You are on page 1of 8

BAB 1

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum
atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak
luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait
dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa
hak ulayat.

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN RI lainnya adalah percepatan penyelesaian
kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa,
konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

Baru baru ini terdapat kasus baru tentang permasalahan sengketa tanah antara buruh tani, warga,
dengan perusahaan swasta di kawasan daerah rembang, terjadi nya konflik karena salah satu
perusahaan semen di Indonesia ingin mendirikan pabrik nya di tanah rembang, yang memakan
banyak lahan sawah petani petani di rembang, serta mengganggu kenyamanan warga sekitar
yang bertempat tinggal di daerah rembang.

Makalah ini akan menjelaskan tentang kasus sengketa tanah rembang dan penanganan kasus
kasus nya.

II. RUMUSAN MASALAH


- Kasus apa saja yang terjadi di rembang
- Kerugian apa saja yang di timbulkan
- Penyelesaian hokum yang harus di lakukan atas dasar peraturan pemerintahan
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik agraria yang muncul di kawasan rembang dimana kaum petani menolak penambangan
Karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia menjadi masalah yang didasarkan
akan kekhawatiran sumber air dari pegunungan kendeng akan hilang dan mengganggu
kehidupan kaum petani.

Penolakan warga-petani Rembang atas pertambangan karst & pembangunan pabrik semen jelas,
demi keberlangsungan keselamatan & keberlanjutan hidup rakyat, Sayang cara-cara premanisme
kembali dikedepankan. Empat orang petani rembang ditangkap dan dikriminalisasi.

Kasus mengenai ketidakseimbangan distribusi tanah bukan sekedar kasus klasik saja namun
semakin besarnya peluang ekonomi Indonesia yang mendorong untuk pembangunan-
pembangunan pabrik menjadi permasalahan yang kian mencekik petani. Kasus rembang yang
dalam pembelaan tanah didasarkan atas cita-cita UUPA menjadi tak terurus. Bila memang PT.
Semen Indonesia didirikan di sekitar pegunungan Kendeng maka perlu adanya pengawasan
terhadap lingkungan hidup agar lingkungan tidak sekedar kata namun sesuatu yang harus
dibiarkan hidup.

Adalah Para petani di desa Tegaldowo, Kecamatam Bunem, Kabupaten Rembang, Jateng yang
menolak penambangan karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia. Para petani
warga Rembang yang menolak justru mendapatkan kekerasan, penangkapan dan intimidasi dari
aparat kemanan yang selama ini memiliki jargon “melayani rakyat”. 4 orang petani ditangkap
1. Sumber
serta ibu-ibu petani yang memblokade pabrik semen terluka akibat mata air di dari aparat
kekerasan
keamanan. kawasan karst Watuputih
harus dilindungi
2. produksi semen
berpotensi merusak
sumber agraria berupa
tanah dan air
3. matinya sumber air,
polusi debu dan
terganggunya
keseimbangan ekosistem
Alasan 4. adanya korupsi
penolakan 5. sering mendapatkan
intimidasi
warga dan
6. pelanggaran hukum yang
petani diabaikan begitu saja
Warga rembang menduduki rencana pembangunan pabrik, aksi ini menjadi pilihan terakhir
setelah warga tidak pernah diberi kesempatan untuk menyuarakan berbagai pelanggaran yang
telah dilakukan selama persiapan proyek pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia di
Rembang ini. Warga tidak pernah tahu informasi yang jelas mengenai rencana pendirian pabrik
semen. Tidak pernah ada sosialisasi yang melibatkan warga desa secara umum, yang ada hanya
perangkat desa dan tidak pernah disampaikan kepada warga.

Dokumen AMDAL tidak pernah disampaikan terhadap warga. Tidak pernah ada penjelasan
mengenai dampak-dampak negatif akibat penambangan dan pendirian pabrik semen. Intimidasi
sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin memperjuangkan haknya untuk memperoleh
informasi yang jelas dan memperoleh lingkungan hidup yang sehat.

Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada
hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan.
Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah sekitar,
karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya, matinya sumber mata air, polusi debu, dan
terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Pada ujungnya, semua hal ini akan melemahkan
ketahanan pangan daerah dan nasional.

Penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan Persetujuan prinsip tukar menukar kawasan
hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013,
dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan
hutan KHP Mantingan yang secara administrasi Pemerintahan terletak pada Desa Kajar dan Desa
Pasucen kecamatan Gunem Kabupaten Rembang provinsi Jawa Tengah. Namun fakta
dilapangan, Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono kecamatan Bulu seluas
kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik. Perlu diketahui dalam Perda no 14 tahun 2011
tentang RTRW Kab. Rembang Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri
besar.

Didalam Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) diatur mengenai
segala hal tentang tanah. Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Pengasih kepada bangsa
Indonesia (UUPA Pasal 1). Bahwa tanah ini adalah seluruhnya untuk kemakmuran bangsa bukan
untuk kemakmuran asing (salah satu pihak PT. Semen Indonesia) walaupun kita mengenal UU
No 25 Tahun 2007 tentang penanaman Modal Asing namun yang demikian dilakukan untuk
mempermudah laju perekonomian Indonesia dan bukan semata-mata untuk membela pemodal
asing.

Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial (UUPA Pasal 6). Pemilikan/penguasaan tanah selain
bermanfaat kepada pemiliknya juga bermanfaat bagi masyarakat. Pengelolaan tanah oleh
pemilik/yang menguasai tanah tidaklah dalam ruang vakum, melainkan pada suatu sistem
keseimbanagn antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Eksistensi prinsip
dasar ini dicerminkan pula dari kewajiban pemegang hak tanah untuk memelihara kesuburan
tanahnya dan mencegah terjadinya kerusakan atas tanah dimaksud. Atas penetapan hakim PTUN
di Semarang yang secara tidak langsung memberikan izin terhadap pembangunan pabrik PT.
Semen Indonesia maka PT. Semen Indonesia harus mementingkan keseimbangan kemakmuran
dirinya dan kepada warga Indonesia khususnya warga Rembang.
Pasca bentrok dengan aparat kepolisian, warga rembang bersama konsorsium pembaruan
agrarian mendesak gubernur jawa tengah menghentikan dan mencabut izin penambangan karst
dan pembangunan pabrik semen di pegunungan kendeng, kabupaten rembang, jawa tengah.

Sebab kata lukito, pasal 52 ayat (5), huruf a) peraturan pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang
rencana tata ruang nasional menyebutkan kawasan karst merupakan salah satu kawasan lindung
geologi, yaitu kawasan cagar alam geologi, oleh karena itu, kawasan karst harus dilindungi
(pasal 53 (1), huruf b dan c)

Mereka juga mendesak agar meninjau ulang penambangan karst karena dapat merampas lahan
produktif petani dan memunculkan alih fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan karst dan
pebrik semen. “menghentikan segala bentuk kekerasan atas nama pembangunan pabrik semen
yang merampas lahan warga dan merusak mata air petani,” ujar lukito.

Kini, warga Rembang berusaha mengajukan upaya hukum banding ke PT. TUN Jawa Timur.
Hingga saat ini, berkas perkara PTUN Semarang masih digodok di PT. TUN Jawa Timur, Situasi
yang terjadi di seluruh Rembang adalah bagian gambaran kepentingan situasi di seluruh pulau
Jawa. Dalam laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) sebagaimana dikutip Media
Kompas, hingga tahun 2013 saja misalnya, telah ada 76 ijin pertambangan Karst yang tersebar di
23 kabupaten dengan total konsesi seluas 34.994,90 hektar. Dengan kepadatan hingga 1.057 jiwa
per kilometer, setiap industri ekstratif semacam pabrik semen yang muncul di pulau Jawa, dapat
mengancam keselematan ruang hidup rakyat.

Perampasan ruang hidup rakyat oleh proyek-proyek investasi dan industri sektratif adalah wujud
tidak diperdulikanya hak veto (kedaulatan) rakyat. Dalam setiap penentuan rencana-rencana
pembangunan, rakyat tidak pernah dilibatkan.Dihadapan kuasa modal dan investasi, rakyat tidak
pernah dianggap ada. Pada 2013, Komnas HAM telah merilis laporan yang menyebutkan bahwa
konflik tertinggi yang muncul di indonesia adalah konflik agraria yang mencapai 378 kasus
kekerasan, banyak diantara kasus ini yang disertai dengan pembunuhan.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Persoalan ekologis yang dialami warga Rembang merupakan salah satu contoh konkret dari
permasalahan agraria yang diakselerasi oleh proyek konektivikasi bisnis ekploitasi dan ekplorasi
sumber daya alam MP3EI. Untuk mencapai tujuan MP3EI, pembebasan dan pengadaan tanah
merupakan prasyarat utama. Dalam rantai produksi global, pemerintah berperan sebagai
pembangun infrastruktur fisik dan kebijakan untuk melenggangkan aktivitas perusahaan yang
juga terikat dalam rantai produksi global. Melalui MP3EI pemerintah justru menjadi aktor utama
yang memicu konflik agraria di sektor infrastruktur. Aparat hukum dikerahkan untuk menjamin
risiko yang tentu muncul akibat pengadaan tanah tersebut untuk kepentingan bisnis. Republik
Indonesia berpotensi kehilangan ajektif res publica yang dilekatkan padanya.
Daftar Pustaka

http://membunuhindonesia.net/2015/03/rembang-melawan-perjuangan-warga-melawan-kendali-
modal/
http://www.daulathijau.org/?p=575
http://www.hukumpedia.com/lesta/menilik-uupa-terhadap-konflik-rembang
http://suaraagraria.com/detail-20555-alasan-petani-rembang-tolak-pertambangan-karst--pabrik-
semen.html#.Vl3Nj9IrLIU
KASUS SENGKETA TANAH DI REMBANG
MAKALAH HUKUM AGRARIA

DI SUSUL OLEH:
NAILATUL FADHILA TAUFIK
20140610120
KELAS B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

You might also like