You are on page 1of 28

TUGAS FARMAKOTERAPI II

“INFEKSI CACING (NEMATODA)”

DISUSUN OLEH ;

KELOMPOK 5
Acnhis Akbar Jum 17.01.244

Amelia Johana Sumual 17.01.257

Andika Setiawan 17.01.274

Dede Haryono 17.01.238


Dwi Sakti Saputri A. 17.01.242
Fachriawan Syahrir 17.01.239

Fatriawati 17.01.284

Hayati Buchari 17.01.264

Kalangi Natasya Rachel 17.01.253

Mardiana Siregar 17.01.273

M.Erwin Putra H. Atma 17.01.277

Susana Eustochia Nassa 17.01.235

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya, sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Makalah inii
telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan darii
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah. Untuk
itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar lebih baik
lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,


kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Makass
ar, Mei 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I........................................................................................................... 1

I.1 Latar Belakang........................................................................................2

I.2 Rumusan Masalah..................................................................................2

I.3 Tujuan......................................................................................................2

BAB II...........................................................................................................3

II.1 Defenisi Cacing......................................................................................3

II.2 Terapi Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi..................................4

II.3 Infeksi Cacing Nematoda.......................................................................4

II.4 Monografi Obat.....................................................................................11

BAB III........................................................................................................26

III.1 Kesimpulan..........................................................................................26

III.2 Saran...................................................................................................26

Daftar Pustaka..........................................................................................27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi merupakan salah satu penyakit yang menjadi
permasalahan utama di negara- negara berkembang seperti di Indonesia.
Salah satu infeksi yang paling umum tersebar di dunia yaitu infeksi cacing.
Penyakit cacing merupakan salah satu penyakit rakyat umum dan
diperkirakan lebih dari 60% menyerang anak-anak di Indonesia (Tjay dan
Rahardja, 2007). Helmint (cacing) adalah organisme multisel yang
menginfeksi banyak orang dan menyebabkan beragam penyakit. Lebih
dari 1 milyar orang terinfeksi nematoda usus dan cacing pita. Pada
banyak kasus, khususnya di Negara-negara yang sedang berkembang,
pengobatan pada infeksi cacing bertujuan untuk mengontrol infeksi
dengan eliminasi sebagian besar parasit yang mengontrol gejala penyakit
dan penurunan penularan infeksi. Pada kasus-kasus yang lain, tujuan
terapi adalah untuk eliminasi total parasit, meskipun tujuan ini kadang
tidak mudah pada infeksi cacing tertentu, karena terbatasnya efikasi obat
dan seringnya reinfeksi setelah terapi di daerah endemic (Katzung et al,
2014).
Pada infeksi cacing mungkin tidak langsung terlihat manifestasi klinik
penyakitnya, tetapi dapat menyebabkan kondisi patologis yang nyata.
Infeksi ringan umumnya mudah ditoleransi. Orang dengan gangguan
sistem imun dapat dengan mudah mengalami infeksi cacing (Burns et al,
2008). Berdasarkan hal tersebut sehingga makalah ini dibuat sehingga
dapat diketahui beberapa penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing
serta manajemen pengobatan terkait penyakit tersebut.

I.2 Rumusan Masalah

1
Adapun rumusan masalah makalah ini ialah apa yang dimaksud
dengan penyakit cacingan (oleh nematoda) dan bagaimanakah terapi
pengobatannya ?
I.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang
dimaksud dengan penyakit cacingan (oleh nematoda) dan terapi
pengobatannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Cacing
Helmit (cacing) adalah organisme multisel yang menginfeksi
banyak orang dan menyebabkan beragam penyakit. Lebih dari 1 milyar
orang terinfeksi oleh nematode usus dan jutaan yang terinfeksi oleh
nematode filaria, flukes dan cacing pita (tapeworm). Tersedia banyak obat
yang ditujukan terhadap sejumlah sasaran berbeda, untuk mengobati
infeksi cacing. Pada banyak kasus, khususnya negara-negara yang
sedang berkembang, tujuannya adalah untuk mengontrol infeksi dengan

2
eliminasi sebagian besar parasit yang mengontrol gejala penyakit dan
penurunan penularan infeksi (Katzung, dkk. 2014).
Infeksi cacing terbagi dalam 3 kelompok yaitu cacing bundar (round
worms) atau nematode, cacing isap (flukes) atau trematoda, dan cacing
pita (tapeworms) atau cestoda. Sebagian besar infeksi pada manusia
adalah cacing nematoda dan pada hewan adalah cacing cestoda dan
trematoda, namun cacing inipun bisa menyebabkan infeksi pada manusia.
Satu faktor yang menentukan patogenitas dari infeksi cacing adalah
kepadatan populasinya, sebuah kepadatan populasi (worm burden)
menjadikan penampakan penyakit yang dapat diprediksi. Di Amerika
Serikat, infeksi ini dilaporkan paling sering terjadi pada imigran baru dari
Asia Selatan, Karibia, Meksiko, dan Amerika Tengah. Faktor risiko
termasuk pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit, anak-anak
preschool, dan homoseksual. Kondisi dan obat tertentu (anestesi dan
kortikosteroid) dapat menyebabkan lokalisasi tipikal cacing (Dipiro, dkk.
2014).

II.2 terapi Farmakologi dan Terapi Non Farmakologi


II.2.1 Terapi Non-Farmakologi
Tindakan meperbaiki higine dengan selalu mencuci tangan sebelum
makan atau sebelum mengolah bahan makanan (Tjay dan Rahardja,
2006).
II.2.2 Terapi Farmakologi
1. Turunan piperazin (piperazin heksahidrat, piperazin sitrat,
dietilkarbamazin sitrat
2. Turunan Vinilpiperidin (Pirantel pamoat, oksantel pamoat)
3. Turunan Imidazotiazol (tertramisol HCI, levamisol HCI)

3
4. Turunan benzimidazole (Mebendazole, Oxfendazole, flubendazole,
tiabendazol, kambendazol, albendazol, oksibendazol)
5. Turuna zat warna sianin (pirvinium pamoat) (Siswandono, )
II. 3 Infeksi Cacing Nematoda (Dipiro, dkk. 2014)
II.3.1 Penyakit Hookworm,
a. Penyebab
Infeksi ini terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh Ancylostoma
duodenale atau Necator americanus. N. americanus ditemukan di
Amerika Serikat tenggara, di mana suhu dan kelembaban
menyediakan lingkungan yang tepat. Ancylostoma jarang terlihat pada
Amerika Serikat.
b. Mekanisme infeksi
Siklus hidup pada spesies cacing tambang serupa. cacing dewasa
hidup di usus kecil yang menempel pada mukosa. Betina
membebaskan telur, yang dikeluarkan dalam tinja dan berkembang
menjadi larva. Larva yang infektif masuk ke inang dalam makanan
atau air yang terkontaminasi atau menembus kulit, tempat erupsi
papular dengan lokalisasi edema dan eritema dapat terjadi. Cacing
betina bertelur di dalam feses berkembang menjadi larva. orang akan
terularbila memakan makanan atau minuman yang terkontaminasi
dengan telur cacing atau menembus kulit yang mengalami erupsi
dengan pembengkakan dan kemerahan.
Di usus kecil, di mana cacing dewasa tinggal melekat pada mukosa,
terjadinya cedera biasanya disebabkan oleh kerusakan mekanis dan
litik jaringan. Hilangnya darah dapat menyebabkan anemia dan
hipoproteinemia.
c. Manifestasi klinik
Nyeri ringan epigastrik,epigastrik lunak, salit kepala, lemah, anemia
hypoproteinemia
d. Diagnosa
Pemeriksaan kotoran harus dilakukan untuk melihat telur dan larva
rhabditiform. Eosinofilia (30% hingga 60%) dapat ditunjukkan pada
pasien selama awal infeksi.

4
Dapat ditegakkan dengan pemeriksaan telur dan larva rhabditifor.
pasien dapat mengalami eosinophilia (30-60%) pada awal infeksi.
e. Pengobatan Penyakit Hookworm
Mebendazole (Vermox), benzimidazol sintetis oral, adalah agen
pilihan pertama. Ini juga efektif melawan ascariasis, enterobiasis,
trichuriasis, dan hookworm. Dosis untuk pengobatan dewasa infestasi
cacing tambang adalah 100 mg dua kali sehari selama 3 hari. Pasien
pediatrik yang berumur lebih tua dari 2 tahun harus menerima dosis
yang sama dengan orang dewasa. Albendazole dapat digunakan
sebagai terapi alternatif.
II.3.2 Ascariasis
a. Penyebab
Ascariasis disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Cacing
betina berkisar dari 20 hingga 35 cm panjangnya. Cacing ini ditemukan
di seluruh dunia tetapi lebih umum di daerah-daerah di mana sanitasi
buruk. Di Amerika Serikat, daerah endemik termasuk bagian tenggara
Appalachian dan negara-negara Teluk Meksiko.
b. Mekanisme Infeksi
Selama migrasi larva melalui paru-paru, pasien dapat mengalami
pneumonitis, demam, batuk, eosinofilia, dan infiltrat paru. Gejala lain
ascariasis termasuk ketidaknyamanan perut, obstruksi perut, muntah,
dan radang usus buntu
c. Manifestasi Klinik
Gangguan di saluran cerna, rasa tidak enak di perut, nyeri ringan di
kuadran kanan atas, kolik empedu, kholangitis, pankreatitis, obstruksi
abdominal, muntah dan apendisitis. Bila larva cacing bermigrasi melalui
paru, pasien akan mengalami demam, batuk dan pneumonitis.
d. Diagnosa
Diagnosis ditetapkan berdasarkan adanya telur di feses.
e. Pengobatan
Pada pasien dewasa dan anak-anak yang lebih dari 2 tahun,
pengobatan untuk ascariasis adalah mebendazole (Vermox) 100 mg

5
dua kali setiap hari selama 3 hari. Obat alternatif untuk ascariasis
adalah albendazole 400 mg sebagai dosis tunggal.
II.3.3 Enterobiasis
a. Penyebab
Enterobiasis, atau infeksi cacing kremi, disebabkan oleh Enterobius
vermicularis. Cacing kremi adalah cacing berbentuk ulir kecil, mirip ulir
sekitar 1 cm panjangnya. Ini adalah cacing yang paling banyak
didistribusikan infeksi di dunia. Diperkirakan ada 42 juta kasus di
Amerika Serikat.
b. Mekanisme infeksi
Sebagian besar dari mereka yang terinfeksi adalah anak-anak.
Masalah paling umum dengan enterobiasis adalah iritasi kulit di
daerah perianal, dibuat oleh perempuan yang bermigrasi atau
kehadiran telur. Namun, ada laporan tentang komplikasi lain, termasuk
apendisitis dan perforasi usus. Intens pruritus dan goresan dapat
menyebabkan dermatitis dan bakteri sekunder infeksi. Pada anak-
anak, gatal dapat menyebabkan kehilangan tidur dan kegelisahan.
c. Manifestasi Klinik
Perut terasa tidak enak dan gatal pada daerah perianal karena
berpindahnya cacing betina atau adanya telur cacing. Garukan yang
kuat dan sering dapat menyebabkan dermatitis. Pada anak gatal
tersebut dapat menyebabkan gelisah dan gangguan tidur. Komplikasi
yang terjadi adalah apendisitis dan perforasi intestinal.
d. Diagnosa
Pemeriksaan mikriskopik telur cacing yang dapat diperoleh dari swab
perianal dengan tape adhesif yang ditempelkan ke perianal.
e. Pengobatan
Pengobatan umumnya termasuk pyrantel pamoate, mebendazole,
atau albendazole (Albenza). Dosis pirantel pamoat adalah 11 mg / kg
(maksimum 1 g) sebagai dosis tunggal yang dapat diulang dalam 2
minggu. Dosis mebendazole untuk orang dewasa dan anak-anak yang
lebih tua dari 2 tahun adalah 100 mg sebagai dosis tunggal; ini
mungkin diulang dalam 2 minggu.13,25 Dosis albendazole untuk
orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dari 2 tahun adalah 400

6
mg, dan harus diulangdalam 2 minggu. Setelah perawatan, semua
selimut dan pakaian dalam harus disterilkan dengan mengukus atau
mencuci dalam siklus air panas pada mesin cuci biasa; ini akan
membasmi telur. Kamar mandi, karpet, dan aksesori toilet juga harus
dibersihkan dengan cara yang sama.
II.3.4 Strongyloidiasis
a. Penyebab
Strongyloidiasis disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, yang
memiliki penyebaran di seluruh dunia dan sebagian besar lazim di
Selatan Amerika (Brasil dan Columbia) dan di Asia Tenggara.
b. Mekanisme Infeksi
Strongyloidiasis terutama terlihat di antara populasi yang
dilembagakan (Rumah mental, rumah anak-anak cacat mental) dan
imunokompromasi individu (pasien dengan human immunodeficiency
virus [HIV], AIDS, dan keganasan hematologi). Cacing ini biasanya
ditemukan di usus bagian atas tempat telur disimpan dan menetas
untuk membentuk larva rhabditiform. Larva rhabditiform (laki-laki dan
perempuan) bermigrasi ke usus di mana mereka dapat diekskresikan
dalam tinja. Jika diekskresikan dalam tinja, larva dapat berevolusi
menjadi baik salah satu dari dua bentuk setelah kopulasi: (a) hidup
bebas tidak menular larva rhabditiform atau (b) larva filariform infeksi.
Larva Filariform dapat menembus kulit tuan rumah, menyebar ke
paru-paru melalui bronkus dan glotis dan ke usus kecil. Pada suatu
waktu, larva filariform mungkin tidak masuk dalam tinja tetapi
sebaliknya bermigrasi ke paru-paru dan menghasilkan progeni,
sebuah proses yang disebut autoinfection. Ini dapat menyebabkan
hiperfeksi (yaitu, peningkatan jumlah larva di usus, paru-paru dan
organ internal lainnya), terutama di host immunocompromised. Gejala
dengan infeksi akut dapat muncul dengan ruam pruritus lokal tetapi
infestasi berat dapat menghasilkan eosinofilia (10% sampai 15%),
diare, nyeri perut dan obstruksi usus
c. Manifestasi Klinik

7
Gejala klinis pada saluran cerna yaitu nyeri perut, kembung, mual,
konstipasi, obstruksi, kardiopulmonari seperti batuk, efusi pleura, nyeri
dada, dyspnea. Untuk gejala klinis pada dermatologi/hematologi yaitu
pruriti pada betis dan eosinoflia. untuk SSP yaitu sakit kepala,
gangguan mental serta meningitis.
d. Diagnosa
Diagnosis strongyloidiasis dilakukan dengan mengidentifikasi larva
rhabditiform dalam tinja, dahak, cairan duodenum, dan cairan
serebrospinal, dengan biopsi usus kecil spesimen, atau dengan
pengujian antigen (ELISA assay).
e. Pengobatan
Obat pilihan untuk strongyloidiasis adalah ivermectin oral 200 mcg / kg
/ hari selama 2 hari dan alternatifnya adalah albendazole 400 mg dua
kali sehari selama 7 hari. Pada pasien dengan hiperinfeksi atau
penyebaran strongyloidiasis, obat imunosupresif harus dihentikan dan
pengobatan dimulai dengan ivermectin 200 mcg / kg / hari sampai
semua gejala teratasi (durasi: 5 hingga 14 hari).
II.3.5 Sistiserkosis dan Neurocysticercosis
a. Penyebab
Infeksi cacing pita yang disebabkan oleh Taenia solium adalah hasil
dari konsumsi daging babi yang dimasak dengan buruk yang
mengandung larva atau cysticercus. Dan disebabkan oleh Taenia
saginata pada sapi.
b. Mekanisme infeksi
Cacing pita yang hidup di jejunum bagian awal sapi Taenia saginata
dan babi Taenia solium, kemudian telur yang menetas menjadi larva
berpindah ke otot rangka sapi/babi. Manusia bisa terinfeksi karena
memakan daging sapi/babi yang tidak atau kurang masak yang
mengandung larva atau memakan sayuran yang tercemar kotoran
sapi atau babi yang mengandung telur. Telur yang termakan tersebut
akan menetas dan larvanya berpindah ke bagian tubuh manusia.
Cysticercus, ketika dilepaskan dari daging yang terkontaminasi oleh
pada pencernaan penderita, matang menjadi cacing pita dewasa dan
menempel pada jejunum penderita. Sistiserkosis adalah penyakit

8
sistemik yang disebabkan oleh larva T. solium (oncosphere) dan
biasanya diakuisisi oleh konsumsi telur di makanan yang
terkontaminasi atau oleh autoinfeksi. Larva dapat menembus usus
dan bermigrasi melalui aliran darah untuk menginfeksi berbeda organ
termasuk sistem saraf pusat (neurocysticercosis). larva menjadi
matang sekitar 8 minggu dan tetap sebagai semitransparan, kandung
kemih berbentuk oval, berisi cairan di jaringan. Di Amerika Serikat,
insiden tertinggi sistiserkosis telah dilaporkan pada imigran dari
Mexico. Cysticercosis di sebagian besar jaringan mungkin tidak
menghasilkan gejala utama dan biasanya bermanifestasi sebagai
nodul subkutan, terutama di lengan, kaki, dan dada. Namun, penetrasi
tahap larva (cysticercus) ke dalam sistem saraf pusat dapat
menghasilkan hidrosefalus, hipertensi intrakranial, stroke, dan
aktivitas kejang. Kejang epilepsi (50% hingga 80%) mungkin
merupakan gejala yang muncul pasien dengan neurocysticercosis.
Presentasi klinis, terutama riwayat kejang, bersama dengan
demonstrasi radiografi (CT dan pencitraan resonansi magnetik) dari
cysticercus dalam kandung kemih atau kista kalsifikasi di sistem saraf
pusat, adalah diagnostik untuk neurocysticercosis.
c. Manifestasi Klinik
Infeksi Taenia saginata akan menyebabkan rasa tidak enak pada
bagian perianal, berat badan menurun, rasa nyeri ringan di perut,
lemah, serta kehilangan selera makan. Sedangkan Taenia solium
akan menimbulkan rasa tidak enak di ulu hati, mual, sensasi lapar,
berat badan menurun, lemah dan dapat terjadi diare, tetapi seringkali
tanpa adanya keluhan.
d. Diagnosa
Dapat dilakukan diagnosis dengan mengambil telur pada feses dan di
bagian perianal, eosinofilia dan peningkatan IgE
e. Pengobatan
Cysticercosis (tidak termasuk neurocysticercosis) biasanya tidak
diobati. Manajemen untuk neurocysticercosis masih kontroversial
tetapi terapi yang dilakukan termasuk operasi, antikonvulsan

9
(neurocysticercosis-kejang yang diinduksi), dan terapi
antihelminthik.Terapi antihelminthic, yang diberikan, adalah
albendazole 400 mg dua kali sehari selama 8 hingga 30 hari. Namun,
dosis dan durasi terapi dengan albendazol tidak jelas. Dosis pediatrik
albendazole adalah 15 mg / kg (maksimum:800 mg) dalam dua dosis
terbagi selama 8 hingga 30 hari. Dosis untuk orang dewasa dan anak-
anak dapat diulang jika perlu.
Prazikuantel 10 mg/kg dalam dosis tunggaladalah terapi alternatif.
II.4 Monografi Obat
1. Mebendazol
Mebendazole, suatu senyawa benzimidazole sintetik, efektif melawan
spektrum nematoda yang luas. Obat ini merupakan obat terpilih pada
terapi infeksi oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing kremi
(Enterobius vermicularis), cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale), dan cacing gelang (Ascaris lumbricoides).
Mebendazole bekerja dengan mengikat dan mengganggu
pembentukan mikrotubulus parasit dan juga menurunkan ambilan
glukosa. Parasit yang terkena dikeluarkan bersama dengan feses.
Mebendazole hamper tidak dapat larut dalam larutan cair. Sedikit dosis
oral (yang dikunyah) diabsorbsi oleh tubuh, kecuali jika diminum
bersama dengan makanan tinggi-lemak. Obat ini mengalami
metabolism lintas-pertama untuk menginaktifkan senyawa.
Mebendazole relatif bebas dari efek toksik, walaupun pasien dapat
mengeluhkan nyeri perut dan diare. Meskipun demikian, obat ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil karena telah menunjukan sifat
embriotoksik dan teratogenik pada hewan percobaan (Harvey, dkk. 2016).
 Indikasi : Askariasis, enterobiasis, ankilostomiasis,

trikuriasis (Daris, dkk. 2013)


Dosis : - Askariasi, trikuriasis, ankilostomiasis : anak

> 6 bulan dan dewasa 100 mg sehari 2 kali

10
selama 3 hari ; > 6 bulan tapi BB < 10 kg,

50 mg 2x sehari selama 3hari.

- Enterobiasis : anak > 6 bulan dan dewasa

100 mg dosis tunggal ; anak > 6 bln tapi

BB < 10 kg, 50 mg dalam dosis tunggal.

Pemberian dosis kedua sesudah 2-4

minggu (Daris, dkk. 2013).


Efek Samping : Terapi mebendazol jangka pendek untuk

nematode usus hampir bebas dari efek

samping. Mual ringan, muntah, diare, dan

nyeri abdomen jarang dilaporkan. Efek

samping yang jarang biasanya pada terapi

dosis tinggi adalah reaksi hipersensitivitas

(ruam, urtikaria), agranulositosis, alopesia

dan peningkatan enzim hati.

Mebendazol bersifat teratogenik pada hewan

dan karenanya dikontraindikasikan pada

kehamilan. Obat ini hanya perlu diberikan

dengan hati-hati pada anak berusia kurang

dari 2 tahun karena pengalaman masih

terbatas dan pernah dilaporkan, walau jarang

kejang pada kelompok usia ini. Kadar plasma

mungkin berkurang jika obat diberikan

bersama dengan karbamazepin atau fenitoin

11
dan ditambah dengan simetidin. Mebendazol

perlu diberikan secara hati-hati pada pasien

dengan sirosis (Katzung, dkk. 2014)


 Kontra Indikasi : Anak < 6 bulan, kehamilan trimester pertama

Gangguan saluran cerna, sakit kepala dan

pusing (Daris, dkk. 2013).


 Farmakologi : Kurang dari 10% dari mebendazol yang

Dasar diberikan per oral diserap. Obat yang

terserap kemudian terikat ke protein (>90%),

cepat diubah menjadi metabolit inaktif

(terutama sewaktu metabolisme first-pass di

hati) dan memiliki waktu paruh 2-6 jam. Obat

ini dieksreksikan terutama di urin sebagai

turunan terdekarboksilasi. Selain itu,

sebagian dari obat yang terserap dan

turunannya diekskresikan di empedu.

Penyerapan meningkat jika obat dimakan

bersama dengan makanan berlemak.

Mebendazol mungkin bekerja dengan

menghambat sintetis mikrotubulus; obat

induk tampaknya merupakan bentuk aktif.

Efikasi obat bervariasi sesuai dengan waktu

transit di saluran cerna dengan intensitas

infeksi, dan mungkin dengan galur parasit.

12
Obat ini mematikan telur cacing tambang,

dan askaris (Katzung, dkk. 2014).


 Pemakaian : Mebendazol diindikasikan untuk digunakan

Klinis pada askariasis, infeksi cacing tambang dan

kremi dan infeksi cacing tertentu lainnya.

Obat ini diminum sebelum atau sesudah

makan; tablet perlu dikunyah sebelum

ditelan. Untuk infeksi cacing kremi, dosis

adalah 100 mg sekali, diulang pada 2

minggu. Untuk infeksi askariasis, cacing

tambang digunakan dosis 100 mg dua kali

sehari selama 3 hari untuk dewasa dan anak-

anak berusia lebih dari 2 tahun (Katzung,

dkk. 2014).
2. Albendazol

 Indikasi : Askariasis, trikuriasis (Daris, dkk. 2013).


 Dosis : - Askariasi dan nterobiasis: anak > 6 bulan

dan dewasa 400 mg dalam dosis tunggal ;

anak > 6 bulan tapi BB < 10 kg, 200 mg

dalam dosis tunggal

- Enterobiasis: dosis kedua sesudah 2-4

minggu

- Trikuriasis, enterobiasis: anak > 6 bulan

dan dewasa 400 mg 1x sehari selama 3

hari ; anak > 6 bulan tapi BB < 10 kg, 200

13
mg 1x sehari selama 3 hari (Daris, dkk.

2013).
 Kontra Indikasi : Anak < 6 bulan, pasien dengan ocular

cysticerosis, kehamilan trimester pertama

(Daris, dkk. 2013)..


 Efek Samping : Gangguan saluran cerna, sakit kepala,

pusing, serangan

kejang dapat terjadi pada pasien dengan

neuro cysticercosis (Daris, dkk. 2013).

Jika digunakan selama 1-3 hari, albendazol

hampir bebas dari efek samping yang

signifikan. Rasa tak nyaman ringan dan

sementara di epigastrium, diare, nyeri kepala,

mual, pusing bergoyang, lesu, dan insomnia

dapat terjadi. Hitung darah dan pemeriksaan

fungsi hati perlu dipantau selama pengobatan

jangka panjang. Obat ini sebaiknya tidak

diberikan kepada pasien yang diketahui

hipersensitif terhadap obat benzimidazol lain

atau mereka yang mengidap sirosis.

Keamanan albendazol dalam kehamilan dan

anak berusia kurang dari 2 tahun belum

diketahui pasti

(Katzung, dkk. 2014).


 Farmakologi : Albendazol adalah suatu benzimidazol

14
Dasar karbamat. Setelah pemberian oral,

penyerapan obat ini tidak teratur (meningkat

setelah makanan berlemak) dan obat ini

kemudian mengalami metabolisme first-pass

cepat di hati menjadi metabolit aktif

albendazol sulfoksida. Obat ini mencapai

konsentrasi plasma maksimal sekitar 3 jam

setelah dosis oral 400 mg, dan waktu paruh-

plasmanya adalah 8-12 jam. Sulfoksida

sebagian besar terikat ke protein, terdistribusi

baik ke jaringan dan masuk ke empedu,

cairan serebrospinal, dan kista hidatid.

Metabolit albendazol diekskresikan di urin.

Benzimidazol diperkirakan bekerja terhadap

nematode dengan menghambat

pembentukan mikrotubulus. Albendazol juga

memiliki efek larvasida pada penyakit hidatid,

sistiserkosis, askariasis, dan infeksi cacing

tambang serta efek ovisidal pada askariasis,

ankilostomiasis dan trikuriasis (Katzung, dkk.

2014).
 Pemakaian : Albendazol diberikan pada lambung kosong

Klinis jika digunakan untuk parasit intralumen,

tetapi dengan makanan berlemak jika

15
digunakan untuk parasit jaringan.

- Ascariasis
Terapi ini biasanya menghasilkan

angka kesembuhan yang baik dan

penurunan nyata jumlah telur pada

mereka yang belum sembuh.


- Neurosistiserkosis
Indikasi untuk terapi medis

neurosistiserkosis masih

diperdebatkan, karena terapi obat

cacing tidak jelas lebih baik daripada

terapi dengan kortikosteroid saja dan

mungkin memperparah penyakit

neurologik. Terapi mungkin paling

tepat untuk kista intraventrikel atau

parenkimatosa simtomatik.

Kortikosteroid biasanya diberikan

bersama obat antihelmintik untuk

mengurangi peradangan akibat

organisme yang mati. Albendazol kini

dianggap sebagai obat pilihan

dibandingkan dengan prazikuantel

karena pemberiannya yang lebih

singkat, harganya lebih murah,

penetrasi ke dalam ruang subaraknoid

16
yang lebih baik dan kadar obat yang

lebih tinggi (berbeda dengan

pirazikuantel yang menurun) jika

diberikan bersama kortikosteroid.

Albendazol diberikan dengan dosis

400 mg dua kali sehari hingga 21 hari

(Katzung, dkk. 2014).


3. PRAZIKUANTEL

Pirazikuantel efektif dalam mengobati infeksi skistosoma dari


semua spesies dan sebagian besar infeksi trematoda dan cestoda,
termasuk sistiserkosis. Keamanan dan efektivitas obat sebagai
dosis oral tunggal juga menyebabkannya berguna dalam
pengobatan missal beberapa infeksi (Katzung, dkk. 2014).
 Indikasi : Taineasis, sistomiasis (Daris, dkk. 2014)
 Dosis : Taineasis : 5-10 mg/kg, sebagai dosis tunggal

(Daris, dkk. 2014)


 Kontra Indikasi : Pasien dengan ocular cysticerosis (Daris,

dkk. 2014)
 Efek Samping : Gangguan saluran cerna, pusing, mengantuk,

: reaksi alergi (jarang), gangguan neurologi

(sakit kepala dan serangan kejang). (Daris,

dkk. 2014)

 Farmakologi : Pirazikuantel adalah suatu turunan


Dasar
isokuinolin-pirazin sintetik. Obat ini cepat

diserap dengan ketersediaan hayati sekitar

17
80% setelah pemberian oral. Konsentrasi

serum puncak tercapai 1-3 jam setelah dosis

terapeutik. Konsentrasi di cairan

serebrospinal mencapai 14-20% dari

konsentrasi obat dalam plasma. Sekitar 80%

obat terikat ke protein plasma. Sebagian

besar obat cepat termetabolisme menjadi

bentuk mono- dan polihidroksilasi inaktif

ketika melewati hati untuk pertama kalinya.

Waktu paruh adalah 0,8-1,5 jam. Ekskresi

terutama melalui ginjal (60-80%) dan empedu

(15-35%). Konsentrasi pirazikuantel dalam

plasma meningkat jika obat diminum

bersama dengan makanan tinggi karbohidrat

atau dengan simetidin; ketersediaan hayati

sangat berkurang jika obat diberikan

bersama dengan obat antiepilepsi (fenitoin,

karbamazepin) atau kortikosteroid.

Pirazikuantel tampaknya meningkatkan

permeabilitas membrane sel trematoda dan

sestoda terhadap kalsium sehingga terjadi

kelumpuhan, terlepasnya cacing dan

kematian. Pada infeksi skistoma pada hewan

18
percobaan, pirazikuantel efektif terhadap

cacing dewasa dan stadium imatur serta

memiliki efek profilaktik terhadap infeksi

serkaria (Katzung, dkk. 2014).


 Pemakaian : Tablet pirazikuantel diminum setelah makan;
Klinis tablet ini ditelan tanpa dikunyah karena rasa

yang pahit dapat memicu mual dan muntah.

. Taeniasis

Dosis tunggal prazikuantel 5-10 mg/kg

menghasilkan angka kesembuhan hampir

100% untuk infeksi T.saginata, T.solium, dan

D. latum. Karena pirazikuantel tidak

mematikan telur, secara teoritis terdapat

kemungkinan bahwa larva T. solium yang

keluar dari telur di usus besar dapat

menembus dinding usus dan menimbulkan

sistiserkosis tetapi penyulit ini tampaknya

jarang.

B. Neurosistiserkosis

Albendazol kini merupakan obat pilihan tetapi

jika tidak dapat diberikan atau tidak tersedia,

dapat digunakan prazikuantel. Indikasi untuk

prazikuantel serupa dengan albendazol.

Dosis prazikuantel adalah 100 mg/kg/hari

19
dalam dosis terbagi tiga selama 1 hari, lalu

50 mg/kg/hari hingga pengobatan tuntas

selama 2-4 minggu (Katzung, dkk. 2014).

4. Pirantel

Pirantel pamoat adalah suatu antihelmintik spektrum luas


yang sangat efektif untuk mengobati infeksi cacing kremi, dan
askaris. Obat ini cukup efektif terhadap kedua spesies cacing
tambang. Obat ini tidak efektif terhadap strongyloidiasis (Katzung,
dkk. 2014).
 Indikasi : Askariasis, ankilostomiasis enterobiasis,

trikinelosis (Daris, dkk.2013)


 Dosis : - Askariasi : anak dan dewasa : 10 mg/kg

dalam dosis tunggal

- Enterobiasis : anak dan dewasa : 10 mg/kg

dalam dosis tunggal, diikuti dosis kedua

setelah 2-4 minggu

- Ankilostomiasis : anak dan dewasa : 10

mg/kg dalam dosis tunggal. Pada kasus

berat 10 mg/kg 1x sehari selama 4 hari.

- Trikinelosis : Pada kasus berat 10 mg/kg

dalam dosis tunggal, pada kasus berat 10

mg/kg 1x sehari selama 5 hari (Daris, dkk.

2013)
 Efek Samping : Gangguan saluran cerna, sakit kepala,

pusing, mengantuk dan ruam kulit (Daris,

20
dkk. 2013).

Efek samping jarang terjadi, ringan, dan

bersifat sementara. Efek sampingnya

mencakup mual, muntah, diare, kram

perut, pusing bergoyang, mengantuk, nyeri

kepala, insomnia,ruam, demam, dan

kelemahan otot. Pirantel perlu diberikan

dengan hati-hati pada pasien dengan

disfungsi hati, karena pernah dilaporkan

peningkatan ringan dan transien

aminotransferase pada sejumlah kecil

pasien. Pengalaman dengan ibu hamil dan

anak berusia kurang dari 2 tahun masih

terbatas (Katzung, dkk. 2014).

 Farmakologi : Pirantel pamoat adalah suatu turunan

Dasar tetrahidropirimidin. Obat ini kurang diserap

dari saluran cerna dan aktif terutama

terhadap organisme di lumen. Kadar plasma

puncak tercapai dalam 1-3 jam. Lebih dari

separuh obat yang diberikan dapat

ditemukan tanpa berubah dari tinja.

Pirantel efektif terhadap bentuk matang

dan imatur cacing yang rentan di dalam

21
saluran cerna, tetapi tidak terhadap stadium

migratorik di jaringan atau terhadap telur

cacing. Obat ini adalah obat penghambat

neuromuskulus yang menyebabkan

pelepasan asetilkolin dan inhibisi

kolinesterase; hal ini menyebabkan

kelumpuhan cacing, yang diikuti oleh ekspulsi

(Katzung, dkk. 2014).


 Pemakaian Dosis baku adalah 11 mg (basa)/kg

klinis (maksimal 1 gram), diberikan per oral sekali

dengan atau tanpa makanan. Untuk cacing

kremi, dosis diulang dalam 2 minggu dan

angka kesembuhan lebih dari 95%. Obat ini

tersedia di AS tanpa resep untuk indikasi ini.

Untuk askariasis, satu dosis

menghasilkan angka kesembuhan 85-100%.

Terapi perlu diulang jika masih ditemukan

telur 2 minggu setelah pengobatan. Untuk

infeksi cacing tambang, satu dosis telah

efektif untuk infeksi ringan; tetapi untuk

infeksi berat, terutama oleh Necator

americanus, diperlukan pemberian 3 hari

untuk mencapai angka kesembuhan 90%.

Pengobatan dapat diulang dalam 2 minggu

22
(Katzung, dkk. 2014)

5. Ivermectin
Ivermectin adalah obat pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis
(river blindness) yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus dan
merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan larva migran
kutaneus dan strongioloidiasis. Ivermectin membidik reseptor kanal
CI- yang bergerbang-glutamat (glutamate-gated CI- channel) pada
parasite. Aliran masuk klorida meningkat, dan terjadi
hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing. Obat ini diberikan
secara oral. Obat ini tidak melewati sawar darah-otak sehingga
tidak memiliki efek farmakologi pada SSP. Meskipun demikian, obat
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan meningitis karena
sawar darah-otak pasien bersifat lebih permeabel dan mungkin
dapat terjadi efek pada SSP. Ivermectin juga dikontraindikasikan
pada kehamilan. Kematian mikrofilaria dapat menyebabkan reaksi
mirip-Mazotti (demam, sakit kepala, pusing, somnolen, dan
hipotensi) (Katzung, dkk. 2014).
Ivermectin adalah obat pilihan untuk pengobatan onkoserkiasis
(river blindness) yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus dan
merupakan obat pilihan pertama untuk pengobatan larva migran
kutaneus dan strongioloidiasis. Ivermectin membidik reseptor kanal
CI- yang bergerbang-glutamat (glutamate-gated CI- channel) pada
parasite. Aliran masuk klorida meningkat, dan terjadi
hiperpolarisasi, menyebabkan paralisis cacing. Obat ini diberikan
secara oral. Obat ini tidak melewati sawar darah-otak sehingga
tidak memiliki efek farmakologi pada SSP. Meskipun demikian, obat
ini dikontraindikasikan pada pasien dengan meningitis karena
sawar darah-otak pasien bersifat lebih permeabel dan mungkin
dapat terjadi efek pada SSP. Ivermectin juga dikontraindikasikan
pada kehamilan. Kematian mikrofilaria dapat menyebabkan reaksi

23
mirip-Mazotti (demam, sakit kepala, pusing, somnolen, dan
hipotensi) (Harvey, dkk. 2016).

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Cacing (helminth) adalah organisme multiseluler yang menginfeksi
banyak orang dan menyebabkan beragam penyakit termasuk
Nematoda usus. Cacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh
parasit berupa cacing yang menyerang tubuh inangnya dengan
cara menempelkan diri (di dalam maupun di luar tubuh) dengan
mengambil nutrisi dari inangnya.
Penyakit cacing (nematoda) usus terdiri atas 5 jenis antara lain :
Hookworm yang disebabkan oleh Anchylostoma duodenale dan
Necator Americanus; Ascariasis disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides; Entherobiasis disebabkan oleh Entherobus
vermicularis; Srongyloidiasis disebabkan oleh Strongyloides
streocalis; dan Cystycercosis dan Neurocercosis disebabkan oleh
Taenia solium.
Dengan gejala epigastrik, lemah, sakit kepala, anemia, pankreatitis,
pneumotitis, gelisah, gannguan tidur, mual, diare berkala, dan gatal
di daerah perianal. Sumber penyakit berasal dari makanan dana
minuman yang terkontaminasi dan sanitasi buruk.

24
Pengobatannya, dengan terapi farmakologis menggunakan obat –
obatan seperti : Mebendazole, albendazole, pirantel pamoat,
invermectin oral,dan prazikuantel; dan non farmakologis yaitu
memperbaiki hygiene dengan selalu mencuci tangan sebelum
makan atau sebelum mengolah bahan makanan.
III.2 Saran
Diharapkan dapat memperbaiki sanitasi dan hygiene agar upaya
prevensi dan terapi dapat memberikan tingkat keberhasilan, sehingga
infeksi cacing bisa diatasi secara tuntas dan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Burns, M.A.C. et al., 2008. Pharmacotherapy Principles and Practice. Mc


Graw Hill Medical : New York.
Daris, A., Fitriani, E., Lusianti, M. 2013. Iso Farmakoterapi 2. Penerbit
Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta.

Dipiro et al.2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition.McGraw-


Hill:New York

Harvey, Richard A., Champe, Pamela C. 2016. Farmakologi Ulasan


Bergambar Ed.4. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
Katzung, B.G., Masters, S.B., and Trevor, A.J. 2014. Basic and Clinical
Pharmacology, 12th Ed. Mc Graw Hill Medical : New York.
Tjay, T. H. Dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia : Jakarta.

25

You might also like