You are on page 1of 24

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS SERTA TANTANGAN DAN HAMBATAN


PENGENDALIANNYA DI INDONESIA

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

PEMBIMBING

dr. Ivana Alona, MPH

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS SERTA TANTANGAN DAN HAMBATAN


PENGENDALIANNYA DI INDONESIA

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

PEMBIMBING

dr. Ivana Alona, MPH

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

\2019

i
EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS SERTA TANTANGAN DAN HAMBATAN
PENGENDALIANNYA DI INDONESIA

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi

persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di

Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas


Sumatera Utara.”

OLEH

Wirda Zamira Lubis

140100107

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU

KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : EPIDEMIOLOGI ASCARIASIS SERTA TANTANGAN DAN


HAMBATAN PENGENDALIANNYA DI INDONESIA

Nama : Wirda Zamira Lubis

NIM : 140100107

Medan, April 2019

Pembimbing

dr. Ivana Alona, MPH

NIP:

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Epidemiologi Ascariasis Serta Tantangan dan Hambatan Pengendaliannya
di Indonesia”.

Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas / Ilmu Kedokteran
Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada supervisor


kami, dr. Ivana Alona, MPH yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan makalah ini sehingga dapat selesai tepat pada
waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan, baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih

Medan, April 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

BAB I LATAR BELAKANG ............................................................................ 1

Tujuan Makalah ........................................................................................ 3

Manfaat Makalah ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4

2.1 Ascariasis ............................................................................................. 4

Definisi Ascariasis ............................................................................. 4

Taksonomi Ascariasis ........................................................................ 4

Epidemiologi Ascariasis .................................................................... 5

2.2 Upaya Pemberantasan Ascariasis di Indonesia................................... 8

2.3 Hambatan dalam Penanggulangan Kecacingan di Indonesia ........... 15

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 17

v
BAB I

LATAR BELAKANG

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris


lumbricoides. Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara
berkembang dengan lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti
Indonesia (Sutanto dkk, 2008). Penyakit kecacingan ini dapat mengakibatkan
menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderita
(KEPMENKES RI No.424/2006).

Prevalensi penyakit kecacingan ini sangat tinggi terutama di daerah tropis


dan subtropics. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia ini masih sangat
tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari segi ekonomi.
Pada kelompok ekonomi lemah mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit
kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan
sanitasi lingkungan (Sumanto D, 2010). Natadisastra (2012) mengatakan faktor
pendukung tingginya prevalensi kecacingan di Indonesia meliputi sosiodemografi
(pendidikan dan pendapatan), rendahnya prilaku sanitasi pribadi maupun
lingkungan di sekitar masyarakat. Infeksi kecacingan sering dijumpai pada anak
usia sekolah dasar dimana pada usia ini anak-anak masih sering kontak dengan
tanah. Salah satu cacing yang penularannya melalui tanah adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides) (Mardiana; Djarismawati, 2008). Berdasarkan data World
Health Organization (WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar 800 juta sampai
dengan 1 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700
juta sampai 900 juta penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris
trichiura, dan 300 juta penduduk dunia terinfeksi Oxyuris vermicularis.

Data WHO (2013) pada bulan Juni, didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau
24% dari populasi penduduk di dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths. Soil
Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk penularan
penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media

1
perkembangbiakannya dengan didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat
mendukung perkembangbiakan cacing tersebut tergantung dari jenis cacing itu
sendiri. Cacing yang masuk dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan
Strongyloides stercoralis (Sutanto dkk, 2008). Infeksi cacing A. lumbricoides
merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di dunia yaitu dengan prevalensi
sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2 milyar jiwa. Risiko
tertinggi untuk terinfeksi cacing A. lumbricoides ialah di daerah benua Asia, Sub
Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik (Hotez dkk, 2011).
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di
Indonesia tahun 2008, didapat angka prevalensi kecacingan yang tinggi, yakni
Banten 60,7%, Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%,
Kalimantan barat 26,2%, Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi
Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah 5,6% ( Ditjen PPL-RI Depkes RI, 2015).

Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987


masih relatif cukup tinggi yaitu sebesar 78,6%. Program pemberantasan penyakit
kecacingan pada anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif menurunkan
prevalensi kecacingan menjadi 33,0% pada tahun 2003. Sejak tahun 2002 hingga
2006, prevalensi penyakit kecacingan secara berurutan adalah sebesar 33,3%,
33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6% (Depkes RI, 2006).

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak.


Frekuensinya sekitar 60- 90%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah
pohon, tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Di negara-negara
tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembapan
tinggi dan suhu yang berkisar antara 25˚-30˚C merupakan hal-hal yang sangat
baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif
(Yenny, P. 2015).

2
1.2 Tujuan Makalah

Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai


Epidemiologi Ascariasis Serta Tantangan dan Hambatan Pengendaliannya di
Indonesia. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ascariasis

2.1.1 Definisi Ascariasis

Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing Ascaris


lumbricoides. Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang paling besar
prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang menginfeksi tubuh manusia.
Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk A.lumbricoides. Cacing
A.lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda berasal dari kata
nematos yang berarti benang dan oidos yang berarti bentuk, sehingga cacing ini
sering disebut cacing gilik ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri dibagi
menjadi 2 jenis yakni nematoda usus dan nematoda jaringan. Manusia merupakan
hospes untuk beberapa nematoda usus yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia (Susanti, S. 2016). Diantara nematoda usus
yang ada terdapat beberapa spesies yang membutuhkan tanah untuk
pematangannya dari bentuk non infektif menjadi bentuk infektif yang disebut Soil
Transmitted Helminths (STH) (Natadisastra, 2012). Cacing yang termasuk
golongan STH adalah A.lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma
duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, dan beberapa spesies
Trichostrongylus (Susanti, S.2016).

2.1.2 Taksonomi

A. lumbricoides (Jefrey, 1983)

Phylum : Nemathelminthes

Sub phylum : Ascaridoidea

Ordo : Ascaridida

Family : Ascaridae

4
Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides.

2.1.3 Epidemiologi

A. lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang menyebabkan


infeksi pada manusia. Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi
askariasis. Angka kejadian infeksi A.lumbricoides ini cukup tinggi di negara
berkembang seperti Indonesia dibandingkan dengan negara maju. Tingginya
angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena banyaknya telur
disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan tanah kondusif. Infeksi
askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh area
tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk
(Pohan, H. 2009).

Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban
tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga sangat baik untuk menunjang perkembangan
telur cacing A.lumbricoides tersebut. Telur A. lumbricoides mudah mati pada
suhu diatas 40° C sedangkan dalam suhu dingin tidak mempengaruhinya. Telur
cacing tersebut tahan terhadap desinfektan dan rendaman yang bersifat sementara
pada berbagai bahan kimiawi keras. Kurangnya pemakaian jamban menimbulkan
pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di
tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup hingga
bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada larutan
formalin 10% yang digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka infeksi
askariasis pada tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai 74,4%-80%
pada tahun 2008 (Ariawati, N. 2017).

Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini
terutama menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama antara
laki-laki dan perempuan (Natadisastra, 2012). Bayi yang menderita Ascariasis
kemungkinan terinfeksi telur Ascariasis dari tangan ibunya yang telah tercemar
oleh larva infektif . Prevalensi A. lumbricoides ditemukan tinggi di beberapa
pulau 8 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas di Indonesia yaitu di pulau

5
Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat
(92%), dan Jawa Barat (90%) (Sutanto, 2008).

Askariasis pada manusia umumnya disebabkan oleh Ascaris lumbricoides


Linn. Namun, akhir-akhir ini ditemukan kasus askariasis pada manusia
disebabkan oleh Ascaris suum Goeze yang umumnya menyerang hewan babi.
Angka kejadiannya sebesar 2 ≥ per 1000 kasus (Taylor et al., 2016). Prevalensi
infeksi yang tinggi serta timbulnya dampak yang berat mendorong dilakukannya
upaya eradikasi, seperti program deworming (pemberantasan cacing) yang
dicetuskan oleh World Health Organization (WHO) dan Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) Republik Indonesia sejak tahun 2001 melalui pemberian obat
antihelmintik secara massal di fasilitas kesehatan dan sekolah, namun upaya
tersebut belum dapat mengeradikasi penyakit askariasis. Salah satu penyebabnya
adalah keterbatasan obat antihelmintik (Salam. Y. 2017).

WHO memperkirakan 3,5 milyar orang telah terinfeksi cacing usus dan
450 juta telah dilaporkan menderita penyakit ini yang ditemukan pada anak-anak.
Survei terhadap 300 orang di Nigeria menunjukkan bahwa angka infeksi
kecacingan adalah 83,30 ,yang terdiri dari As caris lumbricoides (67,7
%),Hookworm (45%), Trichuris trichiura (31,3%) dan Strongyloides sterocalis
(18%). Sedangkan penelitian di Cina menunjukkan prevalensi lebih rendah, yaitu
di Kota Simao (40,2%) dan di Kota Mengla (68,3%). Survey yang pernah
dilakukan di tiga Sekolah dasar (SD) di Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala
tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi infeksi cacing A. lumbricoides 19.1%
(Nurjana, M. dkk. 2012). Di Amerika Serikat pada tahun 1974 diperkirakan 4 juta
orang, terutama di Amerika Serikat bagian tenggara, mengidap ascariasis.
Perkiraan terbaru dari prevalensi ascariasis tidak diketahui, tetapi mungkin jauh
lebih rendah. Imigran dari negara-negara dengan prevalensi askariasis tinggi
terdiri dari sebagian besar kasus terbaru (Haburchak, D. dkk. 2018).

Prevalensi ascariasis tertinggi pada anak-anak berusia 2-10 tahun, dengan


intensitas infeksi tertinggi terjadi pada anak-anak berusia 5-15 tahun yang
memiliki infeksi simultan dengan cacing yang ditularkan melalui tanah lainnya
seperti Trichuris trichiura dan cacing tambang. Sebuah studi Vietnam baru-baru

6
ini menemukan bahwa wanita dewasa yang tinggal di daerah pedesaan, terutama
yang terpapar pada tanah malam manusia dan tinggal di rumah tangga tanpa
jamban berisiko tinggi terkena ascariasis. Di daerah dengan penyakit yang
ditularkan melalui tanah, ascariasis cenderung lebih tersebar secara geografis
daripada Trichuris atau cacing tambang (Haburchak, D. dkk. 2018).

Ascariasis adalah infeksi paling umum dan intensif pada anak-anak, yang
lebih cenderung gejala daripada orang dewasa. Pada anak-anak, obstruksi usus
yang disebabkan oleh beban cacing berat (≥60) adalah manifestasi penyakit yang
paling umum. Diperkirakan 2 per 1.000 anak yang terinfeksi mengalami obstruksi
usus per tahun. Di antara anak-anak berusia 1-12 tahun yang datang ke rumah
sakit Cape Town dengan keadaan darurat perut antara tahun 1958-1962, infeksi
lumbricoides berjumlah 12,8% kasus, dengan 68% di antaranya karena obstruksi
usus, biasanya di ileum terminal. Insiden puncak adalah pada usia 2 tahun di
Kolombia dan usia 4,8 tahun di Turki (Haburchak, D. dkk. 2018).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan


bahwa tingkat ascariasis di seluruh dunia pada tahun 2005 adalah sebagai berikut:
86 juta kasus di Cina, 204 juta di tempat lain di Asia Timur dan Pasifik, 173 juta
di Afrika sub-Sahara, 140 juta di India, 97 juta di tempat lain di Asia Selatan, 84
juta di Amerika Latin dan Karibia, dan 23 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Antara tahun 1990 dan 2013, beban penyakit ascariasis diperkirakan telah
berkurang hingga 75%. Namun, data survei rusak karena kurangnya metode
diagnostik standar (Haburchak, D. dkk. 2018).

Karena masa hidup cacing dewasa di usus hanya 1-2 tahun, infeksi
persisten sering membutuhkan paparan ulang dan infeksi ulang. Frekuensi dan
intensitas infeksi tetap tinggi sepanjang hidup di daerah endemis dan
menimbulkan risiko bagi orang tua dan orang muda. Dalam sebuah penelitian
baru-baru ini di pedesaan barat daya Nigeria, intensitas telur yang diekskresikan
per gram tinja di antara orang yang terinfeksi adalah 2.371 untuk spesies Ascaris,
1070 untuk cacing tambang, dan 500 untuk spesies Trichuris, dengan tingkat yang
sedikit lebih rendah di antara orang-orang di daerah perkotaan (Haburchak, D.
dkk. 2018).

7
Prevalensi penyakit kecacingan berdasarkan laporan survei tahun 2004
pada 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa prevalensi tertinggi berada di Propinsi
Nusa Tenggara Barat (83,6%), Sumatera Barat (82,3%), dan Sumatera Utara
(60,4%). Angka nasional penyakit kecacingan adalah 30,35% dengan penjabaran
prevalensi cacing gelang 17,75%, cacing cambuk 17,74% dan cacing tambang
6,46% (Ditjen PPM dan PL, 2004).

Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta Utara, secara keseluruhan


prevalensi A. lumbricoides pada anggota keluarga (orang tua, anak SD, dan
anggota lainnya) sebesar 33,5%. Prevalensi A. lumbricoides pada orang tua
terutama ibu (32,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan bapak (27,8%).
Berdasarkan lokasi penelitian, di Jakarta bapak-bapak dapat terinfeksi A.
lumbricoide. Diantara anggota keluarga, prevalensi A. lumbricoides pada anak SD
(37,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua (bapak dan ibu) dan anggota
keluarga lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak SD lebih rentan
dengan infeksi A. lumbricoides.

Hasil survey di Donggala menunjukkan bahwa cacing usus tertinggi pada


anak SD yaitu cacing Ascariasis Lumbricoides 6,22% dari total 241 anak SD yang
diperiksa tinjanya, sementara 10,84% lainnya merupakan infeksi cacing usus
lainnya (Subahar, R. dkk. 2017).

2.2 Upaya Pemberantasan Kecacingan di Indonesia

Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit kecacingan di Indonesia


secara nasional dimulai tahun 1975. Menurut Kementrian Kesehatan 2006,3 pada
Pelita V tahun (1989–1994) dan Pelita VI tahun (1994– 1999) Program
Pemberantasan Penyakit Cacing lebih ditingkatkan prioritasnya pada anak-anak
karena pada periode ini lebih memperhatikan peningkatan perkembangan dan
kualitas hidup anak. Ternyata upaya ini telah berhasil meningkatkan cakupan
menurunkan prevalensi kecacingan dari 78,6% (tahun 1987) menjadi 8,9% (tahun
2003) (Winata, R. 2012).

Dasar utama untuk Penanggulangan Cacingan adalah memutuskan mata


rantai penularan Cacingan. Oleh karena itu, upaya Penanggulangan Cacingan

8
diarahkan pada pemutusan rantai penularan Cacingan, yaitu kelompok usia balita
dan anak usia sekolah, dengan:

1) Pemberian obat massal pencegahan Cacingan kelompok rentan


untuk menghentikan penyebaran telur cacing dari Penderita ke
lingkungan sekitarnya,

2) Peningkatan higiene sanitasi, dan

3) Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat melalui promosi


kesehatan.

Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat oleh seluruh masyarakat, setiap
hari dan sepanjang hidup akan berdampak positif pada penurunan prevalensi
Cacingan. Oleh karena itu, upaya promotif-preventif dalam Penanggulangan
Cacingan adalah bagian integral dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat atau
GERMAS. Selain itu, dalam meningkatkan akses atau jangkauan masyarakat pada
pelayanan Penanggulangan Cacingan yang komprehensif dan bermutu, upaya-
upaya Penanggulangan Cacingan dilaksanakan melalui Pendekatan Keluarga.
Dengan demikian, dapat dilakukan deteksi dini Cacingan dalam keluarga,
penanggulangan faktor risiko Cacingan pada keluarga, upaya promotif-preventif
mencegah Cacingan dalam keluarga, dan meningkatkan kemampuan keluarga
agar dapat terhindar dari Cacingan untuk seterusnya.

Adapun tujuan Penanggulangan Cacingan adalah untuk menurunkan


prevalensi Cacingan pada anak balita, anak usia pra sekolah dan anak usia sekolah
dasar atau madrasah ibtidaiyah sebesar 10% secara bertahap dan meningkatkan
cakupan POPM Cacingan minimal 75%. Kelompok umur yang menjadi sasaran
dalam program Penanggulangan Cacingan adalah balita, anak usia pra sekolah dan
anak usia sekolah.

Kementerian Kesehatan menentukan target program Penanggulangan


Cacingan adalah reduksi Cacingan pada tahun 2019. Untuk mencapai target
program telah ditentukan indikator pencapaian target program Penanggulangan

9
Cacingan berupa penurunan prevalensi Cacingan sampai dengan di bawah 10%
(sepuluh persen) di setiap kabupaten/kota (Kemkes No 15 Tahun 2017).

Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan kegiatan:

A. Promosi kesehatan;

B. Surveilans Cacingan;

C. Pengendalian faktor risiko;

D. Penanganan Penderita; dan

E. POPM Cacingan.

A. Promosi kesehatan

Promosi kesehatan diarahkan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih


dan sehat guna memelihara kesehatan dan mencegah Cacingan. Perilaku hidup
bersih dan sehat dilakukan melalui:

1. Cuci tangan pakai sabun;

2. Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga;

3. Menjaga kebersihandan keamanan makanan;

4. Menggunakan jamban sehat; dan

5. Mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat Promosi kesehatan


dapat diberikan melalui Program Usaha Kesehatan Sekolah,
posyandu, media cetak maupun media elektronik dan penyuluhan
langsung, konsultasi, bimbingan dan konseling, intervensi
perubahan perilaku, dan pelatihan.

Kegiatan promosi dapat dilaksanakan melalui strategi advokasi,


pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan. Advokasi dilakukan untuk
mendapatkan komitmen kuat dari pimpinan pusat, daerah serta pemangku

10
kepentingan terkait terutama dalam menetapkan Penanggulangan Cacingan
sebagai prioritas program dengan dukungan anggaran yang memadai serta
jaminan kesinambungan program sampai tercapai Reduksi Cacingan tahun 2019.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan melibatkan kader dan masyarakat
dalam kegiatan promosi dengan ikut serta memberikan penyuluhan tentang
kesehatan perorangan dan kesehatan lingkungan. Kemitraan dilakukan dengan
organisasi-organisasi profesi kesehatan dan sektor-sektor lain yang terkait dengan
penyediaan sarana dan prasarana serta diseminasi informasi perilaku hidup bersih
dan sehat seperti bidang pekerjaan umum, perumahan rakyat, pendidikan dan
kebudayaan, komunikasi dan informasi, dan bidang lainnya yang akan mendorong
tercapainya pelayanan yang komprehensif (Kemkes No 15 Tahun 2017).

B. Surveilans Cacingan Surveilans Cacingan dilakukan melalui penemuan


kasus Cacingan, survei faktor risiko, dan survei prevalensi Cacingan.

1. Penemuan Kasus Cacingan

Penemuan kasus Cacingan dilakukan secara aktif melalui


penjaringan anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah dan
secara pasif melalui penemuan kasus berdasarkan laporan pasien
yang berobat di fasilitas pelayanan kesehatan dengan pemeriksaan
sampel tinja.

2. Survei Faktor Risiko

Survei faktor risiko dilakukan dengan menggunakan


kuisioner terstruktur dengan sasaran anak sekolah dasar atau
madrasah ibtidaiyah yang menjadi sampel pada survei cakupan
pemberian obat massal.

3. Survei Prevalensi Cacingan

Survei prevalensi Cacingan dilakukan untuk menentukan


tingkat prevalensi Cacingan disuatu kabupaten/kota. Survei ini
dilakukan dengan cara pemeriksaan sampel tinja pada anak sekolah
dasar atau madrasah ibtidaiyah yang dikumpulkan melalui metode

11
pengambilan sampel kluster dua tahap (two stages cluster
sampling) (Kemkes No 15 Tahun 2017).

C. Pengendalian Faktor Risiko

Upaya pengendalian faktor risiko Cacingan dapat dilakukan melalui upaya


kebersihan perorangan ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut
meliputi:

1. Menjaga Kebersihan Perorangan

a. Mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun pada 5


waktu penting yaitu sebelum makan, setelah ke jamban,
sebelum menyiapkan makanan, setelah menceboki anak,
sebelum memberi makan anak.

b. Menggunakan air bersih untuk keperluan mandi.

c. Mengkonsumsi air yang memenuhi syarat untuk diminum.

d. Mencuci dan memasak bahan pangan sebelum dimakan.

e. Mandi dan membersihkanbadan pakai sabun paling sedikit


dua kali sehari

f. Memotong dan membersihkan kuku.

g. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai


sarung tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan tanah.

h. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu


dan lalat mencemari makanan tersebut.

2. Menjaga Kebersihan Lingkungan

a. Stop buang air besar sembarangan.

b. Membuat saluran pembuangan air limbah.

12
c. Membuang sampah pada tempat sampah.

d. Menjaga kebersihan rumah, sekolah/madrasah dan


lingkungannya (Kemkes No 15 Tahun 2017).

D. Penanganan Penderita

Pengobatan Penderita dilakukan pada setiap Penderita yang ditemukan


oleh tenaga kesehatan atau pada fasilitas pelayanan kesehatan. Pengobatan
diberikan terhadap penduduk yang hasil pemeriksaan tinjanya positif Cacingan.
Pengobatan ini dilakukan di sarana kesehatan bagi Penderita yang datang berobat
sendiri dan hasil pemeriksaan mikroskopik tinja positif atau hasil pemeriksaan
klinis dinyatakan positif menderita Cacingan.

Untuk kasus dengan tinja positif usia < 2 tahun dan ibu hamil, dapat
diberikan obat cacing dengan dosis yang disesuaikan. Untuk anak usia Balita
diberikan sediaan berupa sirup.

a. Macam-macam obat cacing adalah:

1) Albendazol

Albendazol merupakan obat cacing berspektrum luas. Obat bekerja


dengan menghambat pembentukan energi cacing sehingga mati.
Albendazol juga memiliki efek larvisida terhadap cacing gelang (A.
lumbricoides). Absorbsi obat akan meningkat bila diberikan bersama
makanan berlemak. Waktu paruh albendazol adalah 8 – 12 jam dengan
kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam. Pada pasien dewasa dan anak
usia 2 tahun diberikan dosis tunggal 400 mg per oral. Untuk askariasis
berat dapat diberikan selama 2 – 3 hari. WHO merekomendasikan dosis
200 mg untuk anak usia antara 12 – 24 bulan.

2) Mebendazol

Mebendazol memiliki mekanisme kerja yang sama dengan


albendazol. Setelah pemberian oral, kurang dari 10% obat akan diabsorpsi
kemudian diubah menjadi metabolit yang tidak aktif dengan waktu paruh 2

13
– 6 jam. Ekskresi terutama melalui urin dan sebagian kecil melalui
empedu. Absorpsi akan meningkat bila diberikan bersama makanan
berlemak. Dosis untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 2 X
100 mg/hari, selama 3 hari berturut-turut untuk askariasis, cacing tambang
dan trikuriasis. Sebelum ditelan sebaiknya tablet dikunyah lebih dulu. Efek
samping yaitu mual, muntah, diare dan nyeri perut yang bersifat ringan.
Pada dosis tinggi sehingga ada efek sistemik dapat terjadi agranulositosis,
alopesia, peningkatan enzim hati dan hipersensitivitas. Kontraindikasi
untuk ibu hamil karena ditemukan efek teratogenik pada hewan coba.

3) Pirantel pamoat

Pirantel pamoat efektif untuk askariasis dan cacing tambang. Obat


tersebut bekerja sebagai neuromuscular blocking agent yang menyebabkan
pelepasan asetilkolin dan penghambatan kokinesterase sehingga
menghasilkan paralisis spastik. Dosis yang dianjurkan 10 mg-11 mg/kg
BB per oral, maksimum 1 gram, tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek
sampingnya jarang, ringan dan berlangsung sekilas antara lain mual,
muntah, diare, kram perut, pusing, mengantuk, nyeri kepala, susah tidur,
demam, lelah. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi hati, karena dapat
meningkatkan serum amino transferase pada sejumlah kecil Penderita
yang memperoleh pirantel (Kemkes No 15 Tahun 2017).

E. Pemberian Obat Pencegahan Massal

Pemberian Obat Pencegahan Massal Cacingan Pemberian obat pencegahan


massal Cacingan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tinja. Dalam
pelaksanaan POPM Cacingan harus selalu diikuti dengan penyuluhan tentang
perilaku hidup bersih dan sehat. Obat harus diminum di depan petugas dan tidak
boleh dibawa pulang. Obat yang digunakan dalam Pemberian Obat Pencegahan
Massal Cacingan adalah Albendazol atau Mebendazol, dalam bentuk sediaan
tablet kunyah dan sirup. Untuk anak usia Balita diberikan dalam bentuk sediaan
sirup, sedangkan untuk anak usia pra sekolah dan usia sekolah diberikan dalam
bentuk sediaan tablet kunyah.

14
Dosis Albendazol yang digunakan adalah sbb : untuk penduduk usia >2
tahun – dewasa : 400 mg dosis tunggal, sedangkan anak usia 1 – 2 th : 200 mg
dosis tunggal. Obat Mebendazol dapat pula digunakan dalam Pemberian Obat
Pencegahan Massal, dosis yang dipergunakan adalah 500 mg dosis tunggal. 2)
Pengobatan selektif Pengobatan selektif diberikan kepada kabupaten/kota yang
memiliki prevalensi rendah. POPM Cacingan ini dapat dilakukan selama 4-6
tahun (Kemkes No 15 Tahun 2017).

2.3 Hambatan Dalam Penanggulangan Kecacingan

1. Kurangnya komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


untuk menjadikan program Penanggulangan Cacingan sebagai
program prioritas;

2. Kurangnya koordinasi lintas program, lintas sektor, dan peran


sertamasyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan
kelompok usaha maupun lembaga swadaya masyarakat;

3. Tidak menggunakan pendekatan keluarga dalm upaya


penanggulangan;

4. Rendahnya kualitas air serta kurangnya koordinasi dengan


kementerian yang bertanggung jawab dalam penyediaan sarana air
bersih;

5. Belum efektifnya sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat di


pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar atau madrasah
ibtidaiyah atau madrasah ibtidaiyah; dan

6. Belum efektifnya pembinaan dan evaluasi dalam pelaksanaan


Penanggulangan Cacingan di daerah.

15
BAB III
KESIMPULAN

Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing Ascaris


lumbricoides. A. lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang
menyebabkan infeksi pada manusia. Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia
dengan infeksi askariasis.

Prevalensi penyakit kecacingan berdasarkan laporan survei tahun 2004


pada 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa prevalensi tertinggi berada di Propinsi
Nusa Tenggara Barat (83,6%).

Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan kegiatan,


Promosi kesehatan, Surveilans Cacingan, Pengendalian faktor risiko, Penanganan
Penderita dan POPM Cacingan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ariawati. N. 2017. Tinjauan Pustaka Ascariasis Lumbricoides. Universitas


Udayana.

Depkes RI, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Permenkes RI Nomor


424/MENKES/SK/VI/2006.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan


(Ditjen PPM & PL) (2004). Profil pemberantasan penyakit menular dan
penyehatan lingkungan. Jakarta : Direktur Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular – Penyehatan Lingkungan.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2015).


Rencana Aksi Program Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan
Tahun 2015-2019.Jakarta : Direktur Jenderal PP dan PL.

Haburchak DR. 2018. Ascariasis. https://emedicine.medscape.com/article/212510-


overview#a6 diakses 4 April 2019

Hotez PJ, Molyneux DH, Fenwick A, Kumaresan J, Sachs SE, Sachs JD, dkk.
2007. Control of Neglected Tropical Diseases. The New England Journal
of Medicine, 357(10): 1018- 1027.

Jefrey HC. 1983. Atlas Helmintologi & Protozologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan RI No 15 Tahun 2017. Penanggulangan Cacingan.


http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._15_ttg_Pe
nanggulangan_Cacingan_.pdf diakses 4 April 2019

Mardiana, Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar


Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengent san kemiskinan
Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7
No.2, 2008, p. 769-774.

Natadisastra D, Ridad Agoes. 2012. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC

17
Nurjana MA, Sumolang PP, Gunawan. 2012. Pengetahuan dan Perilaku Anak
Sekolah Tentang Kecacingan di Beberapa Sekolah Dasar di Kecamatan
Labuan Kabupaten Donggala Tahun 2012. Jumal Vektor Penyakit, Vol.
VI No. 1 : 12 – 18

Pohan HT. Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah. In : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, et al, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 th edition.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2938-42.

Salam, YA. 2017. Efek Antihelmintik Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia
mahagoni Jacq) Terhadap Kematian Ascaris suum Goeze In Vitro.
Universitas Sebelas Maret

Subahar R, Patiah P, Widiastuti, Aulung A, Wibowo H. 2017. Prevalensi dan


Intensitas Infeksi Ascariasis lumbricoides dan Trichuris trichiura pada
Anggota Keluarga di Jakarta dan Cipanas, Jawa Barat. Jurnal Profesi
Medika Vol. 11, No. 1

Sumanto D, 2010. Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah di
Desa Rejosari Karangawen Demak. Tesis. Program Studi Magister
Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Susanti, S. 2016. Jumlah Eosinofil pada Penderita Ascariasis pada Siswa SDN 14
Olo Ladang Kota Padang. Universitas Andalas.

Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2008. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: FKUI, 6-9.

Taylor HL, Spagnoli ST, Calcutt MJ. 2016. Aberrant Ascariasis suum Nematode
Infection in Cattle, Missouri, USA.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4734507/ diakses pada
4 April 2019

Yenny, P. 2015. Hubungan Askariasis dengan Kadar Eosinofil di SDN 060923


Medan Amplas Tahun 2015. Universitas Sumatera Utara.

18

You might also like