You are on page 1of 10

LAPORAN KEPANITERAAN BEDAH MULUT

JOURNAL READING
Surgical Uprighting merupakan Prosedur yang Berhasil untuk
Penatalaksanaan Impaksi Molar Dua Mandibula

Disusun oleh:
TANG SZE MUN
13/355833/KG/09647

Pembimbing:

drg. Cahya Yustisia Hasan, Sp. BM.

BAGIAN ILMU BEDAH MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
Surgical Uprighting merupakan Prosedur yang Berhasil untuk
Penatalaksanaan Impaksi Gigi Molar Dua Mandibula
Tujuan: Impaksi gigi molar dua rahang bawah dapat menyebabkan karies dan resorpsi akar
pada molar berdekatan dan dapat memperpanjangkan perawatan ortodontik. Surgical
uprighting merupakan salah satu pilihan perawatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
1) mengevaluasi hasil radiografi surgical uprighting impaksi gigi molar dua mandibula dan
2) mengusulkan etiologi terjadi impaksi.

Bahan dan Metode: Ini adalah penelitian kohort retrospektif dari pasien yang gigi molar
kedua rahang bawahnya telah dirawat dengan surgical uprighting dan mempunyai foto
panaromik praoperatif dan pasca operasi setidaknya 12 bulan dan kelompok kontrol yang
terdiri dari pasien yang menjalani perawatan ortodontik rutin disesuaikan usia dan jenis
kelamin. Variabel prediktor termasuk usia, jenis kelamin, tipe impaksi, sudut impaksi
praoperatif, tingkat tulang periodontal praoperatif distal ke molar pertama yang berdekatan,
ruang erupsi posterior, patologi, dan ekstraksi bersamaan molar tiga yang berdekatan.
Variabel hasil adalah perubahan dalam tipe impaksi, tingkat tulang periodontal pasca operasi
pada sekitar molar pertama dan kedua, sudut gigi pasca operasi dan ruang erupsi posterior,
radiolusensi periapikal, obliterasi pulpa, resorpsi akar, dan kebutuhan ekstraksi. Statistik
deskriptif dihitungkan.

Hasil: Kelompok sampel dan kelompok kontrol terdiri dari 16 pasien masing-masing. Usia
rata-rata pada radiografi pertama adalah 13 ± 1,1 tahun untuk kelompok sampel dan 13,19 ±
0,61 tahun untuk kelompok kontrol, rata-rata radiografi follow-up diperoleh 2,4 ± 1,4 dan
2,3 ± 0,82 tahun kemudian. Tidak ada gambar preoperatif menunjukkan lesi patologis yang
mengganggu erupsi. Pasca operasi, semua molar yang telah ditegak adalah Pell dan Gregory
tipe IA. Rata-rata perubahan pada sudut gigi tegak adalah 23,5 ± 16,1 (P <0,001). Rata-rata
tingkat tulang distal dari molar pertama yang berdekatan adalah 3,41 ± 1,52 mm sebelum
operasi dan 1,45 ± 0,54 mm pasca operasi (perbaikan sebanyak 42,5%; P <0,001). Ruang
erupsi posterior sebelum operasi adalah 53,6% lebih panjang dalam kelompok kontrol
daripada kelompok sampel (P <0,001), dan peningkatan jarak ini pasca operasi lebih besar
untuk kelompok sampel daripada untuk kelompok kontrol (P <0,001). Pulpasi obliterasi (n
= 6; 31,5%), radiolusensi periapikal (n = 2; 10,5%), dan resorpsi akar (n = 1; 5,3%) tampak
pada radiografi pasca operasi. Ada 2 kegagalan (10,5%).

Kesimpulan: Surgical uprighting molar dua rahang bawah merupakan prosedur yang
berhasil dengan tingkat kegagalan yang rendah. Ruang yang tidak mencukupi untuk erupsi
merupakan etiologi utama untuk impaksi.
I. PENDAHULUAN

Impaksi gigi molar dua rahang bawah terjadi pada remaja sebanyak 0,03 hingga 0,65% dan
biasanya terdeteksi pada usia 11 hingga 13 tahun. Impaksi molar dua paling sering terjadi
pada mandibula, unilateral, dan biasanya miring ke arah mesial. Impaksi gigi molar dua
dapat menyebabkan karies dan resorpsi akar pada molar yang berdekatan dan
memperpanjangkan perawatan ortodontik.

Etiologi impaksi ini termasuk 1) ruang yang tidak memadai untuk erupsi; 2) kurangnya
bimbingan oleh akar distal gigi molar pertama karena jarak yang berlebihan antara molar
pertama dan kedua, ini mungkin sebagai akibat kehilangan prematur molar primer; 3)
kurangnya gerakan mesial dari molar pertama permanen karena terjadi ankilosis pada molar
primer; dan 4) Patologi yang menghambat erupsi (misalnya, kista dentigerous).

Teknik untuk mengelola impaksi molar dua termasuk reposisi ortodontik, surgical
uprighting, dan ekstraksi dengan atau tanpa transplantasi molar tiga ke situs ekstraksi.
Keuntungan surgical uprighting adalah reposisi immediate. Karena trauma lokal terjadi pada
gigi molar dua selama prosedur, kemungkinan ada risiko hilangnya vitalitas pulpa dan terjadi
komplikasi lainnya. Literatur saat ini mengenai hasil dari surgical uprighting terbatas dan
sebagian besar terdiri dari laporan kasus.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengevaluasi hasil radiografi surgical uprighting
impaksi gigi molar dua mandibula dan 2) mengusulkan etiologi impaksi molar dua. Para
penulis berhipotesis bahwa surgical uprighting gigi molar dua rahang bawah mungkin
menjadi teknik yang berhasil dengan tingkat kegagalan yang rendah dan etiologi impaksi
yang paling mungkin adalah ruang erupsi yang tidak memadai. Tujuan khusus adalah untuk
merekap perubahan posisi dan angulasi gigi molar yang menegak, untuk membandingkan
ruang yang tersedia untuk erupsi molar dua antar pasien dengan gigi molar dua yang telah
tegak dengan pasien kontrol dengan molar dua yang telah erupsi,dan mengakses gigi yang
telah direposisi.
II. MATERI DAN METODE
A. Rangka Studi Dan Sampel
Untuk menanggapi persoalan penelitian ini, penulis mengimplementasikan
studi kohort retrospektif bagi pasien yang sudah melakukan pembedahan bagi
menegakkan gigi molar kedua mandibula dengan kontrol yang sepadan yang sudah
erupsi gigi molar kedua mandibula. Penelitian ini telah diakui oleh dewan peninjau
kelembagaan komite pada penyelidikan klinis di Boston Children's Hospital (Boston,
MA; protokol nomor P00007281).

Kelompok subjek terdiri dari pasien yang memiliki setidaknya 1 impaksi gigi
molar dua rahang bawah yang telah tegak dari 2003 hingga 2015 di Departemen
Bedah Plastik dan Mulut di Rumah Sakit Anak Boston. Untuk dimasukkan dalam
sampel penelitian, pasien harus memiliki radiografi panoramik pra operasi (T0) dan
setidaknya 12 bulan pasca operasi (T1). Radiografi T1 diambil pada akhir perawatan
ortodontik atau untuk evaluasi molar ketiga. Pasien yang tidak memiliki radiografi
yang memadai akan dikecualikan. Kelompok kontrol dengan usia dan jenis kelamin
yang dcocok termasuk pasien dari Departemen Kedokteran Gigi di Rumah Sakit
Anak Boston dengan gigi molar dua rahang bawah yang erupsi dan posisi normal
dan memiliki radiografi panoramik pada usia yang sama dengan kelompok perlakuan
(T0 dan T1) sebagai bagian dari perawatan klinis rutin untuk evaluasi erupsi gigi dan
waktu untuk perawatan ortodontik.

B. Teknik Operasi

Setelah anestesi, flap mucoperiosteal dielevasi dari distal ke molar pertama.


Ostektomi dilakukan sesuai kebutuhan dengan bor bedah untuk mengekspos molar
kedua, dan melakukan debridement jaringan lunak di sekitar mahkota. Elevator
digunakan untuk menerapkan tekanan distal dan oklusal ke gigi sampai batas
marginal mesial dari molar kedua berada pada tingkat yang sama dengan batas
marginal distal dari molar pertama yang berdekatan. Jika gigi molar dua tidak dapat
ditegakkan ke posisi ini secara memadai, maka molar ketiga diambilkan
menggunakan teknik standar dan prosedur penegakkan molar kedua diulang. Jika
gigi molar kedua berhasil ditegakkan tanpa menghilangkan gigi molar ketiga, maka
molar ketiga tetap di tempatnya. Luka diirigasi dan ditutup dengan suturing gut
kromik 3-0. Jika diperlukan untuk menambahkan stabilitas, maka pemasangan
ortodontik terikat pada permukaan facial molar kedua yang tegak dan molar pertama
yang berdekatan (jika pasien tidak memiliki peralatan orthodontic), dan kawat
pengikat 28-gauge diikat pada figur-of-8 pada sekitar 2 attachments. Pasien
diinstruksikan untuk menghindari menggigit terlalu kuat pada gigi tegak selama 2
minggu.

C. Variabel

Variabel prediktor termasuk usia, jenis kelamin, jenis impaksi (seperti yang
didefinisikan oleh klasifikasi Pell dan Gregory), sudut preoperatif dari sumbu
panjang gigi impaksi, tingkat tulang periodontal preoperatif distal ke molar pertama
yang berdekatan, '' ruang erupsi posterior '' preoperatif didefinisikan sebagai jarak
horizontal dari titik kontak distal dari molar pertama ke titik yang paling inferior pada
ascending ramus, keadaan patologi dalam perjalanan erupsinya, dan ekstraksi
bersamaan molar ketiga yang berdekatan. Variabel hasil utama adalah keberhasilan
atau kegagalan prosedur, dengan kegagalan didefinisikan sebagai kebutuhan untuk
pencabutan gigi reposisi selama periode tindak lanjut (follow-up). Variabel hasil
sekunder termasuk perubahan dalam klasifikasi Pell dan Gregorius, sudut sumbu
panjang pasca operasi, tingkat tulang periodontal pasca operasi pada aspek distal
molar pertama yang berdekatan serta pada aspek mesial dan distal molar kedua, ruang
erupsi posterior pascaoperasi, kemunculan periapikal radiolusensi, pulpa obliterasi,
atau resorpsi akar.

D. Metode Pengumpulan Data

Evaluasi radiografi dilakukan menggunakan Dolphin Imaging 11.8 (Dolphin


Imaging dan solusi Manajemen, Chatsworth, CA). Alat penggaris dikalibrasi antara
gambar-gambar dari pasien yang sama menggunakan petanda tidak berubah yaitu
jarak antara titik kontak distal gigi molar pertama rahang atas pada setiap sisi. Alat
sudut 3-titik digunakan untuk menentukan sudut yang dibentuk oleh sumbu panjang
dari molar kedua yang impaksi dan bidang oklusal mandibula. Jarak dari titik kontak
distal molar pertama rahang bawah ke titik paling inferior pada ramus ascending
(ruang erupsi posterior) dihitung pada setiap radiografi (Gambar 1). Untuk
meminimalkan kesalahan dari distorsi gambar panoramik, pengukuran jarak relatif
digunakan daripada jarak absolut untuk evaluasi ruang erupsi posterior. Untuk
pengukuran tinggi tulang periodontal, rata-rata lebar mesiodistal molar pertama
mandibula sebesar 11 mm digunakan untuk penggaris kalibrasi, dan kalibrasi ini
dilakukan pada setiap gambar sebelum pengukuran. Jarak dari cementoenamel
junction gigi ke puncak tulang alveolar ('' tinggi tulang periodontal '') diukur pada
aspek distal gigi molar pertama pada sisi prosedur penegakan dalam semua radiografi
pra- dan pasca operasi dan pada aspek mesial dan distal dari molar kedua yang
ditegakkan pada gambar pasca operasi (Gambar 2). Gambar pra operasi dinilai untuk
patologi koronal terhadap gigi molar kedua yang impaksi. Gambar pasca operasi
dievaluasi untuk radiolusensi periapikal yang tidak ada sebelum operasi, resorpsi
akar internal atau eksternal, dan penurunan ukuran ruang pulpa ('‘pulpal
obliteration’').

E. Analisis Data

Statistik deskriptif dihitung. Wilcoxon signed rank test digunakan untuk menguji
perbedaan antara nilai dan kelompok pra operasi dan pasca operasi. Uji t sampel
independen digunakan untuk membandingkan efek ekstraksi bersamaan molar ketiga
rahang bawah pada perubahan ruang erupsi posterior. Uji independensi χ2
digunakan untuk menguji hubungan antara keberhasilan versus kegagalan dan
variabel prediktor kategoris serta regresi logistik digunakan untuk menguji hubungan
ini dengan variabel prediktor kontinyu. Semua analisis dilakukan menggunakan
SPSS Statistics 23.0. (IBM Corp, Armonk, NY) dan signifikansi ditetapkan pada
nilai P kurang dari .05.
III. HASIL PENELITIAN
A. Metode Pengumpulan Data

Sembilan puluh tujuh pasien menjalani operasi bedah penegakkan impaksi gigi molar
kedua rahang bawah selama periode penelitian. Sebagian besar dikecualikan karena
mereka tidak memiliki radiografi panoramik T0 dan T1. Kelompok perawatan
terakhir termasuk 16 pasien (68,7% perempuan) dengan 19 molar kedua yang telah
ditegakkan. Usia rata-rata pada saat prosedur (T0) adalah 13 ± 1,1 tahun (kisaran, 11
hingga 15,2 tahun) dan rata-rata radiografi saat tindak lanjut (T1) diperoleh 2,4 ± 1,4
tahun kemudian (kisaran, 12 onths sampai 5 thn). Molar ketiga yang berdekatan
dihilangkan dalam 50% kasus. Tidak ada gambar preoperatif menunjukkan lesi
patologis pada jalur erupsi molar kedua, dan tidak ada lesi yang diidentifikasi
intraoperatif. Kelompok kontrol termasuk 16 pasien (75% perempuan) dengan usia
rata-rata pada saat radiografi pertama (T0) 13,2 ± 0,6 tahun (kisaran, 12 hingga 14,5
tahun). Radiografi berikutnya (T1) diperoleh pada rata-rata tindak lanjut 2,3 ± 0,8
tahun (kisaran, 1,1-3,7 tahun). Tidak ada perbedaan yang relevan secara statistik
dalam jenis kelamin, usia, atau waktu tindak lanjut antara 2 kelompok.

B. Tipe Dan Angulasi Impaksi

Untuk kelompok perlakuan, distribusi impaksi pada T0, berdasarkan klasifikasi Pell
dan Gregorius, adalah tipe IA (n = 5; 26,4%), tipe IB (n = 9; 47,3%), tipe IC (n = 1;
5.3%), tipe IIB (n = 3; 15.7%), dan tipe IIC (n = 1; 5.3%). Pada T1, semua geraham
ditegakkan adalah tipe IA. Sudut rata-rata dari sumbu panjang gigi yang impaksike
bidang oklusal adalah 122,6 ± 34,9 pada T0 dan 100,3 ± 20,1 pada T1 (perubahan
rata-rata, 22,3 ± 16,1; P <.001; Gambar 3).

C. Ketinggian Tulang Periodontal

Untuk kelompok perlakuan, rata-rata tinggi tulang periodontal distal pada molar
pertama yang berdekatan adalah 3,41± 1,52 mm pada T0 dan 1,45 ± 0,54 mm pada
T1 (peningkatan, 42,5%; P = 0,001). Rata-rata T1 tingkat tulang mesial dan distal
pada molar kedua ditegakkan adalah 1,32 ± 0,54 mm dan 1,21 ± 0,40 mm, masing-
masing. Sebelum uprighting, 11 (57,9%) molar pertama yang berdekatan memiliki
tingkat tulang periodontal lebih dari 3 mm lebih inferior dari cementoenamel junction.
Pada tindak lanjut terbaru, tidak ada tingkat tulang periodontal pada molar pertama
atau kedua lebih besar dari 3 mm.

D. Ruang Erupsi Posterior

Jarak dari titik kontak distal dari molar pertama ke ramus ascenden adalah 53,6%
lebih panjang pada kelompok kontrol dibandingkan pada kelompok perlakuan pada
T0 (P <0,001). Dari T0 hingga T1, jarak ini meningkat sebesar 27,7% pada kelompok
perlakuan (P <0,001) dan sebesar 11,9% pada kelompok kontrol (P = 0,03), dan
perubahan ini secara signifikan berbeda antar kelompok (P <0,001). Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam jarak ini antara mereka yang melakukan ekstraksi
serentak dan yang tidak ekstraksi serentak molar ketiga yang berdekatan (P = .497).

E. Temuan Postoperatif

Pulpasi obliterasi, radiolusensi periapikal, dan resorpsi akar terlihat pada 31,6% (n =
6; Gambar 4), 10,5% (n = 2; Gambar 5), dan 5,3% (n = 1; Gambar 6) dari gigi reposisi
masing-masing. Dua gigi (10,5%) diperlukan ekstraksi selama periode tindak lanjut,
satu karena gigi ditegakkan kemudian menjadi terendam dan yang lain karena
resorpsi akar internal asimptomatik dengan patologi periapikal tercatat secara
radiografi (Gambar 7). Tidak ada pasien yang mengalami nyeri atau infeksi selama
periode tindak lanjut.

F. Asosiasi Antara Berbagai Variabel

Tidak ada hubungan yang relevan secara statistik antara variabel prediktor dan
variabel hasil primer (keberhasilan vs kegagalan; Tabel 1).
IV. PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan serangkaian pasien yang menjalani bedah
uprighting molar kedua mandibula yang impaksi untuk mengevaluasi hasil perawatan dan
mengusulkan mekanisme etiologi untuk kegagalan erupsi. Para penulis berhipotesis bahwa
bedah uprighting akan menjadi teknik yang sukses dengan tingkat kegagalan yang rendah,
dan bahwa pasien dengan molar kedua yang impaksi mempunyai ruang erupsi posterior yang
lebih sedikit dibandingkan dengan pasien dengan molar kedua yang erupsi. Tujuan
spesifiknya adalah untuk mendokumentasikan hasil radiografi gigi molar kedua yang tegak
dan untuk membandingkan ruang erupsi posterior antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Dalam seri ini, semua molar kedua yang ditegak dengan operasi berhasil
dipindahkan ke posisi vertikal. Semua defek periodontal pada aspek distal gigi molar
pertama yang hadir sebelum penegakkan molar kedua yang berdekatan ditangani setelah
prosedur, dan tidak terjadi perkembangan kelainan periodontal yang baru. Kadar temuan
radiografi postoperatif abnormal adalah 47,3%, tetapi tidak ada pasien yang mengalami nyeri,
pembengkakan, atau gejala lain selama periode tindak lanjut rata-rata 2,4 tahun. Dua (10,5%)
gigi tegak, yang asimtomatik, akhirnya diekstraksi karena kelainan malposisi atau radiografi.

Hasil ini konsisten dengan tingkat kegagalan yang dipublikasikan mulai dari 0 hingga 4,5%.
Dalam serangkaian 22 molar kedua yang ditegak secara operasi oleh Pogrel, 36,4% terjadi
pengembangan kalsifikasi pulpa dan nonvital pada electric pulp testing pasca operasi. Tiada
dari gigi ini yang bergejala. Ini menunjukkan bahwa perubahan pulpa secara radiograf tidak
memprediksi kegagalan klinis. Ruang erupsi posterior yang tersedia di T0 jauh lebih kecil
pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol dalam seri ini. Hal ini
menunjukkan kurangnya ruang untuk molar kedua di lengkung gigi sebagai etiologi untuk
erupsi yang gagal. Meskipun patologi di jalur erupsi adalah etiologi lain yang mungkin untuk
beberapa kasus, tapi tidak tampak dalam seri ini.

Ruang erupsi posterior meningkat dari T0 ke T1 dalam 2 kelompok. Beberapa perubahan ini
dapat dikaitkan dengan pertumbuhan normal, dan peningkatan rata-rata di ruang mandibula
posterior karena pertumbuhan dari 13 hingga 18 tahun telah dilaporkan berkisar antara 4
hingga 5,79 mm. Namun, peningkatan ruang erupsi posterior dalam sampel ini jauh lebih
besar pada kelompok perlakuan dibandingkan pada kelompok kontrol. Meskipun prosedur
pembedahan mungkin memiliki pengaruh yang tidak dapat diukur pada pertumbuhan
mandibular, penjelasan yang paling mungkin untuk perbedaan ini adalah remodeling yang
terkait dengan prosedur uprighting daripada pertumbuhan. Beberapa peneliti telah
menganjurkan untuk mengekstraksi molar ketiga yang berdekatan pada saat penegakan
molar kedua. Dalam seri ini, molar ketiga diekstraksi hanya jika itu adalah penghalang untuk
penegakkan molar kedua, dan ini terjadi pada 50% kasus.

Para penulis lebih memilih untuk mempertahankan molar ketiga bila mungkin karena
kehadiran gigi ini sering menciptakan efek irisan terhadap molar kedua untuk meningkatkan
stabilitas pasca operasi langsung dari posisi ditegakkan, dan molar ketiga dapat digunakan
sebagai pengganti masa depan jika yang molar kedua pada akhirnya membutuhkan ekstraksi.
Pemeliharaan atau ekstraksi molar ketiga tidak memiliki dampak yang relevan pada ruang
erupsi posterior dalam sampel ini. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama,
desain penelitian retrospektif dan sampel kecil membatasi kesimpulan. Kedua, semua
pengukuran dilakukan pada radiografi panoramik, rentan terhadap distorsi dan pembesaran
gambar. Ketidakakuratan ini diminimalkan dengan menggunakan pengukuran relatif
daripada absolut dan dengan mengkalibrasi alat pengukuran untuk setiap pasien
menggunakan landmark yang tidak berubah. Karena kurangnya evaluasi klinis pasca operasi,
pulpa dan kesehatan mulut hanya dapat dievaluasi secara radiografi.

Kesimpulannya, operasi bedah penegakkan molar kedua rahang bawah merupakan prosedur
yang berguna dan memiliki tingkat kegagalan yang rendah meskipun tingkat kelainan
radiografi pasca operasi tinggi. Ruang yang tidak mencukupi untuk erupsi kemungkinan
merupakan etiologi utama terjadinya impaksi. Para penulis akan follow up pasien ini untuk
memantau komplikasi tambahan dalam jangka panjang.

You might also like