You are on page 1of 37

TUGAS SISTEM MUSKULOSKELETAL

TENTANG ASKEP FRAKTUR PADA DEWASA

OLEH KELOMPOK 1:
1. ADELA NOFITA
2. ANNISA ALLAMA NOPTIKA
3. ELFIRA YUNITA
4. FAJAR ROMADHAN
5. MIA YUNITA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes MERCU BAKTIJAYA PADANG

TINGKAT IIIA TAHUN 2018/2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah. SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya serta memberikan perlindungandan kesehatan sehingga penulis dapat
menyusun makalah dengan judul ” Fraktur”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini penulis
banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan penulis
sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki penulis maka penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan sebaik-baiknya.
Sebagai manusia penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya, Amin.

Padang, 24 September 2018

Kelompok 1

DAFTAR ISI
COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan

1. Latar belakang
2. Tujuan

BAB II : Tinjauan Teori

A. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT

1. Pengertian
2. Anatomi dan fisiologi
3. Etiologi
4. Klasifikasi
5. Manisfestasi klinis
6. Komplikasi
7. Patofisiologi
8. WOC
9. Pemeriksaan diagnostik
10. Penatalaksanaan medis dan keperawatan
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
2. Diagnosa keperawatan
3. Intervensi keperawatan
BAB III : Penutup

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang
rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Dikehidupan sehari
hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia dan untuk
mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal
musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia,
tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh,. namun dari ulah manusia
itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga
tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Mansjoer, 2008).
Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang
biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki.
Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris biasanya banyak terjadi oleh
karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma
musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga di perlukan
pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan
kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris (Depkes RI, 2005).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari 5,6
juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta orang
mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi
cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari insiden
kecelakaan yang terjadi.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi diintegritas pada tulang.
Penyebab terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi factor lain seperti proses
degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur
(Depkes RI, 2011). Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu
keadaan yang tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak.
Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor patologik,dan
yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan bertambah dengan adanya
komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain
dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed union, non union atau
bahkan perdarahan. (Price, 2005) Berbagai tindakan bisa dilakukan di antaranya
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fraktur
2. Untuk mengetahui anatomi fraktur
3. Untuk mengetahui etiologi fraktur
4. Untuk mengetahui klasifikasi fraktur
5. Untuk mengetahui manisfestasi klinis fraktur
6. Untuk mengetahui komplikasi fraktur
7. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur
8. Untuk mengetahui WOC fraktur
9. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik fraktur
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan fraktur
11. Untuk mengetahui pengkajian mengenai fraktur
12. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan mengenai fraktur
13. Untuk mengetahui intervensi keperawatan mengenai fraktur

BAB II
TINJAUAN TEORI

I. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT

A. PENGERTIAN FRAKTUR
Trauma merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada rentang
usia 1 dan 37 tahun, serta merupakan penyebab kematian nomor 4 pada semua
kelompok usi. Fraktur merupakan cedera traumatik dengan persentase kejadian yang
tinggi. Cedera tersebut dapat menimbulkan perubahan yang signifikan pada kualitas
hidup seseorang sebagai akibat dari pembatasan aktivitas, kecacatan, dan kehilangan
pekerjaan.

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering terganggu. Radiografi
(sinar x) dapat menunjukan keberadaan cedera tulang. Tetapi tidak mampu
menunjukkan keberadaan otot atau ligumen yang robek, saraf yang putus atau
pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi komplikasi pemulihan klien. Untuk
menentukan perawatan yang sesuai, seorang perawat akan memulai dengan deskripsi
cedera yang ringkas dan tepat.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari
embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi
tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat diklasifikasikan dalam
lima kelompok berdasarkan bentuknya :
1. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang
tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang
tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan
oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang
dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone
(cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis,
lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan,
estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama
dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang
memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum
tulang.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan
luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan
terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti
banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan
lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus
yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah,
dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang
merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang
untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship
(cekungan pada permukaan tulang).
Anatomi tulang panjang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan
garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan
kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah
kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium.
Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif
(resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan
tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa
pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan
jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon
terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama
kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium
mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan
berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit
atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk
tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk
suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion
kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai
kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang,
cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan
pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut
osteoklas. Osteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel
mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai
asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya
terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit
demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul
osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru.
Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru
yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus
menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas
osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan
menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih
dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara,
sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas
melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas
juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade
ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang
menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh
beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan
stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur
tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum
jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi
aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa
pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron
akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang
penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun
pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan
juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan
bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan
kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong
kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium
serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam
jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan
absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh
hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak
tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons
terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas
osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam
darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan
pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek
hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan
menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion
fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di
ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon
yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar
kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan
osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar
kalsium serum.
Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
1. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
2. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
3. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
4. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
5. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
C. ETIOLOGI
Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat tekanan
yang diberikan pada suatu tulang terlalu banyak dibandingkan dengan apa yang
mampu di tanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu
fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu sendiri.
Seorang pasien yang mengalami gangguan metabolik tulang, seperti osteoporosis
dapat mengalami fraktur dari trauma minor karena perapuhan tulang akibat gangguan
yang telah ada sebelumnya.
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah benda
bergerak menghantam suatu area tubuh diatas tulang. Gaya juga dapat terjadi secara
tidak langsung, seperti ketika suatu kontraksi kuat dari otot menekan tulang. Selain
itu, tekanan dan kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena penurunan kemampuan
tulang menahan gaya mekanikal.
Dua tipe tulang juga merespons beban dengan cara yang berbeda. Tulang
kortikal, lapisan luar yang ringkas dan mampu menoleransi beban disepanjang
sumbunya ( longitudinal) lebih kuat dibandingkan jika beban menembus tulang.
Tulang spons merupakan materi tulang bagian dalam yang lebih padat. Tulang ini
berbentuk rongga seperti sarang laba-laba yang terisi oleh sumsum merah yang
membuatnya mampu menyerap gaya lebih baik dibandingkan dengan tulang kortikal.
Penonjolan tulang disebut dengan trabekula, memisahkan ruangan-ruangan dan
tersusun disepanjang garis tekanan, sehingga membuat tulang spons lebih kuat.
Predisposisi fraktur antara lain beraal dari kondisi biologis seperti osteopenia
(misalnya karena penggunaan steroid atau sindroma cushing) atau osteogenesis
imperfekta (penyakit kongenital tulang yang adanya gangguan produksi kolagen oleh
osteoblas). Tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Neoplasma dapat melemahkan
tulang dan berperan pada fraktur. Kehilangan estrogen pascamenopouse dan
malnutrisi protein juga menyebabkan penurunan massa tulang serta meningkatkan
risiko fraktur. Bagi orang dengan tulang yang sehat, fraktur dapat terjadi akibat
aktivitas hobi seperti bermain papan seluncur, panjat tebing, serta aktivitas terkait
dengan pekerjaan.
D. KLASIFIKASI
Keparahan dari fraktur tergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur tersebut.
Jika ambang fraktur tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang hanya retak dan buka
patah. Jika gayanya ekstrim, seperti ada tabrakan mobil atau luka tembak, tulang
dapat hancur hingga berkeping-keping. Jika tulang patah sehingga ada fragmen
fraktur yang menembus keluar kulit atau ada luka bakar yang memenetrasi hingga
tulang yang patah, fraktur ini disebut fraktur terbuka.Tipe fraktur ini umumnya
serius, karena begitu kulit telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi diluka dan tulang.
Ada lebih dari 150 tipe fraktur yang telah dinamai bergantung pada berbagai
metode klasifikasi. Misalnya klien dapat mengalami fraktur compound, transversal
dari femur distal. Mode klasifikasi sederhana berdasarkan pada apakah fraktur
tertutup atau fraktur terbuka. Fraktu tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas
lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka robeknya kulit di atas cederanya tulang.
Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur tulang terbuka yang dibagi
berdasarkan keparahannya:
a) Derajat 1: luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b) Derajat 2: luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c) Derajat 3: luka melebihi 6-8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak, saraf
dan tendon serta kontaminasi banyak.
Tipe-tipe fraktur yang umum:
1. Pecah: dicirikan oleh tulang yang pecah berkeping-keping, sering terjadi pada
ujung tulang atau vetebra
2. Kominutif: terdapat lebih dari satu garis fraktur, lebih dari dua fragmen tulang,
fragmen dapat hancur.
3. Komplet: patah melintng di satu bagian tulang, membaginya mnjadi fragmen-
fragmen yang terpisah, sering kali bergeser.
4. Tergeser: fragmen-fragmen berada pada posisi tidak normal di lokasi fraktur.
5. Inkomplet: fraktur terjadi hanya pada satu sisi korteks tulang, biasanya tidk
bergeser.
6. Linear: garis fraktur masih utuh, fraktur akibat gaya minor atau sedang yang
mengenai langsung pada tulang.
7. Longitudinal: garis fraktur yang memanjang pada sumbu longitudinal tulang.
8. Tidak bergeser: fragmen masih lurus pada lokasi fraktur
9. Oblik: garis fraktur terjadi pada kurang lebih sudut 45 derajat pada sumbu
longitudinal tulang.
10. Spiral: garis fraktur terjadi akibat gaya, puntiran membentuk suatu spiral yang
mengelilingi tulang.
11. Stelata: garis fraktur menyebar dari satu titik pusat
12. Transversal: garis fraktur terjadi pada sudut 90 derajat pada sumbu longitudinal
tulang
13. Avulsi: fragmen-fragmen tulang terlempar dari badan tulang pada lokasi
perlekatan ligamen atau tendon
14. Greenstick: fraktur inkomplet dimana satu sisi korteks tulang patah dan sisi lain
melekuk tetapi masih utuh
15. Impaksi: fratur teleskopik, dengan satu fragmen terdorong kedalam fragmen lain
16. Colles: fraktur pada ujung radius distal, fragmen distal tergeser kearah deviasi
medial dan dorsal
17. Pott: fraktur fibula distal, mengganggu artikulasi tibio-fibular dengan buruk,
sebagian mata kaki medial dapat terlepas karena ruptur dari ligamen lateral
internal.
18. Kompresi: tulang melekuk dan akhirnya retak karena gaya beban yang besar
terhadap sumbu longitudinalnya.

E. MANIFESTASI KLINIS
Mendiagnosis fraktur berdasarkan manisfestasi klinis klien,riwayat
pemeriksaan,dan temuan radiologis. Beberapa fraktur sering langsung tampak jelas;
bebrapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (sinar-x).
Beberapa pengkajian dapat menemukan beberapa hal berikut :
 Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai,deformitas rotasional,
atau angulasi. Dibandingkan dengan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
 Pembengkakan
Edema dapat muncul segera sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
 Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
 Spasme otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya berfungsi sebagai bidai
alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
 Nyeri
Nyeri akan selalu mengiringi fraktur; intensitas dan keparahan dari nyeri akan
berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus menerus, meningkat jika
freaktur tidak diimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang
bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
 Ketegangan
Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
 Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cedera saraf.
 Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan.
 Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur.
 Syok
Fragem tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi bergantung pada jenis cedera, usia klien, dan adanya masalah
kesehatan lain (komorbiditas), dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan
seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Pengkajian yang berkelanjutan dari
status neurovaskular klien untuk adanya komplikasi sangatlah penting, seperti halnya
intervensi yang cepat untuk meminimalkan efek samping yang ada.
1. Cedera Saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Jika ada pucat dan tungkai klien yang sakit terba
dingin, perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan
atau tungkai,parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat.
2. Sindroma Kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh jaringan
fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami
pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respons terhadap fraktur dapat
menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi
darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik
jaringan maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi
gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi
secara progresif pada ruang terbatas. Ini disebabkan oleh apapun yang
menurunkan ukuran kompartemen termasuk gaya kompresi eksternal seperti gips
yang ketat atau faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabkan pelepasan histamin oleh otot-otot yang terkena,
menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut. Peningkatan
produksi asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme anaerob dan
peningkatan aliran darah yang pada gilirannya, meningkatkan tekanan jaringan.
Ini menyebabkan siklus peningkatan tekanan kompartemen. Sindroma
kompartemen dapat terjadi dimanapun di dalam tubuh tetapi terjadi lebih sering di
tungkai bawah atau lengan.
Tekanan kompartemen normal adalah sekitar 0 hingga 8 mmHg. Nilai dengan
10 hingga 30 mmHg lebih rendah dari tekanan diastolik menunjukkan
kemungkinan adanya sindroma kompartemen karena tidak ada tekanan perfusi
yang cukup untuk menyokong kehidupan otot. Tekanan kompartemen berkisar
antara 30 hingga 45 mmHg dianggap cukup tinggi untuk menyebabkan nekrosis.
Jika berkurangnya tekanan eksternal tidak cukup menahan kenaikan tekanan
kompartemen, maka perlu dilakukan fasiotomi. Insisi melalui kulit ke dalam fasia
dari kompartemen otot akan membantu ekspansi jaringan dan mengembaikan
aliran darah dengan mengurangi tekanan pada mikro-sirkulasi.
3. Kontraktur Volkmann
Kontraktur volkmann adalah deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena tekanan terus-menerus
mengakibatkan iskemia, otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan fibrosa
yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia
dapat dapat menyebabkan kaki yang nyeri dan kebas, disfungsional, dan
mengalami deformitas. Pada tungkai atas, kontraktur volkmann umumnya terjadi
setelah fraktur pada siku dan lengan bawah atau setelah cedera remuk pada lengan
bawah, atau karena perban atau gips yang terlalu ketat. Gangguan tersebut dapat
menyebabkan deformitas tangan dan lengan yang secara permanen kaku dan
berbentuk seperti cakar (craw). Kontraktur dapat dihindari dengan pengenalan
dini dari manifestasi sindroma kompartemen, diikuti oleh pembidaian tungkai dan
dekompresi kompartemen.

4. Sindroma Emboli Lemak


Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali bahwa embolusnya adalah
lemak dan kondisi ini muncul pada klien fraktur. Insidensi tertinggi, hingga 90%
dari keseluruhan kasus, dari sindroma emboli lemak (fat embolisin syndrome
[FES]) terjadi selain fraktur dari tulang panjang, seperti femur, tibia, tulang rusuk,
fibula, dan panggul. Terdapat dua teori terjadinya emboli lemak. Teori mekanikal
menyatakan bahwa terdapat pelepasan globulus lemak dari sumsum tulang ke
dalam sirkulasi vena setelah terjadi fraktur. Teori biokimia atau metabolik
menyatakan bahwa trauma menyebabkan pelepasan asam lemak dan asam netral
yang tersimpan. Kemudian terjadi agregasi platelet dan pembentukan globulus
lemak.
Pemupukan emboli lemak pada sirkulasi paru dapat menyebabkan onset cepat
dari suatu gangguan yang mirip dengan sindroma distres pernapasan (ARDS) akut
pada dewasa. Bagian penting dari patogenesis emboli lemak tampaknnya adalah
cedera endoteliel yang disebabkan oleh pelepasan asam lemak dari droplet lemak
yang menabrak endotel, yang menyebabkan kebocoran cairan ke dalam ruang
interstisial. Globulus lemak yang menghalangi sirkulasi pulmonal kemudian
dihidrolisis menjadi asam lemak bebas yang meningkatkan permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi surfaktan paru. Dapat terjadi edema pulmonal dengan
perdarahan dan kolaps pada alveolar, yang menyebabkan hipoksia parah.
Manifestasi awal terjadi umumnya pada 24 hingga 72 jam setelah cedera,
yaitu takikardia persisten, takipnea yang tidak jelas asalnya, dispnea, dan hipoksia
yang terjadi karena abnormalitas ventilasi-perfusi. Klien dapat mengalami demam
tinggi dengan kenaikan yang tinggi tiap harinya. Petekie merah-kecoklatan yang
tidak terpalpasi akan terjadi diseluruh tubuh bagian atas, terutama diketiak, dalam
24 hingga 36 setelah cedera. Petekie ini terjadi hanya 20% hingga 50% klien dan
hilang dengan cepat, tetapi jika dapat diamati merupakan suatu tanda diagnostik
yang nyata.
Pencegahan emboli lemak dimulai dengan terapi fraktur tulang panjang yang
tepat, termasuk penanganan yang berhati-hati, pembidaian yang tepat, dan
menghindari manipulasi yang tidak perlu. Pulse oximetry terus-menerus pada
klien beresiko dapat membantu deteksi dini dari desaturasi sehingga terapi dapat
diberikan sedini mungkin. Resusitasi awal yang agresif untuk mencegah syok
hipovolemik,manajemen nyeri yang baik,transfusi darah dengan filter 20 um,dan
pencegahan sepsis juga merupakan tindakan pencegahan sekunder.
Jika terjadi terapi FES, terapi suportif diarahkan untuk menjaga fungsi
respirasi klien. Oksigen diberikan; kadang kala diperlukan intubasi dan tekanan
jalan napas positif berkelanjutan. Penggunaan steroid masih kontroversial tapi
dapat diberikan pada bentuk emboli lemak nyata untuk menurunkan efek
inflamatoris dari asam lemak terhadap membran alveo-kapilaris. Penggantian
cairan penting untuk mencegah ketidakstabilan sirkulasi.
5. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru
Klien dengan cedera tulang berisiko tinggi mengalami kondisi tromboembolik
seperti trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE). Peningkatan risiko ini
terjadi karena stasis dari aliran darah vena, peningkatan koagulabilitas, dan cedera
pada pembulu darah. Statis darah meningkatkan waktu kontak antara darah
dengan ketidakteraturan dinding vena. Hal ini mencegah terbentuknya
abtikoagulan alami yang terjadi pada saat percampuran darah. Tirah baring terlalu
lama atau imobilitas juga mendorong terjadinya statis. Juga terdapat peningkatan
koagulasi darah dari debris jaringan,kolagen, atau lemak dalam vena. Trauma
ortopedik sering kali melepas bahan-bahan tersebut ke dalam sirkulasi. Kemudian
mungkin juga terjadi kerusakan pada dinding vena dari fragmen fraktur yang akan
merusak jembatan intraseluler dan melepas substansi yang mendorong
penggumpalan darah.
6. Sindroma Gips
Sindroma Gips ( sindroma arteri mesenterika superior) terjadi hanya pada
gips spika badan. Duodenum tertekan di antara arteri mesenterika superior
dibagian depan dan aorta serta badan vertebral di bagian belakang, menyebabkan
penurunan aliran darah yang dapat menyebabkan perdarahan dan nekrosis dari
usus. Sindroma gips dapat terjadi beberapa hari hingga minggu setelah
imobilisasi, terutama jika klien mengalami penurunan berat badan dari hilangnya
lemak retroperitoneal.

7. Kaku Sendi atau Artritis Traumatik


Setelah cedera atau imobilisasi dalam jangka panjang, kekakuan sendi dapat
terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pengerasan ligamen, atau atrofi
otot. Latihan gerak-sendi aktif harus dilakukan semampu klien. Juga lakukan
latihan gerak-sendi pasif untuk menurunkan risiko kekakuan sendi. Kejadian
artritis traumatik, yang memberikan semua gejala dari artritis idiopatik,
dipengaruhi oleh seberapa parah cedera awal dan kesusksesan redeksi tulang.
8. Nekrosis Avaskular
Nekrosis avaskular (AVN) dari kepala femur terjadi utamnya pada fraktur di
proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal. Film
rontgen menunjukkan kolapsnya kepala femur, dan klien mengeluhkan nyeri yang
terjadi bulan hingga tahunan setelah perbaikan fraktur. Mungkin diperlukan
penggantian kepala femur dengan prostesis. Hal terbaik untuk menghindari
terjadinya nekrosis avaskular adalah pembedahan secepatnya untuk perbaikan
tulang setelah terjadi fraktur.
9. Penyatuan Nonfungsional
Kebanyakan fraktur dapat sembuh tanpa masalah, tetapi mungkin dibutuhkan
intervensi biologis untuk menstimulasi penyembuhan fraktur.
10. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi kelurusan
tulang yang tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi. Hal ini dapat terjadi jika klien menaruh beban pada tungkai yang sakit
menyalahi instruksi dokter atau jika alat bantu jalan digunakan sebelum
penyembuhan yang baik dimulai pada lokasi fraktur. Manifestasi awal adalah
deformitas eksternal dari tungkai yang terlibat. Malunion didiagnosis dengan
ragiografi. Gangguan ini jika dapat di deteksi dini pada saat penyembuhan tulang,
dapat dikoreksi dengan penyesuaian traksi atau remobilisasi. Malunion yang
terdiagnosis setelah penyembuhan usai harus dikoreksi dengan bedah. Pencegahan
dapat dilakukan dengan reduksi fraktur yang baik dan imobilisasi, dan
memastikan klien memahami pentingnya membatasi aktivitas atau posisi tertentu.
11. Penyatuan Terhambat
Penyatuan terhambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi tidak benar-
benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen fraktur atau
adanya penyebab sistemik seperti infeksi. Dugaaan penyatuan terhambat jika
klien mengeluhkan nyeri tulang yang terus-menerus atau meningkat serta
ketegangan melebihi masa penyembuhan yang telah diperkirakan sebelumnya
berdasarkan derajat trauma (3 bulan hingga 1 tahun). Jika penyebabnya dapat
diidentifikasi dan dikoreksi lebih awal, fraktur biasanya dapat sembuh.
12. Non-union
Non-union adalah ketika penyembuhan fraktur tidak terjadi 4 hingga 6 bulan
setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak akan
terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang
berulang yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur, mungkin karena danya otot,
tendon, atau jaringan lunak antara fragmen fraktur. Non-union dapat berasal dari
traksi yang terlalu lama atau berlebihan, imobilisasi yang tidak cukup dan tidak
baik yang menyebabkan lokasi fraktur dapat bergerak; fiksasi internal yang tidak
cukup atau infeksi luka setelah fiksasi internal.
Setelah didiagnosis, non-union ditangani dengan cangkok tulang, fiksasi
internal atau eksternal, stimulasi tulang elektrik, USG frekuensi-rendah, atau
kombinasi dari metode-metode tersebut. Injeksi perkutan atau implantasi dari
sumsum tulang otogenik merupakan intervensi lain yang menjadi subjek
penelitian saat ini dalam bidang penyembuhan tulang. Induksi tulang dipengaruhi
oleh penggunaan substansi seperti platelet-derived growth factor untuk
menstimulasi penyembuhan tulang.
13. Penyatuan fibrosa
Jaringan fibrosa terletak di antara fragmen-fragmen fraktur. Kehilangan
tulang karena pembedahan atau cedera meningkatkan risiko klien terhadap jenis
penyatuan fraktur ini. Fiksasi bedah tambahan mungkin diperlukan.
14. Sindroma Nyeri Regional Komples (CRPS)
Awalnya dikenal sebagai distrofi reflekssimpatis, kondisi ini merupakan suatu
sindroma disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri yang dicirikan
oleh nyeri yang abnormal dan pembengkakan pada tungkai yang sakit. Hal ini
biasanya didorong oleh trauma yang relatif kecil dan biasanya yang berkaitan
dengan gangguan pada sistem saraf pusat atau perifer. Manifestasinya berupa
nyeri yang tidak proporsional pada lokasi vedera, edema, spasme otot atau
vasospasme, kaku sendi dan penurunan mobilitas sendi, peningkatan keringat,
atrofi, kontraksi, dan kehilangan massa tulang. Blok saraf simpatis terbukti
berhasil, terutama pada tahap awal sindroma ini. Terapi obat umunya melibatkan
penggunaan steroid, analgesik, pelemas otot, dan antidepresan, atau anti-kejang.
Fisioterapi dan stimulasi saraf elektrik transkutan juga dapat digunakan.
G. PATOFISIOLOGI
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya
retak saja dan bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem seperti tabrakan mobil, maka
tulang dapat pecah berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada
ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen
fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat
dan bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser
karena gaya penyebab patah dan spasme otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat
bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen
tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu. Sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran
sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan akan menciptakan
respon peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan
fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Respon
patofisiologis ini merupakan tahap awal dari penyembuhan tulang.
H. WOC
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG dan PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
menentukan lokasi/luasnya fraktur
2. Bone scans : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
3. Tomogram
4. MRI Scans
5. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
6. CCT kalau banyak kerusakan otot.
7. Hitung Darah Lengkap
Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan
lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
8. Kretinin
Trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
9. Profil koagulasi
perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.
J. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Klien dengan Traksi
Doronglah kemandirian pada aktivitas klien dalam keterbatasan traksi.
Klien harus diajarkan teknik reposisi, mungkin menggunakan batang horizontal
tambahan dengan traksi bola yang membantu perpindahan ke sebuah kursi
disamping ranjang. Setelah pengambilan traksi, klien sering merasa lemah dan
tidak stabil akibat dari atrofi otot atau hipotensi ortostatik. Klien harus dibantu
perlahan ke posisi duduk dan kemudian berdiri. Pergerakan dari klien yang
sebelumnya di ranjang terus menuju posisi duduk atau berdiri mungkin butuh
berhari-hari, bergantung pada efek dari imobilitas sebelumnya. Pastikan adanya
bantuan yang cukup dan berikan dukungan fisik ketika membantu klien dengan
perubahan posisi seperti ini. Alat bantu seperti walker atau kruk dapat digunakan
untuk bentuan sementara terhadap otot yang lemah dan sendi yang kaku.
2. Perawatan Klien dengan Fiksasi Eksternal
Sensasi keseimbangan klien dapat terganggu oleh berat dari rangka
fiksator pada tungkai bawah. Oleh karena klien juga memiliki batas penahan
beban setelah menggunakan fiksator eksternal tungkai bawah, telitilah dalam
mengkaji ketaatan terhadap pembatasan penahan beban ini dan penggunaan alat
bantu jalan yang tepat. Jumlah bantuan yang diperlukan dari perawat ditentukan
berdasarkan kemampuannya mengontrol tungkai selama bergerak.
Mual dan muntah dapat ditangani dengan agresif dengan agen anti-emetik,
seperti yang diminta, untuk menurunkan risiko kekurangan nutrisi atau aspirasi.
Edukasi klien dan keluarga sangat penting untuk mencapai hasil yang baik dengan
penggunaan fiksasi eksternal. Klien juga harus memahami kebutuhan dan
tanggung jawabnya untuk perawatan pin dan luka. Klien juga harus mendapatkan
instruksi penggunaan analgesik dan antibiotik seperti yang diminta oleh dokter
bedah. Instruksi yang diberikan antara lain metode alternatif dari manajemen
nyeri, seperti distraksi, vasualisasi, atau pijat, dapat membuat klien rileks.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Fraktur dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan dan dapat dialami oleh
semua usia.
Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
c. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
3. Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.
4. Pola nutrisi/metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
5. Pola eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur tibia tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
6. Pola aktivitas/latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
7. Pola istirahat tidur
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
8. Pola kognitif persepsi
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9. Pola peran hubungan
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan
dalam penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil
10. Pola seksualitas/reproduksi
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien.
11. Pola persepsi diri/konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
12. Pola koping-toleransi stres
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif
13. Pola keyakinan nilai
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
14. Pemeriksaan fisik
a. Gambaran Umum Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
 Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
 Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak
ada nyeri kepala.
c. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
k. Jantung
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Ekstremitas
 Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
 Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
 Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian
 Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal)
 Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler.
 Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
 Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi(1), kontraksi sedikit dan ada
tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan gravitasi tapi dengan sentuhan
jatuh(3), kekuatan otot kurang (4), kekuatan otot utuh (5).
 Apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan
n. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
15. Pemeriksaan penunjang
a. Diagnostik
 Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan
Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada
Sinar – X mungkin dapat di perlukan teknik khusus, seperti hal – hal
sebagai berikut.
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan
struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada
struktur lain juga mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
 Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
 Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
 Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
 Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
 MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
b. Laboratorium
 Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
 Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang
 Hematokrit dan leukosit akan meningkat
 Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.

16. Penatalaksanaan
a. Perawatan Klien dengan Traksi
Doronglah kemandirian pada aktivitas klien dalam keterbatasan traksi.
Klien harus diajarkan teknik reposisi, mungkin menggunakan batang horizontal
tambahan dengan traksi bola yang membantu perpindahan ke sebuah kursi
disamping ranjang. Setelah pengambilan traksi, klien sering merasa lemah dan
tidak stabil akibat dari atrofi otot atau hipotensi ortostatik. Klien harus dibantu
perlahan ke posisi duduk dan kemudian berdiri. Pergerakan dari klien yang
sebelumnya di ranjang terus menuju posisi duduk atau berdiri mungkin butuh
berhari-hari, bergantung pada efek dari imobilitas sebelumnya. Pastikan adanya
bantuan yang cukup dan berikan dukungan fisik ketika membantu klien dengan
perubahan posisi seperti ini. Alat bantu seperti walker atau kruk dapat digunakan
untuk bentuan sementara terhadap otot yang lemah dan sendi yang kaku.
b. Perawatan Klien dengan Fiksasi Eksternal
Sensasi keseimbangan klien dapat terganggu oleh berat dari rangka
fiksator pada tungkai bawah. Oleh karena klien juga memiliki batas penahan
beban setelah menggunakan fiksator eksternal tungkai bawah, telitilah dalam
mengkaji ketaatan terhadap pembatasan penahan beban ini dan penggunaan alat
bantu jalan yang tepat. Jumlah bantuan yang diperlukan dari perawat ditentukan
berdasarkan kemampuannya mengontrol tungkai selama bergerak.
Mual dan muntah dapat ditangani dengan agresif dengan agen anti-emetik,
seperti yang diminta, untuk menurunkan risiko kekurangan nutrisi atau aspirasi.
Edukasi klien dan keluarga sangat penting untuk mencapai hasil yang baik dengan
penggunaan fiksasi eksternal. Klien juga harus memahami kebutuhan dan
tanggung jawabnya untuk perawatan pin dan luka. Klien juga harus mendapatkan
instruksi penggunaan analgesik dan antibiotik seperti yang diminta oleh dokter
bedah. Instruksi yang diberikan antara lain metode alternatif dari manajemen
nyeri, seperti distraksi, vasualisasi, atau pijat, dapat membuat klien rileks.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agens cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan intregitas struktur tulang
3. Kerusakan integritas kulit b.d faktor mekanik
4. Ketidekefektifan perfusi jaringan perifer b.d kurang pengetahuan tentang proses
penyakit
5. Risiko syok b.d hipovolemia
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DX KEP NOC NIC
1 Nyeri Akut b.d agens Tingkat Nyeri Pemberian Analgesik
cedera fisik indikator : Aktivitas-aktivitas
-Nyeri yang dilaporkan  Tentukan lokasi, karekteristik,
-Panjangnya episode kualitas dan keparahan nyeri
nyeri sebelum mengobati pasien
-Menggosok area yang
 Cek perintah pengobatan
terkena dampak
meliputi obat, dosis, dan
-Menggerang dan
frekuensi obat analgesik yang
menangis
diresepkan
-Ekspresi nyeri wajah
-Tidak bisa beristirahat  Cek adanya riwayat elergi
-Agitasi obat

 Evaluasi kemampuan pasien


untuk berperan serta dalam
pemilihan analgesik,rute dan
dosis dan keterlibatan
pasien,sesuai kebutuhan

 Pilih analgesik atau kombinasi


analgesik yang sesuai ketika
lebih dari satu diberikan

 Tentukan pilihan obat


analgesik (narkotik, non
narkotik,atau
NSAID),berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri

 Tentukan analgesik
sebelumnya,rute pemberian,
dan dosis untuk mencapai
pengurangan nyeri yang
optimal

 Pilih rute intravena dari pada


rute intramuskuler, untuk
injeksi pengobatan nyeri yang
sering,jika kemungkinan

 Tinggalkan narkotik dan obat-


obat yang lain dibatasi, sesuai
dengan aturan rumah sakit

 Monitor tanda vital sebelum


dan setelah memberikan
analgesik narkotik pada
pemberian dosis pertama kali
atau jika ditemukan tanda-
tanda yang tidak biasanya

2 Hambatan mobilitas Ambulasi Terapi latihan :Ambulasi


fisik b.d kerusakan indikator: Aktivitas-aktivitas

intregitas struktur -Menompang berat badan  Beri pasien pakaian yang tidak

tulang -Berjalan dengan langkah mengekang


yang efektif
 Bantu pasien untuk
-Berjalan dengan pelan
menggunakan alas kaki yang
-Berjalan dengan
kecepatan sedang memfasilitasi pasien untuk
-Berjalan dengan cepat berjalan dan mencegah cedera
-Berjalan dengan
 Sediakan tempat tidur
menaiki tangga
berketinggian rendah,yang
Ambulasi :Kursi Roda
sesuai
indikator:
-Menjalankan kursi roda  Tempatkan saklar posisi
dengan aman tempat tidur ditempat yang
-menjalankan kursi roda mudah di jangkau
dalam jarak dekat
 Dorong untuk duduk disisi
-Menjalankan kursi roda
tempat tidur
dalam jarak sedang
(“menjuntai”),atau
-Menjalankan kursi roda
dikursi,sebagaimana yang
dalam jarak jauh
dapat ditoleransi [pasien]
-Menjalankan kursi roda
melewati pembatas lantai  Bantu pasien untuk duduk
disisi tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian
sikap tubuh

 Konsultasikan pada ahli terapi


fisik mengenai rencana
ambulasi,sesuai kebutuhan

 Instruksikan ketersedian
perangkat pendukung,jika
sesuai

 Instruksikan pasien untuk


memposisikan diri sepanjang
proses pemindahan
Perawatan Tirah baring
Aktivitas -aktivitas
 Jelaskan alasan diperlukannya
tirah baring

 Tempatkan matras atau kasur


terapeutik dengan cara yang
tepat

 Posisikan sesuai body


alignment yang tepat

 Hindari penggunakan kain


linen kasur yang teksturenya
kasar

 Jaga kain linen kasur tetap


bersih,kering dan bebas
kerutan

 Aplikasikan papan untuk kaki


di tempat tidur [pasien]

 Gunakan alat ditempat tidur


yang melindungi pasien

 Aplikasikan alat untuk


mencegah terjadinya footdrup

 Tinggikan terasis tempat


tidur,dengan cara yang tepat

 Letakan alat untuk


memposisikan tempat tidur
dalam janggauan yang mudah

 Letakan lampu panggilan


berada dalam janggauan
[pasien]

 Letakan meja disamping


tempat tidur berada dalam
jangkauan pasien

 Tempelkan trapeze [segi tiga]


di tempat tidur,dengan cara
yang tepat

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering terganggu. Fraktur terjadi
karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat tekanan yang diberikan pada
suatu tulang terlalu banyak dibandingkan dengan apa yang mampu di tanggungnya.
Tanda dan gejala fraktur yaitu deformitas, pembengkakan, memar, nyeri, spasme otot,
ketegangan, kehilangan fungsi.
B. SARAN
Makalah sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kami sebagai kelompok
mengharapkan kritikan dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sesama
mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M dan Jane Hokanson Hawks.2014.Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan, Edisi 8-Buku 1.Singapura:Elsevier.

You might also like