Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Urtikaria merupakan kelainan kulit heterogen yang bisa menjadi akut atau
kronis, intermiten atau persisten, dan dapat terjadi sendiri atau berhubungan
dengan kondisi lainnya angioedema.Urtikaria disebut kronik apabila terjadi
setiap hari atau hampir setiap hari dan berlangsung selama 6 minggu atau
lebih.1,2,3
Urtikaria kronis diasosiasikan dengan tingginya angka morbiditas dan
penurunan kualitas hidup. Angka kejadian urtikaria cukup tinggi. Lima belas
persen sampai 20% penduduk pernah mengalami urtikaria dalam
kehidupannya, dan 25% di antaranya mengalami urtikaria kronis.
Bulsenmeyer et al. melaporkan 0,1% sampai 3% penduduk USA dan Eropa
menderita urtikaria kronis.4
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling umum
digunakan untuk urtikaria kronis. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan memblok
reseptor histamin (penghambat saingan).
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan
sebagai terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin
yang akan diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi,
farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari
antihistamin terutama antihistamin (AH1) baik klasik maupun non sedasi
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Urtikaria
2.1.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan
adanya edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan
(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk.5
Urtikaria merupakan lesi kulit yang terdiri dari reaksi wheal dan flare.
Reaksi wheal merupakan bentuk manifestasi kulit dari reaksi edema lokal
intrakutan yang dikelilingi oleh area eritem yang biasanya disertai dengan
keluhan gatal.4
2.1.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan gangguan yang sering dijumpai. Faktor usia, ras,
jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis, dan musim memengaruhi jenis
pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Urtikaria digolongan akut bila
berlangsung < 6 minggu, dan dianggap kronis bila > 6 minggu. Urtikaria
kronis umumnya dialami oleh orang dewasa, dengan perbandingan
perempuan : laki-laki adalah 2 : 1. Sebagian besar anak-anak (85%) yang
mengalami urtikaria, tidak disertai angioedema. Sedangkan 40% dewasa
mengalami urtikaria, juga mengalami angioedema.5
Sekitar 50% pasien urtikaria kronis akan sembuh dalam waktu 1 tahun,
65% sembuh dalam waktu 3 tahun dan 85% akan sembuh dalam waktu 5
tahun. Pada kurang dari 5% pasien, lesi akan menetap lebih dari 10 tahun.6
Angka kejadian urtikaria cukup tinggi. Lima belas persen sampai 20%
penduduk pernah mengalami urtikaria dalam kehidupannya, dan 25% di
antaranya mengalami urtikaria kronis. Bulsenmeyer et al melaporkan 0,1%
sampai 3% penduduk USA dan Eropa menderita urtikaria kronis.4
2
2.1.2 Etiologi Urtikaria
Urtikaria dan angioedema memiliki mekanisme patofisiologis dasar
yang sama yaitu pelepasan histamin dan mediator lainnya dari sel mast dan
basofil. Jika pelepasan terjadi di dermis, maka akan menghasilkan urtikaria,
sedangkan jika pelepasan terjadi di dermis yang lebih dalam dan jaringan
subkutan, maka akan menghasilkan angioedema. Pelepasan ini dimediasi oleh
Immunoglobulin E (IgE), tetapi aktivasi sel mast non-IgE dan nonimunologis
juga dapat terjadi. Protease dari aeroallergens dan aktivasi sistem komplemen
merupakan pemicu non-IgE. Kemungkinan terdapat komponen autoimun
serologis pada pasien dengan urtikaria kronis, termasuk antibodi terhadap IgE
dan reseptor IgE afinitas tinggi. Namun, signifikansi klinis dari autoantibodi
ini masih tidak jelas. Antibodi anti-IgE juga dapat ditemukan pada dermatitis
atopik dan beberapa penyakit autoimun lainnya.7
Terdapat beberapa penyebab urtikaria yang telah teridentifikasi. Pada
tabel 2.1 penyebab umumnya seperti alergen, makanan pseudoallergens
(makanan yang mengandung histamin atau salisilat, atau yang menyebabkan
pelepasan histamin secara langsung), envenomasi serangga, obat-obatan, dan
infeksi. Infeksi adalah penyebab urtikaria paling umum pada anak-anak. Agen
infeksi yang umumnya dikaitkan dengan urtikaria meliputi berbagai virus
bakteri, dan parasit. Obat-obatan, terutama antibiotik beta-laktam, biasanya
menyebabkan urtikaria melalui reaksi alergi, walaupun beberapa obat
(misalnya Aspirin, obat antiinflamasi non steroid/NSAID, vankomisin, opiat)
juga dapat memicu urtikaria melalui degranulasi sel mast langsung.7
Pada beberapa pasien, rangsangan fisik seperti tekanan, dingin, panas,
dan peningkatan suhu inti tubuh (cholinergic urticaria), dapat menyebabkan
urtikaria yang cenderung kronis. Penyakit sistemik merupakan penyebab
urtikaria yang tidak biasa. Penyakit yang berkaitan dengan urtikaria atau
angioedema seperti hashimoto tiroiditis, mastositosis, lupus eritematus
sistemik, sindroma Sjögren, rheumatoid arthritis, vaskulitis, penyakit seliaka,
dan limfoma. Penyebab urtikaria akut dapat teridentifikasi selama riwayat
pasien, meskipun 80% hingga 90% kasus urtikaria kronis bersifat idiopatik.7
3
Tabel 2.1 Penyebab Urtikaria. (Sumber: Kepustakaan 7)
4
Gambar 2.1: Plak urtikaria annular berbatas tegas. (Sumber: Kepustakaan 7)
5
Gambar 2.3: Urtikaria kolinergik, tampak papula urtikaria di pusat
dengan eritematosa yang lebih besar7
6
2.1.4 Patofisiologi
Penyebab urtikaria sangat beragam, diantaranya obat, makanan dan
food-additive, infeksi dan infestasi, proses inflamasi, penyakit sistemik dan
keganasan, proses autoimun, dan rangsangan fisik. Lebih dari 50% urtikaria
kronis adalah idiopatik.5
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat akibat pelepasan histamin dan sel mast dan basofil. Sel mast
adalah sel efektor utama pada urtikaria, dan mediator lain yang turut berperan
adalah serotonin, leukotrien, prostaglandin, protease, dan kinin. Berbagai
mekanisme yang dapat menyebabkan aktivasi sel mast, digolongkan
menjadi:5
A. Faktor imunologik yang terdiri atas:
- Hipersensitivitas tipe cepat yang diperantarai IgE, contohnya alergi obat
- Aktivasi komplemen jalur klasik maupun alternatif, menghasilkan
anafilatoksin (C3a, C4a, dan C5a) yang menyebabkan pelepasan
mediator sel mast
B. Faktor non-imunologik yang mengakibatkan aktivasi langsung sel
mast oleh penyebab, misalnya bahan kimia pelepas mediator (morfin,
kodein, media radio-kontras, aspirin, obat anti-inflamasi non-steroid,
benzoat), faktor fisik (suhu, mekanik, sinar-X, ultraviolet, efek kolinergik).
Lesi pada urtikaria akut yang dimediasi IgE dihasilkan dari pelepasan
molekul yang diinduksi antigen dari sel mast atau leukosit basofil yang
sensitif terhadap antibodi IgE spesifik (hipersensitivitas tipe I). Mediator yang
dilepaskan meningkatkan permeabilitas venular dan merangsang pelepasan
molekul aktif dari sel lain.9
Urtikaria akut atau kronis dapat terjadi sebagai akibat dari pelepasan sel
mast dan basofil dari mediator bioaktif, seperti histamin dan leukotrien,
setelah aktivasi sistem imun bawaan atau adaptif. Oleh karena itu, urtikaria
dapat dihasilkan dari aktivasi sel mast dengan antibodi IgE, IgM atau IgG
spesifik yang mengaktifkan jalur komplemen klasik. Terdapat kemungkinan
7
juga bahwa mediator lain (neuropeptida, seperti substansi P, peptida terkait
gen kalsitonin dan neurokinin A) dan obat-obatan (opiat) dapat secara
langsung mengaktifkan sel mast atau basofil melalui reseptor spesifik dan
sebagai inhibitor siklooksigenase (yaitu ASA dan NSAID) yang
menyebabkan gatal-gatal melalui jalur yang dimediasi non-IgE.1
Permeabilitas pembuluh darah pada kulit diproduksi terutama oleh
reseptor histamin H1 (85%); sisanya (15%) merupakan reseptor histamin H2.
Hipotesis saat ini mengenai infiltrasi seluler yang mengikuti degranulasi sel
mast menunjukkan bahwa pelepasan produk sel mast (histamin, leukotrien,
sitokin, kemokin) mengakibatkan perubahan dalam vasopermeabilitas,
peningkatan regulasi molekul adhesi pada sel endotel, dan pergantian dan
perlekatan leukosit darah, diikuti oleh kemotaksis dan migrasi sel
transendotelial. Kerja histamin antara lain menyebabkan masuknya plasma ke
dalam jaringan, merangsang endotel untuk mensintesis prostasiklin dan nitrat
oksida yang menyebabkan vasodilatasi. Respon tersebut akan bermanifestasi
klinis sebagai eritema dan edema.6
Selain histamin, mediator yang dilepaskan dari sel mast dermal
termasuk eikosanoid (prostaglanding D2, leukotrien C4), sitokin, termasuk
tumor necrosis factor- (TNF-), interleukin (IL) 4, 6, dan 8/CXCL8, faktor
pertumbuhan fibroblas dan protease termasuk chymase, tryptase, dan
granzyme.4
Sumber kemokin meliputi sel mast dan sel endotel yang teraktivasi; sel-
sel terakhir yang dirangsang tidak hanya oleh sitokin atau monokin, seperti
IL-4, IL-1, dan TNF-, tetapi juga oleh faktor vasoaktif, misalnya histamin
dan leukotrien yang dilepaskan dari aktivasi sel mast.6
8
Gambar 2.5: Aktivasi sel mast oleh antibodi IgG antireseptor IgE, diikuti
oleh aktivasi komplemen, pelepasan C5a yang meningkatkan
sel mast6
9
receptor) dengan autoantibodi IgG anti FcRI menyebabkan aktivasi sel
mast dan terjadi pelepasan histamin.3
Gambar 2.6: Lesi urtikaria: ciri utama urtikaria adalah pruritus yang
intensif, lesi kulit yang meningkat, tampak pucat dan menjadi
merah muda hingga eritematosa; ukurannya mulai dari
beberapa milimeter hingga sentimeter dan memiliki
kemungkinan untuk menyatu. (Sumber: Kepustakaan 8)
10
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Meskipun tidak ada konsensus mengenai pengujian laboratorium yang
tepat, beberapa tes berikut harus dipertimbangkan untuk pasien dengan
urtikaria kronis setelah menyelesaikan anamnesis menyeluruh dan
pemeriksaan fisik, yaitu: pemeriksaan darah lengkap (complete blood
count/CBC) dengan diferensial; laju sedimentasi eritrosit (erythrocyte
sedimentation rate/ESR) dan/atau protein C-reaktif (C-reactive protein/CRP);
uji kimia dan uji hati; dan hormon perangsang tiroid (thyroid-stimulating
hormone/TSH), antibodi antimikrosom, dan pengukuran antibodi
antitrogrogulin.8
Biasanya nilai CBC dalam batas normal, jika ditemukan adanya
eosinofilia, maka dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan gangguan
atopik atau infeksi parasit. Jika hasil ESR/CRP positif, dipertimbangkan
untuk dilakukan peneriksaan antinuclear antibody (ANA) yang lebih besar.8
Uji tambahan dapat diindikasikan bila ditemukan non-IgE atau
kemungkinan adanya autoimun pada anamnesis dan/atau pemeriksaan fisik.
Hal ini dapat mencakup uji autoantibodi fungsional (untuk autoantibodi pada
reseptor IgE afinitas tinggi/FcR1); analisis komplemen (misalnya, C3, C4,
CH50), khususnya ketika dicurigai adanya angioedema herediter; analisis
tinja untuk ova dan parasit. Namun, pemeriksaan Helicobacter pylori (ada
bukti eksperimental terbatas sebagai dasar perekomendasian untuk
pemeriksaan ini); pemeriksaan hepatitis B dan C; radiografi thoraks dan/atau
studi pencitraan lainnya; Pemeriksaan ANA; faktor rheumatoid; kadar
cryoglobulin; biopsi kulit; dan urinalisis.8
Urtikaria lokal dapat terjadi setelah kontak dengan alergen melalui
mekanisme yang dimediasi oleh IgE. Jika alergen diduga sebagai pemicu,
maka pengujian serologis untuk menilai kadar IgE spesifik alergen akan
sangat membantu dalam pengaturan perawatan primer. Tingkat spesifik IgE
yang paling sering dinilai adalah untuk aeroallergens luar endemik
(misalnya, hewan peliharaan (kucing, anjing), tungau debu); pengukuran
kadar IgE spesifik makanan dapat dilakukan jika alergi tertentu menjadi suatu
11
perhatian. Alergi skin prick testuntuk hipersensitivitas langsung dan tes
tantangan fisik biasanya dilakukan di kantor alergi oleh ahli alergi yang
bersertifikat.8
Biopsi kulit harus dilakukan pada semua lesi yang berkaitan dengan
urtikaria vaskulitis. Biopsi juga penting dilakukan jika gejala dominan nyeri
dibandingkan pruritus, karena hal ini mungkin menunjukkan penyebab yang
berbeda. Dokter harus mempertimbangkan pengujian laboratorium yang lebih
rinci dan biopsi kulit jika urtikaria tidak berespon terhadap terapi seperti yang
diharapkan.8
2.1.6 Penatalaksanaan
2.1.6.1 Non Farmakoterapi
Pengobatan penyebab yang mendasari, jika dapat teridentifikasi
akan sangat membantu dan harus menjadi pertimbangan. Misalnya,
jika ditemukan adanya kelainan tiroid pada tes serologi, maka
memperbaiki kelainan tersebut akan dapat menyelesaikan urtikaria.
Demikian pula, jika terdeteksi adanya defisiensi komplemen konsisten
dengan angioedema herediter, dilakukan pengobatan maka akan dapat
menyelamatkan jiwa penderita. Pengobatan angioedema herediter
dengan medikasi merupakan pilihan terbaik pada praktik alergi.8
Jika pemicu telah ditemukan, selanjutnya adalah menyadarkan
pasien dan menyarankan untuk menghindari pemicu sebisa mungkin.
Namun, penghindaran total mungkin akan sangat sulit untuk
dilakukan. Faktor-faktor potensial lain yang umum seperti adanya
sumber infeksi, konsumsi alkohol yang berlebihan, kelelahan yang
berlebihan, stres emosional, hipertermia, dan penggunaan aspirin -
NSAID haruslah dihindari. Faktor-faktor ini dapat memperburuk
keadaan dan memicu munculnya urtikaria serta mempersulit
pengobatan, contohnya adalah pasien yang menderita urtikaria dari
anjing peliharaan dan sedang mengonsumsi obat anti-inflamasi untuk
gejala radang sendi.8
12
Agen topikal jarang menghasilkan perbaikan, dan oleh karena
itu penggunaannya tidak dianjurkan. Bahkan, pengobatan
kortikosteroid potensi tinggi dapat menyebabkan atrofi kulit. Selain
itu, perubahan pola makan tidak diindikasikan pada sebagian besar
pasien dengan urtikaria kronis, karena alergi makanan atau aditif
makanan kemungkinan tidak akan berespon.8
2.1.6.2 Farmakoterapi
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling
umum digunakan untuk urtikaria kronis. H2-receptor blocker, diambil
dalam kombinasi dengan generasi pertama dan kedua H1-receptor
blocker, dilaporkan lebih efektif daripada antihistamin H1 saja untuk
pengobatan urtikaria kronis. Kemanjuran tambahan ini berkaitan
dengan interaksi farmakologis dan peningkatan kadar darah yang
dicapai dengan antihistamin generasi pertama. Peningkatan dosis
antihistamin generasi kedua - setinggi empat kali dosis standar -
dianjurkan oleh Joint Task Force on Practice Parameters (JTFPP)
2014 sebagai diagnosis dan pengelolaan urtikaria akut dan kronis.8
Pendekatan bertahap untuk pengobatan sangatlah penting.
Pedoman JTFPP telah dirangkum di bawah ini, yaitu sebagai berikut:8
Langkah 1: Berikan antihistamin generasi kedua dengan dosis terapi
standar dan hindari pemicu, NSAID, dan faktor-faktor
lain yang memperburuk keadaan. Jika kontrol gejala
tidak tercapai dalam satu hingga dua minggu, lanjutkan
ke langkah kedua.
Langkah 2: Tingkatkan terapi dengan satu atau lebih metode berikut:
tingkatkan dosis antihistamin generasi kedua yang
digunakan pada Langkah 1 (hingga 4x dosis standar);
tambahkan antihistamin generasi kedua ke dalam
rejimen; tambahkan H2-blocker (ranitidine, famotidine,
cimetidine); dan/atau tambahkan leukotriene-receptor
antagonist (montelukast 10 mg/hari). Jika langkah-
13
langkah tersebut tidak menghasilkan kontrol gejala yang
memadai, maka dilanjutkan ke langkah ketiga.
Langkah 3: Tingkatkan dosis antihistamin H1 secara bertahap dan
hentikan obat apa pun yang ditambahkan pada Langkah
2 yang tampaknya tidak bermanfaat. Tambahkan
antihistamin generasi pertama (hidroksizin, doxepin,
siproheptadin), yang harus dikonsumsi pada waktu tidur
karena risiko sedasi. Jika gejala tidak terkendali dengan
menggunakan langkah-langkah 3, atau jika pasien tidak
dapat mentolerir peningkatan dosis antihistamin generasi
pertama, urtikaria dianggap refraktori. Pada situasi ini,
dokter harus mempertimbangkan untuk merujuk pasien
ke spesialis alergi.
2.1.7 Prognosis
Prognosis urtikaria kronis lebih bervariasi. Sebanyak 30-50%
remisi spontan, 20% dalam 5 tahun, dan 20% akan menetap setelah 5
tahun. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi dokter maupun pasien,
karena membutuhkan penanganan yang komprehesif untuk mencari
penyebab dan menentukan jenis pengobatan. Walupun tidak mengancam
jiwa, namun dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar.10
2.2 Antihistamin
2.2.1 Definisi
Antihistamin adalah pengobatan farmakologis yang paling umum
digunakan untuk urtikaria kronis. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan
memblok reseptor histamin (penghambat saingan).
14
2.2.2 Etiologi Histamin
Histamin didistribusikan secara luas di seluruh tubuh, dengan
konsentrasi yang tinggi terdapat di paru-paru, kulit dan saluran
pencernaan. Histamine (merupakan salah satu mediator utama yang
dilepas dari sel mast dan basofil), berperan terhadap patofisiologinya
penyakit alergi. Reseptor H1 terdapat pada saraf, epitel dan endotel.
Reseptor H2 berlokasi pada sel parietal mukosa lambung, epitel dan
endotel, hati dan tipe sel lainnya. Reseptor H3 dan H4 memiliki ekspresi
yang terbatas. Antihistamin bekerja secara kompetotoif, yaitu dengan
menghambat interaksi histamine dengan reseptor histamine H1, H2 dan
H3. Antihistamin juga menjadi faktor sangat penting dalam terapi urtikaria
dan dermatitis atopik. 3
Histamin berperan penting dalam kehidupan manusia, dengan
bermacam-macam efek biologis melalui empat reseptor. Ini terkait pada
proliferasi dan diferensiasi sel, hematopoesis, perkembangan embrionik,
regenerasi dan penyembuhan luka. Histamin terkait dengan regulasi fungsi
dasar tubuh melalui reseptor H1. Fungsi ini termasuk dalam siklus
mengantuk dan lemah, homeostasis endokrin dan energi, kognisi dan
memori. Histamin juga memiliki aktivitas antikonvulsan. Dengan
memodulasi pelepasan neurotransmiter melalui presinaptik reseptor H3
yang dilokasikan pada neuron histaminergik dan nonhistaminergik pada
sistem saraf pusat dan perifer. Fasilitas histamin dengan beberapa aktivitas
proinflamasi melalui reseptor H4, yang memiliki derajathomolog yang
tinggi dengan reseptor H3 tapi memiliki profil ekspresi yang unik.6
2.2.3 Klasifikasi
Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah
ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut
reseptor-H, maka secara farmakologis reseptor histamin dapat dibagi
dalam dua tipe, yaitu reseptor-H1 dan reseptor-H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistamin dapat dibagi dalam 2
kelompok, yaitu:
15
1. Antagonis reseptor-H1 (H1-blockers atau antihistamin).
Dahulu antihistamin dibagi secara kimiawi dalam 7-8
kelompok, tetapi kini digunakan penggolongan dalam 2 kelompok
atas dasar kerjanya terhadap SSP, yaitu zat-zat generasi ke-1 dan
ke-2.
a. Antihistamin generasi ke-1
Diphenhydramine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg diberikan
lambat intravena (IV) atau intramuskular administrasi (IM)
injeksi setiap empat sampai enam jam, sesuai kebutuhan.
Anak-anak dapat menerima 0,5-1,25 mg / kg (sampai 50 mg
per dosis) IV / IM setiap enam jam sesuai kebutuhan.10
Hydroxyzine
Dosis pada orang dewasa adalah 25 sampai 50 mg
administrasi IM dalam pada orang dewasa setiap empat
sampai enam jam, sesuai kebutuhan. Anak-anak dapat
menerima 0,5-1 mg / kg (sampai 50 mg per dosis) IM setiap
enam jam sesuai kebutuhan.10
16
atau lebih (dan dapat ditingkatkan sampai dua kali 10 mg
sehari pada orang dewasa jika diperlukan). Dosis biasa untuk
anak usia 2-5 tahun adalah 5 mg sekali sehari. Anak kecil
berusia enam bulan sampai dua tahun dapat diberikan 2,5 mg
sekali sehari (dapat ditingkatkan menjadi 2,5 mg dua kali
sehari pada anak satu tahun dan lebih tua jika diperlukan).10
Levocetirizine
Levocetirizine adalah enantiomer aktif cetirizine yang
menghasilkan efek setara dengan cetirizine sekitar satu
setengah dosis. Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun
dan lebih tua, dosis standar adalah 5 mg sekali sehari di
malam hari (atau sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada
orang dewasa jika diperlukan) atau 2,5 mg sekali sehari di
malam hari untuk anak usia 6 sampai 11 tahun.
Levocetirizine tidak mungkin efektif sebagai alternatif bagi
pasien yang memiliki toleransi terhadap efek cetirizine.11
Loratadin
Loratadin adalah antihistamin kerja panjang, selektif H1
antihistamin yang berbeda dari cetirizine yang memiliki dosis
standar 10 mg sekali sehari untuk usia enam tahun dan lebih
(atau sampai dua kali 10 mg sehari pada orang dewasa jika
diperlukan). Untuk anak usia 2-5 tahun, dosis biasa adalah 5
mg sekali sehari.10
Desloratadin
Desloratadin adalah metabolit aktif utama dari loratadin dan
menghasilkan efek setara dengan loratadine sekitar satu
setengah dosis. Untuk orang dewasa dan anak-anak 12 tahun
dan lebih besar, dosis standar adalah 5 mg sekali sehari (atau
sampai dengan dua kali 5 mg sehari pada orang dewasa jika
diperlukan). Untuk anak-anak usia 6 sampai 11 tahun,
dosisnya adalah 2,5 mg sekali sehari, dan untuk mereka yang
17
berusia 1 sampai 5 tahun, dosis 1.25 mg sekali sehari. Dosis
yang lebih rendah dari 1 mg sekali sehari disetujui di
Amerika Serikat untuk anak-anak kecil berusia 6 bulan
sampai 1 tahun.10
Fexofenadine
18
Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung-usus
untuk mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung
tambahan pada terapi dengan kortikosteroid. Lagi pula sering kali
digunakan bersama suatu perangsang motilitas lambung (cisaprida)
pada penderita refluks.10
Penghambat asam yang banyak digunakan adalah simetidin, tidin
dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa ranitidin, famotidin,
nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklik
dari histamin.
Tabel 2.3 Kategori Antihistamin dan Dosis untuk Dewasa8
Medikasi Dosis
Generasi pertama H-1 blockers
Chlorpheniramine 4 mg setiap 4-6 jam, dapat dinaikkan
hingga 32 mg/hari
Cyproheptadine 4 mg/hari
Diphenhydramine 25-50 mg/hari
Hydroxyzine 10-25 mg dapat dinaikkan hingga
3x/hari
Doxepin* 25-50 mg sebelum tidur
Generasi kedua H-1 blockers
Cetirizine 10 mg 1-2x/hari
Desloratadine 5 mg 1x/hari
Fexofenadine 180 mg 1-2x/hari
Levocetirizine 5 mg 1-2x/hari
Loratadine 10 mg 1-2x/hari
H2-blockers
Cimetidine 300 mg 2x/hari
Famotidine 20 mg 2x/hari
Ranitidine 150-300 mg 2x/hari
19
sebagai obat lini pertama. Pada urtikaria, antihistamin H1 dapat
mengurangi ukururan, lama, frekuensi urtikaria dan gatal.11
2.2.6 Farmakokinetik
Pemberian oral AH-1 umumnya mulai timbul efek dalam
waktu 15-30 menit, efek maksimal sekitar 1 jam, dan efek bertahan
4-24 jam. Pemberian intravena secara cepat dapat menyebabkan
hipotensi. Beberapa AH-1 mempunyai masa kerja lebih panjang,
misal klorfeniramin, bromfeniramin dan hidroksizin yang mencapai
lebih dari 20 jam, sehingga data diberikan 1 atau 2 kali sehari.
Waktu paruh prometazin berkisar antara 10-14 jam, difenhidramin 4
jam, klorfeniramin 14-25 jam, bromfeniramin 14 jam, dan
hidroksizin sekitar 20 jam. Waktu paru dalam serum pada anak-anak
lebih singkat, sehingga perlu diberikan 2 atau 3 kali sehari. AH-1
tradisional didistribusikan ke seluruh tubuh, umumnya melewati
sawar darah-otak dan plasenta, serta dapat diekskresikan melalui air
susu ibu.
Obat- obat tersebut dimetabolisme dihati sehingga penggunaan
obat ini pada penyakit hati berat akan menimbulkan akumulasi. AH-
1 menginduksi enxim mikrosomal hepatik, sehingga mempercepat
metabolismenya sendiri. Metabolism terjadi melalui sistem
cytrochrome P-450 di hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada
penderita yang lebih tua atau penerita dengan sirosis hepar atau
penderita yang mendapat obat microsomal oxygenase inhibitor
seperti ketokonazole, eritromisin, doxepin, cimetidine.
Ekskresi antihistamin ini terutama melalui ginjal. Pemberian
jangga lama beberapa AH-1 dapat menyebabkan subsensitivitas.11
20
a. Efek sedatif-hipnotik (mengantuk)
Akibat depresi SSP dan khasiat antikolinergiknya. Efek ini
paling nyata pada prometazin dan difenhidramin, tetapi agak
kurang pada d-klorfeniramin dan mebhidrolin, walaupun sifat ini
sangat bervariasi secara individual. Pada umumnya dalam beberapa
minggu terjadi toleransi terhadap efek sedatif-hipnotis ini.
Efek sedatif ini tidak dimiliki oleh antihistamin generasi
kedua, misalnya astemizol dan terfenadin, sehingga dengan aman
dapat diberikan pada misalnya pengemudi kendaraan bermotor.
Sebaliknya, kedua obat ini bila diminum serentak dengan suatu
obat yang menghambat perombakannya dalam hati, kadar histamin
dalam plasma dapat meningkat kuat sehingga menimbulkan
gangguan jantung berbahaya (cardiac arrest, aritmi ventrikuler).
Obat-obat induktor enzim demikian adalah ketokonazol, antibiotik
makrolid (eritromisin) dn makanan (jus grapefruit).
b. Efek sental lainnya
Berupa pusing, gelisah, rasa letih, lesu, dan tremor (tangan
gemeter), sedangkan dosis berlebihan dapat mengakibatkan
konvulsi dan koma.
c. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna juga sering terjadi dengan gejala
mual, muntah dan diare sampai anoreksia dan sembelit. Efek ini
dapat dikurangi bila obat diminum setelah makan.
d. Efek kolinergik (anti muskarin)
Dapat terjadi, seperti mulut kering, gangguan akomodasi dan
saluran cerna, sembelit dan retensi kemih. Berhubung sifatnya ini,
antihistaminika jangan diberikan pada pasien glaukoma dan
hipertrofi prostat.
21
e. Efek antiserotonin
Meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Bila efek ini tidak
dikehendaki, maka untuk penggunaan lama sebaiknya jangan
diberikan siproheptadin atau oksatomida.
f. Sensibilisasi
Terjadi pada pemberian oral, tetapi terutama pada penggunaan
lokal. Obat-obat dengan efek menstabilisasi mast cells pada dosis
tinggi memperlihatkan efek paradoksal, yaitu justru menstimulasi
pelepasan histamin (histamin liberator), bahkan tanpa adanya
antigen. Efek ini mungkin disebabkan oleh mekanisme merusaknya
terhadap membran sel.7,10,11
22
BAB III
RINGKASAN
Urtikaria adalah reaksi reaksi vaskular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna
pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan (flare) dan
disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat atau tertusuk. Urtikaria digolongan
akut bila berlangsung < 6 minggu, dan dianggap kronis bila > 6 minggu.
Penyebab umumnya seperti alergen, makanan pseudoallergens (makanan
yang mengandung histamin atau salisilat, atau yang menyebabkan pelepasan
histamin secara langsung), envenomasi serangga, obat-obatan, dan infeksi.
Ciri utama urtikaria adalah peningkatan lesi kulit yang tampak pucat
menjadi merah muda hingga eritematosa dan paling sering bersifat pruritus yang
intensif. Beberapa tes yang harus dipertimbangkan untuk pasien dengan urtikaria
kronis setelah menyelesaikan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik, yaitu:
pemeriksaan darah lengkap (complete blood count/CBC) dengan diferensial; laju
sedimentasi eritrosit (erythrocyte sedimentation rate/ESR) dan/atau protein C-
reaktif (C-reactive protein/CRP); uji kimia dan uji hati; dan hormon perangsang
tiroid (thyroid-stimulating hormone/TSH), antibodi antimikrosom, dan
pengukuran antibodi antitrogrogulin.
Penatalaksanaan urtikaria kronis terdiri atas non farmakoterapi dan
farmakoterapi. Penatalaksanaan non farmakoterapi utama pada urtikaria kronis
adalah mengobati penyebab yang mendasari. Sedangkan untuk penatalaksanaan
farmakoterapi, antihistamin merupakan pengobatan farmakologis yang paling
umum digunakan untuk urtikaria kronis.
23
DAFTAR PUSTAKA
24