You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik


langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006).
Spinal cord injury( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan
pada spinal cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya
fungsi motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord
injury (SCI) didiagnosis setiap tahunnya, dan lebih dari 80 % adalah laki – laki
berusia sekitar 16 sampai 30 tahun. Trauma ini disebabkan oleh kecelakaan
lalulintas 36 %, karena kekerasan 28,9 %, dan jatuh dari ketinggian 21,2 %,
jumlah paraplegi lebih banyak dari pada tetraplegi dan sekitar 450.000
penduduk di Amerika hidup dengan SCI (The National Spinal Cord Injury,
2001).
Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung
pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan mendapat
perawatan medis setelah trauma.Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan
tergantung pada luasnya derajat kerusakan, prognosis akan semakin baik bila
pasien mampu melakukan gerakan yang disadari atau dapat merasakan sensasi
dalam waktu yang singkat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Trauma Tulang Belakang

1. Pengertian
Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai
dengan adanya tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan
atau level tergantung area terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau
quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen servikal
medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan
motorik di segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum & Benevento,
2009).
Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis
baik itu bagian servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu
trauma yang mengenai tulang belakang. (Arif Muttaqin,2008).
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7
buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah
tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam
susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi
cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut
(Mansjoer, Arif, et al. 2000).
.
2. Etiologi
Cedera tulang belakang terjadi sebagai akibat :
1. Jatuh dari ketinggian, misal pohon kelapa, kecelakaan ditempat kerja.
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Kecelakaan olah raga Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompresi atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak
terjadi karena terlindung oleh struktur torak.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran
darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat
disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, udem,
atau kompresi. Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang
merupakan kerusakan yang permanent karena tidak akan terjadi regenerasi dari
jaringan saraf.

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok spinal terjadi
pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang
dari pusat. Ditandai dengan :
1. Kelumpuhan flasid
2. Arefleksi
3. Hilangnya prespirasi
4. Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih
5. Priapismus

4. Patofisiologi
Cedera medula spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada
vertebra. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan dengan
akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh berbagai tekanan
yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medula spinalis
mengalami kompresi, tertarik, atau merobek jaringan. Lokasi cedera umumnya
mengenai C1 dan C,, C4, C6, dan Til atau L,. Mekanisme terjadinya cedera
medula spinalis dapat dilihat pada Figur 3-3.
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umurnnya mengenai servikal
pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T12—L1.
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang bagian
bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra, kerusakan
pernbuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medula spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia
dewasa yang memiliki perubahan degeneratif vertebra, usia muda yang
mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda
yang mengalami cedera leher saat menyelam. Jenis cedera ini menyebabkan
medula spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan
kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari medula spinalis
dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula spinalis
mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah lesi dan
kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau
melompat dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan
mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan
fragmen tulang dapat masuk ke medula spinalis. Lumbal dan toraks vertebra
umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan.
Edema pada medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.
5. Pathway
Trauma mengenai tulang belakang

Cedera kolumna vetebralis, cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipatetik Perdarahan mikroskopis Blok saraf parasimpatis


desending

Reaksi peradangan Kelumpuhan otot pernafasan


Kehilangan krontrol Terputusnya
tonus vasomotor jaringan saraf
persarafan simpatis ke medula Iskemia dan
jantung spinalis Syok Edema Reaksi hipoksemia
spinal pembengkakan anaestetik

Reflek spinal Paralisis Gangguan


Penekanan
dan Ileus pola nafas
Respon saraf dan
paraplegi paralitik,
Aktivasi sistem nyeri pembuluh
darah gangguan
saraf simpatis hebat fungsi Hipoventilasi
Hambatan dan akut rektum dan
mobilitas kandung
Kontriksi fisik Penurunan Gagal nafas
kemih
pembuluh darah perfusi
Nyeri jaringan
Kematian
Kelemahan Gangguan
Resiko infark fisik umum eliminasi
pada miokard urine
Disfungsi Koma
persepsi
spasial dan Penurunan
kehilangan tingkat
Penekanan Kemampuan batuk Defisit sensori kesadaran
menurun, kurang perawatan diri
jaringan setempat
mobilitas fisik Resiko
trauma
Asupan Perubahan (cidera)
Resiko sensori
Dekubitus nutrisi tidak
ketidakbersihan motorik
adekuat
jalan nafas - Gangguan psikologis
-Perubahan proses
Resiko terhadap Koping individu keluarga
kerusakan integritas Ketidakseimbangan tidak efektif - Kecemasan klien dan
kulit nutrisi Resiko keluarga
ketidakpatuhan - Resiko penurunan
terhadap pelaksanaan ibadah
penatalaksanaan spiritual
6. Komplikasi
a. Neurogenik shock
b. Hipoksia
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic hipotensi
f. Ileus paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia bladder
k. Konstipasi (Fransisca B.Batticaca: 2008)

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang
(fraktur atau dislokasi)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

8. Penatalaksanaan Medis
Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih
ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang
menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih
lanjut. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki aliran darah koral
spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang


1. Pengkajian
a. Identitas klien : meliputi nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan,
pekerjaan, umur, suku/bangsa.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah pasien pernah menderita :Stroke, Infeksi Otak, DM, Diare/muntah, Tumor
Otak, Trauma kepala.

2. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
a. Kesadaran  GCS.
b. Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan
a. Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar  tanyakan pola makan?
b. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
c. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

3. Pola Aktivitas
a. Aktivitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, hipotensi,
bradikardia, ekstremitas dingin atau pucat
c. Eliminasi : inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltic usus hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut, cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltic usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat tergantung dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi
pupil, ptosis
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat di atas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada darah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun.

4. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi
2. Resiko Tinggi pola napas tidak efektif b/d kerusakan persarafan dari
diagfragma, kehilangan komplit atau campuran dari fungsi otot
interkostal.
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan
ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan, paralisis,atropi.
4. Resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna
spinalis.
5. Ketidakefektifanperfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
peningkatan intracranial.

5. Rencana Keperawatan
INTERVENSI
DX
Tujuan Tindakan Rasional

1.Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1.Atur posisi nyaman dan 1. Posisi nyaman dan nafas
berhungan keperawatan selama 2 X 24 latih nafas dalam dalam dapat membantu
dengan cedera jam klien mampu 2. Latih teknik relaksasi mengurangi rasa nyeri
psikis,alat traksi mengontrol nyeri dan distraksi 2. Teknik relaksasi dan
3. Observasi status nyeri distraksi dapat digunakan
kriteria hasil :
(skala, lokasi,dan waktu) untuk mengalihka perhatian

1) Melaporkan nyeri 4. Berikan terapi obat terhadap nyeri

hilang atau terkontrol analgetik sesuai order 3. Mengetahui perkembangan


dokter klien dan sebagai bahan
2) Mengikuti program 5. Berikan penkes mengenai evaluasi keefektifan intervensi
pengobatan yang diberikan proses perjalanan nyeri yang diberikan
4. Analgetik dapat
3) Menunjukan
mengurangi atau bahkan
penggunaan teknik relaksasi
mengurangi nyeri
5. Menambah pengetahuan
klien
2. Resiko tinggi 1. Pola nafas dan bersihan 1. Kaji Airway, Breathing, 1. Hipoventilasi biasanya
pola nafas tidak jalan nafas efektif yang Circulasi. terjadi atau menyebabkan
ditandai dengan tidak
efektif 2. Kaji anak, apakah ada akumulasi/atelektasis atau
ada sesak atau kesukaran
berhubungan bernafas fraktur cervical dan pneumonia (komplikasi yang
dengan vertebra. Bila ada sering terjadi).
2. Jalan nafas bersih
kerusakan hindari memposisikan 2. Menggambarkan akan
persyarafan dari 3. Pernafasan dalam batas kepala ekstensi dan hati- terjadinya gagal napas yang
normal.
di hati dalam mengatur memerlukan evaluasi dan
afragma,kehilan posisi bila ada cedera intervensi medis dengan
gan komplit atau vertebra. segera.
campuran dari 3. Pastikan jalan nafas 3.Berikan oksigen dengan cara
fungsi otot tetap terbuka dan kaji yang tepat seperti dengan
interkostal adanya sekret. Bila ada kanul oksigen,
sekret segera lakukan masker,intubasi
pengisapan lendir. 4.Metode yang akan dipilih
4. Kaji status pernafasan tergantung dari lokasi
kedalamannya, usaha trauma, keadaan insufisiensi
dalam bernafas. pernapasan, dan banyaknya
5. Pemberian oksigen fungsi otot pernapasan yang
sesuai program. sembuh setelah fase syok
spinal.

3. Gangguan Mempertahankan 1. Pertahankan tirah baring 1. Menjaga kestabilan dari


mobilitas fisik kesejajaran yang tepat dari dan alat-alat imobilisasi kolumna vertebra dan
berhubungan spinal tanpa cedera medulla seperti traksi, halo membantu proses
dengan spinalis lanjut brace, kolar leher, bantal penyembuhan.
kerusakan pasir dll. 2. Membuat keseimbangan
neuromuskuler 2. Tinggikan bagian atas untuk mempertahankan
ditandai dengan dari kerangka traksi atau posisi pasien dan tarikan
ketidakmampua tempat tidur jika traksi.
n untuk diperlukan. 3. Mempertahankan posisis
bergerak sesuai 3. Ganti posisi, gunakan kolumna spinalis yang
keinginan,parali alat Bantu untuk miring tepat sehingga dapat
sis,atropi dan menahanseperti alat mengurangi resiko
pemutar, selimut trauma.
terrgulung, bantal dsb. 4. Operasi mungkin
4. Siapkan pasien untuk dibutuhkan pada
tindakan operasi, seperti kompresi spinal atau
laminektomi spinal atau adanya pemindahan
fusi spinal jika fragmen – framen tulang
diperlukan. yang fraktur

4.Resiko tinggi Selamaperawatan gangguan 1. Kaji secara teratur 1. Berguna untuk membatasi
trauma mobilisasi bisa fungsi motorik. dan mengurangi nyeri
berhubungan diminimalisasi sampai yang berhubungan dengan
2. Instruksikan pasien
dengan cedera diatasi dengan spastisitas.
untuk memanggil bila minta
kelemahan pembedahan. 2. Gangguan sirkulasi dan
pertolongan.
temporer/ketida hilangnya sensai resiko
Kriteria hasil :
kstabilan 3. Lakukan log rolling. : tinggi kerusakan integritas
kolumna tidak ada kontrakstur, kulit.
spinalis 4. Pertahankan sendi 90 3. Mengetahui adanya
kekuatanototmeningkat.
derajad terhadap papan kaki. hipotensi ortostatik
4. Mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah
5. Membantu rom secara
sebelum dan sesudah log
pasif
rolling.

6. Inspeksi kulit setiap


hari.

7. Berikan relaksan otot


sesuai pesanan seperti
diazepam.
5.Ketidakefektif Setelah dilakukan tindakan 1. Inspeksi seluruh lapisan 6. Mengetahui adanya
an perfusi keperawatan diharapkan kulit tanda-tanda infeksi
jaringan serebral klien 2. Lakukan perubahan dan perbaikan luka
yang tidak terjadi gangguan posisi sesuai indikasi 7. Mencegah terjadinya
berhubungan integrits 3. Bersihkan dan keringkan dekubitus
dengan kulit selama perawatan kulit 8. Membantu agar kuit
peningkatan Kriteria hasil : 4. Jaga alas tidur agar tetap tetap kering
intrakranial Tidak ada dekubitus kering 9. Mengurangi
Kulit kering 5. Berikan terapi kinetic terjadinya dekubitus
sesuai kebutuhan pada kulit

6. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan
trauma tulang belakang diharapkan sebagai berikut :
1. Rasa nyeri berkurang
2. Pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
3. Intake dan output seimbang dan nafas normal

You might also like