You are on page 1of 2

Pendidikan dan Tantang Revolusi Industri 4.

Industri 4.0 kedepan menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Hal itu terutama
dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat. Menurut analis
Horace H. Dediu melalui akun blognya (asymco.com) pada 2014 lalu menempatkan
Indonesia diurutan kelima sebagai konsumen ponsel pintar (dibawah Brazil dan Jepang),
yaitu mencapai 47 juta pengguna aktif, atau 14 persen dari total pengguna ponsel pintar,
dan bisa dipastikan akan semakin meningkat. Demikian itu dibuktikan melalui data yang
dirilis oleh International Data Corporatian (IDN) bahwa pada kuartal kedua 2018
pengiriman ponsel pintar (smartphone) ke Indonesia sebesar 9,4 juta unit, meningkat 18
persen dari tahun sebelumnya.
Mengenai ponsel pintar, tentu bisa dikatakan sebagai anak kandung yang lahir dari janin
revolusi industri 4.0 itu sendiri. Dimana yang dulunya hanya digunakan sebagai alat
kemunikasi, sekarang telah menjadi instrumen terpenting untuk keberlangsungan hidup.
Hal tersebut dipengaruhi oleh peralihan fungsi, yaitu dari alat untuk memenuhi kebutuhan
sekunder (komunikasi), menjadi alat pendukung kebutuhan primer. Dengan kata lain,
sandang, pangan dan papan telah bisa diakses dengan mudah melalui alat tersebut.
Seturut dengan besarnya angka konsumen seperti yang diuraikan dimuka. Menjadi
pertanyaan apakah dapat sejalan dengan daya produktifitas masyarakat Indonesia dalam
menciptakan inovasi? Khususnya dibidang tekonologi. Sebab bukan sebuah
keniscayaan bahwa dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang menggunakan
teknologi, maka secara otomatis juga akan merangsang ide dan gagasan untuk
menciptakan teknologi-teknologi baru. Apalagi jika disertai oleh masalah dalam negeri,
semisal pendidikan, kemiskinan, lapangan kerja, korupsi, penegakan hukum dst, yang
lazimnya menjadi kendala utama terhadap kemajuan di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Merespon pertanyaan diatas, perlu juga diidentifikasi skala prioritas penggunaan ponsel
pintar oleh masyarakat Indonesia. Bahwa benar adanya, tidak sedikit pengguna ponsel
pintar hanya berlabu diberanda media sosial, dan kabar buruknya hanya sekedar
menunjukan eksistensi individual berupa foto, video, serta konten-konten yang bersifat
obsesi semata, selain dari memproduksi asumsi-asumsi mengenai perpolitikan Indonesia
dewasa ini.
Oleh sebab itu indikator utama yang perlu diperhatikan untuk menopang produktifitas
masyarakat yaitu tidak lain adalah pendidikan. Sebagaimana terlampir dalam anggaran
belanja pemerintah pusat pada 2018 lalu, pemerintah telah menggelontorkan dana
sebesar Rp149,680 triliun untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakat akan
pendidikan. Namun, secara kasat mata belum sepenuhnya mampu terpuaskan.
Diantaranya ditandai oleh menggelembungnya protes dijagad publik terkait gaji guru
honorer yang relatif sangat rendah, dan sebagian dalih yang diutarakan adalah soal
kesejajaran tupoksi dan kemanfaatan antara guru honorer dan guru PNS dalam
fungsinya sebagai perangkat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari keseluruhan penguraian diatas, yaitu antara jumlah konsumen ponsel pintar yang
kian hari semakin membengkak dan persoalan pendidikan yang tidak kunjung ter-cover.
Maka, langkah pertama yang mesti ditempuh adalah perbaikan alokasi dana terhadap
tenaga kerja guru, khususnya guru honorer, yang itu disertai dengan usaha perbaikan
kualitas pembelajaran. Setelah itu barulah dikonstruksikan satu sistem belajar mengajar
yang searah dengan perkembangan teknologi. Terutama pola edukasi terhadap
pemanfaatan ponsel pintar. Memang, konsep tersebut terdengar konyol, terutama
bagaimana sistem edukasi yang berbasis ponsel pintar. Akan tetapi jika ditelisik lebih
dalam, terutama bagi mereka yang lahir di tahun 2000 –an keatas, sangat dekat dengan
benda berlayar mini tersebut.
Jelasnya, yang melatarbelakangi format pendidikan berbasis ponsel pintar tersebut
adalah adanya pergeseran pola komunikasi. Seorang guru sulit untuk membatasi
penggunaan ponsel pintar oleh anak didiknya, bahkan ketika di jam pelajaran
berlangsung. Apalagi dengan banyaknya kasus pelaporan terhadap guru yang dianggap
melakukan kekerasan kepada anak didik. Mengakibatkan banyaknya guru yang hanya
sekedar menggugurkan kewajiban menyampaikan materi sesuai kurikulum, tanpa
mencoba menghegomoni murid agar memahami apa yang diajarkannya.

You might also like