Professional Documents
Culture Documents
ACLS
Disusun Oleh :
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
RSUD DR.SLAMET GARUT
2017
1
PENDAHULUAN
2
PEMBAHASAN
3
4. Gangguan asam-basa/elektrolit, seperti kalium serum yang tinggi atau rendah,
magnesium serum rendah, kalsium serum tinggi, asidosis.
5. Kecelakaan, seperti syok listrik dan tenggelam.
6. Reflex vagal, seperti peregangan sfingter ani, penekanan/penarikan bola mata.
7. Anesthesia dan pembedahan
8. Terapi dan tindakan diagnostic medis
9. Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik, anafilaksis)
Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik di dalam jantung.
Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama jantung tetap normal.
Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama jantung yang abnormal, disebut
aritmia. Terdapat banyak tipe dari aritmia, jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu
lambat, atau bahkan dapat berhenti berdetak. Ketika aritmia terjadi, jantung memompa sedikit
atau bahkan tidak ada darah ke dalam sirkulasi.
Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung koroner yang
menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik (perdarahan yang banyak akibat
luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak,
penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan yang
mempengaruhi jantung, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung)
dan obat-obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Selain itu juga disebabkan adanya komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill,
renjatan dan edema paru, emboli paru (karena adanya penyumbatan aliran darah paru),
aneurisma disekans (karena kehilangan darah intravaskular), hipoksia dan asidosis (karena
adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea,
kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat).
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,
umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk
semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya
suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak
mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi
kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
4
- Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai
serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark
miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi
keras dan menyempit akibat sebuah materia (plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri.
Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot
jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya,
sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari
jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
- Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya:
- Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam sengatan listrik.
- Kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang
berat.
- Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah.
- Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki
gangguan jantung
- Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
- Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini
diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki
peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk (struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena cardiac arrest.
- Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan
perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik.
Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau
penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
- Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin,
5
aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang
ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman
pasien, memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau
mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat membantu
menegakkan diagnosis.
- Tamponade Jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak
mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
- Tension Pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus
masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan
menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran
balik ke jantung.
Henti Jantung ditandai dengan denyut nadi besar tak teraba (a.karotis, femoralis dan
radialis pada dewasa dan a.brakhialis pada bayi), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), terlihat seperti mati (death like
appearance), dilatasi pupil tak bereaksi dengan rangsangan cahaya (45 detik setelah henti
jantung) dan pasien berada dalam keadaan tidak sadar.
Kelangsungan hidup dari pasien dengan irama jantung di atas membutuhkan basic life
support (BLS) dan sistem ACLS yang baik serta perawatan jantung pasca arrest yang
terintegrasi. Dasar dari ACLS yang sukses adalah tergantung dari kualitas CPR (Cardiac
Pulmonal Resucitation), dan untuk VF/VT tanpa denyut adalah usaha melakukan defibrilasi.
Untuk korban VF, CPR dini dan defibrilasi cepat secara signifikan dapat meningkatkan
kesempatan untuk bertahan hidup hingga ke rumah sakit. Sebagai perbandingan, terapi
ACLS lain seperti beberapa obat dan tata laksana jalan napas, meskipun dikaitkan dengan
peningkatan ROSC (Return of Spontaneous Circulation), belum terbukti meningkatkan
tingkat kelangsungan hidup hingga ke rumah sakit.
Bantuan Hidup Jantung Dasar sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat
awam di Indonesia dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak
menggunakan obat-obatan dan dapat dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan
singkat. Pedoman Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan sekarang
telah mengalami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Bulan Oktober 2010, American Heart
6
Association (AHA) mengeluarkan pedoman baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam
Bantuan Hidup Dasar ini, terdapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan
Bantuan Hidup Dasar yang telah dikenal sebelumnya, seperti :
Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu satu jenis
keterampilan tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak terputus antara
pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam pertolongan. Keberhasilan pertolongan
yang dilakukan ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan tindakan awal Bantuan Hidup
Jantung Dasar. Para ahli berpikir bagaimana cara untuk melakukan suatu Tindakan Bantuan
Hidup Jantung Dasar yang efektif serta melatih sebanyak mungkin orang awam dan
paramedis yang dapat melakukan tindakan tersebut secara baik dan benar. Secara umum,
pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar
merupakan suatu rantai tak terputus, disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of
survival) :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (Early
Access)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang
dewasa atau sekitar 1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan
anak.
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
7
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest Care)
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer dilakukan baik untuk penderita yang mengalami
henti jantung mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita saksikan atau datang ke Rumah
8
Sakit sudah tidak sadarkan diri. Kita memeriksa respon penderita dengan memanggil dan
menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita bertujuan untuk mengetahui
respon kesadaran penderita (Check responsiveness). Setelah yakin bahwa penderita dalam
keadaan tidak sadar, maka kita meminta bantuan orang lain menghubungi ambulans atau
sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan meminta bantuan datang dengan tambahan
tenaga serta peralatan medis yang lengkap (Call for Help). Jika saat melakukan pertolongan
hanya seorang diri, setelah melakukan pemeriksaan respon kesadaran, penolong segera
menghubungi Rumah sakit terdekat atau ambulans dan melakukan pertolongan awal
kompresi dada dengan dengan cepat dan kuat dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian
bantuan napas 2 kali (1 detik setiap napas bantuan) sampai bantuan datang.
Sebelum melakukan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer , kita harus memastikan
bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan, dilanjutkan dengan
memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta pertolongan untuk mengaktifkan
sistem gawat darurat dan menyediakan AED
Urutan sistematis yang digunakan saat ini adalah C - A – B. Sebelum melakukan
Bantuan Hidup Dasar harus diperhatikan langkah yang tepat dengan melakukan pemeriksaan
terlebih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan (kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu
tidaknya defibrilasi), harus dianalisis secara cepat dan tepat tindakan yang perlu dilakukan.
Sebagai contoh :
Periksa respon penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan sadar atau tidak
sadar
Periksa denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau sebelum melakukan
penempelan sadapan AED.
Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut lsitrik pada
jantung (defibrilasi).
9
3) Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi,
misalnya bayi sangat prematur, anensefali atau kelainan kromosom seperti trisomi 13
Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan
1) Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat,
dekapitasi, atau pembusukan.
2) Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong
3) Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan seperti hangus terbakar,
dekapitasi atau hemikorporektomi.
Tindakan RJP pada Asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan kondisi
sebagai berikut :
10
Usia Muda
Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit
Hipotermia
Overdosis Obat
Usaha bunuh diri
Permintaan Keluarga
Korban tenggelam di air dingin
Teknik Pelaksanaan Survey Primer Bantuan Hidup Dasar (C-A-B -D) :
1. Kita harus memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan
pertolongan. Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras posisi telentang.
2. Dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta
pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED.
3. Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta bantuan
orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan
meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan medis yang lengkap
11
Penolong tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan penderita
menderita henti jantung jika penderita mengalami pingsan mendadak, atau tidak
berespons tidak bernapas, atau bernapas tidak normal.
Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika dalam 10 detik
penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan kompresi dada.
Catatan : Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2 menit Jika tidak
teraba nadi lanjutkan dengan kompresi
4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah
sternum/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line pada
sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan/ sebaliknya. Yang dipakai
adalah tumit tangan, bukan telapak tangan. Hal ini menciptakan aliran darah melalui
peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung. Komponen
yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
Frekuensi minimal 100 kali permenit
Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)
Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter diding anterposterior dada,
atau 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.
Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali sevara sempurna setelah setiap
kompresi.
Seminimal mungkin melakukan interupsi
Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan.
12
Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal, dan biarkan
dada recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan adalah pinggul bukan
bahu. Tekan dada dengan kedalaman minimal 5 cm.
Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi kesempatan venous
return mengisi jantung.
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
“ satu, dua................sepuluh”.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua.... tigapuluh”
13
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan napas
pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas
3. FEEL:
Aliran udara dari mulut/ hidung
Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi
Catatan : Pada kaus henti jantung, RJP berdasarkan AHA 2010, Look, listen Feel dihilangkan
Pada Kasus trauma Look, Listen Feel tetap dilakukan
14
pasien tidak sadar sering tersumbat oleh lidah, epiglotis, dan juga cairan, agar jalan napas
tetap terbuka perlu dilakukan manuver head tilt,chin lift dan juga jaw thrust. Bisa sebagian
atau kombinasi ketiganya (tripple airway manouver). Head tilt dan chin lift adalah teknik
yang sederhana dan efektif untuk membuka jalan napas tetapi harus dihindari pada kasus
cedera tulang leher/servikal.
15
pada pasien yang masih ada refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan
OPA.
Indikasi :
a. Napas spontan
b. Tidak ada reflek muntah
c. Pasien tdk sadar,tdk mampu manuver manual
Komplikasi :
a. Obstruksi jalan napas
b. Laringospasme ~ ukuran OPA
c. Muntah
d. Aspirasi
Cara pemilihan OPA : pangkal OPA pd sudut mulut, ujung OPA pd angulus
mandibula. Apabila terlalu kecil maka tidak dapat efektif membebaskan airway dan dapat
mendorong lidah sEmakin ke belakang. Apabila terlalu besar akan melukai epiglotis,
merangsang muntah dan laringospasme.
Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah agar kepala dan
dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga patensi jalan napas. Lakukan
penyedotan berkala di dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah atau muntahan.
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :
Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan menyebabkan trauma
pada struktur laring.
Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat menekan dasar lidah
dari belakang dan menyumbat jalan napas.
Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma jaringan lunak pada
bibir dan lidah.
2. NASOPHARYNGEAL AIRWAY
Indikasi NPA :
a. Sadar/tdk sadar,
b. Napas spontan,
c. Ada refleks muntah,
d. Kesulitan dg OPA.
Kontraindikasi NPA :
a. Fraktur wajah
16
b. Fraktur tulang dasar tengkorak.
Komplikasi NPA :
a. Trauma,
b. Laringospasme,
c. Muntah,
d. Aspirasi,
e. Insersi intrakranial (pd fr. tlg wajah/tlg. dasar tengkorak)
Pemeliharaan jalan napas perlu dilakukan setelah pembukaan jalan napas, dapat dilakukan
secara manual, dengan alat sederhana ataupun dengan alat bantu lanjut. Dalam pemeliharaan
jalan napas juga perlu dilakukan pemeriksaan sumbatan jalan napas oleh cairan / benda asing
secara berkala menggunakan sapuan jari tangan.
ADVANCED AIRWAY
Ada dua macam ;
1. Non Surgical : Intubasi orotrakea dan nasotrakea
2. Surgical : Krikotiroidotomi dan trakeotomi
INTUBASI ENDOTRAKEA
Adalah proses memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea pasien. Bila pipa
dimasukkan melalui mulut disebut intubasi orotrakea, bila melalui hidung disebut nasotrakea
Kegunaan Pipa endotrakea adalah :
17
1. Memelihara jalan napas atas terbuka (paten)
2. Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
3. Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk memelihara
pengembangan paru yang adekuat
4. Mencegah jalan napas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan dari mulut,
kerongkongan atau jalan napas atas
5. Mempermudah penyedotan dalam trakea
6. Sebagai alternatif untuk memasukkan obat (Nalokson, Atropin, Vassopresin, epinefrin
dan lidokain ; NAVEL) pada waktu resusitasi jantung paru bila akses intravena atau
intraosseus belum ada
INDIKASI
1. Henti jantung, bila ventilasi kantong napas tidak memungkinkan atau tidak efektif
2. Pasien sadar dengan gangguan pernapasan dan pemberian oksigen yang tidak adekuat
dengan alat-alat ventilasi yang tidak invasif
3. Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan napas (pasien koma)
18
tidak konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan bantuan napas antara lain :
Mahasiswa memasang mouth barrier untuk proteksi diri
Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada
Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi
Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil memasukkan
alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal, combitube, atau
sungkup laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik, sehingga
menghasilkan pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak sinkron dengan
kompresi : memberikan bantuan napas tiap 6-8 detik selama kompresi berlangsung,
Ingat Interupsi minimal saat kompresi
Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang buruk memerlukan
bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding dada
terangkat.
Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbulkan
distensi lambung serta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
Cara pemberian napas bantuan :
a. Mulut ke mulut
b. Mulut ke hidung
c. Mulut ke sungkup
d. Dengan Kantung Pernafasan
7. Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis, jika pulsasi tidak ada dan bantuan
belum tiba teruskan RJP. Jika bantuan datang dan membawa peralatan
(AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung dengan menggunakan AED atau
monitor defibrilator. Apabila irama jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila not
shockable teruskan RJP. Ikuti algoritme.
8. Defibrilasi
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk keberhasilan
pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan berikut :
Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak yang
disaksikan di luar rumah sakit adalah Fibrilasi ventrikel
Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi
Kemungkinan keberhasilan tindakan defibrilasi berkurang seiring dengan
bertambahnya waktu
Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalannya
waktu.
19
Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator manual atau
menggunakan Automated External Defibrilator (AED). Penderita dewasa yang mengalami
fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi diberikan energi kejutan 360 J pada
defibrilator monofasik atau 200 J pada bifasik. Pada anak, walaupun kejadian henti jantung
mendadak sangat jarang, energi kejutan listrik diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang
dengan dosis 4-10 J/Kg dan tidak melebihi energi yang diberikan kepada penderita dewasa.
Pada neonatus, penggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan.
Penggunaan defibrilator untuk tindakan kejut listrik tidak diindikasikan pada
penderita dengan asistol atau pulseless electrical activity (PEA)
Shockable Waves
a. PULSELESS VENTRICULAR TACHYCARDIA
b.
VENTRICULAR FIBRILLATION
20
b. Pulseless Electrical Activity (Pea)
21
sampai ke energi yang diinginkan (biasanya ditandai dengan bunyi alarm. satu pedal
diletakkan di apeks jantung dan yang lain diletakkan di sternum dengan disertai
pemberian tekanan sebesar 12,5 kg saat ditempelkan ke dinding dada. Listrik
dialirkan dengan menekan tombol discharge(bergambar listrik) yang berada di kedua
gagang
Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh anggota tim untuk tidak
dengan pasien maupun tempat tidurnya sambil memastikan diri sendiri juga tidak
bersentuhan. Contoh aba-aba:
I’m going to shock on three:
o One, I’m clear
o Two, you are clear
o Three, Every body is clear.
Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua sudah tidak bersentuhan dengan
pasien, lihat ke monitor untuk pastikan irama belum berubah
Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit lakukan evaluasi. Bila
irama yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik (Shockable
rhytm) yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila
irama yang terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2 menit
atau 5 siklus dan penatalaksanaan sesuai algoritma PEA/Asystole.
22
Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar
23
Rekomendasi
Komponen Dewasa Anak Bayi
Pengenalan awal Tidak sadarkan diri
Tidak ada napas Tidak bernapas atau gasping.
atau bernapas
tidak normal
(misalnya
gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan)
Urutan BHD CAB CAB CAB
Frekuensi Kompresi Minimal 100 kali per menit
Kedalaman Minimal 5 cm (2 Minimal 1/3 Minimal 1/3
kompresi inch) diameter diameter
anteroposterior anteroposterior
dinding dada (sekitar dinding dada (sekitar
5 cm/2 inch) 4 cm/ 1.5 inch)
Recoil dinding Recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi.
dada Untuk penolong terlatih, pergantian posisi kompresor
setiap 2 menit.
Interupsi kompresi Interupsi kompresi seminimal mungkin.
Interupsi terhadap kompresi tidak lebih 10 detik.
Jalan napas Head tilt chin lift.
(jaw thrust pada kecurigaan trauma leher – hanya oleh tenaga
kesehatan).
Kompresi 30 : 2 30 : 2 (1 penolong) 30 : 2 (1 penolong)
(1 atau 2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) 15 : 2 (2 penolong)
Ventilasi Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja.
Pada penolong terlatih tanpa alat bantu jalan napas
lanjutan berikan 2 kali napas buatan setelah 30 kompresi.
Bila terpasang alat bantu jalan napas lanjutan berikan
napas setiap 6-8 detik (8-10 kali per menit).
Penderita ROSC, napas diberikan setiap 5-6 detik (10-12
24
kali per menit)
Defibrilasi Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin.
Interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut
listrik.
Lanjutkan RJP, diawali dengan kompresi segera setelah kejut
listrik.
25
26
Gambaran algortima di atas memperlihatkan algoritma pada cardiac arrest
berdasarkan AHA 2010 ACLS. Secara keseluruhan algoritma ini sudah disederhanakan dan
dirancang untuk meningkatkan CPR pada tatalaksana dari cardiac arrest. Periode pause CPR
harus dibuat sesingkat mungkin, hanya pada saat memeriksa irama jantung, shock VF/VT,
periksa nadi, atau memasang advanced airway.
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit 100 kali
permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube, dapat dilakukan
kompresi jantung luar sedikitnta 100 kali permenit, dengan terus melakukan ventilasi tanpa
berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10 kali
permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk menghindari berlebihnya jumlah ventilasi
yang diberikan.
27
keterlambatan defibrilasi.
Tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan waktu tertentu atau urutan (order)
dari pemberian obat dan tata laksana jalan napas lanjutan selama serangan jantung. Dalam
kebanyakan kasus, waktu dan urutan intervensi sekunder ini akan tergantung pada jumlah
penolong dalam resusitasi dan tingkat keterampilan mereka.
Memahami pentingnya mendiagnosa dan mengobati penyebab yang mendasari adalah
penting untuk pengelolaan semua serangan irama jantung. Selama manajemen serangan
jantung, penolong harus mempertimbangkan H dan T untuk mengidentifikasi dan mengobati
faktor yang mungkin telah menyebabkan arrest atau mungkin mempersulit upaya resusitasi.
28
memberikan respon pada CPR, defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika tidak terdapat
amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti, tetapi dari beberapa study
klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat
hanya dapat diberikan pada Torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab reversibel dan
dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada irama sinus. Pada VF/VT
refrakter, ACS atau infark miokardium harus dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi
seperti coronary angiography dan PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass
dapat dilakukan pada kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-
cardiac arrest dapat segera dimulai.
29
volume status, cardiac temponade, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas ventrikel
kiri, dan pergerakan regional wall. Asistole biasanya merupakan end-stage rhythm yang
terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang buruk. Pada pasien yang telah
menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac arrest dapat segera dimulai.
Bradikardi
Bradikardia adalah keadaan denyut jantung kurang dari 60 denyut per menit. Namun,
ketika bradikardia adalah penyebab dari suatu gejala, denyut jantung dapat kurang dari 50
denyut per menit. Denyut jantung yang lambat mungkin fisiologis atau normal untuk
beberapa pasien, sedangkan denyut jantung < 50 denyut per menit mungkin tidak memadai
untuk sebagian orang lain. Algoritma Bradikardia berfokus pada manajemen bradikardia yang
bermakna secara klinis (yaitu, bradikardi yang pantas untuk kondisi klinis). Karena
hipoksemia merupakan penyebab umum dari bradikardia, evaluasi awal dari setiap pasien
dengan bradikardia harus fokus pada tanda-tanda peningkatan kerja pernapasan (takipnea,
retraksi interkostal, suprasternal retraksi, paradoks pernapasan perut) dan saturasi
oksihemoglobin.
30
Takikardi
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan denyut lebih dari 100 denyut per
menit, meskipun, seperti dengan mendefinisikan bradikardia, tingkat takikardia lebih
mungkin disebabkan aritmia dengan denyut lebih dari 150 denyut per menit. Denyut jantung
yang cepat merupakan respons terhadap stres fisiologis (misalnya, demam, dehidrasi) atau
kondisi lain yang mendasarinya. Ketika menghadapi pasien dengan takikardia, upaya yang
harus dilakukan untuk menentukan apakah takikardia adalah mencari penyebab utama dari
gejala yang muncul atau penyebab sekunder untuk kondisi yang mendasarinya. Banyak ahli
menyarankan bahwa ketika denyut jantung >150 denyut per menit, tidak mungkin bahwa
gejala ketidakstabilan disebabkan terutama oleh takikardia kecuali ada gangguan fungsi
ventrikel.
Takikardia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan kompleks QRS,
denyut jantung, dan keteraturan. Profesional ACLS harus mampu mengenali dan
31
membedakan antara sinus takikardia, narrow-complex supraventricular tachycardia (SVT),
dan wide-complex tachycardia.
Narrow–QRS-complex (SVT) tachycardias (QRS <0.12 second)
● Sinus tachycardia
● Atrial fibrillation
● Atrial flutter
● AV nodal reentry
● Accessory pathway–mediated tachycardia
● Atrial tachycardia (including automatic and reentry forms)
● Multifocal atrial tachycardia (MAT)
● Junctional tachycardia (rare in adults)
Wide–QRS-complex tachycardias (QRS >0.12 second)
● Ventricular tachycardia (VT) and ventricular fibrillation (VF)
● SVT with aberrancy
● Pre-excited tachycardias (Wolff-Parkinson-White [WPW] syndrome)
● Ventricular paced rhythms
Evaluasi dan pengelolaan takiaritmia digambarkan dalam algoritma di bawah ini:
32
KESIMPULAN
33
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Bantuan Hidup
Jantung Dasar Adalah pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP
segera serta defibrilasi segera.
Kualitas tinggi tindakan CPR merupakan dasar keberhasilan intervensi ACLS
berikutnya saat terjadi serangan jantung. Selama penyedia layanan kesehatan melakukan laju
resusitasi kompresi dada dan kedalaman yang memadai, memungkinkan dada berdetak
setelah setiap kompresi, meminimalkan gangguan dalam kompresi dada, dan menghindari
ventilasi berlebihan, terutama dengan bantuan jalan napas. Kualitas CPR harus terus
dipantau. Pemantauan fisiologis mungkin berguna untuk mengoptimalkan upaya resusitasi.
Untuk pasien VF / VT tanpa denyut, getaran harus disampaikan segera dengan gangguan
minimal dalam kompresi dada. Peningkatan kualitas CPR, kemajuan dalam perawatan pasca
serangan jantung, dan meningkatkan penerapan secara keseluruhan melalui sistem perawatan
yang komprehensif dapat membantu mengoptimalkan hasil dari pengobatan pasien serangan
jantung yang diobati dengan intervensi ACLS.
34
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2014. Bantuan hidup jantung lanjut (ACLS). Diunduh dari http://www.acls-
indonesia.com/ pada 17 oktober 2014.
Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation 5th edition. BMJ Publishing
Group 2004.
Latief, SA. 2010. Resusitasi Jantung Paru. Dalam buku Petunjuk praktis Anestesiologi edisi
kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Neumar, RW et al. 2010. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care. Dalam jurnal the American Heart Association part 8.
35