You are on page 1of 27

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI KESMAVET LABORATORIUM


PENGUJIAN DAGING SAPI
LABORATORIUM KESMAVET FKH UB

Oleh:

DEWI FEBRIANA WIDARMA, S.KH


170130100011055

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral dan
vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna
dibanding dengan protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan
konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini
antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan
(Komariah.,dkk. 2009).
Daging sapi potong juga telah menjadi salah satu bahan pangan yang
dibutuhkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya konsumsi
daging nasional yang harus dipenuhi. Kebijakan import dilakukan dalam
rangka mendukung kekurangan produksi dalam negeri. Sampai saat ini,
Indonesia masih kekurangan pasokan daging sapi hingga 35% atau 135,1ribu
ton dari kebutuhan 385ribu ton. Kebutuhan akan protein hewani asal ternak
sesuai dengan standart kebutuhan gizi nasional setara dengan
6,0gram/kapita/hari. Begitu halnya dengan peningkatan tingkat pendapatan
perkapita penduduk maka permintaan akan kebutuhan daging juga akan
semakin meningkat. Disisi lain, meningkatnya pengetahuan masyarakat akan
menuntut suatu produk memiliki kualitas dan mutu yang baik (Setiawan.,dkk.
2017).
Peran Dokter Hewan dalam hal ini adalah penjaminan keamanan
produk asal hewan mulai dari proses pemeliharan hewan sampai proses
pengolahan dan pengkonsumsian. Sesuai dengan UU RI Nomor 41 tahun 2014
tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan Indonesia,
dokter hewan memiliki peranan penting dalam kegiatan pengawasan
keamanan pangan asal hewan untuk menerapkan kesejahteraan masyarakat.

2
Sesuai dengan undang-undang tersebut daging hewan yang baik harus ASUH,
yaitu aman, sehat, utuh dan halal. Oleh karena itu dalam kegiatan PPDH ini
dilakukan pemeriksaan daging sapi sebagai salah satu upaya menjaga
keamanan produk pangan asal hewan.

1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam uji terhadap hasil olahan
bahan pangan asal hewan daging sapi adalah apakah daging sapi yang diuji
memiliki mutu dan kualitas yang baik sehingga dinyatakan aman, sehat, utuh
dan halal untuk dikonsumsi masyarakat sesuai dengan SNI 3932:2008 tentang
mutu karkas dan daging sapi ?

1.3.Tujuan
Tujuan dilakukannya uji terhadap hasil olahan bahan pangan asal
hewan daging sapi adalah untuk mengetahui daging sapi yang diuji memiliki
mutu dan kualitas yang baik sehingga dinyatakan aman, sehat, utuh dan halal
untuk dikonsumsi masyarakat sesuai dengan SNI 3932-2008 tentang mutu
karkas dan daging sapi.

1.4.Manfaat
Manfaat dilakukannya uji terhadap hasil olahan bahan pangan asal
hewan daging sapi adalah:
1. Mahasiswa PPDH Mengetahui dan memahami prosedur pengujian produk
pangan asal hewan khususnya daging sapi.
2. Mampu menguji dan memutuskan mutu dan kualitas daging sapi, serta
menjamin keamanan daging sapi sehingga daging sapi dinyatakan aman,
sehat, utuh dan halal serta layak untuk dikonsumsi masyarakat sesuai dengan
SNI 3932-2008 tentang mutu karkas dan daging sapi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daging Sapi


Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya yang tinggi, daging mengandung
asam amino esensial yang lengkap dan seimbang serta beberapa jenis mineral
dan vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah dicerna
dibanding dengan protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan
konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini
antara lain warna, keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan
(Komariah,dkk., 2009). Daging digunakan sebagai penganekaragaman
sumber pangan karena daging dapat menimbulkan kepuasaanan kenikmatan
bagi yang memakannya. Kandungan gizi dari daging sangat lengkap sehingga
keseimbangan gizi dapat terpenuhi. Salah satu daging yang banyak
dikonsumsi oleh manusia adalah daging sapi (Soeparno, 2005).
Daging sapi menurut Dewan Standardisasi Nasional (2008) adalah
bagian otot dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh
manusi,yaitu berupa daging segar, daging segar dingin, atau daging beku.
Daging sapi sangat muda (3-14 minggu) disebut veal dan daging sapi dari
ternak yang berumur lebih dari satu tahun disebut beef. Warna daging yang
berasal dari sapi muda berwarna lebih terang dibandingkan dengan daging
yang berasal dari ternak sapi dewasa.

2.2. Syarat Mutu Daging Sapi


Tingkatan mutu fisik daging sapi secara fisik menurut SNI
3932:2008 ialah :
Persyaratan Mutu
No Jenis Uji
I II III
1 Warna Daging Merah terang Merah kegelapan Merah gelap
Skor 1-5 Skor 6-7 Skor 8-9

4
2 Warna lemak Putih Putih kekuningan Kuning
Skor 1-3 Skor 4-5 Skor 7 -9
3 Marbling Skor 9-12 Skor 5-8 Skor 1-4
4 Tekstur Halus Sedang Kasar

Sedangkan persyaratan mutu mikrobiologis daging sapi menurut SNI


3932:2008 ialah :
No Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Total Plate Count Cfu/g Maksimum 1 x 106
2 Coliform Cfu/g Maksimum 1 x 102
3 Staphylococcus aureus Cfu/g Maksimum 1 x 102
4 Salmonella sp Per 25g Negatif
5 Escherichia coli Cfu/g Maksimum 1 x 101

2.3. Kualitas Daging Sapi


Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas daging (Soeparno,
2011):

1. Keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak yang


didasarkan pada kemudahan waktu menguyah tanpa menghilangkan sifat-sifat
jaringan yang layak. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat
keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang
mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging
itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang
ada diantara serabut daging. Keempukan bervariasi di antara jenis ternak, umur
ternak, dan bagian otot. Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga
komponen daging yaitu struktur miofibril, kandungan jaringan ikat dan tingkat
ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging.
Kekuatan tarik daging adalah keempukan daging yang diekspresikan dengan
gaya maksimal (Newton) yang diperlukan untuk menarik sampel daging,
semakin kecil gaya yang diperlukan maka semakin empuk sampel daging yang
diukur. Uji kekuatan tarik lebih mengukur keempukan daging yang disebabkan

5
oleh keempukan serat-serat miofibril. Sebagian besar serabut otot mengandung
55 % protein miofibril. Faktor kekuatan tarik antara lain pH dan pemasakan.

2. pH Daging, pH (Power of Hidrogen) adalah nilai keasaman suatu senyawa


atau nilai hidrogen dari senyawa tersebut. Nilai pH digunakan untuk
menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot
hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan
menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam
laktat yang akan mempengaruhi pH. pH normal daging postmortem adalah
sekitar 5,5. Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging
dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging
dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4
sampai 6,0. pH daging berhubungan dengan daya ikat air, jus daging,
keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna dan sifat
mekanik daging (daya putus dan kekuatan tarik). Nilai pH akhir daging akan
menentukan karakteristik kualitas daging lainnya, seperti struktur otot,
pertumbuhan mikroorganisme, denaturasi protein dan enzim, keempukan
daging.

3. Water Holding Capacity (WHC) atau Water Bonding Capacity (WBC)


adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan.

4. Susut masak adalah banyaknya berat yang hilang selama pemasakan


(cooking loss). Semakin tinggi temperatur dan waktu pemasakan, maka
semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai tingkat konstant
(Soeparno, 2005). Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer
serabut otot, panjang potongan serabut otot, ukuran dan berat sampel daging.
Susut masak bervariasi antara 1,5 sampai 54,5 % dengan kisaran 15 sampai 40
%. Sifat mekanik daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari
jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama peningkatan panjang
sarkomer.

6
2.4. Mikroba pada Daging Sapi

Menurut Hernando dkk (2015), daging sangat memenuhi persyaratan


bagi pertumbuhan mikroorganisme karena mempunyai kadar air yang tinggi
yaitu berkisar antara 68-75%, kaya akan zat yang mengandung nitrogen,
mengandung nitrogen, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat
difermentasikan, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk
pertumbuhan mikroorganisme, dan mempunyai ph yang menguntungkan bagi
sejumlah mikroorganisme
Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah
escherichia coli, salmonella sp, dan staphylococcus sp. Mukartini et al.
(1995), menyatakan kontaminasi mikroba pada daging sapi dapat berasal dari
peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis, begitu juga sumber
air dan lingkungan tempat diolahnya daging tersebut sebelum sampai kepada
konsumen.

7
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan


PPDH rotasi KESMAVET ini akan dilaksanakan pada tanggal 21
Juni – 29 Juni 2018 yang bertempat di Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang.

3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH


Peserta koasistensi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)
adalah mahasiswa PPDH FKH Universitas Brawijaya.
Nama : Dewi Febriana Widarma
NIM : 170130100011055
yang berada dibawah bimbingan drh. Mira Fatmawati, M.Si

3.3. Metode Pengujian


3.3.1 Pemeriksaan Fisik Daging
A. Pemeriksaan Organoleptik
Prinsip:
Pemeriksaan organoleptik daging sapi yaitu mengamati bau, warna, tekstur
dan konsistensi dengan menggunakan panca indera.
Alat dan bahan:
Cawan petri dan sampel daging sapi.
Cara kerja:
a. Sampel daging di atas cawan petri
b. Diamati bau, warna, tekstur dan konsistensi sampel daging
menggunakan panca indera.
c. Daging sapi yang baik memiliki bau yang khas, berwarna putih pucat,
dengan tekstur yang halus dan kenyal.

8
Interpretasi:
Daging sapi normal berwarna merah, tekstur halus, kenyal dan memiliki
aroma dan rasa yang khas.
B. Pemeriksaan pH
Prinsip:
Pengukuran nilai pH daging sapi menggunakan pH meter didapatkan
berdasarkan pencatatan tegangan/potensial listrik yang timbul dalam gelas
elektroda. Besarnya potensial listrik ditentukan oleh konsentrasi ion
hidrogen pada daging sapi.
Alat dan bahan:
Akuades, pH meter, sampel daging, gelas elektroda, larutan pH standar.
Cara kerja:
a. Masukkan elektroda pH ke dalam sampel daging, pH akan terbaca
secara otomatis.
b. Lakukan pengukuran pH dua kali pada tepat yang berbeda. Nilai pH
diperoleh dari rata-rata kedua hasil pengukuran.
c. Standar pH daging sapi yaitu 5,4-5,85.
Interpretasi:
Normal: 5,4 – 5,85
C. Pemeriksaan Cooking Loss
Prinsip:
Selama pemanasan, protein daging akan terdenaturasi sehingga susunan
selulernya akan rusak. Hal tersebut akan mempengaruhi daya ikat air dalam
daging. Air dari daging akan keluar selama pemanasan.
Alat dan bahan:
Kantong plastik, termometer, kertas tisu, timbangan, penangas air, dan
sampel daging sapi.
Cara kerja:
a. Sampel daging ditimbang (a) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik
bersama dengan termometer yang ditusukkan ke dalam daging. Hilangkan
udara dalam plastik lalu ikat dengan tali.

9
b. Panaskan air 75oC kemudian kantong plastik tersebut dimasukkan ke
dalam air panas dan didiamkan selama 50 menit. Selanjutnya alirkan air
dari kran di atas kantong plastik selama 40 menit.
c. Sampel daging dikeluarkan dan air dipermukaan daging dikeringkan
dengan kertas tisu tanpa dilakukan penekanan. Selanjutnya daging
ditimbang kembali (b) dan dihitung cooking loss nya menggunakan
rumus:

Interpretasi:
Normal: 39,56 – 40,77 %
D. Pemeriksaan Drip Loss
Prinsip
Prinsip drip loss adalah air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan
dengan penurunan ph otot. Nilai drip loss berbanding terbalik dengan daya
ikat air. Makin tinggi nilai drip loss maka makin kecil daya ikat air pada
daging.
Alat dan Bahan
Toples dan tutupnya, kawat, benang, timbangan dan sampel daging.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja dari driploss adalah sepotong sampel daging ditimbang (a
gram) kemudian sampel daging digantung pada kawat yang terdapat di
dalam toples dengan menggunakan benang lalu ditutup dengan rapat.
Sampel daging tidak boleh bersentuhan dengan bagian dalam toples.
Kemudian masukkan toples dalam lemari es (70C) selama 48 jam, sampel
daging dikeluarkan dari plastik dan permukaan sampel dikeringkan secara
perlahan dengan tissue. Setelah itu daging ditimbang (b gram).
Interprestasi
Drip loss dihitung untuk mengetahui jumlah air yang dilepaskan dari
protein. Driploss dihitung menggunakan rumus

10
Drip Loss (%) = (a-b )/a x 100 %

3.3.2 Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah


Prinsip:
Hewan yang dipotong tidak sempurna akan bayak ditemukan hemoglobin
dalam dagingnya. Adanya oksigen dari gas H2O2 dalam reaksi akan
mengikat Hb sehingga zat warna malachite green tidak akan dioksidasi dan
tetap berwarna hijau. Jika tidak ada Hb, maka oksigen akan mengoksidasi
malachite green dan berubah warna menjadi biru.
Alat dan bahan:
Akuades, malachite green, H2O2 3%, kertas saring, pipet, tabung reaksi,
corong, pinset, gunting, erlenmeyer, dan sampel daging sapi.
Cara kerja:
a. Dibuat ekstrak daging (6 g daging dipotong kecil-kecil dan dicampur
dengan 14 ml akuades dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer) kemudian
dihomogenkan. Diamkan selama 15 menit.
b. Disaring ekstrak daging, diambil 0,7 ml filtratnya dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi.
c. Diteteskan 1 tetes malachite green dan 1 tetes H2O2 3%. Kemudian
diamkan selama 20 menit dalam suhu ruang.
Interpretasi:
a. Larutan warna biru = pengeluaran darah sempurna
b. Larutan warna hijau dan keruh = pengeluaran darah tidak sempurna.

3.3.3 Pemeriksaan Bahan Tambahan dan Pengawet


Uji Deteksi Formalin
Alat dan bahan:
Gelas ukur 10 ml, pipet tetes, tabung reaksi, asam sulfat pekat, larutan
FeCl3 10% dan sampel.
Cara kerja :

11
a. 5 ml H2SO4 dimasukkan kedalam tabung reaksi.
b. Ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 secara perlahan.
c. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan ekstrak sampel yang akan
diperiksa melalui dinding tabung.
Interpretasi:
Hasil positif menunjukkan adanya warna ungu-merah lembayung pada batas
antara kedua larutan.

3.3.4 Pemeriksaan Awal Pembusukan Daging


Uji Eber
Prinsip:
Gas NH3 yang dihasilkan pada awal proses pembusukan daging akan
bereaksi dengan reagen Eber untuk membentuk senyawa NH4Cl yang
tampak seperti awan putih.
Alat dan bahan:
Reagen eber, tabung reaksi, sumbat yang dilengkapi lidi, gunting, pinset,
dan sampel daging.
Cara Kerja:
a. Sepotong kecil sampel daging ditusukkan pada kawat dari sumbat
tabung sehingga daging tergantung di atas permukaan reagen.
b. 5 ml reagen Eber dituang ke dalam tabung reaksi.
c. Sampel daging dimasukkan ke dalam tabung reaksi secara perlahan dan
sesegera mungkin.
Interpretasi:
Positif terbentuk awan putih di sekitar daging.
Negatif tidak terbentuk awan putih.

12
3.3.5 Pemeriksaan Mikrobiologi Daging
A. Perhitungan Jumlah Total Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan
Prinsip:
TPC dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang terdapat dalam
suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan
pada media agar.
Alat dan bahan:
Cawan petri, tabung reaksi, pipet 1 ml dan 10 ml, botol media, colony
counter, gunting, pinset, jarum inokulasi, stomacher, bunsen, pH meter,
timbangan, magnetic stirrer, tabung pengocok, inkubator, PCA, Buffer
Pepton Water (BPW) 0,1%, sampel daging sapi.
Cara kerja:
a. Nyalakan pembakar bunsen dan bersihkan tangan dengan alkohol.
b. Sampel daging sebanyak 10 gram dihaluskan dan dihomogenkan dengan
90 ml larutan BPW 0,1 % (menjadi pengenceran 1:10),
c. Sebanyak 1 ml larutan dari pengenceran 10-1dipindahkan kedalam 9 ml
larutan BPW 0,1 % larutan untuk pengenceran selanjutnya sampai
dengan pengenceran 10-7dengan cara sama,
d. Masukkan 1 ml larutan dari pengenceran 10-5 sampai 10-7 kedalam
cawan petri secara duplo,
e. Tambahkan 15 ml PCA pada masing-masing cawan petri, ratakan
dengan spreader steril dan diamkan sampai memadat,
f. Inkubasi dengan posisi terbalik ke dalam inkubator selama 24-36 jam
pada suhu 37oC. Hitung jumlah koloni dengan menggunakan colony
counter.
B. Perhitungan Jumlah Koliform dengan Metode Hitungan Cawan
Alat dan bahan:
Cawan petri, pipet steril, bunsen, autoclave, inkubator, media VRB.

13
Cara kerja:
a. Buatlah media VRB dengan cara melarutkan media VRB ke dalam
akuades (38,5 g/1 L). Panaskan larutan tersebut hingga mendidih.
Masukkan ke dalam waterbath suhu 50oC agar media tidak memadat.
b. Sama dengan metode TPC, namun pemupukan yang dilakukan berasal
dari tabung BPW 0,1 % pengenceran ke -10-1 sampai 10-3 Lakukan
pemupukan secara duplo.
c. Buka tutup cawan petri sedikit kemudian tuang media VRB cair steril
yang telah didinginkan sampai suhu 45 – 50oC sebanyak 15 – 20 ml dan
cawan ditutup. Selanjutnya cawan digerak-gerakkan membentuk angka
delapan agar media merata. Biarkan media VRB hingga padat.
d. Cawan petri diinkubasi dengan posisi tutup dibalik ke dalam inkubator.
Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 – 36 jam.
e. Hitung jumlah koloni dengan menggunakan colony counter.
C. Uji Cemaran E. Coli
Prinsip:
Mengetahui pertumbuhan koloni bakteri E. Coli pada media EMBA yang
dapat dilihat langsung. Koloni bakteri E. Coli yang tumbuh merupakan
gambaran jumlah mikroorganisme yang terdapat pada sampel.
Alat dan bahan:
Cawan petri, pipet steril, bunsen, media Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA), autoclave, waterbath, inkubator, colony counter.
Cara kerja:
a. Buat media EMBA dengan melarutkan dalam akuades (37,5 g/L).
Panaskan hingga mendidih. Lakukan sterilisasi kemudian masukkan
media EMBA cair ke dalam waterbath suhu 50oC agar media tidak
memadat.
b. Streak sampel menggunakan ose pada cawan petri yang telah berisi
media EMBA.
c. Inkubasi pada temperatur 35ºC selama 24 jam.

14
d. Intepretasi koloni yang diduga E. coli memiliki diameter 2-3 mm,
berwarna hitam atau gelap pada bagian pusat koloni, dengan atau tanpa
metalik kehijauan yang mengkilat pada media EMBA
D. Uji Cemaran Salmonella
Prinsip:
Jika sel mikroba yang masih hidup pada sampel ditumbuhkan pada media
agar, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni
yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang.
Alat dan Bahan:
Cawan petri, pipet tabung reaksi, pembakar bunsen, inkubator, autoclave,
ose, SSA, alkohol 70%, BPW 0,1% dan sampel daging sapi.
Cara Kerja:
a. Pembakar Bunsen dinyalakan dan dibersihkan tangan dengan alkohol.
b. Dimasukkan ekstrak daging yang telah dihomogenkan sebanyak 1 mL
ke dalam larutan BPW 0,1% steril 9 mL pada pengenceran 1:10 (10-1)
lalu dihomogenkan.
c. Diambil 1-2 ose inokulum bakteri pada tabung reaksi pengenceran 10-1
lalu ditanam pada media SSA.
d. Diinkubasi pada suhu 37˚C selama 18-24 jam. Diamati spesifikasi
pertumbuhan Salmonella pada media SSA.
e. Interpretasi koloni yang diduga Salmonella memiliki warna hitam atau
dengan inti hitam, datar, dengan tepi transparan.

3.3.6 Uji Residu Antibiotika


Prinsip:
Residu antibiotik akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada
media agar. Penghambatan dapat dilihat dengan terbentuknya daerah
hambatan disekitar kertas cakram atau silinder atau agar well. Besarnya
diameter daerah hambatan menunjukkan konsentrasi residu antibiotik.

15
Alat dan bahan:
Sampel daging segar, media Mueller Hinton Agar (MHA) dan bakteri
standar Bacillus subtilis yang dibiakkan pada media Nutrien Agar (NA),
ose, paper disc, cawan petri, inkubator.
Cara kerja:
a. Dibiakkan bakteri Bacillus subtilis pada media NA dan diinkubasi 36oC
selama 24 jam.
b. Bakteri Bacillus subtilis dibiakkan 1 streak ose dan diencerakan dengan
5 ml NaCl fisiologis.
c. Bakteri yang sudah diecerkan ditanam pada media MHA secara
spreader.
d. Paper disc ditempelkan pada sampel daging kelinci selanjutnya
diletakkan di atas media MHA yang bercampur dengan bakteri Bacillus
subtilis.
e. Pada media MHA juga ditempelkan paper disc blank dan paper disc
tetracycline.
f. Diinkubasi suhu 3oC selama 24 jam.
g. Sampel dinyatakan positif mengandung residu antibiotika apabila
terbentuk daerah hambatan minimal 2 mm lebih besar dari diameter
paper disc (adanya zona bening).

16
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Keterangan Sampel


Sampel : Daging sapi
Kemasan : Plastik
Isi Bersih : 100 gr
Produksi : Pasar Singosari Malang

Gambar 4.1. Daging Sapi

4.2. Pengujian Kualitas Daging Sapi


Hasil
No. Pengujian Standar Hasil Uji
Standar
1 Pemeriksaan Kesegaran
Daging
Organoleptik
Konformasi SNI 3924: Mutu I-III Sempurna (Mutu I)
2009
Perdagingan SNI 3924: Mutu I-III Sedang (Mutu II)
2009
Perlemakan SNI 3924: Mutu I-III Sedikit (Mutu III)

17
Hasil
No. Pengujian Standar Hasil Uji
Standar
2009
Keutuhan SNI 3924: Mutu I-III Utuh (Mutu I)
2009
Perubahan warna SNI 3924: Mutu I-III Bebas dari memar
2009 atau freeze burn
(Mutu I)
Kebersihan SNI 3924: Mutu I-III Bebas dari bulu
2009 tunas (pin feather)
(Mutu I)
PH - - 6,5
Drip Loss - - 1,25%
Cooking Loss - - 40%
2. Pemeriksaan - - Negatif (terbentuk
Kesempurnaan warna biru)
Pengeluaran Darah
3. Awal Pembusukan
Eber SNI 3924: Negatif Positif, terbentuk
2009 awan
H2S SNI 3924: Negatif Negatif
2009

6. Mikrobiologi
TPC SNI 3924: maksimum 1 6,6 x 107
2009 x 106
Coliform SNI 3924: maksimum 1 3 x 102
2009 x 102
Salmonella SNI 3924: per 25 g
2009 negatif
7. Residu Antibiotik SNI 3924: negatif
2009

18
.
4.3. Hasil Uji Pemeriksaan Kesegaran Daging

Daging sapi, domba, kambing, babi dan kuda termasuk ke dalam


golongan daging berwarna merah. Uji kualitas daging meliputi pemeriksaan
fisik (serabut daging, bau, konsistensi, warna daging dan warna lemak),
pemeriksaan ph, pemeriksaan driploss dan pemeriksaan cooking loss. Hasil
uji menunjukkan hasil serabut daging normal, bau daging khas, konsistensi
liat, warna daging merah kegelapan dan warna lemak putih. Menurut
Abubakar, dkk (2001) faktor yang paling menentukan warna daging adalah
konsentrasi pigmen daging berupa mioglobin, konsentrasi mioglobin berbeda
antar umur, spesies dan bangsa hewan serta lokasi otot daging. Pada
umumnya makin bertambah umur ternak, konsentrasi mioglobin makin
meningkat.
Uji ph daging sapi menunjukkan angka 6,5. pH daging merupakan
salah satu penentu kualitas daging, yaitu jika pH daging semakin rendah atau
asam berarti daging tersebut akan lebih cepat mengalami pembusukan.
Amertaningtyas (2012) menjelaskan bahwa perubahan pH daging setelah
pemotongan ternak dipengaruhi oleh ketersediaan asam laktat di dalam otot.
Ketersediaan asam laktat ini dipengaruhi oleh kandungan glikogen, dan
kandungan glikogen dipengaruhi oleh penanganan ternak sebelum dipotong.
Kandungan glikogen otot sangat rendah, yaitu pada kisaran 0,5 1,3% dari
berat daging segar. Daging sapi yang telah dipotong akan menghentikan
sirkulasi darah yang akan menyebabkan terhentinya fungsi darah sebagai
pembawa oksigen, sehingga respirasi terhenti dan berlangsung proses
glikolisis anaerob. Proses ini dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase pre rigor,
rigormortis, dan post rigor. Daging pada fase pre rigor memiliki karakteristik
daging yang lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan, yaitu
menjadi kaku. Hal ini disebabkan bersatunya aktin dan miosin yang
membentuk aktomiosin, yang kemudian dinamakan sebagai rigormortis.

19
Daging yang mengalami glikolisis akan menurunkan pH daging sapi
(Lukman dkk., 2009).
Pemeriksaan driploss menunjukkan hasil 1,25% sedangkan
pemeriksaan cookingloss menunjukkan hasil 40%. Hasil yang didapat ini
telah sesuai dengan standart nasional Indonesia yaitu minimal 40%. Daya
ikat air (driploss) salah satunya dipengaruhi oleh pH daging, hal ini
disebabkan karena glikolisis postmortem dalam daging secara normal akan
terus berjalan sampai pH akhir sekitar 5,5 dan ini merupakan titik iso-elektrik
dari protein-protein prinsipil dalam urat daging, maka kehilangan kapasitas
memegang air sedikit sehingga mempunyai daya ikat air daging lebih tinggi
(Dewi, 2012). Daya ikat air akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH
akhir (pH daging yang dapat dicapai setelah proses glikolisis berakhir) yaitu
pada pH 5,40- 6,0. Penurunan nilai daya ikat air juga disebabkan oleh pH
daging yang semakin menurun. Dalam kondisi daging yang lebih asam
menyebabkan protein mudah rusak. Sedangkan, Daging dengan susut masak
(cooking loss) yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
daripada daging dengan susut masak yang lebih tinggi, karena kehilangan
nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Dewi, 2012). Menurut Soeparno
(2005) cooking loss dipengaruhi oleh waktu post mati. Jangka waktu mati
mempengaruhi cooking loss daging. Perubahan cooking loss disebabkan
terjadinya penurunan pH daging post mortem yang mengakibatkan banyak
protein miofibriller yang rusak, sehinggga diikuti dengan kehilangan
kemampuan protein untuk mengikat air yang pada akhirnya semakin
besarnya.

4.4. Hasil Uji Kesempurnaan Pengeuaran Darah

Pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah dilakukan untuk


mengetahui kualitas daging sapi. Sampel daging sapi yang diuji memiliki
kualitas pengeluaran darah sempurna, yaitu ditandai dengan warna berubah
menjadi wana biru akibat oksigen mengoksidasi malachite green. Faktor yang

20
mempengaruhi kesempurnaan pengeluaran darah adalah afalah teknik
penyembelihan dan pengeluaran darah dilakukan dengan baik.

4.5. Hasil Uji Awal Pembusukan Daging

Guna mengetahui kesegaran daging yang diuji, maka dilakukan


pemeriksaan awal pembusukan daging, diantaranya ialah Uji Eber dan Uji
H2S. Uji eber yang dilakukan menghasilkan hasil positif, yaitu terbentuk
awan di sekitar tabung reaksi. Awan yang dimaksud ialah gas NH3 pada awal
proses pembusukan berikatan dengan reagen eber sehingga menghasilkan
awan berwarna putih. Uji H2S menunjukkan hasil negatif, yaitu tidak
ditemukan adanya perubahan menjadi warna hitam kecoklatan.

4.6. Hasil Uji Mikrobiologi Daging

Tahapan pengujian lebih lanjut untuk menilai kualitas sampel daging


sapi yaitu melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Berdasarkan uji TPC yang
dilakukan untuk mengetahui jumlah total bakteri pada daging didapatkan
jumlah bakteri sebanyak 6,6 x 107 cfu/ml. Jumlah ini berada diatas batas
standar jumlah bakteri minimum pada daging segar yang ditetapkan oleh
BSN (2009) yaitu 1x 106 cfu/ml. Jumlah koloni bakteri koliform sebanyak 3 x
102 cfu/ml yang juga berada diatas batas standar nasional yaitu 1 x 102
cfu/ml. Ini berarti sampel daging sapi yang diuji terpapar cemaran mikroba.
Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan
rumah potong hewan yang tidak higienis (Djafaar dan Rahayu, 2007).
Awal cemaran mikroba pada daging dapat terjadi pada saat penyembelihan,
alat-alat yang dipergunakan untuk pengeluaran darah tidak steril dan lain-
lain. Sejak dari RPH daging sapi yang dihasilkan sudah dalam
kondisi terkontaminasi bakteri dan selama proses distribusi kondisinya
semakin memburuk (Arifin et. al., 2008).
Penanaman ekstrak daging sapi pada media EMBA dan SSA
menghasilkan hasil negatif pada keduanya. Dewi (2012) berpendapat bahwa
perbedaan ukuran potongan daging akan mempengaruhi laju pertumbuhan
mikroorganisme, semakin banyak dipotong maka akan memperbesar luas

21
penampang permukaan daging, sehingga kemungkinan terjadinya kontak
dengan mikroorganisme akan lebih besar. Beberapa usaha yang dilakukan
untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya
adalah dengan penyimpanan refrigerasi pada suhu 5°C, pembekuan, serta
memanfaatkan teknologi iradiasi.

22
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada sampel daging sapi,
menunjukkan bahwa daging sapi tersebut tidak ASUH untuk dikonsumsi
karena terdapat cemaran mikroba diatas dari SNI Nomor 3926 : 2008.

5.2. Saran
Edukasi terhadap penjual daging sapi yang berada di pasar tradisional
sebaiknya dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi bakteri
lingkungan. Hal ini disebabkan masih banyaknya penjual daging yang
membuka lapak yang berada di area luar pasar sehingga tingkat paparan
bakteri lingkungan lebih besar dan mampu mempengaruhi kualitas daging.

23
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Haryanto, B., Kuswandi, dan Murdiati, T. 2001. Karakteristik Karkas
dan Kualitas Daging Sapi PO Yang Mendapat Pakan Mengandung
Probiotik. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner

Arifin,M., B. Dwiloka dan D.E. Patriani. 2008. Penurunan Kualitas Daging Sapi
yang terjadi selama Proses Pemotongan dan Distribusi di Kota Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,
11-12 Nopember 2008, p: 99-104

Amertaningtyas, D. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional


Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Hasil Ternak. Vol 7 (1) : 42-47

Dewan Standarisasi Nasonal. Mutu Karkas dan Daging Sapi. SNI 3932:2008

Dewi, S. 2012. Populasi Mikroba dan Sifat Fisik Daging Sapi Beku Selama
Penyimpanan. Jurnal AgriSains Vol.3 (4) : 1-10

Djafaar T.F. dan Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian,
penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J Litbang Pertanian
26(2): 67-73.

Hernando,Deni., Septinova, Dian., Adhianto, Kusuma. Kadar Air dan Total


Mikroba pada Daging Sapi di Tempat Pemotongan Hewan Bandar
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol 3 (1) : 61-67

Komariah., Rahayu, Sri. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau dan Domba pada
Lama PostMortem yang Berbeda. Buletin Peternakan .Vol. 33(3): 183-
189

Lukman, D.W., M. Sudarwanto, A.W. Sabjaya, dan R.R. Soejoedono. 2008.


Higenis Pangan. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. Departemen
Ilmu penyakit Hewan dan Kesmavet. FKH IPB.

Mukartini,S.C. Jehne, B. Shay and C.M.L. Harfer. 1995. Microbiological Status


of Beef Carcass Meat in Indonesia. Journal Food Safety (15) 291 : 303

Setiawan,Satria. Swacita,Ida. 2017. Kualitas Daging Sapi di Rumah Potong


Hewan Pesanggran Ditinjau dari Uji Ph dan Daya Ikat Air. Buletin
Veteriner Udayana. Vol 9 (1) : 16-21

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

24
Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

25
LAMPIRAN

1. Perhitungan Driploss
W0 = 6,4 gr
W1 = 5,6 gr
Driploss = (6,4 – 5,6) / 6,4 x 100%
= 12,5 %

2. Perhitungan Cooking Loss


W0 = 6,6 gr
W1 = 3,9 gr
Driploss = (6,6 – 3,9) / 6,6 x 100%
= 40 %

3. Perhitungan TPC
Jumlah Koloni
Pengenceran
I II
105 141 228
106 58 171
107 72 3

Perhitungan jumlah koloni


1. (141+228)/2 = 1,8 x 107
2. (58 + 171) / 2 = 11 x 107
 Nilai TPC = 6,6 x 107cfu/ml

2. Perhitungan Coliform
Jumlah Koloni
Pengenceran
I II
1
10 39 24
2
10 2 3
3
10 0 1

Perhitungan jumlah koloni


1. (39+24)/2 = 3,1 x 102
Nilai = 3,1 x 102 cfu/ml

26
27

You might also like