You are on page 1of 37

Makalah Keperawatan Kritis II

“Gagal Ginjal Akut”

Kelompok 4:

Ishlah Mardatila (20151660040)

Aminatul maulidya(20151660070)

Minda septiyana (20151660038)

Mufida Amalia R. (20151660127)

S1 KEPERAWATAN B
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat
rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Kritis II sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.

Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah


KeperawatanKomunitasIyang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk
mengerjakan tugas makalah ini, sehingga kami menjadi lebih mengerti dan
memahami tentang materi “ Gagal Ginijal Akut”. Tak lupa kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian
makalah ini baik yang mendukung secara moril dan materil.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan


kekhilafan dalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap kami harapkan
demi perbaikan makalah ini kedepan. Akhir kata kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami semua.

Terimakasih

Surabaya, 20 November 2018

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2004)


memperlihatkan yang menderita gagal ginjal baik akut maupun kronik
mencapai 50% sedangkan yang diketahui dan mendapatkan
pengobatan hanya 25% dan 12,5% yang terobati dengan baik.
Prevalensi gagal ginjal di Indonesia tercatat mencapai 31,7% dari
populasi pada usia 18 tahun keatas (Riskesdas, 2007). Indonesia
termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal cukup tinggi.

Prevalensi gagal ginjal akut menurut United State Renal Data


System (USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 % didunia.
Dalam Kartika (2013), berdasarkan survei dari Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan prevalensi penyakit gagal ginjal akut yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Menurut data PT Askes, ada sekitar
14,3 juta orang penderita gagal ginjal tahap akhir saat ini menjalani
pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 orang perjumlah penduduk.
Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada tahun 2025 (
Febrian, 2009 ).
Ketidakseimbangan kalium (K+) merupakan salah satu
gangguan serius yang dapat terjadi pada gagal ginjal, karena kehidupan
hanya dapat berjalan dalam rentang kadar kalium plasma yang sempit
sekali (3,5–5,5 mEq/L) Sekitar 90% asupan normal yaitu sebesar 50–
150 mEq/hari diekskresikan dalam urine, kalium membantu menjaga
tekanan osmotis dan keseimbangan asam basa. Ginjal adalah regulator
utama kalium didalam tubuh yang menjaga kadarnya tetap didalam
darah dengan mengontrol eksresinya (Winarno, 1995). Jadi
ketidakseimbangan kalium pada gagal ginjal menjadi suatu hal yang
penting untuk diwaspadai karena kalium berhubungan dengan system

3
kardiovaskular yaitu impuls pada jantung yang megakibatkan
perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat
tinggi), dan perubahan status klinis.

Pada gagal ginjal akut biasanya ditemui hiperkalemia, maka salah


satu penanganan untuk menurunkan kadar kalium dalam darah pada
pasien gagal ginjal akut yaitu dengan menggunakan terapi insulin dan
glukosa. Insulin diberikan karena fungsi insulin sebagai transport aktif
untuk mengembalikan atau mengurangi penggunaan kalium yang berada
di intravascular untuk kembali ke intraseluler. Sehingga terapi
pemberian insulin dapat menjadi solusi bagi pasien gagal ginjal dengan
hiperkalemia. Namun, pemberian terapi insulin ini harus sejalan dengan
pemberian glukosa agar tidak terjadi hipoglikemia saat pemberian
insulin. Jadi untuk mengatasi hiperkalemia pada pasien gagal ginjal
akut pemberian insulin dan glukosa merupakan rekomendasi yang tepat
untuk mengembalikan kadar kalium normal pada pasien gagal ginjal
akut. Makalah ini dibuat bertujuan agar memberikan pengetahuan
tentang penatalaksaan pada gagal ginjal akut. Pentingnya pengetahuan
tentang penalaksanaan bagi pasien gagal ginjal akut agar dapat
memberikan intervensi yang tepat bagi pasien. Edukasi terhadap pasien
dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan
akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan
dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.

B. Rumusan Masalah

a. Apa definisi gagal ginjal akut (GGA)?


b. Bagaimanagagal ginjal akut (GGA) ?
c. Apakah etiologi gagal ginjal akut (GGA)?
d. Bagaimana patofisiologi gagal ginjal akut (GGA)?
e. Bagaimana manifestasi klinis gagal ginjal akut (GGA)?
f. Bagaimana pemeriksaan penunjang gagal ginjal akut (GGA)?

4
g. Bagaimana penatalaksanaan gagal ginjal akut (GGA)?
h. Bagaimana asuhan keperawatan gagal ginjal akut (GGA)?
i. Bagaimana temuan terkini terkait penanganan pasien gagal ginjal akut
(GGA)?

1.1 Tujuan
a. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat menjelaskan dan melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan gagal ginjal akut (GGA)
b. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi gagal ginjal akut (GGA)
b. Mengetahui epidemiologi gagal ginjal akut (GGA)
c. Mengetahui etiologi gagal ginjal akut (GGA)
d. Mengetahui patofisiologi dari gagal ginjal akut (GGA).
e. Menyebutkan manifestasi klinis gagal ginjal akut (GGA)
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut (GGA)
g. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan gagal ginjal akut (GGA)
h. Mengetahui asuhan keperawatan gagal ginjal akut (GGA)
i. Mengetahui temuan terkini terkait penanganan pasien gagal ginjal
akut (GGA)

1.2 Manfaat
a. Mendapatkan pengetahuan tentang gagal ginjal akut (GGA)
b. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan tentang gagal
ginjal akut (GGA)

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Gagal ginjal akut merupakan sindrom klinis yang ditandai oleh


penurunan fungsi ginjal secara mendadak dan cepat dan dalam hitungan jam ,
yang mengakibatkan retensi buangan nitrogen (nitrogen urea dan kreatinin) dan
ketidak seimbangan cairan, elektrolit dan asam basa. Berbagai potensi komplikasi
metabolisme yang mengancam jiwa dapat terjadi, termasuk asidosis metabolik
serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Biasanya karena hiperfusi ginjal
sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah
nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24
jam (Tambayong, 2000).

2.2 Etiology
Menurut Mansjoer Arif (2005), sampai saat ini para praktisi klinik
masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga kategori meliputi :
1. Prarenal
Kondisi prarenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperpusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glomeruls.Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan
fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun
bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya
nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari
gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
b. Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
c. Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok
kardioenik dn emboli paru)
d. Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
2. Renal
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan
ginjal.Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal

6
langsung terganggu.Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak
teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya
dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan–
lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia.Kelainan di ginjal ini dapat
merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian
menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
a. Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis
dan renjatan hemoragik.
b. Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus
nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
c. Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang
langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
d. Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia
lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan
mioglobinuria.
e. Pielonefritis akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi umumnya
pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai
komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara
progresif.
f. Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.

3. Pascarenal / Postrenal
Pascarenal yang biasanya menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat
dari obstruksi di bagian distal ginjal.adanya sumbatan pada aliran urine dari
duktus penampung di ginjal hingga ke orifisium uretra eksterna dapat
menyebabkan menyebabkan gagal ginjak akut postrenal. Sumbatan postrenal
dapat terjadi akibat blockade ureter, blockade uretra atau akibat akibat sumber
ekstrinsik.
Beberapa penyababnya antara lain:
a. obstruksi ureter
b. instrinsik ( batu, karsinoma sel transisional ureter, bekuan darah, striktur )

7
c. ekstrinsik ( kanker ovarium ; limfoma ; metastasis kanker prostat, serviks atau
kolon ; fibrosis retroperitoneal )
d. kandung kemih neurogenik ( cedera medulla spinalis , diabetes mellitus, iskemia,
obat-obatan )

2. 3 Patofisiologi
GAGAL GINJAL AKUT PRARENAL

Patofisiologi gagal ginjal akut prarenal berpusat pada respons ginjal terhadap
perfusi yang tidak adekuat. Penurunan perfusi ginjal menyebabkan pelepasan
enzim renin dari sel jukataglomerulus di dinding arteriol aferen. Peristiwa ini
mengaktifkan rengakaian renin- angltensinaldosteron, hasil akhirnya adalah
produksi angiotensin II dan pelepasan aldosterone dari korteks adrenal.
Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi sistemik hebat dan aldosterone
mengakibatkan retensi natrium dan air. Efek ini membantu aliran darah yang
adekuat ke organ penting seperti jantung dan otak. Di ginjal, angiotensin II juga
membantu memelihara laju filtrasi glomerulus (GFR) dengan meningkatkan
resitensi arteriolar eferen dan merangsang prostaglandin vasodilator intrarenal
(yang melebarkan arteriol eferen), yang meningkatkan tekanan hidrostaltik di
glomerulus dengan cara ini, ginjal sangat terganggu, kemampuan autoregulasi
sangat terbebani dan laju filtrasi glomerulus (GFR) turun.

Makna klinisnya penting bahkan pada hipovolemia sedang atau gagal


jantung kongesif, obat-obatan tertentu, seperti inhibitor angiotensin-converting
enzyme dan obat- obatan anti inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat membebani
kemampuan ginjal untuk autoregulasi. Ini karena obat-obatan ini mengganggu
sebagian mekanisme autoregulasi seperti vasodilatasi arteri aferen yang dimediasi
prostaglandin, pada kasus NSAID, dan peningkatan resitensi arteriolar eferen,
pada kasus inhibitor ACE, adalah hipovelemia, insufiensi ginjal dasar, penyakit
hati, gagal jantung, dan penyakit arteri renalis.

Pada gagal ginjal akut prarenal, setelah kemampuan autoregulasi terbebani


dan GFR turun, perubahan komposisi urine dan volume terjadi pada suatu pola
yang dapat diperkirakan. Ketika GFR turun, jumlah cairan tubulus berkurang dan

8
cairan berjalan melewati tubulus dengan lebih lambat, keadaan ini menyebabkan
peningkatan direabssorpsidari cairan tubulus dibuang dengan lebih lambat dari
pada normal dari interstisium medula ginjal, ini menyebabkan peningkatan
rearbsopsi air dari cairan di tubulus distal. Sebagai hasil peristiwa ini, volume
urine berkurang hingga kurang dari 400 ml/ hari (17ml/jam), berat jenis urine
meningkat dan konsentrasi natirum urine rendah (biasnya <5 mEq/l). karena
perubahan karakteristik ini terkait dengan perfusi ginjal yang tidak adekuat,
pengukuran volume urine, natrium urine, dan berat jenis adalah metode sederhana
menentukan efek penatalksanaan pada perfusi ginjal.

Peningkatan tekanan darah sistemik tidak selalu menyiratkan perbaiakan


perfusi ginjal. Hal ini mungkin khususnya terbukti saat obat-obatan seperti
norepinefrin digunakan untuk mengoreksi hipotensi terkait dengan keadaan
deplesi volume. Obat-obatan ini dapat dihubungkan dengan penurunan aliran
darah lebih lanjut sebagai akibat konstriksi arteri renalis. Akibat oenurunan aliran
darah renal, terjadi penurunan volume urine kemudian dan kenaikan berat jenis.

Pada gilirannya, jika keadaan hipoperfusi secara lebih tepat dan secara
spesifik ditangani dengan mengganti volume, perbaikan curah ajantung, koreksi
distitmia atau kombinasi pendekatan ini, perbaiakan perfusi ginjal alan ditandai
dengan peningkatan volume urine, dan dengan penurunan berat jenis urine,
kemampuan untuk mengembalikan keadaan gagal ginjal akibat prarenal ini adalah
kunci untuk menegakkan diagnosisnya.

GAGAL GINJAL AKUT RENAL

Banyaknya penyebab gagal ginjal akut renal terdapat juga banyak alur
patofisiologis yang menyebabkan nya. Karena ATN adalah bentuk gagal ginjal
akut irenal yang didapat di rumah sakit yang paling sering terjadi, bahasan di
bagian ini berfokus pada patofisiologi ATN sifatnya rumit, tetapi karena adanya
penelitian yang intens dan berkelanjutan, terdapat peningkatan pemahaman
mengenai faktor yang berperan terhadap keadaan ini. Iskemia dan nefrotiksitas
adalah dua penyebab utama yang mendasari ATN.

Nekrosis Tubulus Akut Iskemia

9
ATN iskemik disebabkan oleh hipoferfusi berkepanjangan. Oleh karena
itu, gagal ginjal akut prarenal dan ATN iskemik sebenarnya adalah suatu rentang,
sebuah bukti yang menekankan makna pengenalan cepat dan penanganan keadaan
prarenal. Ketika hipoperfusi renal menetap selama suatu waktu yang cukup
(durasi pastinya tidak dapat diperkirakan dan berbeda-beda pada keadaan klinis),
epitel tubulus ginjal mengalami hipoksik dan keruskana menetap hingga ketitik
dimana pemulihan pefusi ginajl tidak lagi berpengaruh terhadap perbaiakan filtrasi
glomerulus. Iskemia menyebabkan penurunan produksi adenosine trifosfat (ATP)
di mitokondria sel ginjal, yang mencuri pasokan energy yang dibutuhkan dari sel
tersebut. Sebagian energy ini digaunkan untuk mempertahankan konsentrasi tepat
elektrolit di sel melalui saluran pertukaran elektrolit. Beberapa gangguan elektrolit
selular akibat iskemia adalah penurunan kalium, magnesium, dan posfat
intraseluler, dan peningkatan natrium, klorida, dan kalsium intraseluler,
peningkatan kalsium intraseluler khusunya menunjukkan penyebab cedera dan
disfungsi sel.

Kerusakan sel juga terjadi selama perfusi ulang akibat pembentukan


radikal bebas oksigen. Akhirnya, keruskan sel ini menyebabkan sel tubulus
bengkak dan mengalami nekrotik. Sel yang nekrotik kemudia meluruh dan
menyumbat lumen tubulus, sel yang meluruh ini juga memungkinkan terjadinya
kebocoran cairan tubulus kea rah belakang karena perubahan fungsi membrane
basalisnya, yang berperan pada penurunan GFR yang dijumpai pada gangguan ini.

Contributor terakhir patofisiologi ATN iskemik adalah vasokontriksi


ginjal berat, yang mengurangi aliran darah ginjal hingga sebesar 50%, gangguan
hemodinamik ini semakin menggangu pengahantaran oksigen ginjal dan
menambah keruskan iskemik. Vasokontriktor yang terlibat meliputi norepinofrin
dari aktivasi sistem saraf simpatis, angiotensin II dan kemungkinan endotelin,
suatu konstriktor kuat yang dilepaskan oleh sel endotel pembuluh ginjal yang
rusak.

Nekrosis Tubulus Akut Toksik

10
Patofisiologi ATN toksik dimulai dengan konsentrasi nefrotoksin di sel tubulus
ginjal, yang menyebabkan nekrosis. Sel yang nekrotik ini kemudia meluruh ke
dalam lumen tubulus, yang menyebabkan sumbatan dan keruskan filtrasi
glomerulus dengan cara yang sama yang terjadi pada ATN iskemik adalah bukti
bahwa pada ATN toksik, membrane basalis sel ginjal biasanya tetap utuh dan area
yang mengalami nekrotik dan cedera lebih terlokalisasi. Selain itu, nonoliguria
terjadi lebih sering pada ATN toksik dan proses penyembuhan sering kali terjadi
lebih cepat.

Meskipun kemungkinan nefrotoksisk pada ATN toksk banyak, antibiotic


aminoglikosida dan pewarna radiokontras layak disebutkan khusus karena sering
dijumpai sebagai penyebab pasien dirawat di rumah sakit. Nefrotoksik akibat
aminoglikosida terjadi pada 5% hingga 15% pasien yang diobati dengan obat-
obatan ini. Awitan gagal ginjal akut sekunder akibat aminoglikosida biasnya
lambat, sering kali dimulai 7sampai 10 hari setelah awitan terap. Toksisitas agens
ini bergantung dosis, dank arena agens ini terutama di eleminasi oleh ginjal, dosis
harus disesuaiakan pada paisen yang telah menderita keruska ginjal. Untuk
memastikan kisaran terapi yang benar tercapai, kadar gula pucak dan pertengahan
di ambildengan sering. Agens yang menimbulkan gangguan (dituliskan sesuai
penurunan urutan keparahan yang ditimbulkan agens tersebut terhadap keruskan
tubulus proksimal yang bergantung dosis) adalah neomisin, tobramisin,
gentamisin, amikasin, dan sterptomisin. Beberapa studu menunjukkan bahwa
dosis tunggal harian gentamisin dapat menyebabkan nefrotoksik yang lebih kecil
dari pada pemberian dosis dengan jumlah obat yang sama pada dosis tiga sehari.
Selain dosis, peningktan faktor resiko terjadinya toksisitas aminoglikosida adalah
deplesi volume, usia lanjut, dan pembedahan jantung.

Nefropati terkait radiontras intravena biasanya dimulai dalam 48 jam


pemberian radiontras intravena (IV), mencapai puncak dalam 3 hingga 5 hari, dan
kembali ke nilai dasar dalam 7 hingga 10 hari. Pasien yang sangat berisiko
mengalami nefritoksisitas akibat kontras adalah merka yang menderita diabetes,
khususnya mereka yang menderita diabetes dan gagal ginjal. Pasien lain yang
berisiko adalah lansia, mereka yang mengalami deplesi volume intravascular atau

11
myeloma multiple, dan mereka yang mendapatkan muatan kontras dalam jumlah
besar.

Salah satu cara penting untuk mengurangi risiko tipe gagal ginjal akut ini
adalah dengan pemberian hidrasi agresif dengan salin IV sebelum dan setelah
pemberian kontras. Pendekatan yang abru dan kurang bukti ini adalah dengan
pemberian pewarna kontras. Pendekatan yang baru dan kurang bukti untuk
mencegah nefropati terkait radiokontras pada pasien yang telah menderita
kerusakan ginjal adalah pemberiana asetilsistein (Mucomyst, 600 mg dua kali
sehari) sejalan dengan hidrasi. Pendekatan ini terutama di dasarkan pada sebuah
studi placebo terkontrol, acak dan prospektif pada pasien yang mnegalami
insufisiensi ginjal sedang (rerata kreatinin serum 2,4 mg/ dl ± 1,3 deviasi baku)
yang diberikan agens radio kontras nanionik dengan osmolalitas rendah.
Asetilsistein dapat memberikan perlindungan dengan pasien ini dengan sifat
antioksidannya (nefropati akibat radiokontras mungkin sebagian dimediasi dengan
dihasilkannya spesies oksigen reaktif yang menyebabkan kerusakan langsung
akibat toksik di sel ginjal dan iskemia). Meskipun hasil ini menjanjikan, studi
yang lebih seksama perlu dilakukan sebelum pemakaian asetilsistein dapat
dipertimbangkan sebagai standar asuhan. Ketika nefropati akibat kontras terjadi,
biasanya bersifat ringan, monoliguria, dan reversible. Namun terdapat kasus yang
memerlukan dialysis guna menjembatani kesenjangan sebelum fungsi ginjal pulih.

GAGAL GINJAL AKUT POSTRENAL

Sumbatan dapat terjadi di setiap titik saluran kemih. Ketika urine tidak dapat
melewati sumbatan tersebut, kongesti yang terjadi mengakibatkan tekanan
retrograde di sepanjang sistem penampungan dan nefron. Keadaan ini
memperlambat laju aliran cairan tubulus dan menurunkan GFR. Sebagai
akibatnya, reabsorpsi natrium, air, dan urea meningkat, yang menyebabkan
penurunkan konsentrasi natrium urine dan peningkatan osmolalitas urine dan
BUN, kadar kreatinin serum juga meningkat. Pada tekanan lama akibat sumbatan
di saluran kemih, seluruh sistem penampung mengalami dilatasi, sehingga
menekan dan merusak nefron, hal ini menyebabkan disfungsi mekanisme
peningkatam/ pengenceran dan osmolalitas urine serta konsentrasi natrium urine

12
menjadi sama dengan plasma. Keadaan ini dapat dihindari dengan menyingkirkan
sumbatan dengan cepat.

Karena satu ginjal yang berfungsi dengan baik cukup untuk memelihara
hemeostasis, terjadi gagal ginjal akut akibat sumbatan membutuhkan blockade
kedua ginjal (yaitu sumbatan di uretra atau leher kandung kemih atau sumbatan
bilateral di ureter) atau sumbatan ureter unilateral pada pasien dengan satu ginjal.
Setelah sumbatan sering kali terjadi diuresis hebat yang dapat mencapai 1 L/jam.
jika elektrolit dan air tidak diisi kembali sesuai kebutuhan maka diuresis ini dapat
sangat berbahaya.

2.4 Klasifikasi
Tabel Klasifikasi GGA menurut The
Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).

Peningkatan Kadar Penurunan Laju Filtrasi


Kategori Kriteria Urine Output
Serum Cr Glomerulus
<0,5 mL/kg/jam,
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar
>6 jam
<0,5 mL/kg/jam,
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Loss
Minggu
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
End stage
Bulan

2.5 Manifestasi Klinis


Menurut Smeltzer (2004) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal
akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode

13
perbaikan.Gagal ginjal akut azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urine lebih
dari 400 ml/24 jam.

1. Fase Awitan
Fase awitan atau (permulaan) dimulai dengn serangan awal dan
berlangsung sampai terjadi cedera pada sel. Selama fase ini, cedera
berkembang dan anggota tim perawatan kesehatan perlu berupaya
mencegah perubahan penyakit. Fase awitan berlangsung dari beberapa jam
hingga beberapa hari, yang bergantung pada penyebab, dan ditandai
dengan munculnyatanda gagal ginjal (mis, penurunan haluaran urine,
peningkatan kreatinin serum). Tujuan utama selama fase ii adalah
menentukan penyebab ATN dan memulai terapi untuk mencegah
kerusakan tubulus yang iresversibel.

2. Fase Oliguria atau Nonoliguria


Fase kedua ATN ditandai dengan ATN oliguria lebih sering
membutuhkan terapi pengagati ginjal, kemungkinan pemulihan fungsi
ginjalnya kecil, dan mempunyai angka kematian terkait lebih tinggi.
Gambaran ATN ini paling sering terjadi akibat serangan iskemia. ATN
oliguria ditandai dengan kelebihan beban cairan, azotemia, elektrolit
abnormal (hiperkalemi, hipervavostemia dan hipokalsemia), asidosis
metabolic dan gejala uremia. Tujuan utama selama periode ini adalah
membantu fungsi ginjal dn mempertahankan pasien tetap hidup sampai
cedera ginjal pulih. Penyebab utama kematina pasien ini adalah
hiperkalemia, perdarahan pencernaan dan infeksi.oliguuri berlangsung
sekitar 12 hari, meskipun dapat berlansung beberapa hari atau paling lama
30 hari.

3. Fase Diuretik
Fase diuretic berlansung 2 minggu dan ditandai dengan
penigkatan bertahap haluaran urine seiring dengan fungsi ginjal mulai
kembali. Derajat diuresis yang dapat melebihi 4 sampai 5 liter perhari

14
terutama ditentukan oleh keadaan hidrasi pada saat pasien memasuski
tahap ini. Oleh sebab itu pasien yang mendapatkan hemodialisis atau yang
megalami non oligoria cenderung sedikit berkemih. Dieresis disebebkan
oleh tarikan osmotic terhadap zat yang tertahan ( yaitu urea dan natrium ),
yang berfungsi sebagai agen osmotic. Meskipun haluaran urine dapat
normal atau naik , kemampuan memekatkan ginjal masih terganggu.
Keadaan ini menempatkan pasien beresiko mengalami deficit volume
cairan dan masalah elektrolit seeperti hiponatremia dan hypoklemia.
Tujuan utama selama tahapan ini memelihara hidrasi, mencegah deplesi
elektrolit, dan melanjutkan bantuan terhadap fungsi ginjal.

4. Fase pemulihan
Fase pemulihan ATN berlangsung dari beberapa bulan hingga
1 tahun. Ini adalah waktu yang dibutuhkan fungsi ginjal ketingkat normal
atau hampir normal. Jika kerusakan sel ginjal yang bermakna telah terjadi,
khsusnya kerusakan dimembran basalin (yang tidak dapat beregenerasi),
kerusakan ginjal residual dapat terjadi. Dari pasien yang selamat dari ATN
sekitar 45% fungsi ginjalnya kembali normal namun setidaknya 5%
membutuhkan dialysis jangka panjang. Tujuan utama tim perawatan
kesehatan pada fase ini seputar penyuluhan pasien. Untuk meningkatkan
dan memperthanankan kembalinya fungsi ginjal, penting bagi pasien dan
keluarga memahami apa yang memicu serangan gagal ginjal akut, dan
perawatan lanjutan untuk tindakan pencegahan apa yang diperlukan untuk
mencegah kekambuhan di masa yang akan datang.

Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:


a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah,
diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
b. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
c. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan
yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
d. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.

15
e. Tremor tangan.
f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik.
h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan
kejang).
i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung
darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan
laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus.
k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA
ditemukan lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal
jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa
hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

2.6 Pemeriksaan Penunjang dan pemeriksaan diagnostik


Pemeriksaan penunjang menurut Mansjoer Arif (2005) adalah :
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan Darah fungsi ginjal : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
2. Pemeriksaan Tes BGA : asidosis metabolic
3. pemeriksaan darah serum elektrolit : hiperkalemia, hipernetaremia atau
hiponatremia, hipokalsemia, hiperfosfatemia
4. Urine tampung : volume urine, protein urine , warna urine, osmolaritas , kreatinin
urine, blood nitrogen urea , natrium dan bikarbonat urine
Pemeriksaan penunjang lainnya:
1. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit dan
gagal jantung.
2. Kajian foto toraks dan abdomen
Perubahan yang terjadi berhubungan dengan retensi cairan.

16
3. Pelogram Retrograd
Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
4. Ultrasonografi Ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
5. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif
6. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Smeltzer & Bare (2004) adalah :
1. Penatalaksanaan secara umum adalah:
a. Kelainan Prerenal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan
cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume
darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan
dopamin.
b. . Kelainan Renal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik
urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya
b. Kelainan Postrenal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung
kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang.
Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga
untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu
dilakukan USG ginjal.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan
natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar
kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang
dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi.

17
b. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau
hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium,
pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
c. Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat
terjadi oliguria.
d. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi
saluran napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi.
Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat
disingkirkan.
e. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk
adanya perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari
kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya
antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai
profilaksis.
f. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi,
hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40
mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling
baik dipakai di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter
subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien
katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
g. Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau
makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN
dan nilai kreatinin.
h. Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan
masalah utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang
paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan
adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum
(nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak
gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan
kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (natrium
polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.

18
2.8 Komplikasi
Menurut Arif Muttaqin (2011) komplikasi pada GGA adalah :
1. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium.
2. Gangguan elektrolit: hyperkalemia, hiponatremia, asidosis.
3. Neurologi: iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran,
kejang.
4. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum, perdarahaan
gastrointestinal.
5. Hematologi: anemia, diathesis hemoragik.
6. Infeksi: pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial.

19
WOC GAGAL GINJAL AKUT

PRE RENAL RENAL POST RENAL

Perfusi yang tidak Gangguan fungsi dan


adekuat Sumbatan
struktur ginjal

Kerja ginjal Merusak jaringan


terganggu ginjal

GAGAL GINJAL AKUT

Peningkatan BUN Penumpukan asam organik


Penurunan GFR
dan serum ceratinin (H+)

Penurunan produksi
Uremia urine (oligouria)
Peningktan muatan asam
Retensi cairan, natrium dan
elektrolit

PH darah turun
Peningkatan cairan dalam
Ketidakseimbangan
tubuh (hipervolemia )
elektrolit

Kelebihan volume Asidosis metabolik


cairan Edema
hyperkalemia

Kompensasi paru
Kelamahan (mengeluarkan co2)
aritmia

Napas cepat dan


Intoleransi aktivitas dalam
Penurunan curah
jantung
Ketidakefektifan pola
napas

20
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT

1. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan
identitas penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, pekerjaan,serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat
menyerang pria maupun wanita dari rentang usia manapun,khususnya bagi orang
yang sedang menderita penyakit serius,terluka serta usia dewasa dan pada
umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria disebabkan oleh
hipertrofi prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran kemih
yang berulang, serta pada wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan.
Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni
meliputi nama, umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
2.1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada
prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan
penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output
tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan
setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar,
setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID
atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta
adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang
berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji

21
tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi
terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
2.4.Riwayat psikososialcultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang
berat akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada
klien.

3. Pemeriksaan Fisik
3.1.Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering
didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu
tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi
meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah
terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
3.2.Pemeriksaan Pola Fungsi
3.2.1. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien
bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada
beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga
didapatkan pernapasan kussmaul.
3.2.2. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan
adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari
sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia.
Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak dapat
dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari
saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi
jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.

22
3.2.3. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran
(azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek
sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram
otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut
pada sindrom uremia.
3.2.4. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan
penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi
peningkatan yang menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap,
disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan
perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
3.2.5. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
3.2.6. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari hipetensi.

3.3. Pemeriksaan Diagnostik


Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH
urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350
mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap
dalam BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme
(pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin
meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.

23
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan
hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik
normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah
sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah
komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut
yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan
pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau
melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion
kalium menjadi natrium di saluran intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

Analisa Data
symptom Etiologi Problem
DS:- Retensi cairan, natrium Kelebihan volume
DO:- penurunan produksi dan elektrolit cairan
urine , edema , hasil dari
pemeriksaan urine tampung Peningkatan cairan
dalam tubuh

24
(hypervolemia)

Edema

Kelebihan volume
cairan
DS:- Asidosis metabolic Ketidak efektifan pola
DO:pernapasan napas
kusmaul,hasil pemeriksaan Kompensasi paru
BGA mengeluarkan c02

Napas cepat dan


dalam

Ketidak efektifan
pola napas
DS:- Ketidakseimbangan Penurunan curah
DO:, kelemahan otot, nausea elektrolit jantung
,kadar kalium serum
meningkat pada pemeriksaan Hyperkalemia
darah serum elektrolit
Aritmia

Penurunan curah
jantung
DS:- edema ekstremitas, Intoleransi aktivitas
DO:lemah,ada edema,terlihat
sakit berat. kelemahan fisik

intoleransi aktivitas

25
Diagnose keperawatan :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan cairan dalam
tubuh / gangguan mekanisme regulasi
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan asidosis metabolic
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hiperkalemia
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan edema ekstremitas dan kelelahan

26
Intervensi
Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta
menurunkan risiko komplikasi.

Diagnosa keperawatan Tujuan intervensi rasional


Kelebihan volume cairan · Elektrolit and Fluid management:
berhubungan dengan acid base balance · Pertahankan catatan intake dan · untuk megetahui intake dan
kelebihan cairan dalam · Fluid balance output yang akurat ouput
tubuh / gangguan Criteria hasil : · Pasang urin kateter jika · membantu dalam pengeluaran
mekanisme regulasi · Terbebas dari diperlukan urine dan penghitungan output
edema · Monitor hasil Hb yang sesuai · hasil Lab penting untuk
· vital sign dalam dengan retensi cairan (BUN, Hmt, invervensi lanjutan
batas normal osmolalitas urin) - untuk mencegah terjadinya
· Monitor status hemodinamik komplikasi
termasuk CVP, MAP, PAP, dan PCWP · vital sign penting untuk
· Monitor vital sign intervensi lanjutan
· Kolaborasi pemberian diuretik · dieresis membantu
sesuai interuksi mengeluarkan cairan melalui urine

27
Ketidakefektifan pola Status pernafasan : Manajemen asam basa : asidosis
napas berhubungan pola napas metabolic
dengan asidosis · pertahankan kepatenan jalan napas ·memastikan tidak ada sumbatan
metabolic Criteria hasil : · monitor pernapasan jalan napas
· hasil BGA normal ·monitor ketidak seimbangan elektrolit ·untuk mengetahui status pernapasan
· ph darah yang berhubungan dengan asam basa ( pasien
meningkat hyperkalemia) · menentukan intervensi lanjutkan
· cegah komplikasi pemberian HCO3 · agar tidak terjadi komplikasi yang
seperti alkalosis metabolic, merugikan
hipernatremia ) · dialysis membantu mengurangi
·kolaborasi terapi dialysis asidosis metabolik
Penurunan curah jantung Status sirkulasi Manajemen elektrolit : hiperkalemia
berhubungan dengan · monitor menifetasi neurologis dari · untuk melakukan intervensi
hiperkalemia Criteria hasil : hiperkalemia lanjutan
Paresthesia berkurang · monitor hiperkalemia terhadap · efek dari hiperkalemia pada
Nausea berkurang gastrointestinal gastrointestinal akan memperburuk
Kadar kalium normal ·monitor intake/asupan kalium yang kondisi pasien
tidak disengaja ( missal makanan yang · untuk mencegah kalium berlebihan
dimakan pasien) dalam tubuh pasien

28
· arahkan pasien dan keluarga tentang · mengedukasi hal apasaja yang
pengobatan hiperkalemia harus dilakukan pada pasien
· kolaborasi pemberian insulin dan · insulin dan glukosa sebagai terapi
glukosa pada hiperkalemia

29
Bab IV
TELAAH JURNAL
Judul Tujuan Populasi/ Metode Hasil
Sampel
Reduced Versus Tujuan penelitian Sebuah ukuran Penelitian ini Tidak ada perbedaan signifikan yang
Conventional Dose Insulin ini adalah untuk sampel dari 82 merupakan studi ditemukan dalam pengurangan insulin
for Hyperkalemia membandingkan administrasi kohort retrospektif antara kelompok ( dalam pengurangan
Treatment efektivitas dalam . potassium antara kelompok ( 0,096 mmol /
(Garcia et al. Journal of penggunaan insulin kelompok L, 0,096 mmol / L, P nilai ¼. 2210).
Pharmacy Practice 1-5 ª pada hyperkalemia dosis dikurangi Setelah di analisis subkelompok pasien
The Author(s) 2018) antara pengurangan dan 167 pada dengan serum kalium> 6 mmol / L 2210)
dosis dan dosis kelompok mengungkapkan penurunan lebih rendah
konvensional dosis kalium pada kelompok dosis pengurangan
konvensional dibandingkan dengan kelompok dosis
konvensional (perbedaan: 0,238 mmol / L,
P nilai ¼. 018).
Jadi insulin dosis konvensional mungkin
lebih efektif daripada dosis penguranngan
insulin reguler pada tingkat kalium serum

30
dasar> 6 mmol / L dalam pengobatan
hiperkalemia. pemantauan sering kalium
serum dan glukosa setelah pemberian
insulin diperlukan untuk mengkonfirmasi
respon dan menghindari hipoglikemia.
Treatment of Untuk Pada audit 1 Dengan Hasil perawatan yang menggunakan
Hyperkalemia with a low- meningkatkan sampel retrospektif . dan protocol untuk hyperkalemia meningkat
dose insulin protocol is protocol peggunaan sebanyak 125 menggunakan setelah pemberian edukasi tentang
effective and result in insulin melalui pasien ( 86 analisa statistic pemberian protocol. Terkait dengan ini
reduce hypoglikemia computerized laki-laki dan GrapPad Software insiden hypoglikemia yang mendapat
(Mc Nicholas et al. KI physician order 69 perempuan) treatment insulin 5 unit lebih rendah.
Report. 2017) entry (CPOE) pada Jadi peningkatan edukasi terkait protocol
gawat darurat . Pada audit 2 pemberian insulin melalui CPOE pada
sample agawat darutat memberikan efek
sebanyak 98 berkurangnya kejadian hipoglikemia
pasien ( 69 terkait pemberian insulin pada
laki-laki dan hyperkalemia
29 perempuan

31
Optimal Dose and Method Tinjauan sistematis Database dari Menggunakan Dalam tujuh studi, 10 unit insulin reguler
of Administration of ini meninjau data awal februari systematic review diberikan (bolus dalam lima studi, infus
Intravenous Insulin in the dalam literature 2015 untuk dan pedoman meta dalam dua studi), dalam salah satu
Managementof Emergency untuk menentukan artikel yang analisys penelitian 12 unit insulin reguler diresapi
Hyperkalemia:ASystematic dosis optimal dan memenuhi lebih dari 30 menit, dan dalam tiga studi
Review cara pemberian syarat dengan 20 unit insulin reguler diresapi lebih dari
(HarelZ,KamelKS(2016)) insulin dalam hasil utama 60 menit. Mayoritas studi termasuk yang
pengobatan perubahan bias. Tidak ada perbedaan yang signifikan
hiperkelemia dalam serum secara statistik dalam mean penurunan
darurat kalium kalium serum (K +) konsentrasi pada 60
konsentrasi menit antara studi di mana insulin
pada 60 menit diberikan sebagai infus 20 unit lebih dari
pemberian 60 menit dan studi di mana 10 unit insulin
insulin diberikan sebagai bolus atau studi di mana
10 unit insulin diberikan sebagai infus .
Hampir seperlima dari populasi penelitian
mengalami episode hipoglikemia.

32
Kesimpulan :

Dari ketiga artikel yang membahas terkait pemberian insulin pada hyperkalemia
menunjukkan bahwa keektifan insulin dalam mengatasi hyperkalemia. Namun
disamping itu efek dari pemeberian insulin yang berlebihan akan menyebabkan
hypoglikemia pada pasien gagal ginjal akut. Inilah yang masih menjadi dilema
berapa penggunaan dosis insulin yang cocok untuk pasien gagal ginjal akut
dengan hyperkalemia. Artikel pertama menunjukkan hasil bahwa insulin dosis
konvensional mungkin lebih efektif daripada dosis penguranngan insulin. Artikel
kedua menunjukkan hasil bahwa terkait dengan ini insiden hypoglikemia yang
mendapat treatment insulin 5 unit lebih rendah. Dan artikel ketiga menunjukkan
bahwa Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam mean
penurunan kalium serum (K +) konsentrasi pada 60 menit antara studi di mana
insulin diberikan sebagai infus 20 unit lebih dari 60 menit dan studi di mana 10
unit insulin diberikan sebagai bolus atau studi di mana 10 unit insulin diberikan
sebagai infus Hampir seperlima dari populasi penelitian mengalami episode
hipoglikemia.

Jadi semua artikel menunjukkan bahwa pemberian insulin pada gagal


ginjal akut dengan hyperkalemia menunjukkan episode hypoglikemia karena
efeksamping dari pemberian insuline tersebut. Peran sebagai medid yaitu
memantau dan memastikan agar pasien tidak jatuh kedalam hypoglikemia berat
akibat penggunaan insulin yang berlebihan dalam mengatasi hyperkalemia.

33
Literature Review

Gagal ginjal akut merupakan sindrom klinis yang ditandai


oleh penurunan fungsi ginjal secara mendadak dan cepat dan dalam
hitungan jam , yang mengakibatkan retensi buangan nitrogen
(nitrogen urea dan kreatinin) dan ketidak seimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa. Penyebab gagal ginjal akut dibagi
menjadi 3 yaitu prarenal, renal dan post renal. Patofisiologi gagal
ginjal akut prarenal berpusat pada respons ginjal terhadap perfusi
yang tidak adekuat. Penurunan laju filtrasi glomerolus menjadi
factor utama pada gagal ginjal akut sehingga menyebabkan
berbagai manifestasi berupa penurunan haluaran urine,oliguria,
edema karena peimbunan cairan. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada gagal ginjal akut antara lain pemeriksaan darah ,
urine, BUN Creatinin. Penatalaksanaan pada gagal ginjal akut
meliputi penatalaksaan balance cairan, terapi nutrisi, dyalisis,
periotoneal dyalisis serta pemeberian insulin untuk mengatasi
hyperkalemia yang terjadi pada pasien gagal ginjal akut.

Pada literature review ini akan membahas tiga jurnal atau


artikel terkait dengan pemberian insulin pada pasien gagal ginjal
akut dengan hyperkalemia. Dimana dua artikel merupakan studi
kohort retrospektif dan satu artikel merupakan systematic review
dengan meta analisis.

Artikel pertama menunjukan hasil mengungkapkan


penurunan lebih rendah kalium pada kelompok dosis pengurangan
dibandingkan dengan kelompok dosis konvensional (perbedaan:
0,238 mmol / L, P nilai ¼. 018). Jadi insulin dosis konvensional
mungkin lebih efektif daripada dosis penguranngan insulin reguler
pada tingkat kalium serum dasar> 6 mmol / L dalam pengobatan
hiperkalemia. pemantauan sering kalium serum dan glukosa setelah

34
pemberian insulin diperlukan untuk mengkonfirmasi respon dan
menghindari hipoglikemia.

Artikel kedua menunjukkan hasil insiden hypoglikemia


yang mendapat treatment insulin 5 unit lebih rendah. Jadi
peningkatan edukasi terkait protocol pemberian insulin melalui
CPOE pada agawat darutat memberikan efek berkurangnya
kejadian hipoglikemia terkait pemberian insulin pada
hyperkalemia.

Artikel ketiga yang merupakan systematic review


menunjukkan hasil Dalam tujuh studi, 10 unit insulin reguler
diberikan (bolus dalam lima studi, infus dalam dua studi), dalam
salah satu penelitian 12 unit insulin reguler diresapi lebih dari 30
menit, dan dalam tiga studi 20 unit insulin reguler diresapi lebih
dari 60 menit. Mayoritas studi termasuk yang bias. Tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik dalam mean penurunan
kalium serum (K +) konsentrasi pada 60 menit antara studi di mana
insulin diberikan sebagai infus 20 unit lebih dari 60 menit dan studi
di mana 10 unit insulin diberikan sebagai bolus atau studi di mana
10 unit insulin diberikan sebagai infus . Hampir seperlima dari
populasi penelitian mengalami episode hipoglikemia.

Jadi pemberian insulin pada pasien gagal ginjal akut


dengan hyperkalemia memang terbukti efektif karena insulin dapat
mengembalikan kadar kalium normal dalam darah sehingga
pemberian insulin ini diberikan pada pasien gagal ginjal akut
dengan hyperkalemia. Namun pemberian insulin ini memberikan
efeksamping hypoglikemia. Dalam artikel telah disebutkan bahwa
semua pasien yang mendapat terapi insulin akan melalui episode
hypoglikemia. Sehingga dibuatlah dosis-dosis yang tepat agar
pasien tidak jatuh ke hypoglikemia berat. Peran perawat disini
memantau dan memastikan agar pasien mendapat terapi insulin
yang tepat dengan memperhatikan tiap perubahan pada pasien

35
setelah pemberian insulin , dan memberikan intervensi yang tepat
ketika pasien mengalami tanda-tanda hypoglikemia

36
DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik Edisi VI Volume
II. Jakarta: EGC

Ewens & Jevon, 2008. Pemantauan pasien kritis seri keterampilan essensial
untuk perawat edisi II . Jakarta . Erlangga

Boerly & Priece . 2006 . At a Glance Ilmu Bedah edisi III . Jakarta . Erlangga

Morton Patricia dkk. 2008. Keperawtan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik Edisi
8 Vol. 1 . Jakarta. EGC

Mansjoer Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III . Jakarta. Media
Aesculapius

Smeltzer, Suzanne C et al. 2010. Brunner & Suddarth. Textbook of Medical


Surgical Nursing
Twelfth Edition Volume 1. Wolters Kluwer Health

Herdman Heather dkk. 2015. Nanda International Inc. Nursing Diagnosis:


Definition & classification Edisi 10 . Jakarta .EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta. Dewan Pengurus Pusat PPNI

Moorhead, Sue dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Pengukuran


Outcomes Kesehatan Edisi Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Yogyakarta:
CV. MocoMedia

Gloria M. Bulechek dkk , 2013. Nursing Intervention Clasification (NIC) Edisi 6.


Yogyakarta . CV. MocoMedia

37

You might also like