Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Abstract
This paper is concerned with asymmetry information and moral hazard issues. A
major characteristic of government deposit insurance is information asymmetry that may
lead to phenomena such as adverse selection and moral hazard. This paper posits that,
information asymmetry, lag regulation, fixed-rate deposit insurance leads to moral hazard
which takes many forms. These include not only the usual notion of risk-taking in the asset
portfolio, but also mismanagement, management conflict, malfeasance, and reduced
incentives for depositor monitoring. This paper proposes a framework to reduce moral
hazard with risk adjusted premium design, strong regulation, market discipline, and low
contrentation ownership.
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Industri perbankan adalah industri yang unik bila dibandingkan dengan
industri lainnya. Seperti industri lainnya yang berorientasi laba (profit oriented),
industri ini juga menjalankan peran pengawasan (monitoring) terhadap debitur,
di sisi lain industri ini juga di-monitor oleh deposan, termasuk oleh regulator
dan lembaga penjamin simpanan. Deposan tidak memonitor secara langsung
penggunaan dana yang ditempatkan ke debitur, namun lembaga perbankan
yang memonitor debitur sebagai amanat deposan atau penyimpan dana di bank.
Monitoring atau kontrol ini akan berjalan sebagaimana mestinya ketika mereka
memiliki kepentingan yang selaras. Bila tidak terjadi keselarasan insentif dan
2. Perumusan Masalah
Masalah moral hazard sebagai bentuk penyimpangan akan menyangkut
siapa yang akan menyimpang, mengapa menyimpang dan siapa yang dirugikan
akibat tindakan tersebut. Oleh karenanya bahaya moral hazard perlu dicegah.
Persoalannya bagaimana mencegahnya.
Tulisan ini memfokuskan pada masalah moral hazard pada korporasi
perbankan yang dilakukan oleh pemegang saham dan manajemen untuk dan
atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi berdasarkan hubungan
kerja dalam lingkup usaha korporasi perbankan, baik diri sendiri atau bersama-
sama. Pencegahan-pencegahan ataupun reduksi ataupun minimalisasi moral
hazard perlu dilakukan. Tulisan ini banyak membahas mengenai pencegahan
moral hazard dalam perspektif ilmu keuangan dan perbankan.
4
3. Tujuan Penelitian
Tujuan tulisan ini antara lain adalah untuk mengetahui pihak-pihak yang
melakukan penyimpangan atau moral hazard dalam industri perbankan di
Indonesia kemudian penyimpangan-penyimpangan apa saja yang biasanya
dilakukan dalam industri perbankan. Dari penyimpangan-penyimpangan
tersebut dapat diambil pencegahan terhadap moral hazard yang dapat dilihat
dari perspektif ilmu keuangan dan perbankan.
4. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah metode deskriftif
analitis. Metode deskriptif analitis merupakan pengembangan dari metode deskriptif,
yakni metode yang mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat
kritis. Sedangkan metode deskriptif analitis, seperti dikemukakan oleh Suriasumantri
(2009), yaitu metode yang dipergunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran
manusia yang telah tertuang dalam bentuk media cetak, baik yang berbentuk naskah
primer maupun naskah sekunder dengan melakukan studi kritis terhadapnya. Fokus
penelitian deskriptif analitis adalah berusaha mendeskripsikan, membahas, dan
mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan dengan gagasan primer
yang lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan, dan
pengembangan model. 3
3
Jujun S.Suriasumantri,2009. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
5
4
Menurut Anwar Nasution dalam tulisannya yang berjudul “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan
Perbankan Indonesia”, Adverse Selection merupakan salah satu bentuk asimetri, informasi yang terjadi
sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas rendah (memiliki risiko kredit
tinggi) biasanya akan mencari pinjaman dengan bunga tinggi. Dari masalah adverse selection inilah
sebagian besar dari pinjaman biasanya merupakan kredit bermasalah. Asimetri informasi ini juga
menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku
bunga naik, mungkin berakibat pada adverse selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran
kredit oleh bank. Demikian pula kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur
dengan net worth yang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs, bank yang sehat dapat memproteksi
dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisi pemberian
kreditnya.
6
2. Moral Hazard, Penyebab Krisis Ekonomi 1998 dan Krisis Ekonomi Global
2008
Beberapa pendapat ekonom mengatakan bahwa salah satu diantara
penyebab krisis ekonomi di berbagai negara adalah karena adanya tindakan
moral hazard dari pemilik perbankan maupun pemilik kapital. Krisis ekonomi
yang terjadi di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008 salah satu
penyebabnya adalah karena tindakan moral hazard. Berbeda dengan krisis 1998,
8
krisis ekonomi global tahun 2008 bersumber dari kredit macet perumahan di
Amerika Serikat. Pada tahun 2008, krisis ekonomi global tersebut terjadi yang
ditandai dengan beberapa indikator penting yaitu adanya penurunan ekonomi
di seluruh dunia. Indikator tersebut terkait tingginya harga minyak dunia, yang
menyebabkan krisis pangan dunia dan inflasi di berbagai negara terutama
karena adanya kenaikan bahan pangan. Karena ketergantungan produksi
makanan terhadap minyak, dan juga penggunaan bahan makanan sebagai
alternatif minyak bumi, sehingga menimbulkan inflasi tinggi. Demikian juga
terjadi krisis kredit macet yang menyebabkan bangkrutnya beberapa bank besar
serta lembaga keuangan non bank, yang kemudian meningkatnya pengangguran
dan menciptakan resesi global.
Bila diamati krisis 2008 ini ada kemiripan dengan krisis yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara Asia pada tahun 1997/1998. Krisis saat itu lebih
banyak disebabkan oleh kegagalan pembayaran rutin utang-utang luar negeri.
Krisis ekonomi ini menambah panjang penderitaan rakyat Indonesia. Para
konglomerat saat itu beramai-ramai menggunakan bank miliknya sebagai
pengumpul dana masyarakat. Setelah terkumpul uang tersebut digunakan
sebagai kredit untuk membesarkan perusahaan mereka yang lain. Ketika
akhirnya kredit tersebut macet maka pemerintah kita pun akhirnya yang
membeli semua aset macet perusahaan para konglomerat itu. Hal ini juga sama
dengan keadaan di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia saat itu juga
berargumen, bila kondisi semacam ini tidak diselamatkan maka sistem keuangan
kita akan kolaps dan ekonomi akan hancur. Pada akhirnya, pemerintah kita
merugi karena melakukan pembelian aset macet dengan harga sangat tinggi
namun menjualnya dengan harga dibawah harga pasar.
Krisis keuangan global 2008 dimulai dari Amerika. Berbeda dari krisis
keuangan 1998 yang berdampak lokal, krisis 2008 meluas ke hampir seluruh
9
III. Pembahasan
1. Moral Hazard Industri Perbankan di Indonesia
Sebelum kita bahas lebih lanjut mengenai moral hazard, terlebih dahulu kita
lihat perkembangan perbankan di Indonesia yang cukup menarik terutama pada
era 80an dan 90an. Pada Era ini belum ada pemisahan sisi pengambil kebijakan
moneter dengan otoritas pengambil kebijakan di bidang fiskal. Beberapa
kebijakan deregulasi di dunia perbankan dikeluarkan saat itu, dan deregulasi
perbankan ini sangat tinggi potensinya menimbulkan tindakan moral hazard.
Pada saat itu pemerintah mengeluarkan aturan kemudahan pendirian perbankan
seperti halnya isi dari Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dan kebijakan
uang ketat seperti pada Paket Nopember 1991 (Paknop).
Sasaran Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 ini pertama adalah peningkatan
dana masyarakat yang ditempuh dengan cara memberikan kemudahan
pendirian suatu bank dan kantor cabangnya. Demikian juga pendirian lembaga
keuangan non bank (LKNB), pemberian kebebasan penyelenggaraan program
penabungan dan izin pengeluaran sertifikat deposito oleh LKNB. Paket ini
5
Yopie Hidayat: Tajuk Kontan, 29 September 2008 dan headline Harian Kompas, 12 Oktober 2008.
11
mengijinkan dibukanya bank baru dengan modal hanya Rp10 miliar. Demikian
juga bank asing dapat mendirikan kantor cabang di 6 kota besar di Indonesia.
Kedua, paket ini juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor non migas
yang ditempuh dengan cara memberi kemudahan bagi bank untuk menjadi bank
devisa. Ketiga, dalam rangka peningkatan kemampuan pengendalian
pelaksanaan moneter yang ditempuh dengan cara penurunan Reserve
Requirement dari 15 persen menjadi 2 persen serta perpanjangan jatuh tempo
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari sebelumnya 7 hari menjadi 30 sampai dengan
180 hari. Tujuan keempat adalah dalam rangka pengembangan pasar modal
dengan cara pengenaan pajak terhadap bunga deposito sebesar 15 persen.
Berbagai kemudahan dan deregulasi dari sisi regulator tersebut
mendorong beberapa bank berlomba mendirikan bank baru maupun menambah
kantor cabang baru. Sebagaimana data per Maret 1990 sebagai berikut :
Tabel 1
Perkembangan Perbankan adanya Deregulasi Perbankan
Sebelum Pakto 88 Setelah Pakto 88
No Bank
Jumlah Kantor Cabang Jumlah Kantor Cabang
1 Bank BUMN 5 796 5 892
2 Bank Swasta 64 512 91 1472
Sumber : Bank Indonesia, diolah
(a) Moral hazard pemegang saham (bank) terhadap deposan. Moral hazard ini
dimanifestasikan dalam bentuk penempatan dana pada proyek-proyek yang
berisiko tinggi dengan mengabaikan kepentingan deposan. Bank melakukan
adverse selection. Ini jelas mengkawatirkan deposan karena bila proyek gagal,
klaim deposan akan gagal terbayarkan. Sebaliknya bila penempatan dana
pada proyek tersebut berhasil maka pemegang saham yang menikmati
keuntungan paling besar. Dalam hal ini ada transfer kekayaan dari deposan
ke pemegang saham. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri
informasi yaitu:
Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemegang saham
bank tidak seluruhnya diketahui oleh deposan. Sehingga pemegang dapat
melakukan tindakan diluar pengetahuan deposan yang melanggar kontrak
dan sebenarnya secara etika atau norma tidak layak dilakukan. 6
(b) Moral Hazard pemegang saham terhadap penjamin simpanan. Moral hazard
ini ditunjukkan sebagai risiko rugi yang dihadapi lembaga penjamin
simpanan (LPS) karena skema penjaminan atau asuransi deposito telah
memberikan insentif bank untuk mengambil tingkat risiko yang berlebihan
(Saunders, 2008). Bank yang mempunyai sumber dana publik atau hutang
relatif tinggi memiliki dorongan kuat untuk menempatkan dana pada
investasi yang berisiko tinggi. Dalam hal ini bank tidak perlu lagi memonitor
peminjam, karena monitoring didelegasikan ke lembaga penjamin simpanan.
Jika investasi yang berisiko tinggi itu gagal, maka lembaga penjamin yang
paling besar menanggungnya atau membayar simpanan pihak deposan.
(c) Moral hazard manajer terhadap pemegang saham. Manajer bank dapat
melakukan moral hazard karena manajer bukan pemilik, bukan penanggung
risiko namun mereka adalah pengambil keputusan bisnis di lembaga
perbankan. Manajer dapat mengambil keputusan yang berisiko tinggi, pada
umumnya risiko tinggi potensi return juga tinggi. Bila keputusan berhasil
mendatangkan return tinggi maka manajer itu akan dinilai berkinerja tinggi
dan konsekuensinya adalah kompensasi materiil dan non materiil. Namun,
bila keputusan gagal maka penanggung risiko adalah pemegang saham.
Menurut Scott (2000), Moral hazard manajer bank terhadap pemegang saham,
yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh manajer bank tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham. Sehingga manajer bank dapat melakukan
6Muh. Arief Ujiyantho, dalam makalahnya berjudul Asimetri Informasi dan Manajemen Laba: Suatu
Tinjauan dalam Hubungan Keagenan (www.freewebs.com/stiemuhpekl/asimetri%20informasi.doc)
14
(e) Moral hazard peminjam (debitur) terhadap bank. Moral hazard yang dilakukan
peminjam umumnya disebabkan oleh asimetri informasi yang sangat tinggi.
Bank dapat saja hanya mengetahui sedikit informasi tentang kemampuan
dan kemauan peminjam untuk membayar dibandingkan dengan
pengetahuan dari peminjam itu sendiri. Pada tingkat asimetri informasi yang
tinggi, bank tidak dapat mendesain kontrak yang dapat mengamankan
secara penuh dana yang ditempatkan pada debitur. Secara prosedural
pemberian kredit memang telah melalui proses analisis yang cermat, bahkan
untuk saat ini keputusan pemberian kredit dilakukan oleh komite
perkreditan bukan oleh orang tertentu atau analis kredit. Namun demikian,
peminjam dapat berubah perilakunya setelah mendapatkan pinjaman bank
misalnya dengan memilih kegiatan yang tidak disetujui oleh bank, misalnya
digunakan untuk bisnis yang berisiko sangat tinggi. Kredit tersebut akan
memberikan manfaat melebihi tingkat bunga yang dibayarkan, namun bila
usaha debitur bangkrut maka bank yang ikut menanggungnya. Debitur bisa
berpandangan bahwa ”bila untung buat kami, bila rugi kita tanggung
bersama”. Peminjam sangat mungkin melakukan transfer kekayaan dari
pihak bank.
7
Frederic S. Mishkin, 2001, Prudential Supervision Whal Works and What Doesn’t, NBER Conference Report, The
University of Chicago Press, Chicago.
16
peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki resiko kredit tinggi), pada
umumnya akan mencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi.
Setiap pemberian kredit oleh bank kepada para pengusaha dan masyarakat,
selalu memiliki resiko sangat tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka
memberikan kredit, bank harus menerapkan asas-asas perkreditan yang
sehat. Untuk menghindari resiko-resiko yang akan dialami oleh bank
sebagai pemberi kredit, maka bank dapat menerapkan metode agunan
sebagai jaminan tambahan yang diperlukan dalam pemberian kredit.
Walaupun demikian, permasalahan asimetri informasi selalu membayang-
bayangi bank sebagai pemberi kredit. Selain itu, permasalahan Asimetri
informasi dapat berakibat krisis finansial pada perekonomian. Seperti,
kondisi suku bunga naik yang dapat berakibat pada adverse selection
sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Selain itu,
kondisi penurunan nilai agunan dapat berakibat pada penurunan debitur
dengan net worth yang rendah. Oleh karena itu, apabila terjadi kondisi bank
rush (penarikan dana besar-besaran), bank yang sehat dapat memproteksi
dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat
kontraksi dari sisi pemberian kreditnya.
17
Kondisi krisis yang terjadi pada tahun 1998 telah membebani perekonomian
secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah saat itu mengambil tindakan
melikuidasi 16 bank swasta nasional. Hal ini berdampak pada penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap bank (terjadinya rush), peningkatan
tingkat pengangguran (PHK pegawai-pegawai bank yang dilikuidasi),
terhentinya kegiatan sektor riil nasabah, serta penurunan jumlah uang yang
beredar8. Demikian juga pada saat krisis 2008 Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter terus memperkuat likuiditas perbankan.
(f) Moral hazard peminjam (debitur) terhadap lembaga penjamin kredit atau
lembaga asuransi kredit. Lembaga perbankan dapat melakukan transfer
risiko kredit melalui penjaminan kredit. Penjaminan kredit adalah suatu
kegiatan pemberian jaminan kepada kreditur (bank) atas kredit atau
pembiayaan kepada debitur akibat tidak terpenuhinya syarat agunan
sebagaimana yang ditetapkan bank. Dengan demikian penjaminan kredit
merupakan pelengkap perkreditan yang menitikberatkan pada
pengambilalihan kewajiban debitur (sebagai pihak terjamin) dalam hal yang
8
http://hukumpositif.com/node/46
18
9
. Anderson dan Fraser (1999) menyebutkan charter value adalah identik dengan kesehatan bank atau
prospek laba bank sebagai konsekuensi kemampuan bank mempertahankan pangsa pasar,
reputasi, skala ekonomi, keunggulan informasi dan efisiensinya .
22
tidak berkaitan langsung dengan tujuan maksimisasi laba bank, namun kalau
kepentingan publik atau kepentingan eksternal tidak diperhatikan maka berdampak
pada kepentingan internal. Kepentingan publik adalah bagian tidak terpisahkan
dalam industri perbankan.
Kontrol dan pencegahan moral hazard juga bisa dilakukan oleh deposan. Hal
ini sering dikenal sebagai berlakunya disiplin pasar perbankan. Pada lembaga
perbankan, hutang menjadi sumber dana utama bagi bank yang terindikasi dari
rasio hutang terhadap modal bank umumnya relatif besar. Sebagian besar
penempatan dana bank dibiayai oleh dana pihak ketiga (tabungan, deposito
masyarakat). Dengan demikian peran hutang bagi bank sangat besar. Namun
demikian, penggunaan hutang oleh pemegang saham dan manajer bisa menghadapi
biaya tinggi karena penempatanya pada investasi berisiko tinggi atas beban pijak
deposan. Cebenoyan, Cooperman dan Register (1995) menyebutnya sebagai
hipotesis transfer kekayaan (wealth transfer hypothesis), Demsezt dan Saidenberg
(1997) menyebutnya sebagai moral hazard bank terhadap pihak deposan atau
lembaga penjamin simpanan (LPS). Secara teoritis, peningkatan hutang akan
berdampak pada kinerja yang tinggi karena adanya peran monitoring pihak
kreditur (deposan). Dalam konteks ini deposan-deposan yang memiliki akses
informasi, bisa mengevaluasi informasi untuk menjalankan tugasnya dengan
ancaman untuk menarik dananya pada bank-bank yang berisiko tinggi, atau tetap
bertahan namun dengan mensyaratkan bunga tinggi sebagai kompensasi premi
risiko pada bank-bank yang mengambil risiko tinggi. Namun demikian disiplin
pasar ini akan berlaku bila deposan memiliki informasi yang cukup dan
kemampuan informasi itu untuk menilai pengambilan risiko oleh bank. Oleh
karena itu pencegahan moral hazard perlu diikuti adanya transparansi informasi
dan edukasi perbankan bagi masyarakat perbankan.
Moral hazard pemegang saham terhadap deposan atau lembaga penjamin
simpanan bisa dicegah melalui kontrol yang dilakukan deposan atas dana yang
ditempatkan di bank tersebut, namun dengan adanya penjaminan simpanan maka
disiplin pasar dapat melemah karena sebagian kontrol telah diserahkan kepada
pihak lembaga penjamin simpanan. Kondisi ini akan semakin buruk ketika skema
penjaminan dilakukan secara penuh atau setidaknya terbatas namun dengan cover
26
jaminan yang relative tinggi yang disertai pembebanan premi flat bagi semua bank
untuk penjaminan deposito diterapkan, tidak membedakan antara bank sehat
dengan bank tidak sehat. Di sisi lain, pemegang saham mempunyai insentif untuk
mengambil risiko eksesif, karena kegagalan bank akan ditanggung lembaga
penjamin simpanan. Semestinya lembaga penjamin melakukan kontrol terhadap
bank, namun bila lembaga penjamin gagal mengontrol bank, maka berakibat pada
pembayar pajak yang menanggungnya (Kane, 1986). Oleh karenai itu agar kontrol
risiko oleh deposan dapat dilakukan, perlu adanya transparasi informasi dan
penurunan nilai penjaminan simpanan.
Kontrol dan pencegahan moral hazard oleh lembaga penjamin simpanan
bisa dilakukan melalui penetapan premi dan skema penjaminan yang berlaku.
Premi penjaminan simpanan yang efektif untuk mencegah moral hazard adalah
premi berbasis risiko. Penentuan premi yang mengkaitkan dengan tingkat
pengambilan risiko oleh bank. Dengan demikian premi tersebut lebih fair. Kita bisa
lihat pada gambar 1 bahwa antara bank A dan bank B seharusnya membayar premi
yang berbeda. Bank A tampak mengambil risiko yang lebih tinggi daripada bank B
sehingga bank A harus membayar premi yang lebih tinggi sesuai peningkatan risiko
yang diambil bank A. Dengan demikian premi berbasis risiko akan mendorong
pemegang saham dan manager untuk bertindak hati-hati dalam mengambil tingkat
risiko. Moral hazard akan muncul ketika lembaga penjaminan menetapkan tingkat
premi flat sepanjang periode penjaminan. Premi flat tidak membedakan tingkat
risiko yang diambil bank, sehingga baik bank yang berisiko tinggi maupun bank
berisiko rendah akan membayar premi yang sama.
27
Bank B Bank A
P Premi flat
0
Risiko Perbankan
dana yang ter-cover masih 33% dari total dana perbankan per Januari 2011 sebesar
Rp 2.303 triliun (infobank, April 2011). Makna dari penurunan nilai penjaminan ini
adalah akan meningkatkan disiplin pasar, deposan pemilik dana sebesar 67% dari
dana perbankan ini yang tidak dijamin akan sensitif terhadap pengambilan risiko
perbankan. Mereka tidak dijamin, sehingga akan bertindak atas dasar informasi
untuk mengendalikan bank dari masalah moral hazard.
Persoalan bunga penjaminan simpanan, juga perlu ditinjau secara konsisten
setiap periodik tertentu dengan mengikuti perkembangan bunga pasar atau tingkat
inflasi. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tingginya bunga penjaminan yang
mengikuti perkembangan bunga pasar juga harus diwaspadai konsekuensinya.
Tingkat bunga penjaminan yang semakin tinggi bisa memicu terjadinya adverse
selection. Bank akan menempatkan sumber dana biaya tinggi itu pada kredit
berbunga tinggi. Dalam hal ini memang bank bisa mendasarkan asimetri informasi
yang tinggi pada kelompok debitur spekulatif (berkualitas buruk) dan kemudian
menetapkan bunga kredit tinggi. Tingkat bunga yang tinggi tersebut kemudian
dikenakan kepada semua calon debitur, akibatnya debitur yang sehat akan
menolaknya dan pada akhirnya penempatan kredit tersalurkan pada kelompok
debitur berkualitas rendah. Hal ini identik dengan bunga tinggi adalah risiko tinggi.
Apakah moral hazard bisa dihilangkan? Untuk menjelaskan ini kita bisa
meggunakan pendekatan Option Pricing Model (OPM) seperti pada gambar 2, yang
memandang provision of deposit insurance identik dengan put option untuk asset bank
yang membeli asuransi deposito. Dalam kerangka ini, lembaga asuransi deposito
mengenakan sejumlah premi kepada bank sebesar OP untuk menjamin simpanan
sebesar OD di bank. Jika lembaga perbankan adalah sehat dan nilai pasar asset bank
tersebut lebih besar dari OD, maka net worth positif dan ini berarti pemegang saham
dapat meneruskan bisnisnya. Lembaga asuransi deposito akan memastikan premi
yang dibayar oleh lembaga perbankan sebesar OP. Jika lembaga perbankan
bangkrut, kemungkinan karena portofolio asset yang buruk atau risiko portofolio,
29
sehingga nilai asset bank menurun dibawah OD (katakanlah menjadi OA), dan ini
berarti net worth menjadi negatif, maka pemegang saham bank akan meninggalkan
bank dan mengembalikan ke lembaga penjaminan deposito. Jika ini terjadi, maka
lembaga asuransi atau penjamin deposito akan membayar kepada deposan yang
diasuransikan sejumlah OD dan akan melikuidasi asset bank sebesar OA.
Akibatnya, lembaga penjamin akan menghadapi biaya kebangkrutan (negative net
worth) sama dengan (OD – OA) dikurangi premi asuransi yang dibayar oleh bank
sebesar OP.
Premi
Pembayaran kepada
Lembaga Asuransi
Deposito
P
A D
0
Nilai Aset Bank
Kerugian
2. Saran
Moral hazard terjadi karena adanya regulasi yang lemah, oleh karenanya
regulator moneter seperti Bank Indonesia hendaknya selalu memperkuat
regulasinya dengan senantiasa melakukan evaluasi dan penyempurnaan
peraturan perbankan Indonesia khusunya dalam sistem pengawasannya.
Pengawasan akan efektif diperlukan koordinasi antar lembaga baik otoritas
moneter dengan otoritas fiskal serta otoritas jasa keuangan. Oleh karena itu perlu
dikaji penyusunan perangkat hukum yang jelas dan tegas yang mengatur segala
aspek mengenai mekanisme koordinasi yang efektif. Demikian juga mengatur
31
mengenai standar dan arah atau keselarasan pengaturan yang kondusif bagi
perbankan dan lembaga-lembaga bukan bank termasuk Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Pada kenyataannya moral hazard sulit dihilangkan. Karena moral hazard
sulit dihilangkan maka salah satu cara untuk menurunkannya adalah dengan
pengawaasan dari nasabah atau deposan. Secara teoritis bahwa semakin
diperkecil nilai penjaminan semakin sensitif deposan mengawasi uang yang ada
di bank karena resikonya semakin besar. Oleh karena itu LPS sebagai penjamin
simpanan dapat menurunkan penjaminan simpanannya atau menaikan dan atau
menurunkan yang dipandang optimal sesuai kondisi ekonomi.
32
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ronald C. and David M. Reeb, 2003, “Founding-Family Ownership and Firm
Performance: Evidence from the S&P 500,” Journal of Finance 58, 1301-1328.
Anderson, RC and Donal R. Fraser , 2000, Corporate Control, Bank Risk and the health
of banking industry, Journal of Banking and Finance 24 (2000),p.1383-1398
Anderson, CW, A.K. Makhija, M. Spiro, 1997, Foreign Ownership and efficiency, journal
of Money, Credit and Banking 33(4):926-54, pp.219-239
Anderson, CW and A.K. Makhija, 1999, Deregulation and Agency cost of debt:
Evidence from Japan, Journal of Financial Economics 51, 309-339
Caprio, G., L. Laeven, and R. Levine. 2007. “Ownership and Bank Valuation.” Journal of
Financial Intermediation 16, 584-617.
Dewatripont, M. and J. Tirole, 1994, The Prudential Regulation of Banks (MIT Press,
Cambridge, MA).
Demirguc-Kunt, Asli and Enrica Detragiache, 1999, “Does Deposit Insurance Increase
Banking System Stability?: An Empirical Investigation,” World Bank Policy
Research Working Paper No. 2247 (Washington: World Bank).
Demirgüç-Kunt, A. and H. Huizinga (1999) . “Market discipline and financial safety net
design.” Policy Research Working Paper No. 2183. World Bank.
Demirgüç-Kunt, Asli and Edward Kane (2002). "Deposit Insurance Around the Globe:
Where Does it Work? " Journal of Economic Perspectives, 16:2, 175-195.
Demirgüç-Kunt, Asli., and Harry Huizinga, 2003. Market discipline and deposit
insurance, Journal of Monetary Economics, forthcoming.
33
Demirguc-Kunt, A., E. Kane, and L. Laeven, 2008, Deposit Insurance around the World:
Issues of Design and Implementation, Cambridge, MIT Press.
Demsezt, Rebecca S, Marc R. Saidenberg & Philip E. Strahan, 1997, Agency Problem and
Risk Taking at banks, Banking Studies Departement, Federal Reserve Bank of
New York.
Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3.
hal. 305-360.
Koehn, M. and A. Santomero, 1980, “Regulation of Bank Capital and Portfolio Risk,”
Journal of Finance 35, 1235-1244.
Krugman, P., 1999, What happened to Asia?, Conference paper in Japan, South Western
Publishing.
Luiz A. Pereira, Silva & Masaru Yoshitomi, 2001, Can “Moral Hazard” Explain the
Asians Crises?, ADB Institute, Tokyo
Mishkin, F. and J. Hahm, (2000) “Causes of the Korean Financial Crisis: Lessons for
Policy,” NBER Working Paper
Mishkin, S. Frederic., 2001, Prudential Supervision Whal Works and What Doesn’t, NBER
Conference Report, The University of Chicago Press, Chicago
Prowse, S., 1997, Corporate Control in Commercial Banks, The Journal of Financial
Research, Vol XX, p. 509-527.
Prowsen, S, 1998, Corporate Governance, Emerging Issues and Lesson from East Asia,
http://www.worldbank.org
34
Saunders, A., E. Strock, N.G. Travlos, 1990, “Ownership Structure, Deregulation, and
Bank Risk Taking”, Journal of Finance 45, 643-654.
Saunders, A., F. Strock, and N. Travlos, 1990. Ownership structure, deregulation, and
bank risk-taking, Journal of Finance 45, 643-654.
Saunder, Anthony dan Marcia Millon Cornett, 2000, 2008, Financial Institutions
Management: A Risk Management Approach, McGraw Hill, Toronto,
International Edition.
Scott, William R. (2000). Financial Accounting Theory. Second edition. Canada: Prentice
Hall.
Sleifer, A. and R.W. Vishny, 1997, A Survey of Corporate Governance, The Journal
Finance, 737-782
Suriasumantri, S., Jujun, 2009. “Ilmu dalam Perspektif,” Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta
Taswan, 2010, Manajemen Perbankan: Konsep, Teknik & Aplikasi, UPP STIM YKPN,
Yogyakarta
http://biru-hati.blogspot.com/2008/10/moral-hazard-krisis-keuangan-global.html
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian
+Indonesia/lpi_2008.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_ekonomi_2008