You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria merupakan kelainan kulit heterogen yang bisa menjadi akut atau
kronis, intermiten atau persisten, dan dapat terjadi sendiri atau berhubungan
dengan kondisi lainnya angioedema.Urtikaria disebut kronik apabila terjadi
setiap hari atau hampir setiap hari dan berlangsung selama 6 minggu atau
lebih.1,2,3
Urtikaria kronis diasosiasikan dengan tingginya angka morbiditas dan
penurunan kualitas hidup. Angka kejadian urtikaria cukup tinggi. Lima belas
persen sampai 20% penduduk pernah mengalami urtikaria dalam
kehidupannya, dan 25% di antaranya mengalami urtikaria kronis.
Bulsenmeyer et al. melaporkan 0,1% sampai 3% penduduk USA dan Eropa
menderita urtikaria kronis.4
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling umum
digunakan untuk urtikaria kronis. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan memblok
reseptor histamin (penghambat saingan).
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin
yang akan diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi,
farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari
antihistamin terutama antihistamin (AH1) baik klasik maupun non sedasi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Urtikaria
2.1.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan
adanya edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan
(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk.5
Urtikaria merupakan lesi kulit yang terdiri dari reaksi wheal dan flare.
Reaksi wheal merupakan bentuk manifestasi kulit dari reaksi edema lokal
intrakutan yang dikelilingi oleh area eritem yang biasanya disertai dengan
keluhan gatal.4

2.1.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor usia, ras,
jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis, dan musim memengaruhi jenis
pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria digolongan akut bila
berlangsung < 6 minggu, dan dianggap kronis bila > 6 minggu. Urtikaria
kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan perbandingan
perempuan : laki-laki adalah 2 : 1. Sebagian besar anak-anak (85%) yang
mengalami urtikaria, tidak disertai angioedema. Sedangkan 40% dewasa
mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema.5
Sekitar 50% pasien urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun,
65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5
tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun.6
Angka kejadian urtikaria cukup tinggi. Lima belas persen sampai 20%
penduduk pernah mengalami urtikaria dalam kehidupannya, dan 25% di
antaranya mengalami urtikaria kronis. Bulsenmeyer et al melaporkan 0,1%
sampai 3% penduduk USA dan Eropa menderita urtikaria kronis.4

2
2.1.2 Etiologi Urtikaria
Urtikaria dan angioedema memiliki mekanisme patofisiologis dasar
yang sama yaitu pelepasan histamin dan mediator lainnya dari sel mast dan
basofil. Jika pelepasan terjadi di dermis, maka akan menghasilkan urtikaria,
sedangkan jika pelepasan terjadi di dermis yang lebih dalam dan jaringan
subkutan, maka akan menghasilkan angioedema. Pelepasan ini dimediasi oleh
Immunoglobulin E (IgE), tetapi aktivasi sel mast non-IgE dan nonimunologis
juga dapat terjadi. Protease dari aeroallergens dan aktivasi sistem komplemen
merupakan pemicu non-IgE. Kemungkinan terdapat komponen autoimun
serologis pada pasien dengan urtikaria kronis, termasuk antibodi terhadap IgE
dan reseptor IgE afinitas tinggi. Namun, signifikansi klinis dari autoantibodi
ini masih tidak jelas. Antibodi anti-IgE juga dapat ditemukan pada dermatitis
atopik dan beberapa penyakit autoimun lainnya.7
Terdapat beberapa penyebab urtikaria yang telah teridentifikasi. Pada
tabel 2.1 penyebab umumnya seperti alergen, makanan pseudoallergens
(makanan yang mengandung histamin atau salisilat, atau yang menyebabkan
pelepasan histamin secara langsung), envenomasi serangga, obat-obatan, dan
infeksi. Infeksi adalah penyebab urtikaria paling umum pada anak-anak. Agen
infeksi yang umumnya dikaitkan dengan urtikaria meliputi berbagai virus
bakteri, dan parasit. Obat-obatan, terutama antibiotik beta-laktam, biasanya
menyebabkan urtikaria melalui reaksi alergi, walaupun beberapa obat
(misalnya Aspirin, obat antiinflamasi non steroid/NSAID, vankomisin, opiat)
juga dapat memicu urtikaria melalui degranulasi sel mast langsung.7
Pada beberapa pasien, rangsangan fisik seperti tekanan, dingin, panas,
dan peningkatan suhu inti tubuh (cholinergic urticaria), dapat menyebabkan
urtikaria yang cenderung kronis. Penyakit sistemik merupakan penyebab
urtikaria yang tidak biasa. Penyakit yang berkaitan dengan urtikaria atau
angioedema seperti hashimoto tiroiditis, mastositosis, lupus eritematus
sistemik, sindroma Sjögren, rheumatoid arthritis, vaskulitis, penyakit seliaka,
dan limfoma. Penyebab urtikaria akut dapat teridentifikasi selama riwayat
pasien, meskipun 80% hingga 90% kasus urtikaria kronis bersifat idiopatik.7

3
Tabel 2.1 Penyebab Urtikaria. (Sumber: Kepustakaan 7)

Mediasi Mediasi Non- Mediasi Non-Imunologi


Immunoglobulin E Immunoglobulin E
(IgE) (IgE)
Aeroallergens Aeroallergens Kontak alergi
Kontak alergen (Protease) Peningkatan suhu inti
Makanan alergen Penyakit autoimun tubuh
Racun serangga Infeksi bakteri Makanan
Medikasi Cryoglobulinemia pseudoallergens
Infeksi parasit Infeksi jamur Cahaya
Limfoma Mastositosis
Vaskulitis Medikasi (degranulasi sel
Infeksi virus mast langsung)
Stimulasi fisik (dingin,
panas, tekanan, getaran)
Air

Tabel 2.2 Etiologi Urtikaria. (Sumber: Kepustakaan 8)


Tipe Contoh

Penyakit infeksi Infeksi virus, hepatitis, infeksi mononukleosis,


bakterial, parasit, atau infeksi jamur

Medikasi Penisilin atau antibiotik lainnya, aspirin, insulin,


vaksin, injeksi alergi, morfin, meperidin, kodein,
NSAIDs, ACE-inhibitor

Alergen lingkungan Rumput, ketombe atau saliva binatang, sengatan


serangga

Makanan Telur, susu, gandum, soya, kedelai, kacang tanah,


ikan, kerang

Autoimun atau Penyakit autoimun, penyakit kolagen vaskular,


penyebab non- keganasan, penyakit tiroid, perubahan hormonal
infeksius
Agen fisik Dingin, panas, sinar matahari, tekanan, getaran,
olahraga

Faktor psikologis Stres, kecemasan

4
Gambar 2.1: Plak urtikaria annular berbatas tegas. (Sumber: Kepustakaan 7)

Gambar 2.2: Plak urtikaria eritema serpiginosa. (Sumber: Kepustakaan 7)

5
Gambar 2.3: Urtikaria kolinergik, tampak papula urtikaria di pusat
dengan eritematosa yang lebih besar7

Gambar 2.4: Vaskulitis urtikaria, tampak plak urtikaria yang terfiksir,


eritematosa, dengan lingkaran cahaya yang memucat
(Sumber: Kepustakaan 7)

6
2.1.4 Patofisiologi
Penyebab urtikaria sangat beragam, diantaranya obat, makanan dan
food-additive, infeksi dan infestasi, proses inflamasi, penyakit sistemik dan
keganasan, proses autoimun, dan rangsangan fisik. Lebih dari 50% urtikaria
kronis adalah idiopatik.5
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat akibat pelepasan histamin dan sel mast dan basofil. Sel mast
adalah sel efektor utama pada urtikaria, dan mediator lain yang turut berperan
adalah serotonin, leukotrien, prostaglandin, protease, dan kinin. Berbagai
mekanisme yang dapat menyebabkan aktivasi sel mast, digolongkan
menjadi:5
A. Faktor imunologik yang terdiri atas:
- Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE, contohnya alergi obat
- Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternatif, menghasilkan
anafilatoksin (C3a, C4a, dan C5a) yang menyebabkan pelepasan
mediator sel mast
B. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel
mast oleh penyebab, misalnya bahan kimia pelepas mediator (morfin,
kodein, media radio-kontras, aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid,
benzoat), faktor fisik (suhu, mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).

Lesi pada urtikaria akut yang dimediasi IgE dihasilkan dari pelepasan
molekul yang diinduksi antigen dari sel mast atau leukosit basofil yang
sensitif terhadap antibodi IgE spesifik (hipersensitivitas tipe I). Mediator yang
dilepaskan meningkatkan permeabilitas venular dan merangsang pelepasan
molekul aktif dari sel lain.9
Urtikaria akut atau kronis dapat terjadi sebagai akibat dari pelepasan sel
mast dan basofil dari mediator bioaktif, seperti histamin dan leukotrien,
setelah aktivasi sistem imun bawaan atau adaptif. Oleh karena itu, urtikaria
dapat dihasilkan dari aktivasi sel mast dengan antibodi IgE, IgM atau IgG
spesifik yang mengaktifkan jalur komplemen klasik. Terdapat kemungkinan

7
juga bahwa mediator lain (neuropeptida, seperti substansi P, peptida terkait
gen kalsitonin dan neurokinin A) dan obat-obatan (opiat) dapat secara
langsung mengaktifkan sel mast atau basofil melalui reseptor spesifik dan
sebagai inhibitor siklooksigenase (yaitu ASA dan NSAID) yang
menyebabkan gatal-gatal melalui jalur yang dimediasi non-IgE.1
Permeabilitas pembuluh darah pada kulit diproduksi terutama oleh
reseptor histamin H1 (85%); sisanya (15%) merupakan reseptor histamin H2.
Hipotesis saat ini mengenai infiltrasi seluler yang mengikuti degranulasi sel
mast menunjukkan bahwa pelepasan produk sel mast (histamin, leukotrien,
sitokin, kemokin) mengakibatkan perubahan dalam vasopermeabilitas,
peningkatan regulasi molekul adhesi pada sel endotel, dan pergantian dan
perlekatan leukosit darah, diikuti oleh kemotaksis dan migrasi sel
transendotelial. Kerja histamin antara lain menyebabkan masuknya plasma ke
dalam jaringan, merangsang endotel untuk mensintesis prostasiklin dan nitrat
oksida yang menyebabkan vasodilatasi. Respon tersebut akan bermanifestasi
klinis sebagai eritema dan edema.6
Selain histamin, mediator yang dilepaskan dari sel mast dermal
termasuk eikosanoid (prostaglanding D2, leukotrien C4), sitokin, termasuk
tumor necrosis factor- (TNF-), interleukin (IL) 4, 6, dan 8/CXCL8, faktor
pertumbuhan fibroblas dan protease termasuk chymase, tryptase, dan
granzyme.4
Sumber kemokin meliputi sel mast dan sel endotel yang teraktivasi; sel-
sel terakhir yang dirangsang tidak hanya oleh sitokin atau monokin, seperti
IL-4, IL-1, dan TNF-, tetapi juga oleh faktor vasoaktif, misalnya histamin
dan leukotrien yang dilepaskan dari aktivasi sel mast.6

8
Gambar 2.5: Aktivasi sel mast oleh antibodi IgG antireseptor IgE, diikuti
oleh aktivasi komplemen, pelepasan C5a yang meningkatkan
sel mast6

Pada gambar 2.5, komplemen mungkin berkontribusi terhadap


pelepasan histamin yang dapat diamati dari serum pasien urtikaria kronik
dengan deplesi komplemen menyebabkan kurangnya pelepasan histamin.
Suatu seri pelaporan menjelaskan peran komplemen yaitu lebih spesifik
melalui aktivasi jalur klasik dan generasi C5.6
Aktivasi komplemen dan pelepasan C5a tidak hanya menghasilkan
pelepasan histamin, tetapi C5a juga merupakan kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil dan monosit. Adanya C5a merupakan salah satu faktor yang akan
membedakan lesi ini dari reaksi fase akhir pada kulit yang diinduksi alergen
yang khas.6
Autoantibodi IgG anti IgE dan IgG autoantibodi anti FcRI berperan
penting dalam patogenesis urtikaria kronis. Ikatan antara IgE dengan
autoantibodi IgG anti IgE serta ikatan antara FcRI (high-affinity IgE

9
receptor) dengan autoantibodi IgG anti FcRI menyebabkan aktivasi sel
mast dan terjadi pelepasan histamin.3

2.1.5 Manifestasi Klinis


Ciri utama urtikaria adalah peningkatan lesi kulit yang tampak pucat
menjadi merah muda hingga eritematosa dan paling sering bersifat pruritus
yang intensif. Ukuran lesi berkisar antara milimeter hingga sentimeter dan
kemungkinkan menyatu. Secara khas, lesi lama lebih cepat menghilang, dan
lesi baru akan berkembang lebih dari 24 jam, biasanya tanpa jaringan parut.
Tindakan menggaruk lesi umumnya akan memperburuk dermatografi, yaitu
akan terbentuk urtikaria baru pada daerah yang tergores. Untuk predileksi,
setiap area tubuh dapat terlibat. Lesi urtikaria dini dapat bervariasi dalam
ukuran dan pucat saat diberikan penekanan. Seseorang dapat terserang
urtikaria yang berlangsung dalam beberapa menit atau hingga 24 jam dan
dapat terjadi berulang-ulang di berbagai tempat pada tubuh selama periode
waktu yang tidak dapat ditentukan.8

Gambar 2.6: Lesi urtikaria: ciri utama urtikaria adalah pruritus yang
intensif, lesi kulit yang meningkat, tampak pucat dan menjadi
merah muda hingga eritematosa; ukurannya mulai dari
beberapa milimeter hingga sentimeter dan memiliki
kemungkinan untuk menyatu. (Sumber: Kepustakaan 8)

10
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Meskipun tidak ada konsensus mengenai pengujian laboratorium yang
tepat, beberapa tes berikut harus dipertimbangkan untuk pasien dengan
urtikaria kronis setelah menyelesaikan anamnesis menyeluruh dan
pemeriksaan fisik, yaitu: pemeriksaan darah lengkap (complete blood
count/CBC) dengan diferensial; laju sedimentasi eritrosit (erythrocyte
sedimentation rate/ESR) dan/atau protein C-reaktif (C-reactive protein/CRP);
uji kimia dan uji hati; dan hormon perangsang tiroid (thyroid-stimulating
hormone/TSH), antibodi antimikrosom, dan pengukuran antibodi
antitrogrogulin.8
Biasanya nilai CBC dalam batas normal, jika ditemukan adanya
eosinofilia, maka dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan gangguan
atopik atau infeksi parasit. Jika hasil ESR/CRP positif, dipertimbangkan
untuk dilakukan peneriksaan antinuclear antibody (ANA) yang lebih besar.8
Uji tambahan dapat diindikasikan bila ditemukan non-IgE atau
kemungkinan adanya autoimun pada anamnesis dan/atau pemeriksaan fisik.
Hal ini dapat mencakup uji autoantibodi fungsional (untuk autoantibodi pada
reseptor IgE afinitas tinggi/FcR1); analisis komplemen (misalnya, C3, C4,
CH50), khususnya ketika dicurigai adanya angioedema herediter; analisis
tinja untuk ova dan parasit. Namun, pemeriksaan Helicobacter pylori (ada
bukti eksperimental terbatas sebagai dasar perekomendasian untuk
pemeriksaan ini); pemeriksaan hepatitis B dan C; radiografi thoraks dan/atau
studi pencitraan lainnya; Pemeriksaan ANA; faktor rheumatoid; kadar
cryoglobulin; biopsi kulit; dan urinalisis.8
Urtikaria lokal dapat terjadi setelah kontak dengan alergen melalui
mekanisme yang dimediasi oleh IgE. Jika alergen diduga sebagai pemicu,
maka pengujian serologis untuk menilai kadar IgE spesifik alergen akan
sangat membantu dalam pengaturan perawatan primer. Tingkat spesifik IgE
yang paling sering dinilai adalah untuk aeroallergens luar endemik
(misalnya, hewan peliharaan (kucing, anjing), tungau debu); pengukuran
kadar IgE spesifik makanan dapat dilakukan jika alergi tertentu menjadi suatu

11
perhatian. Alergi skin prick testuntuk hipersensitivitas langsung dan tes
tantangan fisik biasanya dilakukan di kantor alergi oleh ahli alergi yang
bersertifikat.8
Biopsi kulit harus dilakukan pada semua lesi yang berkaitan dengan
urtikaria vaskulitis. Biopsi juga penting dilakukan jika gejala dominan nyeri
dibandingkan pruritus, karena hal ini mungkin menunjukkan penyebab yang
berbeda. Dokter harus mempertimbangkan pengujian laboratorium yang lebih
rinci dan biopsi kulit jika urtikaria tidak berespon terhadap terapi seperti yang
diharapkan.8

2.1.6 Penatalaksanaan
2.1.6.1 Non Farmakoterapi
Pengobatan penyebab yang mendasari, jika dapat teridentifikasi
akan sangat membantu dan harus menjadi pertimbangan. Misalnya,
jika ditemukan adanya kelainan tiroid pada tes serologi, maka
memperbaiki kelainan tersebut akan dapat menyelesaikan urtikaria.
Demikian pula, jika terdeteksi adanya defisiensi komplemen konsisten
dengan angioedema herediter, dilakukan pengobatan maka akan dapat
menyelamatkan jiwa penderita. Pengobatan angioedema herediter
dengan medikasi merupakan pilihan terbaik pada praktik alergi.8
Jika pemicu telah ditemukan, selanjutnya adalah menyadarkan
pasien dan menyarankan untuk menghindari pemicu sebisa mungkin.
Namun, penghindaran total mungkin akan sangat sulit untuk
dilakukan. Faktor-faktor potensial lain yang umum seperti adanya
sumber infeksi, konsumsi alkohol yang berlebihan, kelelahan yang
berlebihan, stres emosional, hipertermia, dan penggunaan aspirin -
NSAID haruslah dihindari. Faktor-faktor ini dapat memperburuk
keadaan dan memicu munculnya urtikaria serta mempersulit
pengobatan, contohnya adalah pasien yang menderita urtikaria dari
anjing peliharaan dan sedang mengonsumsi obat anti-inflamasi untuk
gejala radang sendi.8

12
Agen topikal jarang menghasilkan perbaikan, dan oleh karena
itu penggunaannya tidak dianjurkan. Bahkan, pengobatan
kortikosteroid potensi tinggi dapat menyebabkan atrofi kulit. Selain
itu, perubahan pola makan tidak diindikasikan pada sebagian besar
pasien dengan urtikaria kronis, karena alergi makanan atau aditif
makanan kemungkinan tidak akan berespon.8

2.1.6.2 Farmakoterapi
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling
umum digunakan untuk urtikaria kronis. H2-receptor blocker, diambil
dalam kombinasi dengan generasi pertama dan kedua H1-receptor
blocker, dilaporkan lebih efektif daripada antihistamin H1 saja untuk
pengobatan urtikaria kronis. Kemanjuran tambahan ini berkaitan
dengan interaksi farmakologis dan peningkatan kadar darah yang
dicapai dengan antihistamin generasi pertama. Peningkatan dosis
antihistamin generasi kedua - setinggi empat kali dosis standar -
dianjurkan oleh Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP)
2014 sebagai diagnosis dan pengelolaan urtikaria akut dan kronis.8
Pendekatan bertahap untuk pengobatan sangatlah penting.
Pedoman JTFPP telah dirangkum di bawah ini, yaitu sebagai berikut:8
Langkah 1: Berikan antihistamin generasi kedua dengan dosis terapi
standar dan hindari pemicu, NSAID, dan faktor-faktor
lain yang memperburuk keadaan. Jika kontrol gejala
tidak tercapai dalam satu hingga dua minggu, lanjutkan
ke langkah kedua.
Langkah 2: Tingkatkan terapi dengan satu atau lebih metode berikut:
tingkatkan dosis antihistamin generasi kedua yang
digunakan pada Langkah 1 (hingga 4x dosis standar);
tambahkan antihistamin generasi kedua ke dalam
rejimen; tambahkan H2-blocker (ranitidine, famotidine,
cimetidine); dan/atau tambahkan leukotriene-receptor
antagonist (montelukast 10 mg/hari). Jika langkah-

13
langkah tersebut tidak menghasilkan kontrol gejala yang
memadai, maka dilanjutkan ke langkah ketiga.
Langkah 3: Tingkatkan dosis antihistamin H1 secara bertahap dan
hentikan obat apa pun yang ditambahkan pada Langkah
2 yang tampaknya tidak bermanfaat. Tambahkan
antihistamin generasi pertama (hidroksizin, doxepin,
siproheptadin), yang harus dikonsumsi pada waktu tidur
karena risiko sedasi. Jika gejala tidak terkendali dengan
menggunakan langkah-langkah 3, atau jika pasien tidak
dapat mentolerir peningkatan dosis antihistamin generasi
pertama, urtikaria dianggap refraktori. Pada situasi ini,
dokter harus mempertimbangkan untuk merujuk pasien
ke spesialis alergi.

2.1.7 Prognosis
Prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50%
remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5
tahun. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi dokter maupun pasien,
karena membutuhkan penanganan yang komprehesif untuk mencari
penyebab dan menentukan jenis pengobatan. Walupun tidak mengancam
jiwa, namun dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar.10

2.2 Antihistamin
2.2.1 Definisi
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling umum
digunakan untuk urtikaria kronis. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan
memblok reseptor histamin (penghambat saingan).

14
2.2.2 Etiologi Histamin
Histamin didistribusikan secara luas di seluruh tubuh, dengan
konsentrasi yang tinggi terdapat di paru-paru, kulit dan saluran
pencernaan. Histamine (merupakan salah satu mediator utama yang
dilepas dari sel mast dan basofil), berperan terhadap patofisiologinya
penyakit alergi. Reseptor H1 terdapat pada saraf, epitel dan endotel.
Reseptor H2 berlokasi pada sel parietal mukosa lambung, epitel dan
endotel, hati dan tipe sel lainnya. Reseptor H3 dan H4 memiliki ekspresi
yang terbatas. Antihistamin bekerja secara kompetotoif, yaitu dengan
menghambat interaksi histamine dengan reseptor histamine H1, H2 dan
H3. Antihistamin juga menjadi faktor sangat penting dalam terapi urtikaria
dan dermatitis atopik. 3
Histamin berperan penting dalam kehidupan manusia, dengan
bermacam-macam efek biologis melalui empat reseptor. Ini terkait pada
proliferasi dan diferensiasi sel, hematopoesis, perkembangan embrionik,
regenerasi dan penyembuhan luka. Histamin terkait dengan regulasi fungsi
dasar tubuh melalui reseptor H1. Fungsi ini termasuk dalam siklus
mengantuk dan lemah, homeostasis endokrin dan energi, kognisi dan
memori. Histamin juga memiliki aktivitas antikonvulsan. Dengan
memodulasi pelepasan neurotransmiter melalui presinaptik reseptor H3
yang dilokasikan pada neuron histaminergik dan nonhistaminergik pada
sistem saraf pusat dan perifer. Fasilitas histamin dengan beberapa aktivitas
proinflamasi melalui reseptor H4, yang memiliki derajathomolog yang
tinggi dengan reseptor H3 tapi memiliki profil ekspresi yang unik.6

2.2.3 Klasifikasi
Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah
ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut
reseptor-H, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi
dalam dua tipe, yaitu reseptor-H1 dan reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin dapat dibagi dalam 2
kelompok, yaitu:

15
1. Antagonis reseptor-H1 (H1-blockers atau antihistamin).
Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8
kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok
atas dasar kerjanya terhadap SSP, yaitu zat-zat generasi ke-1 dan
ke-2.
a. Antihistamin generasi ke-1
 Diphenhydramine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg diberikan
lambat intravena (IV) atau intramuskular administrasi (IM)
injeksi setiap empat sampai enam jam, sesuai kebutuhan.
Anak-anak dapat menerima 0,5-1,25 mg / kg (sampai 50 mg
per dosis) IV / IM setiap enam jam sesuai kebutuhan.10
 Hydroxyzine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg
administrasi IM dalam pada orang dewasa setiap empat
sampai enam jam, sesuai kebutuhan. Anak-anak dapat
menerima 0,5-1 mg / kg (sampai 50 mg per dosis) IM setiap
enam jam sesuai kebutuhan.10

b. Antihistamin generasi ke-2


Zat-zat bersifat hidrofil dan sukar mencapai cairan
cerebrospinal, maka pada dosis terapeutik tidak bekerja sedatif.
Keuntungan lainnya adalah plasma-t2-nya yang lebih panjang,
sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari sehari. Efek anti
alerginya selain berdasarkan khasiat antihistamin, juga karena
dapat menghambat sintesis mediator radang seperti prostaglandin,
leukotrien dan kinin.
 Cetirizine
Cetirizine menunjukkan onset kerja yang cepat dengan
menstabilkan sel mas. Dosis standar 10 mg sekali sehari
sesuai untuk orang dewasa dan anak-anak berusia enam tahun

16
atau lebih (dan dapat ditingkatkan sampai dua kali 10 mg
sehari pada orang dewasa jika diperlukan). Dosis biasa untuk
anak usia 2-5 tahun adalah 5 mg sekali sehari. Anak kecil
berusia enam bulan sampai dua tahun dapat diberikan 2,5 mg
sekali sehari (dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg dua kali
sehari pada anak satu tahun dan lebih tua jika diperlukan).10
 Levocetirizine
Levocetirizine adalah enantiomer aktif cetirizine yang
menghasilkan efek setara dengan cetirizine sekitar satu
setengah dosis. Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun
dan lebih tua, dosis standar adalah 5 mg sekali sehari di
malam hari (atau sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada
orang dewasa jika diperlukan) atau 2,5 mg sekali sehari di
malam hari untuk anak usia 6 sampai 11 tahun.
Levocetirizine tidak mungkin efektif sebagai alternatif bagi
pasien yang memiliki toleransi terhadap efek cetirizine.11
 Loratadin
Loratadin adalah antihistamin kerja panjang, selektif H1
antihistamin yang berbeda dari cetirizine yang memiliki dosis
standar 10 mg sekali sehari untuk usia enam tahun dan lebih
(atau sampai dua kali 10 mg sehari pada orang dewasa jika
diperlukan). Untuk anak usia 2-5 tahun, dosis biasa adalah 5
mg sekali sehari.10
 Desloratadin
Desloratadin adalah metabolit aktif utama dari loratadin dan
menghasilkan efek setara dengan loratadine sekitar satu
setengah dosis. Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun
dan lebih besar, dosis standar adalah 5 mg sekali sehari (atau
sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada orang dewasa jika
diperlukan). Untuk anak-anak usia 6 sampai 11 tahun,
dosisnya adalah 2,5 mg sekali sehari, dan untuk mereka yang

17
berusia 1 sampai 5 tahun, dosis 1.25 mg sekali sehari. Dosis
yang lebih rendah dari 1 mg sekali sehari disetujui di
Amerika Serikat untuk anak-anak kecil berusia 6 bulan
sampai 1 tahun.10
 Fexofenadine

Dosis yang disarankan adalah 180 mg sehari untuk usia 12


tahun dan lebih (atau sampai dua kali sehari pada orang
dewasa jika diperlukan) atau 30 mg dua kali sehari untuk
anak usia 2 sampai 11 tahun. Dosis yang lebih rendah dari 15
mg dua kali sehari disetujui di Amerika Serikat untuk anak-
anak kecil berusia enam bulan sampai dua tahun.

2. Antagonis reseptor-H2 (H2-blockers atau zat penghambat asam).


H2 bloker aadalah kelas obat yang menghalangi reaksi
antihistamin pada reseptor histmin H2. Obatnya antara lain
cimetidine, ranitidine, famotidine, nizatidine.

2.2.4 Mekanisme Kerja


1. H1-blocker (antihistamin klasik)
H1-blocker melawan histamin dengan memblok reseptor-H1 pada
dinding pembuluh darah, bronkial,saluran cerna, kandung kemih, dan
rahim. Begitu juga melawan efek histamin di kapiler dan ujung saraf
(gatal, flare reaction). Efeknya adalah simtomatis, antihistamin tidak
dapat menghindari timbulnya reaksi alergi.10
2. H2-blocker (penghambat asam)
Obat-obat ini secara selektif menghambat sekresi asam lambung
yang meningkat akibat histamin, melalui persaingan terhadap reseptor-
H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipereksresi asam
klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah.

18
Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung-usus
untuk mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung
tambahan pada terapi dengan kortikosteroid. Lagi pula sering kali
digunakan bersama suatu perangsang motilitas lambung (cisaprida)
pada penderita refluks.10
Penghambat asam yang banyak digunakan adalah simetidin, tidin
dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa ranitidin, famotidin,
nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklik
dari histamin.
Tabel 2.3 Kategori Antihistamin dan Dosis untuk Dewasa8
Medikasi Dosis
Generasi pertama H-1 blockers
Chlorpheniramine 4 mg setiap 4-6 jam, dapat dinaikkan
hingga 32 mg/hari
Cyproheptadine 4 mg/hari
Diphenhydramine 25-50 mg/hari
Hydroxyzine 10-25 mg dapat dinaikkan hingga
3x/hari
Doxepin* 25-50 mg sebelum tidur
Generasi kedua H-1 blockers
Cetirizine 10 mg 1-2x/hari
Desloratadine 5 mg 1x/hari
Fexofenadine 180 mg 1-2x/hari
Levocetirizine 5 mg 1-2x/hari
Loratadine 10 mg 1-2x/hari
H2-blockers
Cimetidine 300 mg 2x/hari
Famotidine 20 mg 2x/hari
Ranitidine 150-300 mg 2x/hari

2.2.5 Efek Farmakologi


Semua Ah1 memiliki efek farmakologis dan terapeutik yang
serupa denga menghambat histamine secara kometitif dapa reseptor
H-1. AH-1 menghambat efek histamine pada pembuluh darah,
bronkus dan berbagai macam otot polos.
Ah-1 dilaporkan efektif meredakan pruritus dan wheal pada
urtikaria kronis lebih dari 70% pasien. Obat ini banyak digunakan

19
sebagai obat lini pertama. Pada urtikaria, antihistamin H1 dapat
mengurangi ukururan, lama, frekuensi urtikaria dan gatal.11

2.2.6 Farmakokinetik
Pemberian oral AH-1 umumnya mulai timbul efek dalam
waktu 15-30 menit, efek maksimal sekitar 1 jam, dan efek bertahan
4-24 jam. Pemberian intravena secara cepat dapat menyebabkan
hipotensi. Beberapa AH-1 mempunyai masa kerja lebih panjang,
misal klorfeniramin, bromfeniramin dan hidroksizin yang mencapai
lebih dari 20 jam, sehingga data diberikan 1 atau 2 kali sehari.
Waktu paruh prometazin berkisar antara 10-14 jam, difenhidramin 4
jam, klorfeniramin 14-25 jam, bromfeniramin 14 jam, dan
hidroksizin sekitar 20 jam. Waktu paru dalam serum pada anak-anak
lebih singkat, sehingga perlu diberikan 2 atau 3 kali sehari. AH-1
tradisional didistribusikan ke seluruh tubuh, umumnya melewati
sawar darah-otak dan plasenta, serta dapat diekskresikan melalui air
susu ibu.
Obat- obat tersebut dimetabolisme dihati sehingga penggunaan
obat ini pada penyakit hati berat akan menimbulkan akumulasi. AH-
1 menginduksi enxim mikrosomal hepatik, sehingga mempercepat
metabolismenya sendiri. Metabolism terjadi melalui sistem
cytrochrome P-450 di hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada
penderita yang lebih tua atau penerita dengan sirosis hepar atau
penderita yang mendapat obat microsomal oxygenase inhibitor
seperti ketokonazole, eritromisin, doxepin, cimetidine.
Ekskresi antihistamin ini terutama melalui ginjal. Pemberian
jangga lama beberapa AH-1 dapat menyebabkan subsensitivitas.11

2.2.7 Efek samping


Kebanyakan antihistamin tidak menyebabkan efek samping serius
bila diberikan dalam dosis terapeutik. Yang paling sering adalah:

20
a. Efek sedatif-hipnotik (mengantuk)
Akibat depresi SSP dan khasiat antikolinergiknya. Efek ini
paling nyata pada prometazin dan difenhidramin, tetapi agak
kurang pada d-klorfeniramin dan mebhidrolin, walaupun sifat ini
sangat bervariasi secara individual. Pada umumnya dalam beberapa
minggu terjadi toleransi terhadap efek sedatif-hipnotis ini.
Efek sedatif ini tidak dimiliki oleh antihistamin generasi
kedua, misalnya astemizol dan terfenadin, sehingga dengan aman
dapat diberikan pada misalnya pengemudi kendaraan bermotor.
Sebaliknya, kedua obat ini bila diminum serentak dengan suatu
obat yang menghambat perombakannya dalam hati, kadar histamin
dalam plasma dapat meningkat kuat sehingga menimbulkan
gangguan jantung berbahaya (cardiac arrest, aritmi ventrikuler).
Obat-obat induktor enzim demikian adalah ketokonazol, antibiotik
makrolid (eritromisin) dn makanan (jus grapefruit).
b. Efek sental lainnya
Berupa pusing, gelisah, rasa letih, lesu, dan tremor (tangan
gemeter), sedangkan dosis berlebihan dapat mengakibatkan
konvulsi dan koma.
c. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna juga sering terjadi dengan gejala
mual, muntah dan diare sampai anoreksia dan sembelit. Efek ini
dapat dikurangi bila obat diminum setelah makan.
d. Efek kolinergik (anti muskarin)
Dapat terjadi, seperti mulut kering, gangguan akomodasi dan
saluran cerna, sembelit dan retensi kemih. Berhubung sifatnya ini,
antihistaminika jangan diberikan pada pasien glaukoma dan
hipertrofi prostat.

21
e. Efek antiserotonin
Meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Bila efek ini tidak
dikehendaki, maka untuk penggunaan lama sebaiknya jangan
diberikan siproheptadin atau oksatomida.
f. Sensibilisasi
Terjadi pada pemberian oral, tetapi terutama pada penggunaan
lokal. Obat-obat dengan efek menstabilisasi mast cells pada dosis
tinggi memperlihatkan efek paradoksal, yaitu justru menstimulasi
pelepasan histamin (histamin liberator), bahkan tanpa adanya
antigen. Efek ini mungkin disebabkan oleh mekanisme merusaknya
terhadap membran sel.7,10,11

2.2.8 Kontra Indikasi dan Interaksi Obat

- Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin


H1 secara topical golongan ethylene diamine pada penderita yang
telah mendapat obat lain yang mempunyai struktur yang mirip
(aminophyline)
- Efek sedasi akan meningkat bila AH1 diberikan bersama dengan
obaat antidepresan atau alcohol.
- Golongan phenothiazine dapat menghambar efek vasopresor dari
epinephrine.
- Efek antikolinergik dari antihistamin akan menjadi lebih berat dan
lebih lama diberikan bersama obat inhibitor monoamine
(procarbazine, furazolidone, isocarboxazid)
- Pada wanita hamil dan menyusui hanya sinarizin, hidroksizin dan
meklozin, ketotifen, mebhidrolin dan siproheptadin dianggap aman
bagi janin. Dari obat-obat lainnya kurang tersedia data mengenai
keamanannya selama kehamilan dan laktasi. Ternadin, cetirizin,
dan loratadin dapat masuk ke dalam air susu ibu.10,11

22
BAB III
RINGKASAN

Urtikaria adalah reaksi reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan
disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. Urtikaria digolongan
akut bila berlangsung < 6 minggu, dan dianggap kronis bila > 6 minggu.
Penyebab umumnya seperti alergen, makanan pseudoallergens (makanan
yang mengandung histamin atau salisilat, atau yang menyebabkan pelepasan
histamin secara langsung), envenomasi serangga, obat-obatan, dan infeksi.
Ciri utama urtikaria adalah peningkatan lesi kulit yang tampak pucat
menjadi merah muda hingga eritematosa dan paling sering bersifat pruritus yang
intensif. Beberapa tes yang harus dipertimbangkan untuk pasien dengan urtikaria
kronis setelah menyelesaikan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik, yaitu:
pemeriksaan darah lengkap (complete blood count/CBC) dengan diferensial; laju
sedimentasi eritrosit (erythrocyte sedimentation rate/ESR) dan/atau protein C-
reaktif (C-reactive protein/CRP); uji kimia dan uji hati; dan hormon perangsang
tiroid (thyroid-stimulating hormone/TSH), antibodi antimikrosom, dan
pengukuran antibodi antitrogrogulin.
Penatalaksanaan urtikaria kronis terdiri atas non farmakoterapi dan
farmakoterapi. Penatalaksanaan non farmakoterapi utama pada urtikaria kronis
adalah mengobati penyebab yang mendasari. Sedangkan untuk penatalaksanaan
farmakoterapi, antihistamin merupakan pengobatan farmakologis yang paling
umum digunakan untuk urtikaria kronis.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Fine, L.M., Bernstein, J.A. 2016. Guideline of Chronic Urticaria Beyond.


Allergy Asthma Immunology Research 8(5): 396-403.
2. Wirantari, N., Prakoeswa, C.R.S. 2014. Urtikaria dan Angioedema: Studi
Retrospektif. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 26(3): 213-219.
3. Rakhmawati, D. et al. 2014. Korelasi Hasil Skin Prick Test dengan Riwayat
Alergi Makanan pada Urtikaria Kronik. MDVI 41(1): 10-13.
4. Brahmanti, H. 2018. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Intisari Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin, Cetakan Pertama. Editor: Sinta Murlistyarini,
Suci Prawitasari, Lita Setyowatie. Malang: UB Press. Halaman 313, 320-321.
5. Aisah, S., Effendi, E.H. 2015. Urtikaria dan Angioedema. Dalam Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketujuh, Cetakan Pertama. Editor: Sri
Linuwih SW Menaldi, Kusmarinah Bramono, Wresti Indriatmi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 311-312.
6. Kaplan, A.P. 2012. Urticaria and Angioedema. In: Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine, Eight Edition, Volume One. Editor: Lowell A.
Goldsmith, Stephen I. Katz, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J.
Leffell, Klaus Wolff. USA: McGraw-Hill. Halaman 414-417.
7. Schaefer, P. 2017. Acute and Chronic Urticaria: Evaluation and Treatment.
American Family Physician. 95(11): 717-724.
8. Danielsen, R.D., Ortiz G., Symington, S. 2018. Chronic Urticaria: Its’s More
than Just Antihistamines. Clinician Reviews. Hal. 36-43.
9. Wolff, K. Johnson, R.A. 2009. Urticaria & Angioedema. In: Fitzpatrick’s
Color Atlas & Sinopsis of Clinical Dermatology, Sixth Edition. USA:
McGraw-Hill. Halaman 358.

10. Siannoto, melisa. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Urtikaria. CDK-


250/vol.44 no. 3 th.2017
11. Sjamsudin U., Histamin dan Antihstamin; dalam Farmakologi dan Terapi
Bagian Farmakologi FK-UI. Jakarta,980; p : 201-10.

24

You might also like