You are on page 1of 43

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem yang diterapkan untuk

mencegah terjadinya cedera akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan

melalui suatu sistem assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan faktor risiko,

pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dan tindak lanjut dari insident

serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep Kes RI,

2006). Keselamatan pasien merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah

Denpasar, 2011).

Taylor, et al. (1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi

yang berfokus kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai

kesehatannya secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan

keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan

keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus

memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan

pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama

berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan pasien dan

pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat

selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.

10

2.1.2 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien


Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit

2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

3. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)

4. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD

Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit

wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya- upaya sebagai

berikut:

1. Akselerasi program infeksion control prevention (ICP)

2. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui akreditasi rumah

sakit

3. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).

4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.

5. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya wrong

person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100% tidak terjadi

kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)

6. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.

7. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite keselamatan

rumah sakit.

11
2.1.3 Manfaat Program Keselamatan Pasien

Program keselamatan pasien ini memberikan berbagai manfaat bagi rumah

sakit antara lain:

a. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang industri

lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam berbagai proses transaksi,

sehingga suatu produk menjadi semakin laris dan dicari masyarakat.

b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih mendominasi

pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-asuransi dan

menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider kesehatan

karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh masyarakat untuk mencari

Rumah Sakit yang aman.

c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan

keselamatan pasien.

2.1.4 Indikator Keselamatan Pasien

Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang masalah keselamatan pasien

yang menghebohkan dunia kesehatan mendorong banyak pihak berupaya

melakukan hal untuk memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang berhubungan

dengan keselamatan pasien. Para peneliti dalam bidang keperawatan berusaha

mengembangkan indikator mutu pelayanan keperawatan yang potensial bersifat

sensitif terhadap kepegawaian. Needleman, et al. (2006) melakukan penelitian

mengenai staffing dan adverse outcomes. Pada penelitian tersebut dilakukan

analisis regresi untuk mengetahui hubungan variabel-variabelnya dan ditemukan

adanya hubungan antara (1) lama tinggal/ lengths-of-stay , infeksi saluran kemih,
12

pneumonia yang diperoleh di rumah sakit, perdarahan saluran pencernaan atas,

renjatan, atau henti jantung pada pasien-pasien penyakit dalam, dan (2) failure to

rescue , yang didefinisikan sebagai kematian pasien yang disebabkan oleh salah

satu komplikasi yang mengancam kehidupan yaitu pneumonia, renjatan atau henti

jantung, perdarahan saluran pencernaan atas, sepsis atau thrombosis vena dalam

pada pasien-pasien bedah.

Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur

mengenai pengaruh kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien

menemukan bahwa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien

adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan pasien jatuh.

Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian

merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya

peran perawat (nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia,

perdarahan saluran pencernaan atas, shock/henti jantung, infeksi saluran kemih,

ulkus dekubitus dan failure to rescue.

Indikator mutu layanan keperawatan yang sensitif terhadap staffing pada

saat ini secara terus menerus dikembangkan. Banyak lembaga yang berupaya

membuat indikator mutu, namun banyak dari indikator tersebut kurang

mencerminkan pengaruh pelayanan keperawatan terhadap keselamatan pasien,

karena hanya dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan (ANA,


1995; Institute of Medicine , 1999, 2001, 2005; Joint Commision, 2007 dalam

Montalvo, 2007). Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center For Patient

Safety berupaya menetapkan Sembilan Solusi keselamatan pasien untuk

mempermudah pendeteksian terjadinya masalah pada keselamatan pasien di

13

Rumah Sakit, yaitu : (1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike,

sound-alike medication names). (2) Pastikan Identifikasi pasien, (3) Komunikasi

secara benar saat serah terima pasien, (4) Pastikan tindakan yang benar pada sisi

tubuh yang benar, (5) Kendalikan cairan elektrolit pekat, (6) Pastikan akurasi

pemberian obat pada pengalihan pelayanan, (7) Hindari salah cateter dan salah

sambung gelamng, (8) Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan (9) Tingkatkan

kebersihan tangan unuk pencegahan infeksi nosokomial (WHO, 2007 dalam Tim

KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

2.1.5 Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di

semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit.

Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety

Solutions dari WHO (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan

Pasien Rumah Sakit (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International

(JCI). RSUP Sanglah Denpasar merupakan Rumah Sakit pendidikan Tipe A

dengan sumber manusia (dokter, perawat, dan lain-lain) yang cukup dan telah
mempunyai berbagai peralatan canggih yang memadai dan telah terakreditasi

Joint Commission International (JCI) (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011)

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong

perbaikan spesifik untuk menunjang keselamatan pasien. Sasaran menyoroti

bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan

bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas

permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik

adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu

14

tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi

yang menyeluruh.

Menurut Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar (2011) terdapat enam

sasaran keselamatan pasien yang menjadi prioritas gerakan keselamatan pasien.

Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :

a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki /

meningkatkan ketelitian dalam mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam

mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan yang

terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur / kamar /

lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi yang lain.

Adapun maksud dari sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan
dalam setiap kegiatan pelayanan ke pasien. Pertama untuk identifikasi pasien

sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan dan kedua

untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.

Kebijakan atau prosedur yang dilakukan secara kolaboratif dikembangkan

untuk memperbaiki proses identifikasi khususnya pada proses

pengidentifikasian pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk dan

spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau pemberian pengobatan serta

tindakan lain. Kebijakan atau prosedur tersebut memerlukan sedikitnya dua

cara untuk mengidentifikasi seorang pasien seperti nama pasien, nomor

rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-

lain. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan

15

atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat

diidentifikasi dengan tepat dan cepat.

Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai berikut :

1. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas

sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam

medik)

2. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan

dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan,
merah untuk pasien yang mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan

risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan menggunakan protap

penilaian skor jatuh yang sudah ada)

3. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau

produk darah.

4. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan

spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.

5. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan

tindakan/prosedur.

b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan

komunikasi yang efektif antar para pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan

secara efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas, dan yang mudah dipahami oleh

pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien.

Komunikasi yang mudah menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan terjadi

pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang

16

mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan

kritis. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau

prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk mencatat perintah yang

lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah, kemudian penerima


perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan dan

melakukan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang

adalah akurat. Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan

bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila

tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat.

Selemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal sebagai

berikut:

1. Melakukan kegiatan „READ BACK‟ pada saat menerima permintaan secara

lisan atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟

sebagai pengingat dokter harus tanda tangan.

2. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat melaporkan

keadaan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand

off) dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan dengan

menggunakan singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.

c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan

Perhatian

Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki

keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila obat-obatan

menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen rumah sakit harus

berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien agar terhindar dari

17
risiko kesalahan pemberian obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-

alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan

serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang

tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan

kedengarannya mirip. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu

kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu

diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan

atau prosedur juga dapat mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan

elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label

secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut,

sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak

sengaja/kurang hati-hati.

Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah sebagai

berikut :

1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound Alike

(LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)

2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap

distribusi obat dan pemberian obat pada masing-masing instansi pelayanan.

3. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT berada di tempat yang

aman dan diperlakukan dengan perlakuan khusus


4. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian Obat

(Benar Instruksi Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu,

Cara, dan Dokumentasi).

18

d. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan

Tindakan Operasi

Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk

memastikan pemberian pelayanan dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-prosedur,

dan tepat- pasien. Salah lokasi, salah pasien, salah prosedur, pada operasi

adalah sesuatu yang menkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah sakit.

Kesalahan ini merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang

tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurangnya melibatkan pasien di

dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk

verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, pemeriksaan pasien yang tidak

adekuat, penelaahan ulang catatan medis yang kurang tepat, budaya yang tidak

mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah atau operasi,

permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca

(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor yang dapat

menyebabkan kesalahan. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif

mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang efektif di dalam

mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga keadaan


yang berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist

dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal

Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.

Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu

pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten

di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator yang akan melakukan

tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan

19

harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan

pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan,

jari kaki, lesi) atau multipel level (bagian tulang belakang).

Proses verifikasi praoperatif ditujukan untuk memverifikasi lokasi, prosedur,

dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging),

hasil pemeriksaan yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik serta

dipampang dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau

implant - implant yang dibutuhkan. Tahapan “Sebelum insisi” (Time out)

memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan dengan baik dan

tepat. Time out dilakukan di tempat dimana tindakan akan dilakukan, tepat

sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit

menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya

menggunakan checklist dan sebagainya.


Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah memberi

tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat

dengan cara yang jelas dimengerti dan melibatkan pasien dalam hal ini (Informed

Consent)

e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi

risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan

pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan

kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan

dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi

pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya

20

dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran

kemih, infeksi pada aliran darah dan pneumonia. Pusat dari eliminasi infeksi

ini maupun infeksi-infeksi lain adalah kegiatan cuci tangan (hand hygiene)

yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca di kepustakaan WHO, dan

berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses

kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan atau prosedur yang

menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara

umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.


Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai berikut.

1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five Moment Hand

Hygiene dan digunakan dalam tatanan kesehatan untuk pelayanan ke pasien.

2. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan pelatihan cuci

tangan efektif.

3. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang jelas setiap

melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)

f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi

risiko pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna

sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks masyarakat

yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya rumah sakit perlu

mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi

risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat

dan telaah pasien yang bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan

dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.

21

Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai berikut.

1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah sakit.

2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.


3. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning

dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen

2.1.6 Langkah-Langkah Penerapan Sistem Keselamatan Pasien

Penerapan sistem keselamatan pasien membutuhkan dukungan dari

berbagai bidang. Langkah-langkah yang harus dilakukan antara lain:

a. Membangun budaya kerja yang mementingkan keselamatan dan keamanan

pasien dengan meningkatkan kewaspadaan secara terus-menerus;

penyelidikan yang seimbang dan terutama mempertanyakan mengapa, bukan

siapa; keterbukaan dengan pasien untuk menciptakan suasana kerjasama dan

saling percaya antara petugas rumah sakit dan pasien.

b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap seluruh petugas rumah sakit dalam

menjaga keselamatan dan keamanan pasien : keteladanan, evaluasi dan

umpan balik, coaching dan mentoring terhadap staf secara berkesinambungan

untuk memberdayakan petugas rumah sakit, dukungan terhadap upaya

keselamatan pasien juga mencakup alokasi sumber daya manusia, informasi,

bahan dan peralatan.

c. Melakukan manajemen risiko secara terpadu. Makna manajemen risiko tidak

hanya terbatas pada litigasi oleh pasien maupun petugas kesehatan, tetapi

lebih mendasar lagi khususnya keselamatan pasien, petugas kesehatan dan

pengunjung rumah sakit, manajemen, analisis pemantauan, investigasi, dan

22
pelatihan mengendalikan risiko merupakan suatu kesatuan. Pertimbangan

risiko harus menjadi bagian strategi menajemen pelayanan kesehatan.

d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan semua kasus medical error yang

dapat digabungkan dari tingkat lokal sampai tingkat nasional dengan menjaga

kerahasiaan pasien dan organisasi yang melaporkan. Pelaporan harus menjadi

pendorong pembelajaran yang harus dikembangkan dengan budaya pelaporan

yang tanpa dibayangi ketakutan akan hukuman.

e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh masyarakat, menjelaskan dan bila

perlu minta maaf, menyelidiki penyebab secara terbuka. Mendukung pasien

dan keluarga bagaimana mengatasi dampak kesalahan medis, bekerjasama

dalam pengobatan dan perawatan lebih lanjut, dan melibatkan pasien dalam

investigasi dan rekomendasi untuk perubahan.

f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan tentang penyebab kegagalan

medis diantaranya pendekatan root cause analysis, dinamika sistem, diagram

tulang ikan, dan lain-lain.

g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah ”harm”, bukan hanya sebatas

menganjurkan staf untuk berhati-hati tetapi mengatasi permasalahan

mendasar, merancang peralatan dan sistem serta proses-proses lebih intuitif,

mempersulit petugas untuk melakukan kesalahan dan mempermudah petugas

untuk menemukan kesalahan.

23
2.1.7 Standar Patient Safety

Menurut PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus ada beberapa standar yang wajib dimiliki

oleh Rumah Sakit dalam menjalankan program keselamatan pasien.

Standar I. Ketentuan tentang hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang

rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

Adapun kriteria dari standar ini adalah :

a. Harus terdapat dokter penanggung jawab pelayanan.

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan

kesehatan.

c. Dokter yang menjadi penanggung jawab pelayanan wajib memberikan

penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang

rencana dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk

kemungkinan terjadinya KTD.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan

tanggung pasien dalam asuhan kesehatan pasien.

Adapun kriteria dari standar tersebut antara lain.

Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan

keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di

rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya

tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan
pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :

24

a. Memberi informasi yang tepat, benar, jelas, lengkap dan jujur.

b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan kesehatan.

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. Rumah sakit

menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dan menjamin koordinasi antar

tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:

a. Adanya koordinasi yang baik dari pelayanan kesehatan secara menyeluruh

mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan

pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah

sakit.

b. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan yang di sesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada

seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik

dan lancar.
c. Adanya koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk

memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial,

konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.

d. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga

dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

25

Standar IV. Rumah sakit mesti mendesain proses baru atau memperbaiki proses

yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan

kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria dari standar IV adalah sebagai berikut:

a. Setiap rumah sakit melakukan proses perencanaan yang baik dengan mengacu

pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien-petugas pelayanan

kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor

lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ”Tujuh langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit”

b. Setiap rumah sakit melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang

terkait dengan pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu

pelayanan dan keuangan.

c. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua

KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko
tinggi bagi pasien.

d. Setiap rumah sakit menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk

menentukan perubahan sistem yang di perlukan agar kinerja dan keselamatan

pasien terjamin.

Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan

pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”Tujuh langkah

menuju keselamatan pasien rumah sakit”

26

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk mengidentifikasi

risiko keselamatan pasien dan program untuk menekan atau mengurangi

KTD/KNC

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar

unit terkait dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengkaji,

mengukur, dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan

keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengkaji dan mengukur efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut.


a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien

guna meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

b. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden yang mencakup jenis kejadian yang

memerlukan perhatian, mulai dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near miss)

sampai dengan KTD (Adverse event)

c. Tersedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari

rumah sakit terintegrasi serta berpartisipasi dalam program keselamatan

pasien.

d. Tersedia prosedur yang cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan

kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan

penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

27

f. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang berkaitan

dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang

analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien

mulai di laksanakan.

g. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan

proaktif untuk memperkecil resiko termasuk mekanisme untuk mendukung

staf dalam kaitan dengan kejadian yang tidak diinginkan.

h. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar

disiplin.

i. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan

perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk

evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.

j. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria

obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan

keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.

Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap

jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien secara

jelas dan transparan.

b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta

mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.

28

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan

orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai

dangan tugasnya masing- masing.

b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam


setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang

pelaporan insiden.

c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan training tentang kerjasama

kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam

rangka melayani pasien.

Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan

pasien.

a. Rumah sakit harus merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi

keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan

eksternal

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria dari standar ini adalah :

a. Rumah sakit perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan

mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang

hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.

b. Tersedia mekanisme untuk mengidentifikasi masalah dan kendala komunikasi

untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

29

2.2 Motivasi kerja

2.2.1 Pengertian

Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan
dorongan dan pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut

memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi

ialah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan kepada masyarakat atau

kelompok untuk mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan

sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan

(Azwar, Azrul, 1996).

Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku

seseorang secara optimal, hal ini disebabkan karena motivasi merupakan kondisi

internal, kejiwaan dan mental manusia seperti keinginan, harapan, kebutuhan,

dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku kerja guna

mencapai tujuan yang diinginkannya atau mendapatkan kepuasan atas

perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996)

Motivasi merupakan konsep yang dipakai untuk menguraikan keadaan

ekstrinsik yang ditampilkan dalam perilaku yng terdiri dari respons instrinsik dan

ekstrinsik. Respon instrinsik disebut juga sebagai motif (pendorong) yang

mengarahkan perilaku ke rumusan kebutuhan atau pencapaian tujuan sedangkan

stimulus ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif, mendorong individu

melakukan atau mencapai sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan

ekstrinsik yang dapat dilihat dengan adanya perilaku atau penampilan (Sadili,

2006). Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga kebutuhan dasar

30
yaitu: a) Kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli

atau berprestasi, b) Kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan

antar pribadi yang ramah dan karib, c) Kebutuhan akan kekuasaan (power)

kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai atau mendominasi orang

lain (Sigit, 2003).

Berdasarkan beberapa difinisi diatas dapat di simpulkan bahwa motivasi

merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja

individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam memuaskan kebutuhan-

kebutuhan yang berasal dari stimulus instrinsik maupun ekstrinsik.

2.2.2 Teori Motivasi

Berbagai teori dapat digunakan untuk menjelaskan tentnag motivasi.

Adapun teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Teori Abraham Maslow

Motivasi manusia timbul karena adanya kebutuhan- kebutuhan yang

dikemukan oleh Maslow yaitu : a) fisiologis (rasa lapar, haus, dan kebutuhan

jasmani lainnya), b) keamanan (keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian

fisik dan emosional) c) sosial (di terima baik, rasa memiliki, kasih sayang)

d) penghargaan (status, pengakuan dan perhatian), e) aktualisasi diri (pencapaian

potensi dan pemenuhan kebutuhan diri)

2. Teori Herzberg
Menurut Herzberg, tinggi rendahnya motivasi dan tingkat kepuasan kerja

seseorang ditentukan oleh faktor atau kondisi tertentu. Faktor-faktor tersebut

antara lain motivator (prestasi, kemajuan, keberhasilan dalam mencapai tujuan,

peningkatan atas prestasi seseorang (penghargaan), faktor higiene (kebijaksanaan

31

dan administrasi, pengawasan dan mutu pengawasan (supervisi), hubungan

pribadi sesama pegawai, atasan dan bawahan, kondisi lingkungan kerja dan

keamanan kerja, gaji dan insentif, status).

3. Teori Mc. Clelland

Menurut David Mc Clelland terdapat tiga macam teori motivasi yang

terdiri dari motif berprestasi, afiliasi dan motif berkausa. Adapun motif tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut. a) motif berprestasi, yaitu dorongan untuk

mencapai sukses dalam berkompetensi dengan standar sendiri selalu berusaha

meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan cita-citanya, b) motif affiliasi,

yaitu dorongan untuk diterima orang lain dan bersatu, pegawai yang bermotif

affiliasinya diterima, diakui dan dihargai orang lain, dan c) motif berkuasa, yaitu

dorongan yang timbul dalam diri seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi

orang lain.

2.2.3 Perangsang Motivasi

Agar seseorang dapat melakukan sesuatu yang diharapkan, maka harus ada

perangsang yang dapat menggerakkan seseorang tersebut untuk bertindak.


Perangsang dibedakan atas dua macam yaitu:

1. Perangsang positif

Perangsang positif (positive insentive) adalah imbalan yang menyenangkan

yang disediakan untuk pegawai yang berprestasi. Rangsangan positif ini dapat

berupa hadiah, pengakuan promosi, dan atau melibatkan pegawai tersebut dalam

kegiatan yang menarik dan memiliki nilai prestasi yang tinggi.

32

2. Perangsang negatif.

Perangsang negatif (negative incentive) ialah imbalan yang tidak

menyenangkan berupa hukuman bagi pegawai yang berbuat kesalahan atau tidak

seperti yang di harapkan. Perangsang ini dapat berupa denda, teguran,

pemindahan tempat kerja (mutasi) dan pemberhentian.

2.3 Komitmen Kerja

2.3.1 Pengertian Komitmen Kerja

Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu

mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep secara efektif, akurat, dan

konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait

dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit

(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan,

keterikatan individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada
dalam rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan

terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat

aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).

Beberapa penelitian tentang komitmen kerja dilaksanakan oleh

Nursyahfitri (2010). Dia mengkaji “Pengaruh Komitmen Karyawan terhadap

Kinerja Karyawan pada Divisi Produksi PT. Marumitsu Indonesia”. Ternyata

komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t=3,037 dan p=0,000).

Penelitian yang dilakukan oleh Rois (2010) tentang “Pengaruh Komitmen

Anggota dan Budaya Kerja terhadap Kinerja Tim Koordinasi, Monitoring, dan

33

Evaluasi Nasional”. Menemukan pengaruh yang signifikan antara komitmen

anggota dengan kinerja Tim Kormonev Nasional dengan nilai Uji t 2,300 dan Uji

F 0,637. Penelitian Suparman (2007) tentang “Analisis Pengaruh Peran

Kepemimpinan, Motivasi dan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja

dalam Meningkatkan Kinerja Pegawai”. Menemukan bahwa terdapat pengaruh

signifikan komitmen kerja terhadap kinerja (nilai t 0,25 dan P=0,000). Semua

hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa komitmen kerja secara nyata

berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

2.3.2 Peningkatan Komitmen Kerja

Komitmen kerja perawat dapat ditingkatkan untuk meningkatkan mutu

asuhan keperawatan dengan beberapa cara sebagai berikut.


1. Menciptakan rasa aman, suasana kerja yang kondusif serta lakukan promosi

secara regular

2. Menempatkan perawat sesuai dengan kapasitas, minat, dan motivasi kerjanya

agar memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.

3. Meningkatkan keterampilan, kesempatan pengembangan diri, dan bimbingan

perencanaan karir agar perawat merasa mantap dalam pencapaian kariernya.

4. Mengembangkan fleksibilitas dan otonomi pelaksanaan tugas tetapi tetap

memegang teguh tanggung jawab.

5. Mengembangkan system monitoring peningkatan kinerja, dan pemahaman

terhadap nilai dan tujuan rumah sakit untuk menjaga kesesuaian antara visi

dan misi (Wijaya, 2012).

34

2.3.3 Peranan Komitmen

Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk peningkatan kinerja

perawat. Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang

meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Dengan

komitmen kerja yang tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai

motivasi kuat untuk berprestasi. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa

kepemilikan terhadap rumah sakit, karena ingin tetap bertahan menjadi anggota

rumah sakit (Wijaya, 2012).

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen Kerja


Komitmen merupakan kekuatan perawat secara menyeluruh terhadap tugas

dan kondisi lingkungan rumah sakit. Factor-faktor yang mempengaruhi komitmen

kerja adalah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan

berusaha dan bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, keyakinan dan

kepercayaan terhadap nilai-nilai, serta tujuan organisasi. Pada penelitian ini,

komitmen kerja terdiri atas beberapa subvariabel seperti inisiatif, penghayatan

terhadap visi dan misi rumah sakit, peraturan rumah sakit, asuhan keperawatan,

dan indikator kinerja klinik. Penjabaran masing-masing subvariabel sebagai

berikut.

1. Inisiatif

Inisiatif merupakan kemampuan perawat dalam melaksanakan tugas tanpa

menunggu perintah. Hal ini terkait dengan peningkatan hasil pekerjaan,

menciptakan peluang untuk menghindari timbulnya masalah. Inisiatif juga

menyangkut kreativitas perawat untuk mengembangkan potensi diri dalam

35

melaksanakan Askep dan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Dalam

penelitian ini subvariabel inisiatif diukur dengan indikator kesempatan

menyampaikan pendapat untuk mengembangkan askep, memiliki upaya untuk

meningkatkan mutu pelayanan dan mengembangkan kompetensi dalam

melaksanakan Askep (Ubaydillah, 2009).

2. Penghayatan Terhadap Visi dan Misi Rumah Sakit


Visi merupakan suatu pernyataan ringkas tentang cita-cita pengembangan

organisasi di masa depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran

organisasi di masa depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran

organisasi yang mencakup kegiatan jangka panjang dan jangka pendek.

Pernyataan visi dan misi harus sesuai dengan kebutuhan rumah sakit dan

kebutuhan pasien. Keduanya harus bias mengantarkan rumah sakit mencapai

tujuan dengan menumbuhkan semangat kerja, keharmonisan dalam melaksanakan

Askep sesuai SOP. Peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi

dan misi rumah sakit. Dalam penelitian ini subvariabel visi dan misi rumah sakit

diukur dengan indikator pemahaman terhadap visi dan misi rumah sakit yang

sudah disosialisasikan kepada perawat dengan dijabarkan visi dan misi rumah

sakit dalam tugas pokok dan fungsi (Mangku Prawira, 2009).

3. Peraturan Rumah Sakit

Peraturan membatasi segala kegiatan perawat. Mereka harus mematuhi

karena ada sanksi bagi yang melanggar. Peraturan dapat berupa tata tertib yang

mengikat perawat melaksanakan askep sehingga tidak menyimpang dari tujuan

rumah sakit. Pada penelitian ini subvariabel peraturan rumah sakit diukur dengan

indikator kepatuhan terhadap peraturan rumah sakit yang diterapkan secara adil.

36

4. Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang bersifat


dinamis dan membutuhkan kreativitas mereka memberikan pelayanan kepada

pasien. Askep yang diberikan kepada pasien merupakan pelayanan profesional

untuk membantu pasien secara komprehensif melakukan kegiatan rutinnya tanpa

bantuan orang lain. Dalam penelitian ini subvariabel Askep diukur dengan

indikator melaksanakan askep sesuai dengan SOP dan menerapkan Askep sesuai

dengan indikator kinerja klinik.

5. Indikator Kinerja Klinik (IKK)

Indikator kinerja klinik adalah variabel yang diukur dengan prestasi kerja

perawat dalam waktu tertentu. Dalam penelitian ini IKK dirumuskan dalam

bentuk kuantitas pelaksanaan SOP. Indikator kinerja klinik diidentifikasi,

dirumuskan, dan ditetapkan oleh kelompok perawat atas persetujuan kepala

ruangan, wakil kepala ruangan, dan koordinator/supervisor. Dalam penelitian ini

subvariabel diukur dengan indikator pengetahuan tentang indikator kinerja klinik

dan penilaian kinerja perawat yang dikaitkan dengan indikator kinerja klinik.

2.4 Instalasi Perawatan Intensif

2.4.1 Pengertian

Instalasi perawatan intensif adalah ruang perawatan terpisah yang berada

dalam suatu rumah sakit dan dikelola khusus untuk perawatan pasien dengan

kegawatan yang mengancam nyawa akibat penyakit, pembedahan atau trauma

dengan harapan dapat disembuhkan (reversibel) dan menjalani kehidupan sosial

melalui terapi intensif yang menunjang (suport fungsi vital tubuh) pasien tersebut

37
selama situasi kritis. Terapi suportif dengan obat dan alat meliputi fungsi

pernapasan, sirkulasi, sistem syaraf pusat, sistem pencernaan, ginjal yang

bertujuan agar ancaman kematian dapat dikurangi dan harapan sembuh kembali

normal dapat ditingkatkan (KARS, 2006).

Fasilitas pelayanan intensif dapaat berupa alat dan obat – obat emergensi,

tempat tidur khusus yaitu tempat tidur pasien yang dapat diatur ketinggian atau

posisi kepala, kaki, dan kemiringan secara mekanis atau elektris. Di atas tempat

tidur dilengkapi beberapa peralatan yang dipasang di dinding yaitu : suction,

exmination lamp, sphygnomanometer, kotak kontak, out let gasdan bed side

monitor.

2.4.2 Tujuan perawatan di Instalasi perawatan intensif

Instalasi perawatan intensif digunakan untuk mengelola pasien dengan

sakit berat dan kritis yang mengancam jiwa dengan melibatkan tenaga terlatih

serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus. Instalasi Perawatan Intensif

mempunyai tujuan yaitu :

a. Menyelamatkan kehidupan pasien yang mengalami penyakit kritis atau berat

b. Mencegah terjadinya kondisi yang memburuk dan terjadinya komplikasi dari

penyakit melalui observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan

untuk menginterpretasikan setiap data yang didapat dan melaksanakan tindak

lanjut perawatan pasien.

c. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan pasien.

d. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ pasien.


e. Mengurangi jumlah kematian pasien kritis dan mempercepat penyembuhan

pasien.

38

2.4.3 Indikasi Pasien Masuk dan Keluar Instalasi Perawatan Intensif

Indikasi pasien yang dirawat diruang intensif dibagi dalam beberapa prioritas

yaitu :

1. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, haemodinamik tidak stabil

yang memerlukan terapi intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus, obat-

obatan vasoaktif kontinyu dan lain-lain. Contoh pasien kelompok ini antara lain :

pasien pasca bedah kardiotorakik, atau pasien shock septic.

2. Pasien prioritas 2 (dua)

Kelompok ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih karena pasien

beresiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, pemantauan intensif

menggunakan metode seperti pulmonary chateter sangat menolong. Kelompok

pasien ini adalah : pasien yang menderita penyakit dasar jantung paru, atau ginjal

akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor, pasien kelompok 2

umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya, mengingat kondisi

mediknya senantiasa berubah.


3. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien yang termasuk prioritas ini adalah pasien dengan sakit kritis, dan

tidak stabil dimana status kesehatannya baik penyakit yang mendasari maupun

penyakit akutnya sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau

mendapat manfaat dari terapi yang diberikan. Contoh pasien ini adalah pasien

dengan keganasan metastasik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponadeatau

sumbatan jalan nafas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal

disertai komplikasi akut berat. Pasien-pasien prioritas ini mungkin mendapat

39

terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tapi usaha terapi mungkin tidak

sampai melakukan intubasi atau resusitasi cardiopulmonal.

Indikasi pasien keluar dari ruang intensif juga dibagi dalam beberapa

kriteria :

a. Pasien prioritas 1 (satu)

Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari Instalasi perawatan intensif bila

kebutuhan untuk terapi intensif sudah tidak ada lagi atau bila terapi telah gagal

dan prognosis jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau

manfaat dari terapi intensif kontinyu sangat kecil. Misalnya pasien dengan tiga

atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespon terhadap pengelolaan agresif.

b. Pasien prioritas 2 (dua)

Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak


memerlukan terapi intensif telah berkurang.

c. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan bila kebutuhan untuk terapi intensif

sudah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila

kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu kecil.

Misalnya pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung

atau liver terminal, karsinoma yang telah menyebar luas, dan lain-lain yang telah

tidak berespon terhadap terapi intensif untuk penyakit akutnya, yang prognosis

jangka pendek secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial

untuk memperbaiki prognosisnya.

40

2.4.4 Persyaratan Ruang Instalasi Perawatan Intensif

Sebagai tempat untuk memberikan pelayan secara intensif Instalasi

PErawatan Intensif harus didukung dengan peralatan yang memiliki persyaratan

sebagai berikut : kinerja akurat dan terkendali, keselamatan kerja terjamin,

aksesori lengkap dan baik, dan laik pakai. Dalam memenuhi persyaratan tersebut

peralatan harus dikelola dengan baik secara berkesinambungan dan ditunjuk

petugas yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola peralatan.

Selain peralatan, ruang perawatan di instalasi perawatan intensif juga

harus memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu :

a. Ruang terbuka 12-16 M2


/ per unit.

b. Jarak antara dua tempat tidur adalah 2 meter.

c. Tempat tidur pasiem mudah dirubah posisinya.

d. Peralatan medis mudah dijangkau.

e. Tercukupinya persediaan obat-obatan.

f. Ruangan perawat ditempatkan sedemikian rupa sehingga memudahkan perawat

mengawasi dan menolong pasien.

g. Ruang ber-AC

h. Berdekatan dengan ruang operasi, ruang pulih sadar.

i. Cukup ruangan untuk peralatan dan sterilisasi.

j. Adanya cadangan sumber tenaga listrik darurat.

k. Adanya sistem alarm.

l. Adanya ruangan konsultasi keluarga pasien.

41

2.4.5 SDM di Instalasi Perawatan Intensif

Ketenagaan yang ada di Instalasi Perawatan Intensif terdiri dari : Tim

dokter spesialis dari berbagai disiplin ilmu, tenaga keperawatan dan tenaga lain

(pekerja kesehatan, tata usaha, tenaga medis non perawatan, teknisi, analis).

a. Perawat di Instalasi Perawatan Intensif.


Perawat adalah seorang yang telah menyelesaikan pendidikan perawat

tingkat dasar yakni perawat dengan pendidikan SPK, Perawat tingkat I yakni

perawat dengan pendidikan D III Keperawatan, dan perawat tingkat II yakni

perawat dengan pendidikan sarjana keperawatan S1 Keperawatan adalah suatu

bentuk pelayanan kesehatan profesional yang merupakan bagian integral dari

pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan

biopsiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga,

masyarakat, baik sakit maupun sehat , yang mencakup seluruh proses kehidupan

manusia.

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada

praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien, pada berbagai

tingkat pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia,

dengan menggunakan metodologi proses keperawatan, berpedoman pada

keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam dalam lingkup

wewenang serta tanggungjawab keperawatan (PPNI, 1999)

b. Kualifikasi Tenaga Keperawatan di Instalasi Perawatan Intensif

Semua tenaga perawatan yang ditugaskan bekerja di pelayanan intensif

harus memenuhi persyaratan. Antara lain :

42

1. Mampu mengenal dan mencatat tanda dan gejala penyakit/kegawatan yang

mengancam nyawa.
2. Mampu melakukan perawatan gawat darurat pendahuluan termasuk RJP dasar.

3. Mampu memasang infus intra vena.

4. Mampu melakukan pelayanan perawatan intensif sesuai kebutuhan pasien.

5. Mampu mencegah kontaminasi dan infeksi silang.

6. Mendapat pelatihan pencegahan kecelakaan akibat pemakaian alat-alat

listrik/kecelakaan kerja yang lain.

7. Mampu menggunakan peralatan secara benar, efektif dan aman.

8. Bersikap tanggap dan perhatian terhadap keluhan dan kabutuhan pasien serta

keluarga termasuk segi psikologi dan sosial.

Selain itu perawat di Instalasi Perawatan Intensif juga harus melaksanakan

uraian tugas lain sebagaimana perawat pada umumnya. Adapun uraian tugas

tersebut sebagai berikut :

1. Bersedia memelihara kebersihan ruangan dan lingkungan.

2. Menerima dan mengorientasikan pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan

yang berlaku.

3. Memelihara dan merawat peralatan keperawatan dan alat-alat medis.

4. Melakukan observasi pasien (mengukur tanda-tanda vital) dan alat yang

digunakan.

5. Melakukan pengkajian keperawatan dan menentukan diagnosa keperawatan

sesuai batas kewenangan dan kemampuan.

6. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien sesuai kebutuhan dan batas

kemampuannya
43

7. Melaksanakan tindakan pengobatan sesuai program.

8. Memberi penyuluhan kesehatan dan KIE pada pasien dan keluarga.

9. Membantu pasien untuk latihan gerak (mobilisasi) kepada semua pasien yang

berpeluang mengalami kontraktur atau mengalami imobilisasi.

10. Melaksanakan tugas pagi, sore, malam dan hari libur secara bergilir sesuai

daftar dinas.

11. Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan sesuai

dengan ketentuan.

12. Memindahkan pasien ke ruangan bila pasien sudah stabil atau sesuai indikasi.

13. Mendokumentasikan identitas klien, tindakan keperawatan, tindakan

pemeliharaan medis sesuai dengan konsep keselamatan pasien (patient safety).

14. Melaksanakan serah terima tugas saat pergantian dinas secara tertulis maupun

lisan.

15. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh kepala ruang.

2.5 Hubungan Motivasi dan Komitmen Kerja Perawat dengan Penerapan

Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien adalah bebas dari cidera aksidental atau

menghindarkan cidera pada pasien akibat perawatan medis dan kesalahan

pengobatan . Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah

sakit membuat asuhan pasien lebih aman (Dep Kes RI, 2006). Keselamatan pasien
merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan

yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011). Taylor, et al.

44

(1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi yang berfokus

kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai kesehatannya secara

optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada

pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan keperawatan yang

diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus memiliki kesadaran akan

adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan pasien melalui

pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama berinteraksi dengan

pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan pasien dan pencegahan

terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat selama

pemberian asuhan keperawatan berlangsung.

Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur

mengenai pengaruh kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien

menemukan bahwa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien

adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan pasien jatuh.

Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian

merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya

peran perawat (nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia,


perdarahan saluran pencernaan atas, shock/henti jantung, infeksi saluran kemih,

ulkus dekubitus dan failure to rescue.

Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu

mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep secara efektif, akurat, dan

konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan yang terkait

dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit

45

(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan,

keterikatan individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada

dalam rumah sakit (Mathis dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan

terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan prestasi yang lebih baik dengan terlibat

aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).

Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku

seseorang secara optimal, hal ini di sebabkan karena motivasi merupakan kondisi

internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan

kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku

kerja guna mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan atas

perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996). Motivasi juga merupakan konsep yang

dipakai untuk menguraikan keadaan ekstrinsik yang ditampilkan dalam perilaku.

Respon instrinsik disebut juga sebagai motif (pendorong) yang mengarahkan


perilaku ke rumusan kebutuhan atau pencapaian tujuan. Stimulus ekstrinsik dapat

berupa hadiah atau insentif, mendorong individu melakukan atau mencapai

sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan ekstrinsik yang dapat dilihat

berupa perilaku atau penampilan (Sadili, 2006). Dalam perilaku organisasi

motivasi merupakan kemauan yang kuat untuk berusaha ke tingkat yang lebih

tinggi atau lebih baik untuk mencapai tujuan organisasi, tanpa mengabaikan

kemampuan untuk memperoleh kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi.

Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang untuk

melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga kebutuhan dasar yaitu:

a)kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli atau

berprestasi, b)kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan antar

46

pribadi yang ramah dan karib, c) kebutuhan akan kekuasaan (power) kebutuhan

yang mendorong seseorang untuk menguasai atau mendominasi orang lain (Sigit,

2003). Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk peningkatan kinerja

perawat. Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang

meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Dengan

komitmen kerja yang tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai

motivasi kuat untuk melaksanakan atau menerapkan program keselamatan pasien

sehingga tercapai prestasi organisasi yang diharapkan.

You might also like