. Tiga dokter gigi di Surabaya

dilaporkan tertular HIV/AIDS. Dua orang di antaranya bekerja di rumah sakit

swasta ternama dan seorang lagi membuka praktik pribadi.8 Hal tersebut

menunjukkan bagaimana sampai saat ini perlindungan hukum teradap dokter

gigi masih sangat minim dan hal tersebut seharusnya menjadi sebuah acuan

untuk daerah lain dalam memberikan perlindungan terhadap dokter gigi yang

bekerja khusunya di klinik pratama, bentuk perlindungan hukum bukan hanya

berbentuk sanksi namun seharunya ada perlindungan hukum yang sifatnya

preventif untuk mencegah terjadinya kerugian kepada dokter gigi yang

berpraktik di klinik pratama.

Pada wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa dokter gigi di

Kabupaten Ciamis, terdapat beberapa kasus keselamatan dan kesehatan kerja

yang pernah dialami berupa mengalami tertusuk jarum suntik dan juga alat

kedokteran gigi yang lain berupa tertusuk sonde yang mengakibatkan tangan

berdarah sehingga untuk menangani pasien tidak merasa nyaman

dikarenakan nyeri pada tangan yang luka.Berdasarkan studi pendahuluan,

peneliti memperoleh informasi bahwa keselamatan dan kesehatan kerja pada

tenaga medis belum mendapat perhatian yang serius sehingga dapat terjadi

kecelakaan kerja dalam melakukan kegiatan praktik kedokteran. Oleh karena

itu, peneliti tertarik ingin melaksanakan penelitian yang berjudul

8
https://m.tempo.co/read/news/2013/03/05/173465143/3-dokter-gigi-tertular-pasien-
pengidap-aids
9

“PERLINDUNGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA BAGI

TENAGA MEDIS MELALUI BPJS KETENAGAKERJAAN

DIHUBUNGKAN DENGAN PEMENUHAN HAK ATAS KESEHATAN

YANG OPTIMAL”.

B. Identifikasi Masalah

a. Bagaimana pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan

kerja bagi tenaga medis melalui BPJS ketenagakerjaan

dihubungkan dengan pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal

b. Bagaimana urgensi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja

bagi tenaga medis dihubungkan dengan pemenuhan hak atas

kesehatan yang optimal ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan yaitu:

a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan

keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga medis melalui BPJS

ketenagakerjaan dihubungkan dengan pemenuhan hak atas

kesehatan yang optimal.

b. Untuk mengetahui bagaimana urgensi perlindungan keselamatan

dan kesehatan kerja bagi tenaga medis dihubungkan dengan

pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal.


10

D. Kegunaan Penelitian

Peneliti mengharapkan dapat memberikan kegunaan dari dua sisi, yaitu:

1. Teoritis

Diharapkan hasil penelitian nantinya dapat memberikan sumbangan pikiran bagi

peningkatan tenaga kerja yaitu tenaga medis serta dapat dipergunakan sebagai

bahan kajian untuk memperdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja.

2. Praktis

a. Bagi Tenaga Medis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan saran atapun

sumbangsi baik kepada dokter dan dokter gigi di klinik terkait pelaksanaan fungsi

keselamatan dan kesehatan kerja

b. Bagi Klinik

Sebagai bahan masukan dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi

tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan.

E. Kerangka Pikir
11

Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian upaya kesehatan yang berkualitas. Pemberian upaya kesehatan dalam

Islam merupakan upaya melindungi jiwa (Hifzun Nafs) sebagai bagian dari tujuan

syariah (Maqaasyidus Syariah).9 Di dalam Undang-undang Dasar 1945 dan

Amandemennya Pasal 28H ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Dan pada Pasal 34 ayat

(3) disebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.10

Menurut Moleenar, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah sebagian dari

hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dengan

pengusaha. Menurut Mr. G. Lavenbach, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah

hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu, dilakukan

dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut

paut dengan hubungan kerja itu. Menurut Mr. N.E.H. Van Esveld, bahwa Hukum

Ketenagakerjaan adalah tidak hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan itu

dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang

melakukan pekerjaan atas tanggungjawab resiko sendiri. Menurut Mr. Mok, bahwa

Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang

dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan dengan penghidupan yang layak

9
Kementerian Agama RI, Maqasidusy-Syari’ah; Memahami Tujuan Utama Syariah, Jakarta; Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat, 2013.
10
Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya.
12

langsung bergantung pada pekerjaan itu.11Hukum ketenagakerjaan itu adalah suatu

himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja, majikan atau

pengusaha, organisasi pekerja, organisasi pengusaha, dan pemerintah. 12 Hukum

ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut; serangkaian peraturan

yang tertulis maupun yang tidak tertulis bahwa peraturan tersebut mengenai suatu

kejadian dengan adanya orang yang bekerja pada orang lain (majikan) dan adanya

balas jasa yang berupa upah.13

Perjanjian adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan

akibat hukum dengan kata sepakat. Sedangkan perikatan adalah syarat sepakat harus

ada dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dimana

pihak yang lain wajib memenuhi sesuatu. Sumber perikatan berada di perjanjian dan

undang-undang yang ada di dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu

perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang

saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Belakangan

ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang

diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan hukum.14 R. Subekti

dan R. Tjitrosudibio dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memakai istilah

11
Sedjun H. Manulang, Pokok-Pokok Ketenagakerjaan Indonesia, Penebit Rineka Cipta,
Jakarta, 1987, hal. 2.
12
Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja
Untuk Mempertahankan hak-haknya), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994, hal. 1
13
Halili Toha, Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara majikan Dan Buruh, Cetakan
Pertama, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 1.
14
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 1982, Cet. XVI, hal. 123
13

“perikatan” untuk verbintenis dan “persetujuan” untuk Overeenkomst, R. Subekti

lebih condong menggunakan istilah “perjanjian”, kalau beliau menggunakan kata

persetujuan untuk kata Overeenkomst, hal ini beliau meninjau dari segi

terjemahannya, berkaitan dengan hal ini beliau berpendapat bahwa perkataan

“persetujuan” (kalau hanya dilihat dari segi terjemahannya saja) memang lebih

sesuai dengan perkataan Belanda Overeenkomst yang dipakai BW, tetapi karena

perkataan perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang

mantap dipakai untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya

dijamin oleh hukum.15

R.M. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa perjanjian adalah

hubungan hukum antara 2 (dua) pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum.16 Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan

pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih

mengikatkan diri pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.17

Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, Asas hukum adalah dasar-dasar atau

petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.18 Asas pembangunan

ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional,

khususnya asas demokrasi, adil, dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan

ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak yaitu

antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Oleh karena itu, pembangunan

15
R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, 1986, hal. 3.
16
R. M. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1988, hal, 97.
17
Abdul Khakim. 2006. Aspek Hukum Pengupahan.Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm.54-55.
18
R. M. Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 97
14

ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerjasama yang saling

mendukung sehingga asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui

koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.19

Lebih jauh lagi, jika dilihat dari adanya keterhubungan antara penyedia jasa

dan para pasien sebagai pengguna (konsumen), maka hal ini tak dapat lepas dari

UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen . Hubungan hukum antar

tenaga kesehatan (apoteker, dokter, perawat, bidan dll) menjadi perbincangan

setelah dikeluarkan UUPK ini. Secara rinci, UUPK memberikan pengaturan tentang

hak serta kewajiban, baik bagi pemberi jasa maupun pengguna jasa. Dengan

demikian, perlu dilakukan pengkajian terhadap pemberi jasa di bidang kesehatan,

karena sifat pelayanan di bidang kesehatan sangat teknis serta tidak dapat diketahui

oleh sembarang orang. Meskipun tujuan pemberian jasa sama, yakni berusaha

melakukan tindakan sebaik-baiknya untuk menyembuhkan pengguna jasa, namun

tetap bahwa setiap rumah sakit –dan berbagai tempat pelayanan– mempunyai

standar pelayanan yang berbeda. Topik yang senantisa diperbincangkan di dalam

dunia hukum adalah ”hak dan kewajiban”. Dasar dari adanya hak dan kewajiban ini

tertuang dalam berbagai peraturan baik internasional maupun nasional. Akan tetapi

mengingat implementasi pelayanan dibidang kesehatan yang terkadang masih

menimbulkan permasalahan dilapangan, maka tetap diperlukan adanya kejelasan

aturan hukum (hak-hak dan kewajiban) antara penyedia dan pengguna jasa

kesehatan, khususnya dalam hal ini adalah Negara/pemerintah.

19
Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009.hlm.9.
15

Perjanjian yang sah menurut hukum hendaknya dijalankan dengan baik oleh

pihak pengusaha dalam rangka melaksanakan pekerjaannya. Para tenaga kerja

secara bersama-sama dengan pengusaha mewujudkan barang atau produk atau jasa

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Perjanjian yang dibuat hendaknya

mencerminkan rasa keadilan. Untuk sahnya suatu perjanjian, menurut Pasal 1320

KUHPerdata ada 4 (empat) syarat - syarat sahnya perjanjian. Dalam Pasal 52 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa Perjanjian Kerja dibuat atas

dasar :a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan atau kecakapan

melakukan perbuatan hukum, Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang

membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat

perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan

telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur

minimal 18 Tahun, (Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003). c.

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan :Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan

obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha yang akibat hukumnya

melahirkan adanya hak dan kewajiban; d.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-

undangan. Obyek perjanjian ( pekerjaan ) harus halal yakni tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis

pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja.20

Dede Agus, “Kedudukan Perjanjian Kerja terhadap Perjanjian Kerja Bersama dalam Hubungan
20

Kerja”, Yustisia, Edisi 81, September-Desember 2010. hlm.90.


16

Menurut G. Kartasapoetra, yang dimaksud dengan Buruh adalah buruh adalah para

tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dimana tenaga kerja tersebut harus

tunduk pada perintah-perintah kerja yang diadakan oleh pengusaha (majikan) yang

bertanggung jawab atas lingkungan perusahaannya yang mana tenaga kerja itu akan

memperoleh upaya dan jaminan hidup lainnya yang wajar.21 Adapun tujuan

perburuhan Indonesia adalah meningkatkan taraf hidup layak, syarat-syarat kerja,

upah yang memuaskan serta kesempatan kerja kerja yang cukup memadai bagi

tenaga kerja pada umumnya.22

Jika suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat-syarat subyektifnya, maka

perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Ini berarti bahwa selama tidak ada pembatalan

dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut harus berlaku seperti halnya

perjanjian yang tidak mempunyai cacat. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak

terpenuhi syarat-syarat obyektifnya, maka perjanjian tersebut batal demi hukum,

sehingga dengan demikian perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak

semula.23Perjanjian kerja diatur dalam Buku III Bab 70 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Pasal 1601-1603 Z, perjanjian kerja adalah: Suatu perjanjian yang

menyatakan kesanggupan pihak I (buruh) untuk bekerja pada pihak lainnya

(majikan atau penguasa) dengan menerima upah dan kesanggupan pihak majikan

untuk menerima buruh sebagai pekerja dengan memberi upah.24Pada umumnya

didalam masyarakat, perjanjian kerja dibuat secara lisan. Kalaupun diadakan secara

21
G.Kartosapoetra, dkk. Hukum Perburuhan Indonesia Berlandaskan Pancasila, Penerbit
Dunia Aksara, Jakarta, hal. 29.
22
F. X. Djumialdji, Selayang Pandang Organisasi Perburuhan ILO, Cet 1, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, hal. 1.
23
Abdul Khakim, op.cit., hlm.57.
24
Iman Supomo, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan (Perlindungan Buruh), Penerbit
Pradya Paramita, Jakarta, hal. 1.
17

lisan isinya sangat singkat, misalnya memuat tentang besarnya upah dan macamnya

pekerjaan. Perjanjian tertulis hak dan kewajiban pihak tenaga kerja dan pengusaha.

Dengan demikian memuat adanya peraturan yang memuat syarat-syarat kerja dan

pengusaha.25Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan

perjanjian itu telah dicapai.

Lingkup perlindungan terhadap pekerja atau buruh menurut Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003, meliputi : Perlindungan atas hak-hak dasar pekerja atau

buruh untuk berunding dengan pengusaha; Perlindungan keselamatan dan kesehatan

kerja; Perlindungan khusus bagi pekerjaatau buruh perempuan, anak, dan

penyandang cacat; dan Perlindungan tentang upah, kesejahteraan, jaminan sosial

tenaga kerja. Menurut Soepomo bahwa perlindungan tenaga kerja menjadi dibagi

menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk

penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja diluar

kehendaknya.

2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan

kesehatan kerja, kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan

dan keselamatan kerja.26

UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja menjadi awal yang baik

dalam upaya mewujudkan keadilan dalam sistem hukum ketenagakerjaan di

25
Ibid.hal.66
16
Zainal Asikin, et al, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993, hal. 96; dikutip dari Kartasapoetra, G. dan Rience Indraningsih, Pokok-pokok Hukum
Perburuhan, Cet. I, Armico Bandung, 1982, hal. 97
18

Indonesia.27 Pekerjaan yang dapat merugikan seseorang apabila pekerjaan itu

membebani fisik maupun mentalnya, dikerjakan tanpa pengamanan dan atau

pelindung, dalam lingkungan yang tidak higienis, tidak tersedianya fasilitas

kesejahteraan, termasuk kesempatan untuk berkonsultasi. Untuk lebih meringankan

beban tenaga kerja perlu dilakukan penataan lingkungan kerja yang lebih baik, lebih

higienis dan pengadaan fasilitas kesejahteraan.Untuk menghindari bahaya karena

lingkungan kerja, perlu diperhatikan dan diupayakan: Faktor fisik : tingkatkan

penyimpangan dan penaganan bahan, tingkat kompleks kerja, terajukan prinsip-

prisip keamanan mesin produktif, tingkatkan ventilasi umum dan lokal,

pencahayaan, cegah bising dan getaran; Faktor kimia : bahwa tenaga kerja

sebaiknya hindarkan bekerja dengan bahan kimia; Faktor biologi : hindarkan,

lindungi dari kemungkinan kontak; Faktor fisiologik : tingkatkan ergonomik untuk

menempatkan bahan, alat, dan tombol pada tempat yang mudah dijangkau, perbaiki

posisi kerja, gunakan alat bantu untuk hemat waktu dan energi. 28 Peraturan

perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,

dan mulai berlaku setelah disahkan oleh pejabat yang ditunjuk. Pengusaha wajib

memberitahukan dan menjelaskan tentang peraturan perusahaan kepada tenaga

kerja. Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan

dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak

seperti dalam peraturan perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan

27
Dr.Sayid Mohammad Rifqi Noval, S.H., M.H., Hukum Ketenagakerjaan, Hakikat Cita Keadilan
dalam Sistem Ketenagakerjaan, Bandung: Refika Aditama, 2017.hlm.234

28
Sugiman, Hak-Hak Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Di Indonesia.
19

semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi

diukur secara sosiologis dan filosofis.29

Dalam Pasal 86 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang kesehatan kerja merupakan salah satu hak pekerja atau buruh untuk itu

pengusaha wajib melaksanakan secara sistematis dan terintegrasi dengan sistem

manajemen perusahaan.Upaya kesehatan kerja bertujuan untuk melindungi pekerja

atau buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya ditempat

kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Dengan demikian tujuan

kesehatan kerja adalah : melindungi pekerja dari resiko kesehatan kerja;

meningkatkan derajat kesehatan para pekerja agar pekerja atau buruh dan orang-

orang disekitarnya terjamin kesehatannya; menjamin agar produksi dipelihara dan

dipergunakan secara aman dan berdaya guna. Setiap pengusaha wajib melaksanakan

ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin,

pesawat alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan

lingkungannya, serta cara-cara melakukan pekerjaan. Obyek keselamatan kerja

adalah segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam

air maupun di udara. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang

Keselamatan Kerja.Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

29
Dr.Sayid Mohammad Rifqi Noval, S.H., M.H., op.cit .hlm.235
20

1970 dijelaskan tentang kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung

dengan hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan

berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan atau

wajar dilalui. Dahulu buruh hanya dapat menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1365

KUHPerdata yang mensyaratkan pembuktian kerugian yang diderita karena

melanggar perbuatan melanggar hukum oleh pengusaha.30

Upah memegang peranan yang sangat penting dan merupakan ciri khas dari

suatu hubungan kerja bahkan dikatakan upah merupakan tujuan utama dari seorang

pekerja yang melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum lain. Karena itulah

pemerintah turut serta dalam menangani masalah pengupahan ini melalui berbagai

kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan.31

Pengaturan pengupahan ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pengusaha

dan pekerja. Hal ini secara tegas, dijelaskan dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu bentuk perlindungan yang

diberikan kepada pekerja dan keluarganya terhadap berbagai resiko pasar tenaga

kerja. Secara obyektif akan sangat sulit untuk menjadikan progam jaminan sosial

tenaga kerja sebagai mekanisme utama bagi sistem perlindungan sosial apabila

pengolahannya masih tetap seperti sekarang. Jumlah angkatan kerja di

30
Hadi Setia Tunggal. 2014. Seluk Beluk Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Harvarindo, hlm.180.
31
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan
Administrasi dan Operasional, Cet. 2, hlm. 15.
21

Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 100 juta orang akan terus tumbuh lebih dari 2

(dua) persen pertahun.32

Bentuk perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan

dimaksud diselenggarakan dalam bentuk progam jaminan sosial tenaga kerja yang

bersifat dasar dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan gotong royong

sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945.

Pada hakekatnya progam jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan

kepastian berlangsungnya asas penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti

sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang.

Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain :

memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi

tenaga kerja beserta keluarganya; merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang

telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka

bekerja. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, yang dimaksud

dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja

dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan

yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan

yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari

tua, dan meninggal dunia. Jaminan sosial tenaga kerja yang menanggulangi risiko-

risiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja pada gilirannya akan

32
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi,, Cet. 4, PT.
Raja Grafindo Persada, jakarta, 2003, hal. 152.
22

membantu meningkatkan produktivitas kerja. Ketenangan kerja akan tercipta karena

jaminan sosial tenaga kerja mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam

menghadapi berbagai resiko sosial ekonomi tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggarakan Progam Jaminan Sosial Tenaga

Kerja yang terdapat dalam Pasal 2 yaitu Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana

dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini terdiri dari : Jaminan berupa uang yang

meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua; dan jaminan

berupa pelayanan yaitu jaminan pemeliharaan kesehatan. Kemanfaatan jaminan

sosial tenaga kerja pada hakekatnya bersifat dasar untuk menjaga harkat dan

martabat tenaga kerja.

UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas

jaminan sosial. Ketentuan inilah yang mendasarkan lahirnya UU No. 40 Tahun 2004

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN merupakan sebuah

terobosan, mengingat UU ini merupakan perundangan pertama yang

memerintahkan negara agar segenap WNI memperoleh jaminan sosial melalui 5

program jaminan universal yaitu : 1) jaminan kesehatan, 2)jaminan kecelakaan

kerja, 3)jaminan hari tua, 4)jaminan pensiun, 5)jaminan kematian. UU SJSN

mewajibkan diterbitkannya Peraturan Pelaksana dan sejumlah besar Peraturan

Pemerintah.33Surya Tjandra mengatakan terdapat empat unsur penting yang dimiliki

oleh UU SJSN.34 Undang Undang No.13 Tahun 2003 dan Undang Undang No.1

33
Surya Tjandra dalam Jafar Suryamenggolo (ed.), Kebangkitan Gerakan Buruh, Tangerang :
Margin Kiri, 2014. Hlm.19.
34
Ibid.hlm.20-21
23

Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sangat erat kaitannya dengan Jaminan

Sosial Tenaga Kerja. Jaminan Sosial Tenaga Kerja saat ini diatur dalam Undang-

Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Dengan UU BPJS ini dibentuk 2 lembaga yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan. UU SJSN hanya mengatur prinsip-prinsip dasar sistem jaminan

sosial yang harus dibangun, tetapi tidak mengatur bagaimana sistem yang dimaksud

harus dikelola. Hal-hal teknis seperti lembaga publik yang harus dibentuk dan

bagaimana cara mengelolanya diserahkan kepada Peraturan Pelaksana tentang

Badan Penyelenggagara Jaminan Sosial (BPJS).35 Pada 25 November 2011

disahkan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. UU BPJS memerintahkan

pembentukan dua penyelenggara jaminan sosial :BPJS I (penyelenggara jaminan

kesehatan) dan BPJS II (penyelenggara ketenagakerjaan). BPJS I akan mengelola

secara langsung jaminan kesehatan universal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Termasuk didalamnya transformasi aset-aset, peserta, dan PT.ASKES, juga

pengalihan program-program PT. Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) dan PT.

Asabri, dimulai pada 1 Januari 2014. 36Sementara BPJS II akan mengelola jaminan

kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun bagi seluruh buruh disektor

formal, atau transformasi PT. Jamsostek pada 1 Januari 2014 dan beroperasi paling

lambat pada 1 Juli 2015.37 Adapun sanksi jika perusahaan selain penyelenggara

35
Dr.Sayid Mohammad Rifqi Noval, S.H., M.H.,op.cit.hlm.305
36
Ibid.hlm.306
37
Surya Tjandra dalam Jafar Surtamenggolo, op.cit.hlm.29.
24

negara tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan pekerjanya sebagai Peserta

38
kepada BPJS, adalah sanksi administratif.

Berkaitan dengan fleksibilitas tersebut, Negara Belanda telah membuktikan

bahwa penerapan flexible labour market ternyata memiliki konsekuensi negatif,

salah satunya adalah tingginya rasa ketidakamanan yang dapat melemahkan kohesi

dalam masyarakat dan mencegah peningkatan sumber daya manusia.39

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis empiris.

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan

hukum di dalam masyarakat. Pendekatan tersebut digunakan untuk melihat aspek-

aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai

penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan nonhukum

bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.40

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah berupa penelitian

deskriptif analitis. Deskriptif ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah

38
www.bpjsketenagakerjaan.co.id
39
Philips. Kaia dan Eamets, “Approaches to Flexicurity”: EU Models, Ireland: European
Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions, 2009.
40
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.105
25

atau keadaan atau peristiwa sebagaimana yang bersifat sekedar untuk

mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ini lebih ditekankan pada memberikan

gambaran obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti. 41 Istilah

analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan

data-data yang diperoleh baik dari segi teori maupun dari segi praktek. Penelitian

terhadap teori dan praktek adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor

pendukung dan faktor penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat

deskriptif analitis bertujuan melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas

sosial dan menggambarkan obyek pokok permasalahan.

3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber Bahan Hukum

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data atau keterangan yang merupakan data yang

diperoleh langsung dari sumber pertama berdasarkan penelitian lapangan.

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama.
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-
kasus, waktu, atau tempat, dengan ciri dan sifat yang sama. Maka dalam penelitian
ini populasi yang dimaksud adalah tenaga kerja di Kabupaten Ciamis.

41
Hadari Nawari, Metode Penelitian Bidang sosial, Gajah Mada University Press, hal. 31
26

Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Dalam suatu

penelitian, pada umumnya observasi dilakukan tidak terhadap populasi, akan tetapi

dilaksanakan pada sampel. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis sampel

bertujuan (purposive sample). Jenis sampel bertujuan (purposive sample) ini dalam

memilih subjek-subjek sampelnya, diambil anggota-anggota sampel sedemikian

rupa sehingga sample tersebut benar-benar mencerminkan ciri-ciri yang sudah

dikenal sebelumnya.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah

data dari penelitian kepustakaan di mana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga)

bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier sebagai berikut :

- Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan

permasalahan yang dibahas terdiri dari :

a) KUHPerdata (Burgelijk Wetboek)

b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja

c) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

d) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN

- Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan data

hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil
27

karya sarjana untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidang

penulisan.

- Bahan Hukum Tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap

dari kedua bahan hukum sebelumnya.

- Teknik Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta

memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

Wawancara adalah cara memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya


jawab secara langsung, antara penyusun dengan pihak. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan interview yang bebas terpimpin, dalam interview bebas terpimpin
unsur kebebasan masih dipertahankan, sehingga kewajaran dapat dicapai secara
maksimal, sehingga memudahkan diperolehnya data secara mendalam. Sebagai

respondennya adalah tenaga medis di Kabupaten Ciamis.

4. Tehnik Analisis Data

Langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan

hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan

dalam rumusan masalah. Pengolahan tersebut dapat menggunakan metode induksi.

Sedangkan analisis terhadap bahan hukum menggunakan deskriptif analisis.

Metode ini pada dasarnya menyoroti masalah serta usaha pencegahannya,

yang dilakukan dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran

yang memecahkan obyek penelitian kedalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian


28

ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang lingkupnya. Metode kualitatif

digunakan oleh peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala

yang ditelitinya.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat

pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi

yang dipilih sebagai penelitian adalah klinik yang berada di Kabupaten Ciamis.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal tesis ini dibagi menjadi lima bab, pada tiap

bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN mencakup :

Latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, dan

metode penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, membahas tentang teori-teori

tentang : Teori perjanjian, Hukum Ketenagakerjaan di

Indonesia, Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

BAB III OBJEK PENELITIAN, membahas tenaga kerja yaitu tenaga

medis yang bekerja diklinik di Ciamis yang mendapatkan


29

maupun tidak dapat perlindungan hukum dalam

keselamatan dan kesehatan kerja.

BAB IV PEMBAHASAN, bab ini membahas tinjauan hukum

terhadap pelaksanaan perlindungan hukum keselamatan dan

kesehatan kerja bagi tenaga medis di Ciamis dalam upaya

pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal.

BAB V PENUTUP, bab ini akan memberikan kesimpulan dan saran

yang sekiranya bermanfaat bagi pihak-pihak yang

memerlukan.

You might also like