You are on page 1of 37

REFRESHING

DERMATOTERAPI

Pembimbimg :
dr. Chadijah Rifai, Sp.KK

Disusun oleh :
Muhammad Irsyifa Azmi
2014730062

KEPANITERAAN KLINIK KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJANG
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan refreshing mengenai “Dermatoterapi”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya refreshing ini khususnya kepada dr. Chadijah Rifai, Sp.KK, selaku
pembimbing refreshing.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan refreshing ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan refreshing ini.
Kami berharap semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, Januari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 2


2.1. Pengobatan Topikal ............................................................................................ 2
2.1.1. Mekanisme Kerja.................................................................................... 2
2.1.2. Bentuk Sediaan Topikal ......................................................................... 4
2.1.2.1. Bahan Dasar (Vehikulum) ........................................................ 4
2.1.2.2. Bahan Aktif ............................................................................ 11
2.1.3. Prinsip ................................................................................................... 22
2.2. Pengobatan Sistemik ........................................................................................ 23
2.2.1. Glukokortikosteroid Sistemik ............................................................... 23
2.2.2. Antihistamin ......................................................................................... 27
2.2.3. Antibiotik .............................................................................................. 28
2.2.4. Antivirus ............................................................................................... 29
2.2.5. Antifungi ............................................................................................... 30
2.2.6. Dapson .................................................................................................. 30
2.2.7. Obat Imunosupresif dan Imunomodulator ............................................ 30
2.2.8. Retinoid ................................................................................................ 30
2.2.9. Sitotoksik dan Anti Metabolik.............................................................. 31
2.2.10. Aminokuinolin (Anti Malaria) ............................................................. 31
2.2.11. Antiangiogenik ..................................................................................... 31

BAB III KESIMPULAN ................................................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 33

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit merupakan organ tubuh terbesar dan memiliki banyak fungsi penting, di
antaranya adalah fungsi proteksi, termoregulasi, respon imun, sintesis senyawa biokimia,
dan peran sebagai organ sensoris.1
Umumnya di departemen kulit dan kelamin pengobatan penyakit kulit terdiri atas
topikal, sistemik dan intralesi. Pengobatan topikal akan dibahas lebih banyak karena
merupakan terapi yang sering digunakan di departemen kulit dan kelamin. Pengobatan
topikal dilakukan bila lesinya sedikit, dan jika didapatkan hasil laboratorium tidak
normal, misalnya menurunnya fungsi hati dan ginjal. Sedangkan pengobatan sistemik
dilakukan apabila lesinya luas, predileksinya sulit untuk pengobatan topikal, jika
pengobatan topikal belum memadai, pasien imunokompremais dan hasil laboratorium
normal.2
Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi, maka
pengobatan penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Yang menarik perhatian ialah
kemajuan dalam bidang pengobatan topikal yang berupa perubahan dari cara pengobatan
non spesifik dan empirik menjadi pengobatan spesifik dengan dasar yang rasional.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam macam cara, antara lain secara
topikal, sistemik, dan intralesi.2
Jika pengobatan dengan cara di atas ini belum memadai maka masih dapat
dipergunakan cara-cara lain, seperti radioterapi, sinar ultraviolet, pengobatan laser,
krioterapi, bedah listrik, dan bedah skalpel.2

2.1. Pengobatan Topikal


2.1.1. Mekanisme Kerja
Senyawa yang diaplikasikan pada permukaan kulit, termasuk obat topikal, masuk
ke dalam kulit mengikuti suatu gradien konsentrasi (difusi pasif). Gradien konsentrasi
ditimbulkan oleh perbedaan konsentrasi obat aktif dalam sediaan yang diaplikasikan pada
kulit dan konsentrasi obat aktif dalam jaringan kulit serta jaringan di bawahnya (dermis
dan subkutan). Analisis farmakokinetik dari suatu sediaan topikal yang diaplikasikan
pada kulit meliputi pembahasan mengenai tiga kompartemen yang dilalui obat aktif, yaitu
vehikulum sebagai pembawa obat aktif, stratum korneum, dan lapisan epidermis serta
dermis.1
Untuk dapat masuk ke dalam lapisan kulit, bahan/obat aktif dalam suatu sediaan
topikal harus dilepaskan dari vehikulumnya setelah sediaan obat topikal diaplikasikan.
Pelepasan/disolusi bahan aktif dari vehikulumnya ditentukan oleh koefisien partisinya.
Makin besar nilai koefisien partisi, maka bahan aktif makin mudah terlepas dari
vehikulum.1
Bahan aktif yang telah terlepas dari vehikulumnya akan berinteraksi dengan
permukaan kulit/stratum korneum. Bahan aktif yang telah berinteraksi dengan stratum
korneum akan segera berdifusi ke dalam stratum korneum. Difusi yang terjadi
dimungkinkan dengan adanya gradien konsentrasi. Pada awalnya, difusi bahan aktif
terutama berlangsung melalui folikel rambut (jalur transfolikular). Setelah tercapai
keseimbangan (steady state), difusi melalui stratum korneum menjadi lebih dominan.1

2
a. Jalur transfolikular. Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan
berpartisi dan selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di dalam folikel
rambut hingga mencapai lapisan epitel pada bagian dalam folikel dan kemudian
berdifusi menembus epitel folikel hingga mencapai lapisan epidermis.
b. Jalur transkorneal (transepidermal). Hingga saat ini, penyerapan obat interselular
(melalui celah di antara korneosit) menjadi jalur utama pada penyerapan obat
transkorneal.
Difusi bahan/obat aktif melalui kedua jalur di atas pada akhirnya akan mencapai
lapisan yang lebih dalam yaitu epidermis hingga kemudian dermis. Dengan adanya
pembuluh darah dalam dermis, bahan aktif yang mencapai lapisan dermis kemudian akan
diresorpsi oleh sistem sirkulasi.1

Gambar 1 Skema Tahapan Penyerapan Obat Melalui Kulit1

3
2.1.2. Bentuk Sediaan Topikal
Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi
obat-obat yang diaplikasi di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah
mengeringkan, membasahi (hidrasi), melembutkan, lubrikasi, mendinginkan,
memanaskan, dan melindungi (proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu
bermaksud untuk mengadakan homeostasis, yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan
jaringan di sekitarnya ke keadaan fisiologik stabil secepat-cepatnya. Di samping itu untuk
menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas.2
Dalam jangka waktu 20 tahun terakhir ini telah dikembangkan preparat – preparat
topikal yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik terhadap organism di kulit atau
terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topikal harus berkhasiat fisis
maupun kimiawi. Kalau obat topikal di gunakan secara rasional, maka hasilnya juga
optimal, sebaliknya kalau digunakan secara salah obat topikal menjadi tidak efektif dapat
menyebabkan penyakit iatrogenik.2
Prinsip obat topikal secara umum terdiri atas 2 bagian :
- Bahan dasar (vehikulum)
- Bahan aktif
2.1.2.1. Bahan Dasar (Vehikulum)

Gambar 1 Bagan Vehikulum2

Vehikulum adalah zat inaktif/ inert yang digunakan dalam sediaan topikal sebagai
pembawa obat/ zat aktif agar dapat berkontak dengan kulit. Meskipun inaktif, aplikasi
suatu vehikulum pada kulit dapat memberikan beberapa efek yang menguntungkan,
meliputi efek fisik misalnya efek proteksi, mendinginkan, hidrasi, mengeringkan/
mengangkat eksudat, dan lubrikasi, serta efek kimiawi/ farmakologis, misalnya efek
analgesik, sebagai astringent, antipruritus, dan bakteriostatik.1

4
Memilih vehikulum obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting yang
harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Prinsipnya, dermatosis yang membasah
dipakai bahan dasar cair/basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai
bahan dasar padat/keting, misalnya salap.2
Berdasarkan komponen penyusunnya, vehikulum dapat digolongkan dalam
monofasik, bifasik, dan trifasik. Yang termasuk vehikulum monofasik di antaranya
adalah bedak, salep, dan cairan. Bedak kocok, pasta, dan krim tergolong dalam vehikulum
bifasik. Sementara pasta pendingin merupakan contoh vehikulum trifasik. Selain ketiga
kelompok besar vehikulum di atas, terdapat vehikulum lain yang tidak dapat dimasukkan
ke dalam salah satu golongan tersebut, yaitu jel.1
Pembagian lain vehikulum adalah berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu
vehikulum hidrofobik dan vehikulum hidrofilik. Vehikulum hidrofobik meliputi berbagai
hidrokarbon, silikon, alkohol, sterol, asam karboksilat, ester dan poliester, serta eter dan
polieter. Sementara vehikulum hidrofilik meliputi berbagai poliol dan poliglikol,
sebagian dari golongan ester dan poliester, serta beberapa macam eter dan polieter.
Berdasarkan konsistensinya, vehikulum dibagi menjadi cair, solid, dan semisolid.1
Pemilihan Vehikulum dalam Dermatoterapi Topikal
Berbagai hal menjadi pertimbangan dalam pemilihan vehikulum dalam
dermatoterapi, antara lain 1) stadium dan tipe penyakit kulit, 2) tipe/status kulit, 3) lokasi
penyakit kulit, 4) faktor lingkungan, serta 5) pertimbangan kosmetik.1
1. Stadium dan tipe penyakit kulit
Prinsip pengobatan basah-dengan-basah serta keringdengan-kering masih
merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam dermatoterapi. Misalnya, dermatosis akut
yang eksudatif ditatalaksana dengan vehikulum yang bersifat mendinginkan yaitu dengan
menggunakan kompres dengan atau tanpa zat aktif. Sementara dermatitis kronik dengan
kelainan kulit yang kering dapat ditatalaksana dengan menggunakan vehikulum salep,
lotion, dan krim.1
2. Tipe dan status kulit
Vehikulum dapat mengubah keadaan fisik dan kimiawi kulit dengan cara
mempengaruhi kandungan lemak dan air di dalamnya. Vehikulum yang bersifat hidrofilik
sesuai untuk digunakan pada kondisi kulit normal atau berminyak, sedangkan vehikulum
yang bersifat lipofilik lebih cocok untuk keadaan kulit yang kering.1

5
3. Lokasi penyakit kulit
Pemilihan vehikulum berdasarkan lokasi anatomis kelainan kulit menjadi hal
penting. Ketebalan stratum korneum dan kepadatan folikel rambut yang bervariasi pada
berbagai lokasi anatomis, mempengaruhi penyerapan sediaan topikal. Misalnya sediaan
berbentuk salep dapat digunakan dalam pengobatan dermatosis pada telapak tangan atau
telapak kaki. Pertimbangan lain yang berkaitan dengan lokasi anatomis juga menyangkut
kenyamanan pasien dan pertimbangan kosmetik.1
4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan, misalnya kondisi iklim yang ekstrim dapat mengubah struktur
matriks suatu vehikulum, sehingga diperlukan uji untuk mengetahui kestabilan
vehikulum pada berbagai keadaan iklim.1
5. Pertimbangan kosmetik
Penampilan fisik, bau, kemudahan dalam aplikasi, serta kemampuan untuk tidak
meninggalkan residu setelah aplikasi menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan
vehikulum karena dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.1
Secara umum, zat pembawa dibagi atas 3 kelompok, cairan, bedak, dan salep.
Ketiga pembagian tersebut merupakan bentuk dasar zat pembawa yang disebut juga
sebagai bentuk monofase. Kombinasi bentuk monofase ini berupa krim, pasta, bedak
kocok dan pasta pendingin.2
1. Cairan
Cairan terdiri atas :
- Solusio artinya larutan dalam air
- Tingtura artinya larutan dalam alkohol
Solusio dibagi dalam :
- Kompres
- Rendam (bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan
- Mandi (fullbath)
Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris
(pus, krusta dan sebagainya) dan sisa – sisa obat topikal yang pernah dipakai.
Disamping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustule. Hasil
akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan
menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi

6
proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala,
misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parastesi oleh bermacam – macam dermatosis.2
Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit
menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus di pantau secara teliti, kalau
keadaan sudah mulai kering pemakainnya di kurangi dan kalau perlu di hentikan
untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainya. Cara kompres lebih di sukai dari
pada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendingin dengan
adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi.2
Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen
dan antimicrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein.2
Dikenal dua macam cara kompres, yaitu :
a. Kompres terbuka
Dasar :
Penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus.
Indikasi :
- Dermatosis madidans
- Infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisepelas
- Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
Efek pada kulit :
- Kulit yang semula eksudative menjadi kering
- Permukaan kulit mnejadi dingin
- Vasokontriksi
- Eritema berkurang
Cara :
Digunakan kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak
terlalu tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu ketat, tidak perlu steril dan
jangan menggunakan kapas karena lekat dan menghambat penguapan.2
Kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, lalu di balutkan dan
didiamkan, biasanya sehari dua kali selama 3 jam. Hendaknya jangan sampai
terjadi maserasi.Bila kering dibasahkan lagi.Daerah yang di kompres luasnya
1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi pendinginan.2

7
b. Kompres tertutup
Sinonim : Kompres impermeabel
Dasar : Vasodilatasi, bukan untuk penguapan.
Indikasi : Kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium.
Cara :
Digunakan pembalut tebal dan di tutup dengan bahan impermeable,
misalnya selofan atau plastik.2
2. Bedak
Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang
tidak melekat erat sehingga penetrasinya sedikit sekali.Yang diharapkan dari
bedak terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talcum venetum. Biasanya
bedak dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan
sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah.2
Efek bedak ialah :
- Mendinginkan
- Antiinflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokontriksi
- Antipruritus lemah
- Mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat ( intertrigo )
- Proteksi mekanis
Yang diharapkan daru bedak adalah efek fisis. Nahan dasarnya adalah
talcum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini
bersifat mengabsorpsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus
lemah.2
Indikasi pemberian bedak ialah :
- Dermatosis yang kering dan superfisial
- Mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya pada varicela
dan herpes zoster.
Kontraindikasi :
Dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder.2

8
3. Salap
Salap ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak.2
Indikasi pemberian salap ialah :
- Dermatosis yang kering dan kronik
- Dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salap paling
kuat jika dibandingkan dengan bahan dasar lainya.
- Dermatosis yang bersisik dan berkrusta
Kontraindikasi :
Dermatitis madidans, jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang
berambut, penggunaan salap tidak dianjurkan dan salap jangan dipakai di seluruh
tubuh.2
4. Bedak kocok
Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya di tambah
dengan glliserin sebagai bahan perekat.Supaya bedak tidak terlalu kental dan
cepat emnjadi kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin
10-15%. Hal ini berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka
persentase tersebut jangan dilampaui.2
Indikasi bedak kocok ialah :
- Dermatosis yang kering, superfisial dan agak luas, yang diinginkan ialah
sedikit penetrasi.
- Pada keadaan subakut
Kontraindikasi :
- Dermatitis madidans
- Daerah badan yang berambut
5. Krim
Krim krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak) dan emulgator.
Krim ada 2 jenis :
- Krim W/O : air merupakan fase dalam dan minyak fase luar
- Krim O/W : minyak merupakan fase dalam dan air fase luar

9
Selain itu dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet,
misalnya parabean dan juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat
di masukan di dalam krim.2
Indikasi penggunaan krim ialah :
- Indikasi kosmetik
- Dermatosis yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi yang
lebih besar daripada bedak kocok.
- Krim boleh digunakan di daerah yang berambut.
Kontraindikasi : dermatitis madidans.
6. Pasta
Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif
dan mengeringkan.
Indikasi : dermatosis yang agak basah
Kontraindikasi :
Dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk daerah
genital eksterna dan lipatan – lipatan badan pasta tidak dianjurkan karena terlalu
melekat.2
7. Linimen
Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salap.
Indikasi : dermatosis yang subakut
Kontraindikasi : dermatosis madidans2
8. Gel
Ada vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum” ialah
gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspense yang dibuat dari
senyawa organic. Zat untuk membuat gel diantaranya ialah karbomer,
metilselulosa dan tragakan. Bila zat -zat tersebut dicampur dengan air dengan
perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi
sangat jernih dan halus.2
Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu
lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.2

10
2.1.2.2. Bahan Aktif
Memilih obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang
dimaksudkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk
pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko – kimia
permukaan kulit, disamping komposisi formulasi zat yang dipakai.2
Di dalam resep harus ada bahan aktif dan vehikulum. Bahan aktif dapat
berinteraksi satu sama lain. Yang penting ialah, apakah bahan yang kita campurkan itu
dapat tercampurkan atau tidak, sebab ada obat/zat yang sifatnya O.T.T (obat tidak
tercampurkan).2
Asam salisilat misalnya dapat dicampur dengan asam lainya, contohnya asam
benzoat atau dengan ter, resorsinol tidak tercampur dengan yodium, garam, besi atau
bahan yang bersifat oksidator.2
Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
konsentrasi obat, kelarutanya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek
vehikulum terhadap kulit.2
Bahan aktif yang digunakan di antaranya ialah2 :
1. Aluminium asetat
Contohnya ialah larutan Burowi yang mengandung alumunium asetat
5%.Efeknya ialah astrinen dan antiseptik ringan.
2. Asam asetat
Dipakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptik untuk
infeksi pseudomonas.
3. Asam benzoat
Mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal. Digunakan dalam salap
contohnya dalam Whitefield dengan konsentrasi 5%. Menurut British
Pharmaceutical Codex susunannya demikian :
R/ Acidi benzoici 5
Acidi slicylici 3
Petrolati 28
Olei cocos 64
Modifikasi salap tersebut ialah A.A.V.I. yang digunakan untuk penyakit
jamur superfisial. Salap tersebut berisi asam salisilat 6% dan asam benzoat 12%.

11
Sedangkan salap lain ialah A.A.V.I. berisi asam salisilat 3% dan asam benzoat
6%, jadi konsentrasi bahan aktif hanya separuhnya.
4. Asam borat
Konsentrasinya 3% tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak,
kompres atau dalam salap berhubung untuk antiseptiknya sangat sedikit dan dapat
bersifat toksik, terutama pada kelainan yang luas dan erosif terlebih-lebih pada
bayi.

12
5. Asam salisilat
Merupakan zat keratolitik yang tertua yang dikenal dalam pengobatan
topikal. Efeknya ialah mengurangi proliferasi epitel dan menormalisasi
keratinisasi yang terganggu. Pada konsentrasi yang rendah (1-2%) mempunyai
efek keratoplastik, yaitu menunjang pembentukan keratin yang baru.Pada
konsentrasi yang tinggi (3-20%) bersifat keratolitik dan dipakai untuk keadaan
dermatosis yang hiperkeratolitik.Pada konsentrasi yang sangat tinggi (40%)
dipakai untuk kelainan – kelainan yang dalam, misalnya kalus dan veruka
plantaris.Asam salisil dalam konsentrasi 1 % dipakai sebagai kompres, bersifat
antiseptik. Penggunaanya, misalnya untuk dermatitis eksudatif, asam salisilat 3%
- 5% juga bersifat mempertinggi absorbsi per kutan zat – zat aktif.
6. Asam undersilenat
Bersifat antimitotik dengan knsentrasi 5% salap atau krim. Dicampur
dengan garam seng 20%.
7. Asam vitamin A ( tretonin, asam retinoat )
Efek :
- memeperbaiki keratinisasi menjadi normal jika terjadi gangguan,
- meningkatkan sintesis D.N.A dalam epithelium germinatif,
- meningkatkan laju mitosis,
- menebalkan staratum granulosum,
- menormalkan parakeratosis.
Indikasi :
- penyakit dengan sumbatan folikular,
- penyakit dengan hiperkertaosis,
- pada proses menua kulit akibat sinar matahari.
8. Benzokain
Bersifat anastesia, konsentrasinya 0,5-5%, tidak larut dalam air,lebih larut
dalam minyak (1:35), dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakan dalam
venikulum yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi.
9. Benzil benzoat
Cairan berkhasiat sebagai akabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai
emulsi dengan konsentrasi 20% dan 25%.

13
10. Camphora
Konsentrasinya 1-2%.Bersifat anti pruritus berdasarkan penguapan zat
tersebut sehingga terjadi pendinginan.Dapat dimasukan ke dalam bedak atau
bedak kocok yang mengandung alkohol agar dapat larut.Juga dapat di pakai dalam
salap dan krim.
11. Kortikosteroid
Pada tahun 1952 Sulzberger dan Witten memeprkenalkan hidrokortison
dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dari golongan kortikosteroid
(KS). Hal ini merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit
kulit topikal karena KS mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : antiinflamasi,
antialergi, antipruritus, antimitotic, dan vasokonstriksi. Pada pada penyelidikan
ternyata bahwa kortison dan adreno-cortico-trophic-hormone (ACTH) tidak
efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembnagan selanjutnya, apda tahun 1960 diperkenalkan KS yang
lebih poten daripada hidrokortison, yaitu KS yang bersenyawa halogen yang
dikenal dengan fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan
9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang
mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1%
memberikan pengaruh antiinflamasi kuat, yang termasuk golongan ini ialah
betamethasone, betamethasone valerat, betamethasone benzoat, fluosinolon
asetonid, dan triamsinolon asetonid.
Penggolongan :
Kortikosteroid topikal dibagi menjadi 7 golongan besar, di antaranya
berdasarkan antiinflamasi dan antimitotik. Golongan I yang paling kuat daya
antiinflamasi dan antimotitiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang
terlemah (potensi lemah).

Tabel 1 Golongan Kortikosteroid Topikal Berdasarkan Potensi Klinis2


Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan I : Diprolene ointment 0,05% betamethason
(super poten) dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol proprionate
Temovate cream

14
Ultravate ointment 0,05% halobetasol proprionate
Ultravate cream

Golongan II : Cyclocort ointment 0,1% amcinonide


(potensi tinggi) Diprosone ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethason
dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone

Golongan III : Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide


(potensi tinggi) Cutivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1% amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethason
dipropionate
Florone cream 0,05% diflorasone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethason valerate

Golongan IV : Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide


(potensi medium) Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V : Cordran cream 0,05% flurandrenolide


(potensi medium) Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate

15
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethason
dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide
Valisone cream 0,01% betamethason valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI : Aciovate ointment 0,05% aclometasone


(potensi medium) Aciovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
DesOwen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,01% betamethason valerate

Golongan VII : Obat topikal dengan hidrokortison, deksametason,


(potensi lemah) glumetalon, prednison, dan metilprednisolon

Indikasi :
KT dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu
penyakit kulit. Ahrus selalu diingat bahwa KT bersifat paliatif dan supresif
terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.2
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid adalah: psoriasis,
dermatitis atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis
sirkumskripta, dermatitis numularis, dermatitis statis, dermatitis venenata,
dermatitis intertriginosa, dan dermatitis solaris (fotodermatitis).2
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus discoid,
psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo,
granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.2
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid,
jaringan parut hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis,
morfea, dermatitis dengan likenifikasi, liken amyloidosis, dan vitiligo (sebagian
responsif).2

16
Pemilihan Jenis KT :
Dipilih kortikosteroid yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga
murah; di samping itu ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan, yaitu jenis
penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit,
luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga
dipertimbangkan umur penderita.2
Aplikasi :
Penggunaan kortikosteroid pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-
3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala
takifilaksis. Takifilaksis adalah menurunnya respons kulit terhadap
glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang; berupa toleransi akut
yang berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan
beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi
bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.2
Lama pemakaian steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu
untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.2
Efek samping :
Efek samping terjadi akibat penggunaan kortikosteroid yang lama dan
berlebihan dan penggunaan kortikosteroid dengan potensi kuat atau sangat kuat
atau penggunaan secara oklusif. Harus diingat bahwa makin tinggi potensi KT,
makin cepat terjadinya efek samping.2
Gejala efek sampingnya adalah atrofi, strie atrofise, telangiektasis,
purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi,
dermatitis perioral, menghambat penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi dan
meluas, dan gambaran klinis penyakit infeksi menjadi kabur.2
Dermatofitosis yang diobati dengan KT gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek antiinflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas
menjadi kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.2
Pencegahan Efek Samping :
Efek samping sistemik ajrang sekali terjadi, agar aman dosis yang
dianjurkan ialah jangan melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi.2

17
Pada bayi, kulit masih tipis, hendaknya dipakai KT yang lemah. Pada
kelainan akut dipakai KT yang lemah. Pada kelaina subakut dipakai KT sedang
jika kelainan kronis dan tebal dipakai KT kuat. Bila telah membaik pengolesan
dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi sekali sehari atau diganti dengan
KT sedang/lemah untuk mencegah efek samping.2
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas apda lesi yang resisten. Pada daerah lipatan (inguinal,
ketiak) dan wajah digunakan KT lemah/sedang . KT jangan digunakan untuk
infeksi bacterial, infeksi mikotik, infeksi virus, dan skabies. Di sekitar mata
hendaknya ebrhato-hati untuk menghidnari timbulnya glaucoma dan katarak.
Terapi intralesi dibatasi 1 mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksiimum per
kali 10 mg.2
12. Mentol
Bersifat antipruritik seperti campora. Pemakaiannya seperti pada campora,
konsentrasinya ¼ - 2%.2
13. Podofilin
Dammar podofilin digunakan dengan konsentrasi 25% sebagai tingtur
untuk kondiloma akuminata. Setelah 4-6 jam hendaknya di cuci.2
14. Selenium disulfid
Digunakan sebagai sampo 1% untuk dermatitis seboroik pada kepala dan
tinea versikolor. Kemungkinan terjadinya efek toksik rendah.2
15. Sulfur
Merupakan unsur yang telah digunakan selama berabad-abad dalam
dermatologi. Bersifat antiseboroik, antiakne, anti skabies, antibakteri positif, gram
dan anti jamur. Yang digunakan adalah sulfur dengan tingkat terhalus, yaitu sulfur
presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning kehijauan. Biasanya dipakai
dalam konsentrasi 4-20%. Dapat digunakan dalam pasta, krim, salap, dan bedak
kocok. Contoh dalam salap adalah salap 2-4 yangmengandunga sam salisilat 2%
dan sulfur presipitatum 4%. Sedangkan contoh dalam bedak kocok ialah losio
Kummerfeldi dipakai untuk akne.2 Susunannya adalah sebagai berikut:
R/ Champorae 3
Sulfuris praecipitati 20

18
Mucilaginis gummi arabici 10
Solutionis hydratis calcici 134
Aquae rosarum 133
16. Ter
Preparat golongan ini di dapat sebagai hasil destilasi kering dari batubara
kayu dan fosil. Yang berasal dari batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis
detergens. Yang berasal dari kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski.
Contoh yang berasal dari fosil ialah iktiol.2
Preparat ter yang digunakan ialah likuor karbonis detergens karena tidak
berwarna hitam seperti yang lain dan tidak begitu berbau. Konsentrasinya 2-5%.
Efeknya antipruritus, anti radang, anti ekzem, anti kantosis keratoplastik, dapat
digunakan untuk psoriasis dan dermatitis kronik dan salap. Cara pengolesan
digilir, tubuh dibagi 3, hari 1 : kepala dan ekstremitas atas, hari II : batang tubuh
dan hari III ekstremitas bawah.2
Efek sampingnya pada pemakaian ter perlu diperhatikan adanya reaksi
fototoksik, pada ter yang berasal dari batubara dapat juga terjadi folikulitis dan ter
akne.Eek karsinogen ter batubara dapat terjadi pada pemakain yang lama.Pada
pemakain dalam waktu yang singkat efek samping ini tidak pernah terjadi.2
17. Urea
Dengan konsentrasi 10% dalam krim mempunyai efek sebagai emolien,
dapat dipakai untuk iktiosis atau xerosis kutis.Pada konsentrasi 40% melarutkan
protein.2
18. Zat Antiseptik
Zat ini bersifat atau/dan bakteriostatik. Zat antiseptik lebih disukai dalam
bidang dermatologi daripada zat antibiotik sebab dengan memakai zat antiseptik
persoalan resistensi terhadap antibiotik dapat dihindarkan.2
Golongan :
a. Golongan alkohol
Etanol 70% mempunyai potensi antiseptik yang optimal. Efek
sampingya menyebabkan kulit menjadi kering.

19
b. Golongan fenol
- Fenol : pada konsentrasi tinggi, misalnya fenol likuifaktum yang
berkonsentrasi jenuh mempunyai efek kaustik, sedangkan pada
konsentrasi rendah bersifat bakteriostatik dan anti pruritik ( ½-1% )
- Timol : bersifat desinfektan pada konsentrasi 0.5% dalam bentuk tingtur.
- Resorsinol : efek ialah antibakterial, antimikotik, keratolitik, antiseboroik,
konsentrasi 2-3%
- Heksaklorofen : senyawa ini mengandung klor. Bersifat bakteriostatik.
c. Golongan halogen
Yodium. Bersifat bakteriostatik, misalnya pada tingtur yodium dan
lugol. Tingtur yodium berwarna coklat, dapat menyebabkan irtiasi, vesikulasi
kulit, dan deskuamasi. Khasiat antibakterial dan antimikotik dengan
konsentrasi 1%. Dalam klinik yodium dipakai untuk desinfeksi kulit pada
pembedahan. Segera sesudah itu kulit harus dibersihkan dengan alkohol 70%.
d. Zat pengoksidasi
Zat pengoksidasi dipakai sebagai desinfektan pada dermatoterapi topikal.
- Permangasnas kallkus
Zat ini mempunyai efek antiseptik lemah dalam larutan encer dalam air.
- Benzol-peroksida
Zat ini merupakan zat pengoksidasi kuat pada konsentrasi 2.5% -
10%.Bersifat antiseptik, merangsang jaringan dranulasi dan bersifat
keratoplastik.
e. Senyawa logam berat
1. Merkuri
Zat ini dulunya banyak dipakai dalam dermatologi. Sekarang tidak dipakai
lagi karena sensitisasi garam-garam mekuri.
2. Perak
- Larutan perak nitrat
Perak nitrat berbentuk Kristal putih, mudah larut dalam air, warna
perak nitrat berubah menjadi hitam bila terkena sinar matahari, karena
itu harus disimpan dalam botol berwarna gelap.

20
Larutan eprak nitrat dipakai untuk ulkus yang disertai pus yang
disebabkan oleh kuman negatif-Gram. Konsentrasinya 0,5% atau
0,25% bersifat antiseptic dan astringen. Komrpes ini mewarnai kulit,
tetapi akan hilang sendiri perlahan-laahn. Jika tekena lantai akan
menjadi hitam dan tidak dapat hilang. Dapat pula dipakai dengan
konsentrasi 1% untuk dermatitis eksudatif yang kurang atau tidaj
memberi perbaikan dengan kompres lain.
Larutan dengan konsentrasi 20% bersifak kaustik dipakai pada ulkus
dengan hipergranulasu. Caranya ditutul dengan lidi dan kapas sehari
sekali. Kulit di sekitarnya tidak boleh terkena karena akan rusak.
- Sulfadiazin perak
Sulfadiazin perak dipakai untuk pengobatan luka bakar. Digunakan
juga untuk NET.
Kerjanya sebagai antiseptic berdasarkan gugus sulfa dan gugus
peraknya. Sulfa berkhasiat untuk kuman postif-Gram, sedangkan
perak bersifat astringen dan untuk kuman negatif-Gram. Konsentrasi
1% dalam krim.
f. Zat warna
Zat warna masih sering dipakai dalam pengobatan topikal. Efeknya
ialah astringen dan antiseptik. Misalnya : zat warna akridin, umpamanya
ekridin laktat ( rivanol ) di pakai untuk kompres dengan konsentrasi 1% juga
bersifat deodorant. Metil rosanilin klorida atau gentian violet, dipakai dalam
konsentrasi 0,1-1% dalam air. Zat ini juga mempunyai efek antimikroba
terhadap Candida albicans, di daerah intertrigo atau anogenital.
19. Obat Imunomodulator topikal
Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam riset obat yang bersifat
immunomodulator yaitu yang tercakup dalam terapi imun. Salah satu obat
immunomodulator adalah takrolimus (TKL) suatu cancinerin inhibitor (CnLs)
yaitu suatu makrolaktam yang pertama-tama diisolasi dari Streptomyces.2
TKL dapat diberikan secara oral, topikal, dan itravena. TKL dimetabolisasi
di hati dan mempunyai bioavaibilitas lebih tinggi. Formulasi topikal mempunyai
konsentrasi 0,03% dan 0,1% dalam bentuk salap.2

21
TKL terutama diindikasikan untuk dermatitis atopik dan mencegah sel T,
dengan demikian mencegah sintesis IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, dan sitokin yang lain
misalnya CSF, TNFa dan TNFy. TKL tidak menyebakan atrofi kulit dan tidak
berpengaruh pada sintesis kolagen kulit.2
Pimekrolimus juga dikenals ebagai ASM981 adalah derivate gugusan asli
ascomycin yang semula diisolasi dari hasil fermentasi S. higroscopicus
ascomyticus. Pimekrolimus mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan
CnLs yang lain. Pimekrolimus diformulasi dalam bentuk krim 0,1%, 0,6%, dan
1,0%.2
2.1.3. Prinsip
Secara ideal, dalam pembuatan suatu sediaan obat topikal, vehikulum yang dipilih
harus mudah dalam aplikasinya, tidak menimbulkan iritasi, nontoksik, nonalergenik,
stabil secara kimiawi, homogen, bersifat inert, dan secara kosmetik dapat diterima
penggunanya. Di sisi lain, vehikulum yang dipilih juga memungkinkan bahan aktif tetap
stabil dan mudah dilepaskan ke dalam kulit setelah diaplikasikan. Pemilihan vehikulum
yang tepat dapat meningkatkan bioavailabilitas obat aktif yang terkandung di dalamnya,
sehingga perannya tidak dapat diabaikan dan hampir sama penting dengan peran zat/ obat
aktif yang dibawanya.1
Beberapa parameter harus dipertimbangkan dalam pembuatan sediaan obat
topikal, antara lain, fungsi dari tiap materi yang akan digunakan, jumlah materi yang
digunakan, dan aspek fisiko-kimiawi dari zat aktif.1
1. Fungsi dari tiap materi yang digunakan
Pengetahuan mengenai materi yang akan digunakan harus dimiliki oleh seorang
formulator/ pembuat obat, termasuk dalam pembuatan obat topikal. Pengetahuan
tersebut mencakup fungsi tiap materi dalam sebuah formulasi/sediaan, misalnya
fungsi sebagai vehikulum, bahan pengemulsi, penetration enhancer, bahan
pembentuk jel, dan berbagai fungsi lainnya.1
Seorang formulator yang belum berpengalaman kadang mengambil contoh dari
suatu sediaan dalam bentuk jadi yang sudah dikenal untuk melihat materi apa saja
yang digunakan dalam sediaan tersebut. Hal tersebut sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati, karena modifikasi pada spesifikasi materi yang digunakan dapat
merusak stabilitas sediaan.1

22
2. Jumlah materi yang akan digunakan
Dalam suatu vehikulum multifase misalnya krim, jumlah tiap materi yang
digunakan harus diperhitungkan dengan tepat. Hal tersebut berkaitan dengan
stabilitas sediaan yang dibuat. Suatu vehikulum multifasetersusun oleh materi
hidrofilik dan lipofilik. Untukmenyatukan kedua zat yang berbeda afinitasnya
terhadap air dan minyak tersebut, diperlukan bahan pengemulsi. Jumlah materi
yang digunakan, baik materi hidrofilik maupun lipofilik akan menentukan jumlah
dan jenis bahan pengemulsi yang diperlukan.1
3. Sifat fisikokimiawi zat aktif dan vehikulum
Sifat fisikokimiawi zat aktif maupun vehikulum menentukan nilai koefisien
partisi zat aktif antara vehikulum dan stratum korneum dan pada akhirnya
menentukan kemampuan zat aktif berdifusi ke dalam lapisan kulit. Tingkat
kelarutan yang terlalu tinggi dari zat aktif dalam vehikulum sebaiknya dihindari,
karena akan mencegah partisi bahan aktif ke permukaan stratum korneum setelah
diaplikasikan.1

2.2. Pengobatan Sistemik


Pengobatan sistemik diperlukan pada kondisi kulit yang berhubungan dengan
penyakit sistemik atau jika pilihan obat topikal tidak adekuat. Obat-obatan sistemik
diantaranya adalah :
2.2.1. Glukokortikosteroid Sistemik
Glukokortikosteroid/kortikosteroid sistemik (KS) banyak digunakan dalam
bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai efek antiinflamasi dan
imunosupresi.3
Cara Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar,
hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain,

23
misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang
sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik yaitu mengurangi pembentukan prostaglandin dan leukotrien, mengurangi
sintesis berbagai molekul peradangan, termasuk sitokin, interleukin, molekul adesi dan
protease. KS juga dapat bekerja langsung tanpa mempengaruhi ekspresi gen, yaitu
mellaui reseptor pada membran sel dan atau interaksi fisikokimia dengan membran sel.3,4
Indikasi
Penyakit-penyakit berikut ini merupakan indikasi KS.3
1. Penyakit vesikobulosa autoimun (pemfigus, pemfigoid bulosa)
2. Reaksi anafilaksis (akibat sengatan, alergi obat)
3. Penyakit jaringan ikat dan gangguan vascular autoimun (lupus eritomatosus
sistemik, dermatomyositis)
4. Reaksi kusta tipe 1
5. Urtikaria yang luasatau rekalsitran dan angioedema
6. Lain-lain; pyoderma ganggrenosum, sarcoidosis, penyakit Behcet
Sebagai tambahan, KS jangka pendek dapat diberikan apda ebrbagai dermatitis
yang berat, termasuk dermatitis kontak, dermatitis atopik dan eritroderma. KS juga sering
diberikan pada kass eritema multiforme dan SSJ-NET, walaupun belum terbukti
keunggulannya melalui uji klinis.3
Cara Penggunaan
KS dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuscular atau intravena bergantung
pada penyakit yang akan diobati. Terdapat 3 kelompok KS sesuai dengan masa kerjanya,
yang memiliki perbedaan potensi glukokortikoid dan mineralokortikoid, waktu paruh
plasma, dan waktu paruh biologis.3

Tabel 2 Glukokortikoid4
Potensi Potensi Waktu paro Durasi
Glukokortikoid Mineralo- plasma Kerja
Ekuivalen (mg) kortikoid (menit) (jam)
Kerja singkat
Hidrokortison (cortisol) 20 0,8 90 8-12
Kortison 25 1 30 8-12
Kerja sedang
Prednisone 5 0,25 60 16-36
Prednisolone 5 0,25 200 12-36
Methylprednisolone 4 0 180 12-36

24
Triamcinolone 4 0 300 12-36
Kerja lambat
Dexamethasone 0,75 0 200

Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah


prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar
digunakan prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon.3
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada
pemberian jangka panjang (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar
menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindrom Stevens-Jhonson harus
diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah
diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet prednison.3
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami
eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika
terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi
terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada
sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang
jarang melebihi 39ºC.3
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu
perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan
dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari
dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat.
Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat
diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam 8), karena kadar kortisol
tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada
hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya
bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis
pada hari pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak
diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan
dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari.3

25
Efek Samping
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak
diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. Umumnya, efek
samping meningkat sesuai dengan peningkatan dosis, lama pengobatan, dan frekuensi
penggunaan.3

Tabel 3 Efek Samping Penggunaan Kortikosteroid Sistemik3,4


Lokasi Macam Efek Samping
1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.
2. Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3. Susunan saraf Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
pusat tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4. Tulang dan sendi Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
5. Kulit Hirsutisme, hipotropi, striae atrofise, erupsi akneiformis,
purpura, telangiektasis.
6. Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7. Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8. Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah, gagal jantung

9. Kelenjar adrenal Atrofi, tidak bisa melawan stres


bagian kortek
10. Metabolisme Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
11. Elektrolit tetani, aritmia kor)
Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan
12. Sistem Imunitas herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat
menopause. Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan,
buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura,
dermatosis akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri
kepala, psedudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali
dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.3
Sehubungan dengan berbabagi efek samping, penggunaan kortikosteroid jangka
panjang harus disertai dengan monitor yang ketat. Pasien dianjurkan untuk mendapat diet

26
rendah kalori, rendah lemak, rendah garam, tinggi protein, tinggi kalium dan tinggi
kalsium. Konsumsi alcohol, kopi dan rokok harus sangat dikurangi. Olahraga dan
aktivitas fisik harus diperbanyak.3
2.2.2. Antihistamin
Antihistamin digolongkan menjadi tiga kategori yaitu antihistamin penghambat
resptor H1 (AH1), antihistamin penghambat resptor H2 (AH2), antihistamin penghambat
resptor H3 (AH3). AH1 dibagi menjadi 2 golongan, yaitu AH1 generasi pertama yaitu
yang memiliki efek sedasi karena memiliki kemampuan untuk melewati sawar darah otak.
Sedangkan AH1 generasi kedua tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga efek
sedasi minimal atau tidak ada.5
Antihistamin H1 digunakan secara luas untuk mengobati urtikaria, angioedema
dan mengobati pruritus akibat berbagai penyebab, misalnya DKA, berbagai macam
dermatitis eksematosa, gigitan serangga, liken planus, mastositosis, maupun pruritus
idiopatik.5,6
Tabel 4 Antihistamin H1 Generasi Pertama5
Obat Formulasi Dosis
1. Alkilamin Klorfeniramin 2,4,8,12 mg tab - Dewasa 4 mg tid,qid
2 mg/5 ml syr 8-12 mg bid
- Usia 6-11 th 0,35 mg/kg/hr
3-4 dosis
2 mg 1 4-6 jam
2. Piperidin Siproheptadin 4 mg tab - Dewasa 4 mg tid,qid
2 mg/5 ml syr - Usia 7-14 th 4 mg bid,tid
- Usia 2-6 th 2 mg bid,tid
3. Etanolamin Difenhidamin 25-50 mg tab - Dewasa 25-50 mg q4-6j
12,5 mg/5 ml syr - Usia 6-12 th 12,5-25mg q4-6j
50 mg/15 ml syr - Usia <6 th 6,25-12,5 mg q4-6j
6,25 mg/5 ml syr
12,5 mg/5 ml syr
4. Piperazin Hidroksizin 10,25,50,100 mg tab - Usia ≥6 th 25-50 mg q6-8j / qhs
10 g/5 ml syr - Usia <6 th 25-50 mg qd
5. Etilendiamin Tripelenamin 25,50,100 mg tab - Dewasa 25-50 mg q4-6j
6. Fenotiazin Prometazin 25 mg cap - Dewasa 3x25 mg/hari
1 mg/ml syr - Anak 3x6,25 – 12,5 mg &
25 mg sebelum tidur

27
Tabel 5 Antihistamin H1 Generasi Kedua5
Obat Formulasi Dosis
1. Alkilamin Akrivastin 8 mg tab - Dewasa 8 mg tid
2. Piperazin Setirizin 5,10 mg tab - Usia ≥6 th 5-10 mg qd
- Usia 2-6 th 5 mg qd
Levosetirizin 5 mg/ml syr - Usia 6 bl-2 th 2,5 mg qd
5 mg tab - Usia ≥6 th 5 mg qd
3. Piperidin Feksofenadin 30,60,120,180 mg tab - Usia >6 th 60 mg qd,bid
120-180 mg qd
- Usia 6-12 th 30 mg qd,bid
Loratadin 10 mg tab - Usia ≥6 th 10 mg qd
5 mg/m susp - Usia 2-9 th 5 mg qd
Desloratadin 2,5., 5 mg tab - Usia >12 th 5 mg qd
5 mg/ml syr - Usia 6-12 th 2,5 mg qd
- Usia 1-6 th 1,25 mg qd
- Usia 6-12 bl 1 mg qd
Ebastin 10 mg tab - Usia ≥6 th 10-20 mg qd
- Usia 6-12 th 5 mg qd
- Usia 2-5 th 2,5 mg qd
Mizolastin 10 mg tab - Dewasa 10 mg qd

Antihistamin H2 digunakan untuk mengobati reaksi alergi akut, urtikaria akut,


urtikaria pigmentosa dan mastositosis sistemik, dan pruritus yang dihubungkan dengan
kondisi lain.6
Tabel 6 Antihistamin H25
Obat Formulasi Dosis
1. Simetidin 100,200,3000,400,800 mg tab - Dewasa 400-800 mg bid
300 mg/5 ml syr
200 mg/20 ml syr

2. Ranitidin 75,150,300 mg tab - Dewasa 75-100 mg bid


15 mg/ml syr - Anak 5-10mg/kg/hr dibagi
150 mg granul 2 dosis
3. Famotidin 10,20,40 mg tab - Dewasa 20-40 mg bid
40 mg/5 ml syr - Usia 1-16 th 1 mg/kh/hr dibagi 2
dosis sampai 40 mg
bid
4. Nizatidin 150,300 mg cap - Usia ≥12 th 150 mg qd,bid
15 g/5 ml syr

2.2.3. Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa terlarut yang dihasilkan oleh organisme yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Mayoritas infeksi kulit dan jaringan lunak disebabkan
oleh organisme Gram positif, yang sebagian besar rentan terhadap agen terkenal dengan
spektrum aktivitas antimikroba yang relatif sempit. Antibiotik β-laktam, makrolida, dan

28
florokuinolon merupakan antibiotik utama untuk infeksi kulit dan jaringan lunak yang
ringan.7
Tabel 7 Antibiotik7

2.2.4. Antivirus
Antivirus sekarang disetujui untuk pengobatan berbagai infeksi virus. Resistansi
antiviral adalah perhatian yang berkembang, terutama dalam pengobatan infeksi virus
human immunodeficiency. Antiviral bekerja dengan berbagai cara, dan spektrum
aktivitasnya bisa sangat spesifik (amantadine) atau cukup luas (ribavirin). Penggunaan
obat asiklovir dan gansiklovir telah meningkatkan bioavailabilitas oral dari agen ini, yang
memungkinkan perawatan rawat jalan pada banyak infeksi herpesvirus.8

29
2.2.5. Antifungi
Diindikasikan untuk infeksi kulit jamur yang luas, tinea pedis, onikomikosis, dan
tinea capitis. Terapi pencegahan untuk imunosupresi. Kelas utama obat antijamur yang
digunakan dalam pengaturan rawat jalan adalah allylamines (terbinafine), triazol
(itrakonazol, flukonazol) dan imidazol (ketokonazol), griseofulvin, polyenes (nistatin,
amfoterisin B), dan oligon ciclopirox. Spesimen infeksi jamur dapat menjadi penting
dalam menentukan lama pengobatan dan memilih obat yang tepat.9
2.2.6. Dapson
Dapson (4,4'-diaminodipenilsulfon) diklasifikasikan sebagai sulfonamida namun
memiliki sifat farmakologis yang unik. Penyakit dengan respon yang konsisten terhadap
dapson adalah dermatitis herpetiformis, eritema elevatum diutinum, imunoglobulin linier.
Penyakit dermatosis / kronis bulosa erupsi pada anak dan bulosa lupus eritematosus
sistemik. Penyakit dengan respon sporadis terhadap dapson mencakup spektrum yang
luas dan beragam seperti penyakit kolagen vaskular / autoimun dan jerawat. Dapson juga
efektif pada infeksi tertentu seperti kusta, actinomycetoma, atau rhinosporidiosis. Efek
sampingnya adalah hemolisis dan methemoglobulinemia.10
2.2.7. Obat Imunosupresif dan Imunomodulator
Tujuan utama dalam imunoterapi adalah keamanan dan efektivitas. Tidak seperti
imunomodulator, obat imunosupresif semuanya ditandai oleh jendela terapeutik yang
sempit yang memerlukan dosis yang tepat dan pemantauan efek samping yang ketat.11
2.2.8. Retinoid
Fungsi biologis dan tindakan retinoid (tidak termasuk penglihatan) meliputi:
reproduksi, pertumbuhan embrio, dan morfogenesis, modulasi proliferasi dan diferensiasi
epitel, penurunan ukuran kelenjar sebaceous (isotretinoin), efek imunologis dan anti-
inflamasi, pencegahan dan pengobatan tumor dan efek pada komponen matriks
ekstraselular. Terdapat empat jenis retinoid oral dan indikasi utama penggunaannya
adalah isotretinoin (jerawat), alitretinoin (eksim tangan kronis), acitretin /etretinate
(psoriasis, gangguan keratinisasi), dan bexarotene (limfoma sel T kutaneous).
Kontraindikasi untuk penggunaannya termasuk kehamilan, menyusui, dan
ketidakpatuhan terhadap rejimen kontrasepsi. Retinoid harus selalu dikonsumsi dengan
makanan atau susu untuk meningkatkan penyerapan usus. Dosis sekali sehari biasanya
cukup. Efek samping mukokutan (cheilitis, xerosis, pengelupasan kulit, konjungtivitis)

30
umum terjadi, seperti juga hasil abnormal reversibel pada tes laboratorium
[hiperlipidemia, peningkatan tingkat enzim hati, dan hipotiroidisme (bexarotene)]. Efek
samping sistem otot dan saraf pusat jarang terjadi.12
2.2.9. Sitotoksik dan Anti Metabolik
Agen sitotoksik dan antimetabolik digunakan dalam dermatologi untuk mengobati
penyakit serius, bertahan hidup, dan bandel. Agen umum yang digunakan dalam
dermatologi meliputi methotrexate, azathioprine, mycophenolate mofetil, thioguanine,
hydroxyurea, cyclophosphamide, chlorambucil, dan liposomal doxorubicin.13
2.2.10. Aminokuinolin (Anti Malaria)
Aminoquinolin telah digunakan dalam pengobatan klinis selama lebih dari satu
abad, awalnya sebagai senyawa antimalaria. Beberapa mekanisme tindakan, terutama
gangguan pengasaman lisosom oleh sel penyajian antigen, penghambatan pembunuh
alami dan aktivasi sel T, dan penghambatan mediator lipid peradangan. Kecenderungan
untuk pigmen melanin, menyerap sinar ultraviolet, dan menunjukkan sifat
photoprotective terhadap luka yang dimediasi sinar ultraviolet pada kulit. Aminoquinolin
yang digunakan untuk mengobati kondisi dermatologis meliputi hydroxychloroquine,
chloroquine, dan quinacrine.14
2.2.11. Antiangiogenik
Agen antiangiogenik "langsung" bertindak langsung pada sel endotel yang tidak
dapat ditransformasikan untuk mencegah proliferasi, migrasi, dan kelangsungan hidup.
Agen antiangiogenik “tidak langsung” menghambat protein onkogen yang diproduksi
tumor yang mempromosikan keadaan proangiogenik. Agen antiangiogenik adalah
golongan obat yang menjanjikan karena efektif melawan tumor yang tumbuh lambat.15

31
BAB III
KESIMPULAN

Pengobatan yang tepat didasarkan atas kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya.


Kadang diketahui penyebab yang multifaktor atau juga tidak diketahui dengan pasti. Jadi
pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan menghilangkan atau mengurangi keluhan
dan gejala, dan menekan peradangan.
Pada terapi atau pengobatan kulit, banyak jenis dan bentuk sediaan obat yang
dapat digunakan. Jenis pengobatannya ada yang menggunakan obat-obatan seperti
penggunaan topikal dan sistemik, selain itu dengan pengobatan fisik seperti tindakan atau
operatif, sinar radiasi, sinar laser dan berbagai macam jenis tindakan dalam pengobatan
kulit.

32
DAFTAR PUSTAKA

1 Asmara A, Daili SF, Noegrohowati T, Zubaedah I. Vehikulum dalam


Dermatoterapi Topikal. MDVI. 2012; 39(1): p. 25-35.
2 Hamzah M. Dermato-terapi. In : Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: FKUI; 2017. p. 426-435.
3 Djuanda A, Effendi EH. Kortikosteroid Sistemik. In: Menaldi SLS, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: FKUI; 2017.
p. 408-410.
4 Werth VP. Glucocorticoids. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2714-2720.
5 Wisesa TW. Penggunaan Antihistamin dalam Bidang Dermatologi. In: Menaldi
SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: FKUI; 2017. p. 411-416.
6 Wood RA. Antihistamines. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2767-2775.
7 Gasbarre CC, Schmitt SK, Tomecki KJ. Antibiotics. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2776-2787.
8 Elston DM. Antiviral Drugs. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2787-2796.
9 Jacob R, Konnikov N. Oral Antifungal Agnets. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2796-2806.
10 Sago JG, Hall RP. Dapsone. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2721-2726.

33
11 Callen JP. Immunosupresive and Immunomodulatory Drugs. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012.
p. 2805-2814.
12 Valquist A, Saurat J. Retinoids. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2759-2766.
13 High WA, Fitzpatrick JE. Cytotoxic and Antimetabolic Agents. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012.
p. 2735-2759.
14 McClain SE, LaDuca JR, Gaspari AA. Aminoquinolines. In: Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill Medical; 2012. p. 2726-
2734.
15 Berrios RL, Bonner MY, Hofmekler J, Arbiser JL. Antiangiogenic Agents. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill
Medical; 2012. p. 2826-2833.

34

You might also like