Professional Documents
Culture Documents
OLEH
140100107
PEMBIMBING
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
OLEH
140100107
PEMBIMBING
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
\2019
i
EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS SERTA TANTANGAN DAN HAMBATAN
PENGENDALIANNYA DI INDONESIA
OLEH
140100107
FAKULTAS KEDOKTERAN
MEDAN
2019
ii
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 140100107
Pembimbing
NIP:
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Epidemiologi Ascariasis Serta Tantangan dan Hambatan Pengendaliannya
di Indonesia”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas / Ilmu Kedokteran
Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
BAB I
LATAR BELAKANG
Data WHO (2013) pada bulan Juni, didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau
24% dari populasi penduduk di dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths. Soil
Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk penularan
penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media
1
perkembangbiakannya dengan didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat
mendukung perkembangbiakan cacing tersebut tergantung dari jenis cacing itu
sendiri. Cacing yang masuk dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan
Strongyloides stercoralis (Sutanto dkk, 2008). Infeksi cacing A. lumbricoides
merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di dunia yaitu dengan prevalensi
sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2 milyar jiwa. Risiko
tertinggi untuk terinfeksi cacing A. lumbricoides ialah di daerah benua Asia, Sub
Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik (Hotez dkk, 2011).
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di
Indonesia tahun 2008, didapat angka prevalensi kecacingan yang tinggi, yakni
Banten 60,7%, Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%,
Kalimantan barat 26,2%, Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi
Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah 5,6% ( Ditjen PPL-RI Depkes RI, 2015).
2
1.2 Tujuan Makalah
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ascariasis
2.1.2 Taksonomi
Phylum : Nemathelminthes
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
4
Genus : Ascaris
2.1.3 Epidemiologi
Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban
tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk menunjang perkembangan
telur cacing A.lumbricoides tersebut. Telur A. lumbricoides mudah mati pada
suhu diatas 40° C sedangkan dalam suhu dingin tidak mempengaruhinya. Telur
cacing tersebut tahan terhadap desinfektan dan rendaman yang bersifat sementara
pada berbagai bahan kimiawi keras. Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup hingga
bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada larutan
formalin 10% yang digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi
askariasis pada tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80%
pada tahun 2008 (Ariawati, N. 2017).
Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini
terutama menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama antara
laki-laki dan perempuan (Natadisastra, 2012). Bayi yang menderita Ascariasis
kemungkinan terinfeksi telur Ascariasis dari tangan ibunya yang telah tercemar
oleh larva infektif . Prevalensi A. lumbricoides ditemukan tinggi di beberapa
pulau 8 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di Indonesia yaitu di pulau
5
Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat
(92%), dan Jawa Barat (90%) (Sutanto, 2008).
WHO memperkirakan 3,5 milyar orang telah terinfeksi cacing usus dan
450 juta telah dilaporkan menderita penyakit ini yang ditemukan pada anak-anak.
Survei terhadap 300 orang di Nigeria menunjukkan bahwa angka infeksi
kecacingan adalah 83,30 ,yang terdiri dari As caris lumbricoides (67,7
%),Hookworm (45%), Trichuris trichiura (31,3%) dan Strongyloides sterocalis
(18%). Sedangkan penelitian di Cina menunjukkan prevalensi lebih rendah, yaitu
di Kota Simao (40,2%) dan di Kota Mengla (68,3%). Survey yang pernah
dilakukan di tiga Sekolah dasar (SD) di Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala
tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cacing A. lumbricoides 19.1%
(Nurjana, M. dkk. 2012). Di Amerika Serikat pada tahun 1974 diperkirakan 4 juta
orang, terutama di Amerika Serikat bagian tenggara, mengidap ascariasis.
Perkiraan terbaru dari prevalensi ascariasis tidak diketahui, tetapi mungkin jauh
lebih rendah. Imigran dari negara-negara dengan prevalensi askariasis tinggi
terdiri dari sebagian besar kasus terbaru (Haburchak, D. dkk. 2018).
6
ini menemukan bahwa wanita dewasa yang tinggal di daerah pedesaan, terutama
yang terpapar pada tanah malam manusia dan tinggal di rumah tangga tanpa
jamban berisiko tinggi terkena ascariasis. Di daerah dengan penyakit yang
ditularkan melalui tanah, ascariasis cenderung lebih tersebar secara geografis
daripada Trichuris atau cacing tambang (Haburchak, D. dkk. 2018).
Ascariasis adalah infeksi paling umum dan intensif pada anak-anak, yang
lebih cenderung gejala daripada orang dewasa. Pada anak-anak, obstruksi usus
yang disebabkan oleh beban cacing berat (≥60) adalah manifestasi penyakit yang
paling umum. Diperkirakan 2 per 1.000 anak yang terinfeksi mengalami obstruksi
usus per tahun. Di antara anak-anak berusia 1-12 tahun yang datang ke rumah
sakit Cape Town dengan keadaan darurat perut antara tahun 1958-1962, infeksi
lumbricoides berjumlah 12,8% kasus, dengan 68% di antaranya karena obstruksi
usus, biasanya di ileum terminal. Insiden puncak adalah pada usia 2 tahun di
Kolombia dan usia 4,8 tahun di Turki (Haburchak, D. dkk. 2018).
Karena masa hidup cacing dewasa di usus hanya 1-2 tahun, infeksi
persisten sering membutuhkan paparan ulang dan infeksi ulang. Frekuensi dan
intensitas infeksi tetap tinggi sepanjang hidup di daerah endemis dan
menimbulkan risiko bagi orang tua dan orang muda. Dalam sebuah penelitian
baru-baru ini di pedesaan barat daya Nigeria, intensitas telur yang diekskresikan
per gram tinja di antara orang yang terinfeksi adalah 2.371 untuk spesies Ascaris,
1070 untuk cacing tambang, dan 500 untuk spesies Trichuris, dengan tingkat yang
sedikit lebih rendah di antara orang-orang di daerah perkotaan (Haburchak, D.
dkk. 2018).
7
Prevalensi penyakit kecacingan berdasarkan laporan survei tahun 2004
pada 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa prevalensi tertinggi berada di Propinsi
Nusa Tenggara Barat (83,6%), Sumatera Barat (82,3%), dan Sumatera Utara
(60,4%). Angka nasional penyakit kecacingan adalah 30,35% dengan penjabaran
prevalensi cacing gelang 17,75%, cacing cambuk 17,74% dan cacing tambang
6,46% (Ditjen PPM dan PL, 2004).
8
diarahkan pada pemutusan rantai penularan Cacingan, yaitu kelompok usia balita
dan anak usia sekolah, dengan:
Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat oleh seluruh masyarakat, setiap
hari dan sepanjang hidup akan berdampak positif pada penurunan prevalensi
Cacingan. Oleh karena itu, upaya promotif-preventif dalam Penanggulangan
Cacingan adalah bagian integral dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau
GERMAS. Selain itu, dalam meningkatkan akses atau jangkauan masyarakat pada
pelayanan Penanggulangan Cacingan yang komprehensif dan bermutu, upaya-
upaya Penanggulangan Cacingan dilaksanakan melalui Pendekatan Keluarga.
Dengan demikian, dapat dilakukan deteksi dini Cacingan dalam keluarga,
penanggulangan faktor risiko Cacingan pada keluarga, upaya promotif-preventif
mencegah Cacingan dalam keluarga, dan meningkatkan kemampuan keluarga
agar dapat terhindar dari Cacingan untuk seterusnya.
9
Cacingan berupa penurunan prevalensi Cacingan sampai dengan di bawah 10%
(sepuluh persen) di setiap kabupaten/kota (Kemkes No 15 Tahun 2017).
A. Promosi kesehatan;
B. Surveilans Cacingan;
E. POPM Cacingan.
A. Promosi kesehatan
10
kepentingan terkait terutama dalam menetapkan Penanggulangan Cacingan
sebagai prioritas program dengan dukungan anggaran yang memadai serta
jaminan kesinambungan program sampai tercapai Reduksi Cacingan tahun 2019.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan melibatkan kader dan masyarakat
dalam kegiatan promosi dengan ikut serta memberikan penyuluhan tentang
kesehatan perorangan dan kesehatan lingkungan. Kemitraan dilakukan dengan
organisasi-organisasi profesi kesehatan dan sektor-sektor lain yang terkait dengan
penyediaan sarana dan prasarana serta diseminasi informasi perilaku hidup bersih
dan sehat seperti bidang pekerjaan umum, perumahan rakyat, pendidikan dan
kebudayaan, komunikasi dan informasi, dan bidang lainnya yang akan mendorong
tercapainya pelayanan yang komprehensif (Kemkes No 15 Tahun 2017).
11
pengambilan sampel kluster dua tahap (two stages cluster
sampling) (Kemkes No 15 Tahun 2017).
12
c. Membuang sampah pada tempat sampah.
D. Penanganan Penderita
Untuk kasus dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu hamil, dapat
diberikan obat cacing dengan dosis yang disesuaikan. Untuk anak usia Balita
diberikan sediaan berupa sirup.
1) Albendazol
2) Mebendazol
13
– 6 jam. Ekskresi terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui
empedu. Absorpsi akan meningkat bila diberikan bersama makanan
berlemak. Dosis untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 2 X
100 mg/hari, selama 3 hari berturut-turut untuk askariasis, cacing tambang
dan trikuriasis. Sebelum ditelan sebaiknya tablet dikunyah lebih dulu. Efek
samping yaitu mual, muntah, diare dan nyeri perut yang bersifat ringan.
Pada dosis tinggi sehingga ada efek sistemik dapat terjadi agranulositosis,
alopesia, peningkatan enzim hati dan hipersensitivitas. Kontraindikasi
untuk ibu hamil karena ditemukan efek teratogenik pada hewan coba.
3) Pirantel pamoat
14
Dosis Albendazol yang digunakan adalah sbb : untuk penduduk usia >2
tahun – dewasa : 400 mg dosis tunggal, sedangkan anak usia 1 – 2 th : 200 mg
dosis tunggal. Obat Mebendazol dapat pula digunakan dalam Pemberian Obat
Pencegahan Massal, dosis yang dipergunakan adalah 500 mg dosis tunggal. 2)
Pengobatan selektif Pengobatan selektif diberikan kepada kabupaten/kota yang
memiliki prevalensi rendah. POPM Cacingan ini dapat dilakukan selama 4-6
tahun (Kemkes No 15 Tahun 2017).
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Hotez PJ, Molyneux DH, Fenwick A, Kumaresan J, Sachs SE, Sachs JD, dkk.
2007. Control of Neglected Tropical Diseases. The New England Journal
of Medicine, 357(10): 1018- 1027.
Jefrey HC. 1983. Atlas Helmintologi & Protozologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
17
Nurjana MA, Sumolang PP, Gunawan. 2012. Pengetahuan dan Perilaku Anak
Sekolah Tentang Kecacingan di Beberapa Sekolah Dasar di Kecamatan
Labuan Kabupaten Donggala Tahun 2012. Jumal Vektor Penyakit, Vol.
VI No. 1 : 12 – 18
Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, et al, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 th edition.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2938-42.
Salam, YA. 2017. Efek Antihelmintik Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia
mahagoni Jacq) Terhadap Kematian Ascaris suum Goeze In Vitro.
Universitas Sebelas Maret
Sumanto D, 2010. Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah di
Desa Rejosari Karangawen Demak. Tesis. Program Studi Magister
Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Susanti, S. 2016. Jumlah Eosinofil pada Penderita Ascariasis pada Siswa SDN 14
Olo Ladang Kota Padang. Universitas Andalas.
Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2008. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: FKUI, 6-9.
Taylor HL, Spagnoli ST, Calcutt MJ. 2016. Aberrant Ascariasis suum Nematode
Infection in Cattle, Missouri, USA.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4734507/ diakses pada
4 April 2019
18