You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal


anus atau tertutupnya anus secara abnormal. Beberapa kelainan kongenital
dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit atresia ani, namun hanya 2
kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni down syndrome
(5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma,
maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis
dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).

Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit atresia ani.
Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan rasio laki-laki:
perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk
Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, Caucassian 1,5 dalam
10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran (Holschneider dan Ure,
2005; Kartono,1993). Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang
diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan
tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24
keluarga).

Atresia ani dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran


kemih yang bisa berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur bedah),
komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat
konstriksi jaringan perut dianastomosis), masalah atau k elambatan yang
berhubungan dengan toilet training, inkontinensia (akibat stenosis awal atau
impaksi), prolaps mukosa anorektal dan fistula (karena ketegangan diare
pembedahan dan infeksi). Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif
petugas kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

1
Hal ini dilakukan dengan pendidikan kesehatan, pencegahan, pengobatan
sesuai program dan memotivasi klien agar cepat pulih sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Apakah pengertian dari Atresia ani?
1.2.2 Bagaimana etiologi atresia ani pada anak?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi atresia ani?
1.2.4 Bagaimana Manifestasi klinis atresia ani?
1.2.5 Bagaimana klasifikasi atresia ani?
1.2.6 Apa saja komplikasi atresia ani?
1.2.7 Bagaimana pemeriksaan fisik pada atresia ani?
1.2.8 Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?
1.2.9 Apa diagnose yang sering muncul pada atresia ani?
1.2.10 Apa saja perencanaan pada diagnose atresia ani?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari Atresia ani
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi atresia ani pada anak
1.3.3 Untuk mengetahui patofisiologi atresia ani
1.3.4 Untuk mengetahui Manifestasi klinis atresia ani
1.3.5 Untuk mengetahui klasifikasi atresia ani
1.3.6 Untuk mengetahui komplikasi atresia ani
1.3.7 Untuk mengetahui pemeriksaan fisik pada atresia ani
1.3.8 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani
1.3.9 Untuk mengetahui diagnose yang sering muncul pada atresia ani
1.3.10 Untuk mengetahui perencanaan pada diagnose atresia ani

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 DEFINISI

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang


atau saluran anus (Wong, D.L., 2003).

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L.A,
2002).

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal


anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi&Yuliani, R. 2001).

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu
kelainan bawaan dimana tidak terdapat lubang atau saluran anus.

2.2 ETIOLOGI

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi
dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik di daerah
usus, rectum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu ke empat sampai keenam usia kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

2.3 PATOFISIOLOGI

3
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak
ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10
mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak
ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan fekal tidak
dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.


Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir
ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini
biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada
wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke
vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektourethralis).

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
(FKUI, 1985)

1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.

4
4. Distensi bertahap dengan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula).

5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

6. Pada pemeriksaan rectaltouche terdapat adanya membran anal.

7. Perut kembung. (Aplikasi Nanda NIC&NOC:2013).

2.5 KLASIFIKASI
1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir diatas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. letak upralevator biasanya disertai dengan fistel
ke saluran kencing atau saluran genitalia.
2. Intermediate : rectum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rectum berakhir di bawah M. levator ani sehingga
jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
2.6 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:

1. Asidosis Hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat
kontriksi jaringan perut dianastomosis)
5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
7. Prolaps mukosa anorektal
8. Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi)

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer
yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi
terdenganhiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja
dalam urin dan vagina.

5
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai


berikut :

a. `Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
c. Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
d. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
e. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
f. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
g. Pemeriksaan fisik rectum
h. Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
i. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bias digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2.9 DIAGNOSA
1. Diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
2. Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder
dari kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme
sekunder terhadap luka kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

2.10 PERENCANAAN

6
1. Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan
teratur.
Kriteria hasil:
1. Penurunan distensi abdomen.
2. Meningkatnya kenyamanan.

Intervensi:

1. Lakukan enema atau irigasi rektal.


2. Kaji bising usus dan abdomen.
3. Ukur lingkar abdomen

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


menurunnya intake, muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
1. Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2. Capillary refill 3-5 detik.
3. Turgor kulit baik.
4. Membran mukosa lembab.

Intervensi:

1. Pantau TTV.
2. Monitor intake-output cairan.
3. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.

c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan


tentang penyakit dan prosedur perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
Klien tidak lemas.
Intervensi:
1. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang
anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal.
2. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

2. Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:

7
1. Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
2. Klien tidak meringis kesakitan.

Intervensi

1. Kaji skala nyeri.


2. Berikan lingkungan yang tenang.
3. Atur posisi klien.
4. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma


sekunder dari kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1. Penyembuhan luka tepat waktu.
2. Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.

Intervensi

1. Kaji area stoma.


2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar
pada area stoma.
3. Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4. Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓ kantong.
5. Lakukan perawatan luka kolostomi.

c. Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder


terhadap luka kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2. TTV normal.
3. Leukosit normal.

Intervensi

1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.


2. Pantau TTV.
3. Pantau hasil laboratorium.
4. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
5. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.

8
Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1. BAB normal.
2. Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.

Intervensi:

1. Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.


2. Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3. Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan
mengandung tinggi serat jika konstipasi.
4. Lakukan perawatan kolostomi.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.
Kriteria hasil:
Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi
dirumah.
Intervensi:
1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai
mereka dapat melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan
melakukan dilatasi pada anal secara tepat.
4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

9
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Atresia anus artinya anus tidak ada atau tidak berada pada tempatnya.
Atresia anus merupakan kelainan dalam perkembangan bayi saat masih dalam
kandungan, penyebabnya tidak diketahui, tetapi diduga factor genetic sedikit
berperanan diagnosis dibuat segera setelah bayi dilahirkan (rutinitas/SOP,
dimana tiap bayi baru lahir diperiksa anusnya ada atau tidak, tesumbat atau
tidak.

Namun demikian terjadi juga keadaan ini tidak terdeteksi, dan baru
diketahui setelah bayi tidak biasa BAB dan terlihat gejala sumbatan diusus.
Untuk memastikan jenis atresia dan posisinya pastinya, dilakukan
pemeriksaan ronsen plus zat kontras. MRI atau CT Scan dan juga bisa
menentukan jenis dan ukuran atresia.

Tindakan pembedahan merupakan satu-satunya cara pengobatan atresia


ani. Yaitu berupa membuat saluran darurat di dinding perut bayi (colostomy)
untuk menyalurkan feses, beberapa bulan kemudian baru dipindahkan
kebagian anusnya.

3.2 SARAN

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan


serta wawasan pembaca. Selanjutnya kami pembuat makalah mengharapkan
kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik.
Edisi ke-3 .Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta : EGC.

DoengoesMerillynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Kusuma, H.& Nurarif, A.H. 2013. Aplikasi NANDA & NIC NOC. Edisi Revisi
Jilid 1. Yogyakarta.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri


Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (AlihBahasa). edisi ke-4. Jakarta : EGC.

11

You might also like