Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Para perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi
rentan karena ketidak adilan gender. Demikian dikatakan Assoc. Prof. Dr. Rosalia
Sciortino, Pemerhati/Ahli Sosial Kesehatan pada acara sarasehan ‘Selamatkan Ibu
dan Bayi dari Infeksi HIV’ di Jakarta beberapa waktu lalu.
Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di
Indonesia. Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
Makalah ini mencoba menganalisis hubungan antara gender dan HIV &
AIDS.
1
4. Makalah ini tidak membahas secara medalam mengenai epidemiologi
dari HIV & AIDS.
1.4 Tujuan
2
BAB II
Istilah gender diambil dari kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Faqih,
1999). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab
perempuan dan laki-laki yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan
dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan
sebagai perempuan dan laki-laki yang dibentuk masyarakat, bukan karena
perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara sosial. institusi sosial
memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.
Menurut WHO (2010) perbedaan gender dan sex adalah sebagai berikut:
3
Hubeis (2010:71) memaparkan bahwa memang ada perbedaan mendasar
antara perempuan dan laki-laki dalam ciri biologis yang primer dan sekunder. Ciri
biologis primer yaitu tidak dapat dipertukarkan atau diubah (sulit) dan
merupakan pemberian atau ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kecuali dengan
cara operasi seperti kasus artis Dorce Gamalama yang berubah dari laki-laki
menjadi perempuan, tapi tetap tidak memiliki kemampuan untuk hamil karena
diluar kemampuan medis (ciptaan Tuhan). Begitupun untuk kasus Thomas Beatie
yang berganti kelamin dari perempuan menjadi laki-laki, tapi tetap mampu
mengandung seorang bayi sebab bagaimanapun ia tidak bisa menghilangkan
kodratnya sebagai seorang perempuan, yakni menstruasi, hamil, dan melahirkan.
Adapun ciri biologis sekunder tidak mutlak menjadi milik dari lelaki atau
perempuan, misalnya suara halus dan lembut tidak selalu milik seorang
perempuan karena ada laki-laki yang suaranya halus dan lembut. Begitupun
dengan rambut panjang, juga bukan milik manusia berjenis kelamin perempuan
karena laki-laki pun ada yang berambut panjang (tidak hanya masa sekarang,
dahulu pun tepatnya pada zaman raja-raja masa lalu di Inggris, misalnya, dimana
laki-laki bangsawan juga berambut panjang selain perempuan).
4
terhadap peran dan tingkah laku yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap
terhadap individu yang dianggap berbeda secara signifikan dengan “pola baku”.
Tidak dapat disangsikan lagi bahwa beberapa aspek stereotype gender dan
kepercayaan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan itu memang didasarkan pada realitas. Aspek-aspek ini sekaligus
merupakan pencerminan distribusi perempuan dan laki-laki ke dalam beberapa
peranan yang berbeda. Pada saat yang sama, tidak dapat diragukan lagi bahwa
kepercayaan orang bukanlah merupakan gambaran akurat suatu realitas karena
ia mengandung bias persepsi dan kesalahan interpretasi.
Adapun citra laki-laki dan perempuan ini pertama kali terbentuk mengenai
gambaran ideal tentang laki-laki dan perempuan melalui sosialisasi dalam
5
keluarga. Sosialisasi sendiri merupakan proses yang berlangsung seumur hidup
dan dapat terjadi di berbagai institusi selain keluarga, misalnya sekolah dan
Negara. Identifikai perbedaan laki-laki dan perempuan menurut konsep sex dan
konsep gender:
No LAKI-LAKI PEREMPUAN
7 Memiliki payudara
NO LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 Tegas, gagah Lemah lembut, cengeng
2 Bekerja disektor publik (politik, Bekerja disektor domestik (ibu rumah
ekonomi dan birokrasi) tangga)
3 Lebih cocok sebagai pemimpin Lebih cocok mengurus anak
4 Pembagian warisan Ngidam
5 Kepala rumah tangga Ibu rumah tangga
6 Pencari nafkah Memiliki sifat cemburu
7 Fisiknya lebih tangguh Fisiknya lemah
8 Berpikir lebih menggunakan logika Berpikir lebih menggunakan perasaan
6
Sumber: WHO, 2012
7
ekonomi dan emosional terhadap laki-laki (suami). Walaupun dalam
perkembangan ada beberapa perempuan yang bekerja di bidang publik namun
masih saja masyarakat kita belum mau terbuka akau fenoeman sosial tersebut
karena pada dasarnya konsep budaya patriakhi masih mengakar bukan hanya di
Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
8
2.3 Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam pencegahan HIV
9
proporsional kepada laki-laki dan perempuan. Pemahaman konsep gender amat
penting dalam konteks perawatan orang dengan HIV dan AIDS. Peran dan
tanggung jawab laki-laki dalam perawatan penderita HIV dan AIDS harus
ditingkatkan. Untuk itu, peran perempuan yang selama ini dianggap sebagai
Main Nurturer (Perawat/pengasuh Utama) harus mulai dihilangkan.
10
BAB III
3.1 Kasus
Menurut Dr. Rosalia bahwa perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV,
tetapi mereka menjadi rentan karena ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia
maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi.
Dalam akses layanan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan
dan laki-laki tidak sama. Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit
untuk berubah di Indonesia. Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di
Indonesia.
11
akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa
hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,
merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks
dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat
dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada
kelompok tertentu. Analisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya
pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya.
Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah
analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat
perempuan rentan terhadap HIV. Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV
menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada
individu, bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan
kekuasaan yang berbeda.
3.2 Pembahasan
Isu gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, karena sejak
manusia
lahir di dunia ini telah dibedakan menjadi dua jenis kelamin yang berbeda,
yaitu laki-laki dan perempuan, namun di dalam masyarakat sering kali terjadi
ketidaksetaraan di antara keduanya. Saat ini berbagai upaya telah dibuat untuk
mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.
12
tersebut menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan
kurang sehat dibandingkan laki-laki. Penjelasan terhadap paradoks ini berakar
pada hubungan yang kompleks antara faktor biologis, jenis kelamin dan sosial
(gender) yang berpengaruh terhadap kesehatan.
13
berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat
sesuai dengan persoalannya.
Salah satu persoalan yang cukup dekat dan kerap mendera perempuan dan
penting sekali dipercakapkan adalah masalah HIV/AIDS, secara kuantitas
penyakit ini lebih banyak menyerang kaum perempuan, penderita HIV/AIDS
didominasi kaum yang selama ini dianggap sebagai kelompok nomor dua dalam
sistem sosio-kultural masyarakat.
Pola-pola hubungan semacam ini tampak jelas pada pola hubungan suami
istri secara vertikal. Apa pun yang dikehendaki suami maka si istri harus setia
mengikutinya. Termasuk pada gaya hubungan seksualitas. Jika suami
menghendaki gaya atau berperilaku seksualitas tidak aman, istri tidak boleh
menolaknya. Sehingga berakibat pada kemungkinan besar penularan PMS
(Penyakit Menular Seksual), seperti penularan HIV/AIDS terhadap istri yang
dibawa oleh suami, karena penyebab HIV.
14
Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap sulitnya perempuan untuk
masuk ke wilayah-wilayah publik guna mengaktualisasikan dirinya melalui bidang
profesi yang bisa dibanggakan, sehingga banyak diantara mereka yang terpaksa
memilih profesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks
komersial (PSK) untuk menunjang kehidupan perekonomiannya. Kondisi ekonomi
juga mendorong perempuan terjebak dalam perkawinan yang penuh kekerasan
atau menjadi korban trafficking, merupakan kondisi-kondisi yang kerap
menjerumuskan perempuan dalam hubungan seksual dengan laki-laki yang HIV
positif tanpa perlindungan.
15
Berbeda dengan perempuan. Apakah seorang perempuan telah terjangkit
suatu penyakit seksual tertentu atau tidak, sulit mendeteksinya sejak dini. Sebab
alat reproduksi perempuan berada di dalam organ tubuh sehingga
penanganannya relatif mengalami keterlambatan. Permukaan (mukosa) genital
perempuan juga lebih luas dibanding permukaan alat kelamin laki-laki, dan
karena di dalam tubuh, menjadi semacam wadah penampung, tentu
mempermudah penularan PMS.
Selain tiga kerentanan di atas, satu hal lagi yang menyebabkan penderita
HIV/AIDS lebih banyak menimpa kaum perempuan adalah stereotipe. Memberi
stereotipe pada perempuan banyak sekali menimbulkan ketidakadilan dan
merugikan perempuan. Stereotipe ini bersumber dari pandangan gender yang
keliru.
16
pencegahan penularan HIV/AIDS dewasa ini didasarkan pada upaya pemantapan
atau modivikasi peran gender.
17
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
4.1 Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19