You are on page 1of 3

Nama : Fachri Ahmad Difinubun

Alamat : Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur


Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta
Organisasi : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Judul Opini : Belajar Dari OTT KPK

Korupsi dari masa ke masa selalu menjadi momok paling menakutkan, khususnya
bagi kestabilan ekonomi bangsa. Sepertinya tidak ada satu media cetak atau online
yang melewatkan sehari tanpa opini dan pemberitaan tentang korupsi, terutama
yang dilakukan oleh pemangku kepetingan publik.

Terhitung dari setelah era-reformasi tercetus pada 1998. Sebagian besar cita-cita
dan orientasi penegakan hukum di Indonesia mulai terfokus pada persoalan, yang
istilahkan oleh Monang Siahaan sebagai tindakan pembusukan (korupsi). Upaya
tersebut ditandai oleh pembentukan KPK sebagai lembaga yang berkonsentrasi
menangani setiap kasus yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

Setelah reformasi bergulir, dan KPK diperkuat oleh tenaga ahli yang kompeten serta
anggaran yang cukup fantastis. Tetap saja, para pelaku korupsi masih memiliki
banyak celah untuk mengantongi anggaran negara secara melawan hukum (ilegal).
Akibatnya, alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun
menjadi mubazir.

Kasus terbaru yang menjerat Romahurmuzy, mantan ketua umum Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) atas dugaan suap atau jual beli jabatan yang diberikan oleh
beberapa bejabat Kemenag Jawa Timur menjadi bukti bahwa korupsi seolah
menjadi sebuah kelaziman. Korupsi tidak lagi dianggap tabu, bahkan jika itu
dilakukan oleh tokoh agama sekalipun.

Oleh karena kasus (OTT) yang dilakukan oleh KPK di wilayah Jawa Timur. Maka,
salah satu indikator lemahnya KPK bisa jadi bertitik pada fungsi pengawasan yang
terpusat di Ibu Kota Negara. Hal itu juga diakibatkan oleh KPK yang cenderung pasif
dalam memerhatikan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang terjadi di daerah,
terutama pada upaya pencegahan.

Selain itu OTT oleh KPK pada beberapa tahun belakangan tidak serta merta
menunjukan keberhasilan lembaga edhoc ini dalam pemberantasan korupsi.
Sebaliknya, banyaknya OTT justru akan menggiring opini publik bahwa diagram
korupsi kian hari semakin melonjak. Sebab, walaupun pemerintah telah
memperketat pengawasan terhadap aliran dana yang disalurkan kepada masyarakat
melalui lembaga negara. Tangan mereka (koruptor) masih dengan ringan
mengantongi dana tersebut untuk kepentingan pribadi. Artinya, belum atau tidak
sama sekali adanya ketakutan terhadap besar kecilnya kemungkinan bakal
ditangkap KPK.

KPK Di Daerah
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa KPK tidak hanya bekerja sebagai intrumen
penegakan hukum dibidangnya. Tetapi juga, sebagaimana yang diamanantkan oleh
undang-undang, KPK difungsikan sebagai instrumen pencegahan terhadap
kejahatan berkategori extra ordinary crime tersebut.

Tercatat, sepanjangan tahun 2018 KPK telah mentersangkakan 29 kepala daerah


(lihat infografis kompas.com). Hal itu menujukan bahwa tidak hanya di pusat, di
daerah pun korupsi merajalela. Bahkan lebih leluasa beraksi karena lagi-lagi kiblat
pemberantasan korupsi masih berada di pusat. Gedung seluas 39.292 meter persegi
dengan ketinggian 16 lantai tersebut berdiri tunggal, tanpa cabang atau ranting
untuk menggalakkan pencegahan tindak pidana korupsi yang terjadi di daerah.

Selain itu sistem desentralisasi yang membebaskan daerah untuk mengelola


perputaran sumber perekonomian secara mandiri. Seharusnya bisa dijadikan
sebagai alasan yang cukup logis agar mendirikan lembaga yang memiliki fungsi
subordinasi dengan KPK . Akibatnya pegawai KPK yang jumlahnya 1.557 tersebut
tidak bertumpuk di pusat, tetapi didistribusikan ke daerah melalui lembaga tersebut.
Sehingga kasus-kasus korupsi yang berada tiap daerah juga dengan cepat
ditangani.

Satire Gusdur

Penerbit Yrama Widya pada 2013 silam menerbitkan buku yang berjudul “Gusdurku,
Gusdur Anda Gusdur Kita” karangan Muhammad AS Hikam, seorang sahabat, murid
sekaligus ajudan pribadi (bisa dibilang) Presiden ke-4 RI, Abdurahman Wahid, atau
biasa disapa dengan sebutan Gusdur.

Buku tersebut menceritakan riwayat perjalannya bersama Gusdur semasa hidupnya,


berikut bagaimana Gusdur menyindir para koruptor, kader parpol yang korupsi.
Tentu dengan bahasa yang khas, yaitu yang mengundang gelak tawa. Kalau boleh
saya mengutip sub-bab buku tersebut, bunyinya akan seperti berikut ini :

29. Sekjen Parpol dan Koruptor

Sekjen (S) sebuah parpol bicara di depan Wartawan (W)

S : (berapi-api) “Tidak ada tempat bagi KORUPTOR di partai kami.”

W-1 : “Lho kan ada yang sedang diperiksa KPK dari partai Anda?”

S : “Itu kan baru terperiksa.”

W-2 : “Lha yang jadi tersangka KPK?

S : “Itu baru tersangka. Biarkan proses hukum berjalan.”

W-3 : “Tapi kan ada yang jadi terdakwa, Pak?”

S : “Sama saja, status mereka masih terdakwa, belum selesai.”


W-4 : (penasaran) “Bagaimana dengan anggota DPR partai Anda yang sudah
divonis masuk bui?

S : (santai) “Itu kan terpidana korupsi. Saya bilang tidak ada tempat buat
KORUPTOR, kan?”

W : (semua) “???@@***???”

You might also like