You are on page 1of 10

Asal-usul Suku Batak

1. Batak Toba
Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisimangaraja
XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke 19 (wafat 1907), maka
anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Batu bertulis (prasasti) di Portibi
bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisari (Guru Besar Purbakala dari Madras, India)
menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang Sriwijaya yang
menyebabkan bermukimnya 1500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit
menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun
1.400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian
Aceh. Dengan memperhatikan tahun-tahun dan kejadian di atas diperkirakan Si Raja Batak
adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan
Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengunsi ke pedalaman,
akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. Akibat serangan Mojopahit ke
Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi,
Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).
Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan,
bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak
seperti Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dan sebagainya, meskipun tidak memiliki wilayah
kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya buku Tarombo Borbor Marsada, anak Si
Raja Batak ada 3 yaitu : Guru Tatean Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang
inilah dipercaya terbentuknya marga-marga batak.

LEGENDA BATAK
Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) ada seekor ayam bernama Manuk-manuk
Hulambujati berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah.
Manuk-manuk Hulambujati tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang
demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana
caranya agar ketiga telur tersebut menetas.

Mulajadi Na Bolon berkata,”Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas” Dan ketika
menetas, Manuk-manuk Hulambujati sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga
makhluk yang keluar dari telur tersebut. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon dan
atas perintah Mulajadi Na Bolon, Manuk-manuk Hulambujati memberi nama ketiga makhluk
(manusia) tersebut. Yang pertama lahir diberi nama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu
Tuan Soripada dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan. Ketiganya adalah laki-laki.
Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping
wanita. Manuk-manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan
3 wanita cantik : Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-
laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak
perempuan kembar bernama Siboru Sorbajati dan Siboru Deak Parujar. Anak kedua Manuk-
manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan anak
laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan
diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipampat Tinggi Sabulan.

Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya
seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). “Tidak
apa-apa, berilah nama Siraja Enda-enda,” kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka
dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan
bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan. “Kawin dengan siapa ? Anak perempuan saya
mau dikawinkan kepada laki-laki mana ?” tanya Tuan Batara Guru. “Bagaimana kalau putri
abang Siboru Sorbajati dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda-enda. Mas kawin apapun
akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya,” kata Tuan
Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.

Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangi rumah
Siraja Enda-enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan.
Siraja Enda-enda mengatakan benar dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya.
Diperslakannya Siboru Sorbajati naik kerumah. Namun betapa terkejutnya Siboru Sorbajati
karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal. Dengan perasaan kecewa ia pulang
mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata. “Lebih baik saya mati daripada kawin
dengan kadal,” katanya terisak-isak. “Jangan begitu adikku,” kata Datu Tantan Debata.”
Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima
ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi isteri Siraja Enda-enda.”

Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh
tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar “Gondang” karena ia ingin “Manortor”
semalam suntuk. Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru
Sorbajati manortor di hadapan keluarganya. Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya
mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke “para-para” dan dari sana ia melompat ke “bonggor”
kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap kedalam tanah
dan hilang terkubur.

Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur
dan menuntut agar keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2nya, Siboru Deak
Parujar untuk Siraja Enda-enda. Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. Namun
karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orangtuanya harus menggelar
“Gondang” semalam suntuk karena ia ingin “Manortor” juga. Sama dengan kakaknya,
menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan
menghilang ke arah laut dibenua tengah (Banua Tonga).

Ditengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-
layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak. Sayangnya, tanah yang
dibawa burung layang-layang hancur karena diguncang Naga Padoha. Siboru Deak Parujar
menemui Naga Padoha agar tidak mengguncang Banua Tonga. Siboru Deak Parujar berhasil
menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung
Naga Padoha agar tidak menggangu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan
tanah dan terbenam ke benua tengah. Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang
meronta di bawah sana.

Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas. Karena
lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap-odap
untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula-Mula di kaki gunung Pusuk
Buhit. Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : Raja Ihat Manisia (laki-laki) dan Boru
Itam Manisia (perempuan).

Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki : Raja
Miok-Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas-Lapas. Raja Miok-Miok tinggal di Sianjur
Mula-Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham. Raja
Miok-Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua dan 3 cucu dari Engbanua yaitu :
Raja Ujung, Raja Bonang-Bonang dan Raja Jau. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang
Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias. Sedangkan Raja Bonang-Bonang (anak ke-2)
memiliki anak bernama Raja Tantan Debata dan dari Tantan Debata inilah Siraja Batak, yang
menjadi leluhur orang batak dan berdiam di Sianjur Mula-Mula di kaki gunung pusuk buhit.

2. Batak Simalungun
Simalungun adalah salah satu suku asli yang mendiami Sumatera Utara, tepatnya di timur
Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena
letak mereka yang disebelah timur Taneh Karo. Di dalam cakap(bahasa) Karo, “Simelungen”
sendiri bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si = si,
yang; dan [me-]lungun = sepi, sunyi”, jadi simalungen mengandung artian:
“wilayah(daerah) yang sepi”. Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini
masyarakatnya hidup berjauhan(tidak berkumpul) sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang
Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu yang
menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.
Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal dari wilayah di India
Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar abad ke-5 Masehi serta menetap di
timur Danau Toba(Kab. Simalungun sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang
merupakan marga asli Simalungun(cikal bakal Simalungun Tua). Dikemudian hari datang
marga-marga dari sekitar Simalungun seperti: Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu
dengan Damanik menjadi empat marga besar di Simalungun.

Secara ringkas, sejarah asal-usul suku bangsa Simalungun ini dapat dibagi menjadi dua
gelombang, yakni:

Gelombang Pertama(Simalungun Proto)


Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore di India Selatan dan
Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka bermigrasi dari India ke Myanmar
selanjutnya ke Siam(Thailand) dan ke Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur
mendirikan kerajaan Nagur(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik(marga asli
Simalungun). Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan wilayah-wilayah
sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar dari Siam dan India yang
bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh, namun pada akhirnya mereka
terdesak oleh suku asli setempat(Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan
Samosir.

Gelombang Kedua(Simalungun Deutero)


Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih, Sinaga , dan Purba,
dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku sekitar yang memiliki pertalian
dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan
aspek ruang dan waktu dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo:
Tarigan Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan dari
Barat Danau Toba(Pakpak/Dairi: Sinaga). Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa
yang ada di tradisi merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting: terkhususnya
Ginting Munthe yang mendapat konfirmasi dari marga Saragih, Saragih Munthe di
Simalungun dan Dalimunte di Labuhan Batu) dan Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja
Umang Tarigan) yang dimana dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari
cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.

Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno) dikisahkan Parpandanan


Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur
yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber
lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan
sungai Rokan di Riau. Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran
akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan Karo) dan terdesak
akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar Simalungun(khususnya Toba dan Karo)
yang membuat suku bangsa Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah
Simalungun atas saja.

3. Batak Karo
Sejarah Suku Karo

Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang,
Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh
Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang
mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.Suku ini memiliki bahasa sendiri
yang disebut Bahasa Karo, dan memiliki salam khas, yaitu Mejuah-juah. Sementara pakaian
adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan
emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal dengan nama Rumah Si
Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari
delapan bilik yang masing-masing bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang
menghuni rumah itu memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing.

Sejarah Suku Karo Menurut Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi,
Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si
Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun
temurun dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar
tahun 1838. Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan
Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa pada awalnya seorang
maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang tinggal di sebuah negeri bersama
permaisuri dan putra-putrinya, yang terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut
juga mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India. Pada suatu ketika, maharaja ingin
pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia
mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk
berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima
perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk
bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan
rakit yang mereka buat sendiri. Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si
sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa
bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka.

Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas
dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan
kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang. Dalam perjalanan di tengah
laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak
yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan
bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan
rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan
rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan
Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua
orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari
tempat yang aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu
beberapa bulan lamanya. Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu
terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan
oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan
perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau
yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu
sekarang bernama Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan
menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang
sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua
itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman.
Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk
mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran
sungai menuju daerah pegunungan. Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan
berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama
Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu
diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan
lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada
tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka
tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka
sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan
mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan
permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak
sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari
tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon "jabi-jabi" (sejenis
beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat
keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu.
Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat
itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat
bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang
berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan
rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran
tinggi Karo (Taneh Karo). Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari
lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah,
Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi
nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah
akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi
anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan. Merga
akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu
dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-
laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:
1. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo
sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.
2. Ginting, anak kedua.
3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam
diantara saudaranya.
4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus
dengan kencangnya (angin puting-beliung).
5. Tarigan, anak bungsu.

4. Minangkabau
ASAL SUKU MINANG

Berdasarkan hasil penelitian ahli sejarah, bahwa kedatangan bangsa Minangkabau adalah
pada zaman perungggu atau logam pada tahun 500 SM, dimana terjadinya perpindahan
penduduk dari daratan Asia Selatan ke Nusantara, penduduk ini berkebudayaan perunggu
(dongson) karena pusat kebudayaan Perunggu tersebut berada di Dongson wilayah Tonkin
China.

Berbeda dengan ras proto melayu bermigrasi ke Nusantara tahun 2000-2500 SM (belumn
mengenal logam) zaman batu tengan (mesolithic) tahun 5000-1000 SM tahun silam
masuknya arus penduduk dan kebudayaan dari Asia.

Madelaini Colani,ahli sejarah Perancis mengemukakan pusat Mesolithic di pegununugan


bascon di wilayah Tonkin (ras papua melanosoid)percampuran ras ini dengan ras austronesia,
ras austronesia membawa kebudayaan Neolithic.

Pada zaman Mesolithic masuk ke pantai Sumatera ras weda dan ras negrito kedua ras ini
telah ada sebelun ras melayu datang. Inilah sisa - sisa yang tak mau bercampur mereka
menjadi orang kubu,talang mamak dan berkelana di hutan,bahasa Minang menyebutkan
urang nan bajawikan raso,baatokan sikai,badindiang bamo kayu Prof.Drs Sukarno (ahli
purbakala) orang minang kabau datang dari India belakang pada saat kedatangan rombongan
ke 2 dan orang Minangkabau adalah ras melayu muda (dentra melayu).

Asal Usul Kata Melayu dan Minangkabau


Prof.Dr.Husain Naimar, guru besar antropologi Universitas Madras menerangkan bahwa kata
melayu berasal dari bahasa Tamil.Malai berarti gunung, malaiur adalah suatu suku bangsa
pegunungan dan sebutan malaiur fonetis menjadi melayu. Penduduk sebelah pesisir selatan
pegunungan Dekkan adalah orang malabar,orang minangkabau menyebutnya malabari.
Malayalam adalah bahasa yang dipergunakan oleh suku bangsa dravida yang mendiami
pegunungan. Di minangkabau menurut penelitian Prof.Husein Naimar banyak terdapat kata-
kata tamil dan sanskerta hal ini membuktikan adanya hubungan sejarah antara Minangkabau
dan Malabar.

Di Malabar pun sistem masyarakatnya juga menurut garis keibuan dan pusako tinggi turun
dari mamak ke kemanakan. Prof. Yean quisiner dari salah satu universitas di Pris meneliti ke
minangkabau , mendaptkan adanya hubungan antara Minangkabau dengan Burma,
Muangthai,Kamboja dan Vietnam bukti adanya hubungan terlihat dari kata pagaruyung paga
(suku matriakat seprti juga dijumpai pada suku khazi, malabar dan lainnya) "ru" artinya pusat
"yung" (danyun)artinya kerapatan, jadi Pagaruyung dapat diartikan pusat kerapatan suku
yang menganut sistem keibuan durian ditakuak rajo adalah perobahan fonetik dari durum
patakai raya.

Du : kata bilangan dua/seluruhnya


Rum : kerekel/pasir
Pataka : dataran pantai
Raya : luas/besar

Masa sejarah digolongkan kepada masa setelah adanya tulisan pada benda peninggaklan
sejarah seprti prasati, candi dan sebagainya, masa sejarah tidak sama untuk setiap suku
bangsa contoh misalnya bangsa Mesir memulai masa sejarahnya setelah 4000 SM, bangsa
India 3000 SM dan Indonesia 400 SM., 500-300 SM dari India selatan mereka mengarungi
samudera memasuki pantai timur Sumatera antara lain Muara Kampar bersama dengan itu
suku bangsa dari Birma, Kamboja, Vietnam melalui lembah sungai Irawali.
Perpindahan ini berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad dua kelompok ini sama-sama
mempunyai ikatan matrilinear ada kelompok yang mencari aliran sungai pada saat
perpindahan ini apa yang terjadi di belahan dunia yang sudah lama memasuki zaman logam
antara lain dapat kita jelaskan sebagai berikut :

India berkembang agama budha yang dibawa Sidharta Gautama (563-483 SM). Gautama
adalah putera Raja Sudhodana dari kerajaan Kavilawastu yang wilayahnya meliputi Nepal,
Bhutan dan Sikkin, 1600 SM di India sudah pula berkembang agama Hindu (mahabratha).
China di kala itu dikuasai Dinasti Chou tahun 1050-256 SM waktu itu hidup filosof Konfutse,
Laotse dan Mengtse

Kedua daerah itu adalah tempat turunnya ras dentro malayutermasuk Minangkabau, dapat
dipastikan gelombang 2 yang datang 500-400 SM beragama Budha dan Hindu, dilihat secara
kontekstual kemungkinan mereka yang turun dari Burma, Kamboja dan Thailand sebagai
embrio suku besar melayu di Minangkabau (suku melayu di Minangkabau adalah Melayu,
Bendang, Kampai, Mandahiling dan Panai) dan mereka yang datang dari India Selatan
(pantai timur) adalah embrio suku Jambak, Pitopang, Salokutiannyia, Bulukasok dan
Banuhampu atau sebaliknya namun kedua kelompok ini disbut sebagai Melayu Continental.
Dalam rentang waktu 500-400 SM itu mereka telah membentuk kekuasaan budaya seperti
raja gunung dan raja sungai agama Budha sudah dikembangkan pada saat itu kemungkinan
saja pada periode ini mereka sudah sampai ke hulu Batang Kampar, hulu Batang Rokan, hulu
Batanghari dan hulu sungai lainnya.

Situasi kehidupan masyarakat waktu itu hidup dengan berdagang, sawah dan mulai
berkembang pertambangan emas dan hasil hutan lainnya, ada yang berpendapat sudah ada
terbentuk nagari sumkayam atau nagari Minangkabau sekarang tetapi akhirnya dibantah oleh
karena konsep nagari baru muncul setelah rombongan kedua datang ke Minangkabau.
Ada pertanyaan dengan apa mereka menyelusuri dataran tinggi Minagkabau jawabannya
adalah dengan kerbau oleh karena agama yang dianutnya perlu menyayangi binatang
kerbau,gajah, lembu , sehingga dari kerbau ini mereka dapat mengembangkannya permainan
rakyat melalui adu kerbau. Dr Nooteboom memperkuat alasan tentang kegiatan berlayar yang
dimiliki oleh ahli Yunani zaman purba Strabo dan Pilinius bukanlah Srilangka akan tetapi
adalah Sumatera atas dasar itu Dr Nooteboom(pengikut zulkarnain) ketika ia berlabuh di
India berarti sudah ada hubungan Minangkabau dengan India berkenaan waktunya adalah
336 SM

Asal-usul Nama Minangkabau :


a. Drs Zuhir Usman bahwa di dalam hikayat raja-raja Pasai Minagkbau diartikan menang
adu kerbau
b. Hal ini mendapat bantahan dari Prof.Dr. Purbacaraka hal ini bersifat legenda
beliau mengatakan bahwa Minagkabau berasal dari Minangtamwan artinya pertemuan dua
muara sungai.
c. Prof Van de Tuuk menerangkan bahwa Minangkabau asalnya dari Pinang Khabu yang
artinya tanah asal
d. Prof Dr Husein Naimar menyatakan bahwa Minagkabau adalah perubahan fonetik dari
menonkhabu bahsa tamil yang artinya tanah pangkal

SISTEM KEKERABATAN DI MASYARAKAT JAWA


Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang
ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan
secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan. Sebuah
hubungan dapat memiliki syarat relatif atau mewakili secara absolut. Tingkatan kekerabatan
tidak identik dengan pewarisan maupun suksesi legal. Banyak kode etik yang menganggap
bahwa ikatan kekerabatan menciptakan kewajiban di antara orang-orang terkait yang lebih
kuat daripada di antara orang asing, seperti bakti anak.

Dalam masyarakat jawa sistem kekerabatan orang jawa berdasarkan prinsip keturunan
bilateral (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip
bilateral atau parental ini maka ego mengenal hubungannya dengan sanak saudara dari pihak
ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi ketiga. Dalam tulisan
ini penulis akan membahas tentang system kekerabatan yang ada di jawa.
Tujuan penulis membuat makalah ini yaitu agar penulis dan pembaca dapat mengetahui
kebudayaan-kebudayaan yang ada pada masyarakat jawa khususnya pada system
kekerabatannya.
Sistem Perkawinan
Di Jawa dimana kehidupan kekeluargaan masih kuat, sebuah perkawinan tentu akan
mempertemukan dua buah keluarga besar. Oleh karena itu, sesuai kebiasaan yang berlaku,
kedua pasangan yang akan melakukan pernikahan akan memberitahu keluarga masing-
masing bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal untuk dijadikan
suami/istrinya. Secara tradisional, pertimbangan penerimaan seorang calon menantu
berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot.
1. Bibit : mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik
2. Bebet : calon pengantin terutama pria harus mampu memenuhi kebutuhan
keluarganya
3. Bobot : kedua calon pengantin adalah orang yang berkualitas, bermental baik dan
berpendidikan cukup

Peristilahan Dalam Keluarga Jawa


Seperti yang sudah dipaparkan diatas tadi sistem kekerabatan orang Jawa berdasarkan
prinsip keturunan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari dua belah
pihak, ayah dan ibu). Dengan prinsip bilateral atau parental ini mengenal hubungan dengan
keluarga dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, dari satu nenek moyang sampai generasi
ketiga, yang disebut sanak sedulur (kindred).

Adapun peristilah untuk saudara sedarah yaitu:


 Mbah : kakek/nenek yaitu sanak saudara siapa saja yang ada pada taraf
generasi sama dengan kakek/nenek, suami/istri mereka itu.
 Bapak : ayah atau setiap anggota laki-laki dari generasi orang tua, atau suami
seorang wanita yang dipanggil Ibu.
 Ibu : ibu atau setiap anggota wanita dari generasi orang tua, atau istri seorang
laki-laki yang dipanggil Bapak.
 Pak De : saudara laki-laki orang tua yang lebih tua dari orangtua, atau suami seorang
perempuan yang dipanggil Bu De.
 Bu De : saudara perempuan orang tua yang lebih dari orang tua itu, atau istri
seorang laki-laki yang dipanggil Pak De.
 Pak Lik : saudara laki-laki orang tua yang lebih muda dari orang tua itu, atau suami
seorang perempuan yang dipanggil Bu Lik.
 Bu Lik : adik perempuan orang tua, atau istri seorang yang dipanggil Pak Lik.
 Mas : kakak laki-laki, anak laki-laki kakak orang tua, atau suami seorang wanita yang
disebut dengan Mbakyu.
 Mbakyu : kakak perempuan, anak perempuan dari kakak orang tua, atau istri seorang
laki-laki yang disebut dengan Mas.
 Adik : saudara muda, anak dari saudara muda orang tua, suami/istri dari seseorang
yang disapa dengan Dik.
 Putu : cucu.
 Buyut :Cicit.
 Bojo : istri/suami.
 Maratua : orang tua suami atau orangtua istri.
 Anak mantu : Menantu.
 Besan : Orang tuanya suami/istri si anak.

Di masyarakat desa Ngrancah masih erat ikatan persaudaraannya. Hal itu bisa dilihat
dari sistem kekeluargaan di masyarakat tersebut. Di masyarakat desa Ngrancah setiap
keluarga mempunyai rumah masing-masing tetapi rumah yang dibangun oleh suatu keluarga
akan selalu dekat dengan anggota keluarga yang lain. Misalnya sebuah keluarga mempunyai
anak terutama perempuan yang akan menikah atau akan berkeluarga, orang yang akan
berkeluarga tersebut akan membuat rumah dekat dengan rumah orangtuanya. Hal itu
dilakukan agar orang yang akan berkeluarga tersebut masih dapat “menjaga” orangtuanya
jika sudah tua begitu juga dengan anggota keluarga lainnya. Untuk anak laki-lakinya yang
akan menikah biasanya akan ikut dengan istrinya untuk tinggal dengan orangtua istrinya.
Di masyarakat tersebut juga seminggu sekali diadakan talilan yang bertujuan untuk
mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Kegiatan tersebut diakan bergantian setiap
rumah seminggu sekali. Tetapi sekarang masyarakat mulai meninggalkan tradisi terlihat dari
jumlah masyarakat yeng mengikuti tradisi tersebut yang semakin lama semakin sedikit.
Mereka menganggap hal tersebut tidak penting lagi. Hal tersebut bisa mengurangi rasa
solidaritas antar masyarakat dan bisa menyebabkan kesenjangan social.

Orang jawa sebagai masyarakat yang menganut system perkawinan bilateral harus
bisa menjaga tradisi-tradisi perkawinan agar nilai-nilai yang terkandung didalam tradisi
tersebut tidak hilang dan budaya tersebut tidak hanya menjadi cerita saja bagi generasi
penerus. Salah satu cara yaitu dengan tetap menggunakan tradisi-tradisi jawa misalnya
seseorang akan memilih pasangan harus memperhatikan Bibit,Bebet,Bobot nya, midodareni
dan lain-lain. Di dalam masyarkat juga harus menjaga tradisi-tradisi jawa misalnya tahlilan
agar rasa solidaritas antar warganya bisa terjalin dengan baik dan menambah rasa
persaudaraan.

Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau

Suku Minangkabau adalah salah satu dari banyaknya suku di Indonesia yang masih
bertahan dalam melaksanakan adatnya sampai sekarang meskipun perubahan-perubahan
terjadi akibat dari modernisasi. Suku Minangkabau secara administratif berada di provinsi
Sumatera Barat dikurangi dengan kepulauan Mentawai. Selain daerah Sumatera barat,
daerah pendukung kebudayaan Minangkabau juga tersebar di beberapa tempat di pulau
Sumatera dan di Semenanjung Malaya. Kita dapat melihat misalnya adanya daerah yang
ditinggali orang Minangkabau di Aceh Barat, yaitu daerah Meulabaoh. Daerah Negeri
Sembilan di Malaya dianggap sebagai daerah yang didiami oleh orang-orang yang berasal
dari Minangkabau, yang telah berpindah kesana beberapa abad yang lalu, sekitar abad ke 15.
Sebagai sebuah masyarakat trdisional, masyarakat Minangkabau memiliki adat atau
kebuadayaan yang menjadi identias dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat
Minangkabau yang disebut dengan adat adalah aturan hidup yang berlaku di Minangkabau
yang membedakan dengan tajam antara manusia dengan hewan, tingkah laku dan
perbuatan. Adat ini mencakup berbagai aspek dari kehidupan masyarakat Minangkabau dan
mengatur kehidupan sosial masyarakat Minangkabau.

Salah satu budaya masyarakat Minangkabau yang sangat terkenal adalah sistem
kekerabatannya yang ditarik dari garis ibu atau lebih dikenal dengan matrilineal. Sistem
matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat
yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki dan
perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke
dalam klan-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris
dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula. Ciri-ciri masyarakat matrilineal
:
- Keturunan dihitung menurut garis ibu
- Suku terbentuk menurut garis ibu
- Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
- Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
- Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali
dipergunakan, sedangkan yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
- Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
- Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara
laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai


sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem
adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak
berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh
dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem
matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak
hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungan
yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klan.

Peranan Laki-laki dan Perempuan di Masyarakat Minangkabau


Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat
peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka
suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan
dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum
tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi
dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato
adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah
gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun
temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau
dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.

- Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak
berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang
diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya.
Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga.
Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau
kaum itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan
sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada
kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat
diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan
mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu
mempunyai laki-laki pewaris. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka
sistem pewarisan sakonya berdasarkan; hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu
pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum
berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara
adatnya gadang balega.

- Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang
berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan
oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan
dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak
mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik
bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada
dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi
dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus
ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;

o Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu.
Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga
hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga,
rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan
apalagi dijual.

o Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini
disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum.
Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum
faraidh, atau hukum Islam.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan
penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat
penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-
undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak
dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur
apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat
menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta
pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan
mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak.
Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau
menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi
lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah
menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah
membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan
kewajiban yang berimbang antar sesamanya

You might also like