You are on page 1of 3

Asal usul gunungpati Semarang

Peperangan antara prajurit Tuban dan Pati. Saat itu, banyak penduduk Pati yang pergi
melarikan diri untuk mengungsi demi keselamatan jiwanya. Salah seorang diantaranya
adalah Kyai Pati. Dia pergi kearah timur di Daerah Semarang. Dengan mengendarai
seekor sapi yang bernama Pragolapati, sapi itu bisa lari cepat sampai tidak bisa di ikuti
oleh musuh, dia mengungsi bersama para pengikutnya. Dan tibalah rombongan ini di
sebuah tempat yang dianggapnya sudah cukup aman dan nyaman. ”Daerah ini rasanya
cukup aman untuk berlindung,” kata Kyai Pati, benar Kyai sepertinya aman dan
kelihatannya daerahnya juga subur kata pengikutnya. ”Bagaimana kalau kita menetap di
daerah ini saja?” tanya Kyai Pati, yang dijawab ”setuju” oleh semua pengikutnya dengan
sorak-sorak. Kemudian Kyai Pati berkata, ”Wahai saudara-saudaraku semua,
saksikanlah, daerah ini akan saya beri nama Gunungpati. Yang artinya, daerah
bergunung-gunung (pegunungan), dan digabungkan dengan nama saya, Kyai Pati”.

Dalam perkembangannya, Gunungpati pernah menjadi sebuah kabupaten tersendiri.


Hal itu dapat dibuktikan dari masih adanya dua Pohon Asam di tengah Alun-alun, sekitar
50 Tahun yang lalu. Bahkan sampai sekarang, kita masih bisa menjumpai Kampung
Ngabean, Pasar Kliwonan, Jagalan, dan Kauman di sekitar Masjid, serta sebuah Penjara
yang bernama Sikrangkreng. Hingga 1919, Gunungpati masih dipimpin seorang lurah
bernama Jafar, yang masih keturunan langsung dari Kyai Pati.

Di masa Revolusi, Gunungpati adalah wilayah setenan dari asisten wedana wilayah
Kawedanan Ungaran. Julukan bagi Kepala Pemerintahan Gunungpati adalah Pak Seten.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada Tahun 1947, wilayah Gunungpati menjadi
bagian integral dari NKRI. Status Gunungpati kemudian berubah dari Kawedanan
menjadi Kecamatan di Kabupaten Semarang, tetapi pada pertengahan 1980-an diminta
bergabung dengan Kota Semarang. Kemudian dengan berjalannya waktu dan kejayaan
pemerintahan Gunungpati di pimpin seorang camat
Asal usul Goa Kreo Jawa Tengah
Legenda Gua Kreo tak terpisahkan dengan legenda asal mula nama Jatingaleh, sebuah
kelurahan di lereng Bukit Gombel, Kecamatan Candisari, Kota Semarang. Dikisahkan,
dahulu seorang wali yang punya kemampuan lebih, seperti Sunan Kalijaga, dapat
berkomunikasi dengan tumbuhan dan binatang. Bahkan, ada pula pohon-pohon yang
dipercaya bisa berpindah tempat. Menurut legenda, kayu jati yang akan digunakan
sebagai salah satu saka guru Masjid Agung Demak, adalah potongan kayu dari pohon jati
yang berada di lereng Bukit Gombel. Ajaibnya, sewaktu Sunan Kalijaga akan mengambil
kayu jati di kawasan tersebut, ternyata pohon jati itu sudah tidak ada dan berpindah
tempat.
Sunan Kalijaga kemudian mencari ke mana pohon jati itu berpindah. Beliau pun terus
mencari sampai ke hutan yang saat ini dikenal sebagai kawasan Gua Kreo. Sedangkan
tempat asal pohon jati itu kemudian diberi nama Jatingaleh (bahasa jawa) yang artinya
”jati berpindah”.

Akhirnya Sunan Kalijaga menemukan kayu jati yang berpindah itu, tetapi berada di tempat yang
sulit untuk diambil. Beliau kemudian bersemedi didekat sebuah gua, hingga datang empat ekor
kera, masing-masing berbulu merah, kuning, putih, dan hitam. Kera-kera itu menyampaikan
niat baik ingin membantu Sunan Kalijaga mengambil kayu jati yang diinginkan. Sunan Kalijaga
menerima bantuan mereka dengan senang hati, akhirnya kayu jati itu berhasil diambil dari
tempat yang sulit.

Saat Sunan Kalijaga dan sahabat-sahabatnya hendak membawa kayu jati itu ke Kerajaan
Demak untuk dibuat saka guru Masjid Agung Demak, keempat kera itu menyatakan ingin
ikut serta. Karena mereka bukan manusia, Sunan Kalijaga keberatan. Namun sebagai
balas jasa, kera-kera itu mendapat anugerah kawasan hutan di sekitar gua. Mereka diberi
kewenangan ngreho (bahasa Jawa) yang berarti ”memihara” atau ”menjaga”. Dari kata
ngreho itulah nama Gua Kreo berasal, dan sejak itu kera-kera yang menghuni kawasan
ini dianggap sebagai pemelihara atau penjaga.

Sampai sekarang, Gua Kreo yang terletak di lereng Bukit Kreo, termasuk objek paling
favorit yang didatangi pengunjung. Menurut Karyadi, kedalaman gua mencapai 25 meter.
Sekitar 10 meter di sebelah kanan Gua Kreo, ada lagi sebuah gua bernama Gua Landak.

Gua Landak kedalamannya 30 meter. Tapi gua ini dibuat oleh pengelola Gua Kreo, bukan
petilasan Sunan Kalijaga,” kata Karyadi. Bagi pengunjung yang punya nyali, banyak yang
berani memasuki kedua gua itu hanya untuk berfoto-ria. Selanjutnya, kami melacak
petilasan Sunan Kalijaga ke puncak Bukit Kreo yang berketinggian 350 meter di atas
permukaan laut. Di situ terdapat monumen batu.
Monumen ini dibangun untuk menandai petilasan Sunan Kalijaga saat dia bersama
sahabat-sahabatnya dan empat kera yang membantu, mengadakan acara selamatan
dengan makan bersama, sebagai rasa syukur mereka telah berhasil mengambil kayu jati
dari tempat yang sulit. Lauknya adalah sate kambing.
Seusai makan, tusuk-tusuk sate itu dibuang ke tanah hingga terdengar suara
gemerincing. Tempat dibuangnya tusuk sate itu kemudian tumbuh serumpun bambu
yang dinamakan bambu kerincing. Ajaibnya, batang bambu itu ketika dipatahkan
tercium aroma daging kambing.

You might also like