You are on page 1of 34

1

MORAL HAZARD DAN PENCEGAHANNYA PADA INDUSTRI PERBANKAN DI


INDONESIA

Oleh:

Taswan Ibrahim1 dan Ragimun2

Abstract

This paper is concerned with asymmetry information and moral hazard issues. A
major characteristic of government deposit insurance is information asymmetry that may
lead to phenomena such as adverse selection and moral hazard. This paper posits that,
information asymmetry, lag regulation, fixed-rate deposit insurance leads to moral hazard
which takes many forms. These include not only the usual notion of risk-taking in the asset
portfolio, but also mismanagement, management conflict, malfeasance, and reduced
incentives for depositor monitoring. This paper proposes a framework to reduce moral
hazard with risk adjusted premium design, strong regulation, market discipline, and low
contrentation ownership.

Key word: asymmetry information, moral hazard, depositor monitoring

I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Industri perbankan adalah industri yang unik bila dibandingkan dengan
industri lainnya. Seperti industri lainnya yang berorientasi laba (profit oriented),
industri ini juga menjalankan peran pengawasan (monitoring) terhadap debitur,
di sisi lain industri ini juga di-monitor oleh deposan, termasuk oleh regulator
dan lembaga penjamin simpanan. Deposan tidak memonitor secara langsung
penggunaan dana yang ditempatkan ke debitur, namun lembaga perbankan
yang memonitor debitur sebagai amanat deposan atau penyimpan dana di bank.
Monitoring atau kontrol ini akan berjalan sebagaimana mestinya ketika mereka
memiliki kepentingan yang selaras. Bila tidak terjadi keselarasan insentif dan

1 Alumni Program S3 FEB UGM


2
Peneliti pada Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal
2

kepentingan diantara mereka, maka akan terjadi konflik kepentingan (conflict


interest) dan pada gilirannya akan menyulitkan fungsi monitoring, bahkan
pemegang saham dapat melakukan pengambilan risiko tinggi atas beban
pemegang saham lain, deposan dan atau lembaga penjamin simpanan. Oleh
karena itu peran regulasi berfungsi sebagai representasi publik terkait dengan
monitoring pada industri perbankan. Kasus pembobolan dana nasabah Citibank
yang dilakukan oknum tertentu baik nama pribadi atau persekongkolan tertentu
merupakan contoh nyata moral hazard dunia perbankan di Indonesia.
Pada industri ini, kesulitan utama dalam pengawasan (monitoring) adalah
karena adanya asimetri informasi (asymmetry information) atau ketidak selarasan
informasi, yang menjadikan industri ini rawan masalah moral hazard.
Kepentingan pemegang saham dapat mengorbankan pihak lain (misal deposan,
lembaga penjamin atau pemegang saham minoritas) untuk keuntungan dirinya,
kepentingan manajemen bisa mengorbankan kepentingan pemegang saham,
kepentingan debitur dapat mengorbankan kepentingan bank. Pada Industri
perbankan ini, para agen atau bankir sering mempunyai informasi yang lebih
baik mengenai bisnis tersebut daripada pihak principal (pendiri), para agen bisa
memaksimumkan utilitasnya atas beban pihak lain, atau paling sedikit agen
tidak menanggung secara penuh atau sepadan dengan kerugian bila terjadi. Para
pemegang saham dan manajemen bisa mempunyai agenda tersembunyi yang
bertentangan dengan etika dan prinsip-prinsip pengelolaan perbankan yang
sehat karena kegagalan bank akan menjadi beban penjamin simpanan dan atau
deposan.
Sangat wajar kalau industri perbankan di Indonesia ini senantiasa
diarahkan agar menjadi bank yang sehat serta dijaga stabilitas dan
performancenya dari berbagai goncangan dan dampak buruk karena perilaku
buruk para bankir, pemilik maupun para deposannya. Hal ini merupakan
konsekuensi menjaga industri perbankan nasional yang pada hakekatnya akan
3

mendukung perkembangan ekonomi Indonesia selaku intermediator penyaluran


berbagai skim pendanaan. Efektifitas perbankan yang sehat akan mempengaruhi
dan mendukung berbagai kebijakan fiskal yang diluncurkan pemerintah. Tentu
saja dengan timbulnya moral hazard mempunyai implikasi kebocoran dan
mengakibatkan biaya fiskal yang mahal.
Data terakhir menunjukkan, jumlah perbankan di Indonesia sekarang ini
berjumlah 102 bank umum dan 11 badan usaha syariah, 23 unit usaha syariah,
serta 146 BPRS dengan jaringan kantor sebanyak 1.625 yang menjangkau 89
kabupaten dan 33 propinsi (data Bank Indonesia per April 2011). Berkembang
pesatnya industri perbankan nasional harus dikelola dengan baik yang
membutuhkan koordinasi baik otoritas moneter dalam hal Bank Indonesia
maupun pemerintah sebagai pengambil kebijakan di bidang fiskal serta otoritas
jasa keuangan agar moral hazard dapat diminimalisasi.

2. Perumusan Masalah
Masalah moral hazard sebagai bentuk penyimpangan akan menyangkut
siapa yang akan menyimpang, mengapa menyimpang dan siapa yang dirugikan
akibat tindakan tersebut. Oleh karenanya bahaya moral hazard perlu dicegah.
Persoalannya bagaimana mencegahnya.
Tulisan ini memfokuskan pada masalah moral hazard pada korporasi
perbankan yang dilakukan oleh pemegang saham dan manajemen untuk dan
atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi berdasarkan hubungan
kerja dalam lingkup usaha korporasi perbankan, baik diri sendiri atau bersama-
sama. Pencegahan-pencegahan ataupun reduksi ataupun minimalisasi moral
hazard perlu dilakukan. Tulisan ini banyak membahas mengenai pencegahan
moral hazard dalam perspektif ilmu keuangan dan perbankan.
4

3. Tujuan Penelitian
Tujuan tulisan ini antara lain adalah untuk mengetahui pihak-pihak yang
melakukan penyimpangan atau moral hazard dalam industri perbankan di
Indonesia kemudian penyimpangan-penyimpangan apa saja yang biasanya
dilakukan dalam industri perbankan. Dari penyimpangan-penyimpangan
tersebut dapat diambil pencegahan terhadap moral hazard yang dapat dilihat
dari perspektif ilmu keuangan dan perbankan.

4. Metodologi Penelitian
Dalam penulisan ini metode yang digunakan adalah metode deskriftif
analitis. Metode deskriptif analitis merupakan pengembangan dari metode deskriptif,
yakni metode yang mendeskripsikan gagasan manusia tanpa suatu analisis yang bersifat
kritis. Sedangkan metode deskriptif analitis, seperti dikemukakan oleh Suriasumantri
(2009), yaitu metode yang dipergunakan untuk meneliti gagasan atau produk pemikiran
manusia yang telah tertuang dalam bentuk media cetak, baik yang berbentuk naskah
primer maupun naskah sekunder dengan melakukan studi kritis terhadapnya. Fokus
penelitian deskriptif analitis adalah berusaha mendeskripsikan, membahas, dan
mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan dengan gagasan primer
yang lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan, dan
pengembangan model. 3

II. Tinjauan Pustaka


1. Makna Moral Hazard Dalam Dunia Perbankan
Pengambilan risiko perbankan yang bersifat spekulatif ketika bank tidak
sehat, dapat dianggap juga sebagai masalah moral hazard. Moral hazard sering
dipergunakan dalam istilah bisnis asuransi, yang menjelaskan kemungkinan
pemegang asuransi dengan sengaja melakukan tindakan yang dapat merugikan
terhadap barang yang diasuransikannya dengan harapan akan mendapatkan

3
Jujun S.Suriasumantri,2009. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
5

klaim penggantian dari perusahaan asuransi. Pemegang polis asuransi menjadi


tidak hati-hati (imprudent) karena bila pemegang polis mengalami kerugian akan
ditanggung oleh perusahaan asuransi. Kata moral hazard kemudian
dipergunakan dalam perspektif perbankan yang merujuk pada perilaku pihak-
pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Krugman (1999) menyebutkan bahwa konsep moral hazard telah luas
dipergunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku debitur (borrower) dan
pemberi kredit (kreditur/bank) yang berani mengambil risiko tinggi selama
krisis keuangan terjadi di Asia Tenggara pada tahun 1997 -1998. Moral hazard
merupakan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) misalnya
pihak bank (pemegang saham dan manajemen) atau debitur perbankan yang
menciptakan insentif untuk memiliki agenda dan tindakan tersembunyi yang
berlawanan dengan etika bisnis dan hukum yang berlaku untuk keuntungan
dirinya (Luiz, Silva dan Masaru, 2001). Pihak-pihak yang berkepentingan
tersebut atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha
korporasi, baik diri sendiri atau bersama-sama.
Luiz et all (2001) menyebutkan ada beberapa penyebab terjadinya moral
hazard antara lain (a) adanya regulasi prudensial perbankan yang belum diikuti
juklak yang jelas atau aturan itu lemah, sehingga bank dapat memberikan kredit
yang sangat agresif, melakukan adverse selection 4dan moral hazard; (b). adanya

4
Menurut Anwar Nasution dalam tulisannya yang berjudul “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan
Perbankan Indonesia”, Adverse Selection merupakan salah satu bentuk asimetri, informasi yang terjadi
sebelum transaksi keuangan dilakukan karena peminjam dengan kualitas rendah (memiliki risiko kredit
tinggi) biasanya akan mencari pinjaman dengan bunga tinggi. Dari masalah adverse selection inilah
sebagian besar dari pinjaman biasanya merupakan kredit bermasalah. Asimetri informasi ini juga
menggambarkan dampak lanjutan dari krisis finansial pada perekonomian misalnya dalam kondisi suku
bunga naik, mungkin berakibat pada adverse selection sehingga mengakibatkan penurunan penawaran
kredit oleh bank. Demikian pula kondisi penurunan nilai agunan yang menyebabkan timbulnya debitur
dengan net worth yang rendah. Akhirnya bila terjadi bank runs, bank yang sehat dapat memproteksi
dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat kontraksi dari sisi pemberian
kreditnya.
6

penjaminan simpanan atau asuransi deposito, ini bisa memberikan dorongan


bank untuk memberikan kredit secara tidak hati-hati karena adanya penjaminan
simpanan oleh pemerintah atau lembaga penjamin simpanan; (c). adanya
penjaminan kredit, maka akan menimbulkan bank sangat agresif memperluas
pemberian kredit yang berisiko tinggi; (d). Adanya Bank Sentral yang
memberikan jaminan bagi bank, maka bank akan memberikan kredit secara
agresif karena bank akan diselamatkan bila terjadi krisis secara sistemik, begitu
juga bagi debitur akan berupaya meminjam melampau kebutuhannya apabila
Bank Sentral mengikuti kebijakan penyelamatan melalui program restrukturissi
kredit; (e). Adanya lembaga asing yang menjamin pemberian kredit, maka bank
asing akan memberikan kredit berlebihan apa bila ada jaminan secara resmi atau
tidak resmi dari lembaga tersebut di negaranya; (f) Adanya Pemberlakuan
regulasi prudensial secara internasional, bank asing akan memberikan kredit
yang berlebihan bila regulasi prudensial internasional belum diikuti atau belum
ada pedoman yang jelas di negara tempat beroperasi bank tersebut, misalnya
regulasi prudensial terhadap eksposur risiko serta (g) adanya undang-undang
kepailitan yang lemah sehingga bisa disimpangi oleh debitur dalam hal terjadi
kebangkrutan. Dalam hal ini, secara singkat penyebab moral hazard adalah
persoalan regulasi dan perundang-undangan yang lemah, aspek penjaminan
simpanan dan aspek penjaminan kredit.
Berbeda dengan Silva Et All (2001), sebelumnya Saunders (2000)
menyatakan bahwa moral hazard terjadi karena lemahnya regulasi, faktor
struktur kepemilikan, aspek penjaminan simpanan dan disiplin pasar yang
lemah. Regulasi yang baik memang harus tidak mudah disimpangi, bisa
dilaksanakan oleh yang diatur, tidak menimbulkan konsentrasi kekuatan
ekonomi, memiliki fleksibilitas dalam menumbuhkan industri perbankan, serta
dapat membedakan bank yang sehat dan bank tidak sehat. Bila tidak memenuhi
syarat ini, sangat berpotensi menimbulkan moral hazard. Begitu juga dalam hal
7

menyangkut struktur kepemilikan, yang tercermin dari tingkat konsentrasi


kepemilikan itu dapat menimbulkan moral hazard baik oleh manajemen
maupun oleh pemegang saham. Dalam hal terjadi penjaminan simpanan, potensi
melemahnya disiplin pasar juga akan mendorong bank melakukan moral
hazard.
Pendapat yang sangat simpel dikemukakan oleh Caprio dan Levine
(2007). Ia menegaskan bahwa bisnis perbankan adalah sektor usaha yang sangat
besar potensinya dalam masalah moral hazard, karena adanya asimetri informasi
dalam bisnis ini. Dalam hal terjadinya asimetri informasi, prinsipal tidak dapat
sepenuhnya me-monitor tindakan-tindakan agen. Pemegang saham sangat sulit
mengetahui kegiatan yang dilakukan manajer dan pekerjanya secara
keseluruhan. Demikian juga dengan adanya asimetri informasi yang tinggi,
maka deposan (sebagai principle) tidak dapat memonitor bank (pemegang
saham) secara cukup. Jika tindakan agen tidak dapat diamati dengan baik, maka
pemegang saham atau prinsipal tak dapat mendesain kontrak yang
mendasarkan tindakan itu secara fair. Dalam konteks ini manajer akan
menggunakan hal tersebut untuk kepentingan pribadi atas beban pemegang
saham. Demikian juga pemegang saham bisa menggunakan asimetri informasi
itu untuk kepentingannya atas beban deposan atau pihak lain, debitur
menggunakan asimetri informasi untuk kepentingan dirinya atas beban bank.

2. Moral Hazard, Penyebab Krisis Ekonomi 1998 dan Krisis Ekonomi Global
2008
Beberapa pendapat ekonom mengatakan bahwa salah satu diantara
penyebab krisis ekonomi di berbagai negara adalah karena adanya tindakan
moral hazard dari pemilik perbankan maupun pemilik kapital. Krisis ekonomi
yang terjadi di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008 salah satu
penyebabnya adalah karena tindakan moral hazard. Berbeda dengan krisis 1998,
8

krisis ekonomi global tahun 2008 bersumber dari kredit macet perumahan di
Amerika Serikat. Pada tahun 2008, krisis ekonomi global tersebut terjadi yang
ditandai dengan beberapa indikator penting yaitu adanya penurunan ekonomi
di seluruh dunia. Indikator tersebut terkait tingginya harga minyak dunia, yang
menyebabkan krisis pangan dunia dan inflasi di berbagai negara terutama
karena adanya kenaikan bahan pangan. Karena ketergantungan produksi
makanan terhadap minyak, dan juga penggunaan bahan makanan sebagai
alternatif minyak bumi, sehingga menimbulkan inflasi tinggi. Demikian juga
terjadi krisis kredit macet yang menyebabkan bangkrutnya beberapa bank besar
serta lembaga keuangan non bank, yang kemudian meningkatnya pengangguran
dan menciptakan resesi global.
Bila diamati krisis 2008 ini ada kemiripan dengan krisis yang terjadi di
Indonesia dan beberapa negara Asia pada tahun 1997/1998. Krisis saat itu lebih
banyak disebabkan oleh kegagalan pembayaran rutin utang-utang luar negeri.
Krisis ekonomi ini menambah panjang penderitaan rakyat Indonesia. Para
konglomerat saat itu beramai-ramai menggunakan bank miliknya sebagai
pengumpul dana masyarakat. Setelah terkumpul uang tersebut digunakan
sebagai kredit untuk membesarkan perusahaan mereka yang lain. Ketika
akhirnya kredit tersebut macet maka pemerintah kita pun akhirnya yang
membeli semua aset macet perusahaan para konglomerat itu. Hal ini juga sama
dengan keadaan di Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia saat itu juga
berargumen, bila kondisi semacam ini tidak diselamatkan maka sistem keuangan
kita akan kolaps dan ekonomi akan hancur. Pada akhirnya, pemerintah kita
merugi karena melakukan pembelian aset macet dengan harga sangat tinggi
namun menjualnya dengan harga dibawah harga pasar.

Krisis keuangan global 2008 dimulai dari Amerika. Berbeda dari krisis
keuangan 1998 yang berdampak lokal, krisis 2008 meluas ke hampir seluruh
9

belahan dunia. Bursa saham berjatuhan. Perusahaan-perusahaan keuangan


multinasional bangkrut. Banyak perusahaan di Amerika Serikat melakukan
pengurangan pekerja. Efeknya yang luar biasa antara lain menyebabkan pasar
modal dunia di Bursa Efek negara dunia turun drastis dan bahkan Bursa Effek
Indonesia sempat menutup kegiatan bursa yang ada demi menyelamatkan pasar
dari ulah spekulan saham ataupun tindakan moral hazard lainnnya. Saat itu,
informasi dari Dow Jones Wilshire 5000, bursa saham Amerika Serikat telah
kehilangan nilai saham sebesar $2,4 triliun hanya dalam satu pekan terakhir
dengan total $8,4 triliun sepanjang tahun 2008. Untuk itu, pemerintah Amerika
Serikat juga telah melakukan sejumlah usaha penyelamatan keuangan dalam
negeri demi menyelamatkan keuangan dunia. Setelah usulan RUU bailout atau
penyelamatan aset macet dengan cara membeli aset tersebut gagal dilakukan
akibat sebagian besar anggota Senat Amerika Serikat menolak usul tersebut,
akhirnya Amerika Serikat mengesahkan undang-undang dana talangan sebesar
$700 miliar serta membeli surat berharga $900 miliar. Langkah ini diikuti oleh
negara-negara G7 (Kanada, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Jepang).
Pemerintah Inggris telah memberi pinjaman kepada perbankan mereka dengan
suntikan dana segar sebesar 500 miliar poundsterling serta menjamin semua
utang bank. Argumen pemberian bailout oleh pemerintah banyak ditentang.
Karena keputusan mengesahkan bailout ini juga akan berdampak besar terhadap
moral hazard.

Di Indonesia, dampak krisis mulai berpengaruh pada saat menjelang


akhir tahun 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen
sampai dengan triwulan ke tiga 2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat
tekanan berat pada triwulan keempat 2008. Hal itu terbukti terjadinya
perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena turunnyaa kinerja
ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan
10

defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan. Di pasar


keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal
keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Walaupu posisi Indonesia secara umum
bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia
masih dapat tumbuh saat itu sebesar 6,1 persen pada tahun 2008. Sementara
kondisi fundamental dari sektor eksternal, fiskal dan industri perbankan juga
cukup kuat untuk menahan terpaan krisis global. 5

III. Pembahasan
1. Moral Hazard Industri Perbankan di Indonesia
Sebelum kita bahas lebih lanjut mengenai moral hazard, terlebih dahulu kita
lihat perkembangan perbankan di Indonesia yang cukup menarik terutama pada
era 80an dan 90an. Pada Era ini belum ada pemisahan sisi pengambil kebijakan
moneter dengan otoritas pengambil kebijakan di bidang fiskal. Beberapa
kebijakan deregulasi di dunia perbankan dikeluarkan saat itu, dan deregulasi
perbankan ini sangat tinggi potensinya menimbulkan tindakan moral hazard.
Pada saat itu pemerintah mengeluarkan aturan kemudahan pendirian perbankan
seperti halnya isi dari Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dan kebijakan
uang ketat seperti pada Paket Nopember 1991 (Paknop).
Sasaran Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 ini pertama adalah peningkatan
dana masyarakat yang ditempuh dengan cara memberikan kemudahan
pendirian suatu bank dan kantor cabangnya. Demikian juga pendirian lembaga
keuangan non bank (LKNB), pemberian kebebasan penyelenggaraan program
penabungan dan izin pengeluaran sertifikat deposito oleh LKNB. Paket ini

5
Yopie Hidayat: Tajuk Kontan, 29 September 2008 dan headline Harian Kompas, 12 Oktober 2008.
11

mengijinkan dibukanya bank baru dengan modal hanya Rp10 miliar. Demikian
juga bank asing dapat mendirikan kantor cabang di 6 kota besar di Indonesia.
Kedua, paket ini juga bertujuan untuk meningkatkan ekspor non migas
yang ditempuh dengan cara memberi kemudahan bagi bank untuk menjadi bank
devisa. Ketiga, dalam rangka peningkatan kemampuan pengendalian
pelaksanaan moneter yang ditempuh dengan cara penurunan Reserve
Requirement dari 15 persen menjadi 2 persen serta perpanjangan jatuh tempo
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari sebelumnya 7 hari menjadi 30 sampai dengan
180 hari. Tujuan keempat adalah dalam rangka pengembangan pasar modal
dengan cara pengenaan pajak terhadap bunga deposito sebesar 15 persen.
Berbagai kemudahan dan deregulasi dari sisi regulator tersebut
mendorong beberapa bank berlomba mendirikan bank baru maupun menambah
kantor cabang baru. Sebagaimana data per Maret 1990 sebagai berikut :
Tabel 1
Perkembangan Perbankan adanya Deregulasi Perbankan
Sebelum Pakto 88 Setelah Pakto 88
No Bank
Jumlah Kantor Cabang Jumlah Kantor Cabang
1 Bank BUMN 5 796 5 892
2 Bank Swasta 64 512 91 1472
Sumber : Bank Indonesia, diolah

Masalah mendasar pesatnya perkembangan perbankan di era tersebut


tidak diimbangi dengan keahlian para manajer yang dimiliki bank. Disamping
itu karena adanya ketentuan penurunan Reserve Requirement maka bank-bank
memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah kreditnya secara luar biasa. Kedua
hal ini menimbulkan booming pada sektor perbankan berupa ekspansi kredit
besar-besaran yang kemudian menyebabkan inflasi tinggi. Kondisi semacam ini
12

sangat berpotensi munculnya kecenderungan terjadinya penyimpangan dalam


industri perbankan, berupa moral hazard.
Kemudian pada kondisi terjadi over heating karena jumlah uang beredar
sangat tinggi, akhirnya pemerintah melakukan kebijakan uang ketat (tight money
policy). Kebijakan ini menunjukkan kelemahan dari sektor perbankan, yaitu
hampir semua bank memiliki Loan to Deposit Ratio (LDR) atau ratio antara jumlah
kredit yang disalurkan bank dibagi dengan jumlah dana pihak ketiga (DPK) di
atas 100 persen. Berubahnya kebijakan ini kemudian mengakibatkan beberapa
bank kolap. Salah satu penyebabnya adalah karena moral hazard bankir,
deposan ataupun pemiliknya.
Dengan memperhatikan penyebab moral hazard, maka masalah moral
hazard pada lembaga perbankan yang dapat diidentifikasi, antara lain:

(a) Moral hazard pemegang saham (bank) terhadap deposan. Moral hazard ini
dimanifestasikan dalam bentuk penempatan dana pada proyek-proyek yang
berisiko tinggi dengan mengabaikan kepentingan deposan. Bank melakukan
adverse selection. Ini jelas mengkawatirkan deposan karena bila proyek gagal,
klaim deposan akan gagal terbayarkan. Sebaliknya bila penempatan dana
pada proyek tersebut berhasil maka pemegang saham yang menikmati
keuntungan paling besar. Dalam hal ini ada transfer kekayaan dari deposan
ke pemegang saham. Menurut Scott (2000), terdapat dua macam asimetri
informasi yaitu:

Adverse selection, yaitu bahwa pemegang saham serta orang-orang dalam


lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek
perusahaan dibandingkan deposan/pihak luar. Dan faktanya dapat
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut
tidak disampaikan informasinya kepada deposan.
13

Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemegang saham
bank tidak seluruhnya diketahui oleh deposan. Sehingga pemegang dapat
melakukan tindakan diluar pengetahuan deposan yang melanggar kontrak
dan sebenarnya secara etika atau norma tidak layak dilakukan. 6
(b) Moral Hazard pemegang saham terhadap penjamin simpanan. Moral hazard
ini ditunjukkan sebagai risiko rugi yang dihadapi lembaga penjamin
simpanan (LPS) karena skema penjaminan atau asuransi deposito telah
memberikan insentif bank untuk mengambil tingkat risiko yang berlebihan
(Saunders, 2008). Bank yang mempunyai sumber dana publik atau hutang
relatif tinggi memiliki dorongan kuat untuk menempatkan dana pada
investasi yang berisiko tinggi. Dalam hal ini bank tidak perlu lagi memonitor
peminjam, karena monitoring didelegasikan ke lembaga penjamin simpanan.
Jika investasi yang berisiko tinggi itu gagal, maka lembaga penjamin yang
paling besar menanggungnya atau membayar simpanan pihak deposan.

(c) Moral hazard manajer terhadap pemegang saham. Manajer bank dapat
melakukan moral hazard karena manajer bukan pemilik, bukan penanggung
risiko namun mereka adalah pengambil keputusan bisnis di lembaga
perbankan. Manajer dapat mengambil keputusan yang berisiko tinggi, pada
umumnya risiko tinggi potensi return juga tinggi. Bila keputusan berhasil
mendatangkan return tinggi maka manajer itu akan dinilai berkinerja tinggi
dan konsekuensinya adalah kompensasi materiil dan non materiil. Namun,
bila keputusan gagal maka penanggung risiko adalah pemegang saham.

Menurut Scott (2000), Moral hazard manajer bank terhadap pemegang saham,
yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh manajer bank tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham. Sehingga manajer bank dapat melakukan

6Muh. Arief Ujiyantho, dalam makalahnya berjudul Asimetri Informasi dan Manajemen Laba: Suatu
Tinjauan dalam Hubungan Keagenan (www.freewebs.com/stiemuhpekl/asimetri%20informasi.doc)
14

tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan


sebenarnya secara etika atau norma tidak layak dilakukan.

(d) Moral hazard pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham


minoritas. Tipe moral hazard ini terjadi ketika konsentrasi kepemilikan bank
relatif tinggi. Pada konsentrasi kepemilikan tinggi, konflik keagenan
bergeser dari pemegang saham dengan menajer ke pemegang saham
mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Manajemen akan tunduk
pada kepentingan pemegang saham mayoritas, sehingga pemegang saham
mayoritas bisa mengendalikan manajemen atau manajer secara powerful
untuk kepentingannya atas beban pemegang saham minoritas. Pemegang
saham mayoritas bisa melakukan tindakan demi kepentingan tersembunyi
yang bertentangan dengan etika bisnis atas beban pemegang saham
minoritas. Bila ini dilakukan, maka terjadi moral hazard pemegang saham
mayoritas terhadap pemegang saham minoritas.

Menurut Sleifer dan Vishny (1997); Shuang (2000); serta Wiwattanakantang


(2001) menyebutkan bahwa struktur kepemilikan modal saham
terkonsentrasi seperti halnya di Jepang, Eropa, dan lain sebagainya,
pemegang saham mayoritas dapat melakukan monitoring dan kontrol
terhadap manajemen perusahaan perbankan, sehingga mempunyai pengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan. Namun, di Negara-negara berkembang
seperti Indonesia dan negara Asia lainnya, struktur kepemilikan
terkonsentrasi secara umum didominasi oleh keluarga pendiri serta adanya
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yang lemah
menimbulkan konflik keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan
pemegang saham minoritas. Kondisi ini sesuai pernyataan Prowsen (1998),
bahwa konflik keagenan utama yang terjadi di Indonesia adalah antara
pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas.
15

(e) Moral hazard peminjam (debitur) terhadap bank. Moral hazard yang dilakukan
peminjam umumnya disebabkan oleh asimetri informasi yang sangat tinggi.
Bank dapat saja hanya mengetahui sedikit informasi tentang kemampuan
dan kemauan peminjam untuk membayar dibandingkan dengan
pengetahuan dari peminjam itu sendiri. Pada tingkat asimetri informasi yang
tinggi, bank tidak dapat mendesain kontrak yang dapat mengamankan
secara penuh dana yang ditempatkan pada debitur. Secara prosedural
pemberian kredit memang telah melalui proses analisis yang cermat, bahkan
untuk saat ini keputusan pemberian kredit dilakukan oleh komite
perkreditan bukan oleh orang tertentu atau analis kredit. Namun demikian,
peminjam dapat berubah perilakunya setelah mendapatkan pinjaman bank
misalnya dengan memilih kegiatan yang tidak disetujui oleh bank, misalnya
digunakan untuk bisnis yang berisiko sangat tinggi. Kredit tersebut akan
memberikan manfaat melebihi tingkat bunga yang dibayarkan, namun bila
usaha debitur bangkrut maka bank yang ikut menanggungnya. Debitur bisa
berpandangan bahwa ”bila untung buat kami, bila rugi kita tanggung
bersama”. Peminjam sangat mungkin melakukan transfer kekayaan dari
pihak bank.

Menurut Frederic S. Mishkin (2001), permasalahan moral hazard peminjam


(debitur) terhadap bank tersebut juga disebabkan karena asimetri informasi.
Dua permasalahan pokok yakni terkait adverse selection dan moral hazard,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut :7

Adverse selection dimaksudkan sebagai satu bentuk masalah asimetri


informasi yang terjadi sebelum transaksi keuangan dilakukan, karena

7
Frederic S. Mishkin, 2001, Prudential Supervision Whal Works and What Doesn’t, NBER Conference Report, The
University of Chicago Press, Chicago.
16

peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki resiko kredit tinggi), pada
umumnya akan mencari pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi.

Moral hazard, merupakan permasalahan asimetri informasi yang terjadi


sesudah transaksi kredit dilakukan. Hal ini memberikan kedudukan kepada
pemberi kredit/bank untuk berada dalam posisi penerima resiko dari usaha
yang dilaukan pihak peminjam. Permasalahan moral hazard dapat terjadi,
karena peminjam memperoleh keuntungan untuk mengalihkan proyeknya
pada proyek beresiko tinggi, yang tidak dikehendaki oleh pemberi
pinjaman. Oleh karena itu, apabila berhasil dapat memberikan keuntungan
besar, tetapi apabila mengalami kegagalan akan ditanggung oleh pemberi
pinjaman (kredit yang diberikan tidak kembali).

Setiap pemberian kredit oleh bank kepada para pengusaha dan masyarakat,
selalu memiliki resiko sangat tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka
memberikan kredit, bank harus menerapkan asas-asas perkreditan yang
sehat. Untuk menghindari resiko-resiko yang akan dialami oleh bank
sebagai pemberi kredit, maka bank dapat menerapkan metode agunan
sebagai jaminan tambahan yang diperlukan dalam pemberian kredit.
Walaupun demikian, permasalahan asimetri informasi selalu membayang-
bayangi bank sebagai pemberi kredit. Selain itu, permasalahan Asimetri
informasi dapat berakibat krisis finansial pada perekonomian. Seperti,
kondisi suku bunga naik yang dapat berakibat pada adverse selection
sehingga mengakibatkan penurunan penawaran kredit oleh bank. Selain itu,
kondisi penurunan nilai agunan dapat berakibat pada penurunan debitur
dengan net worth yang rendah. Oleh karena itu, apabila terjadi kondisi bank
rush (penarikan dana besar-besaran), bank yang sehat dapat memproteksi
dirinya dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas yang berakibat
kontraksi dari sisi pemberian kreditnya.
17

Permasalahan dunia perbankan di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998,


sebagian besar analis menyatakan, krisis perbangkan yang terjadi,
disebabkan oleh pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kedit (BMPK),
karena sebagian besar pengurus perbankan telah menyalurkan kredit
kepada pihak-pihak melebihi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dijelaskan bahwa agunan merupakan jaminan tambahan yang diserahkan
Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan.

Kondisi krisis yang terjadi pada tahun 1998 telah membebani perekonomian
secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah saat itu mengambil tindakan
melikuidasi 16 bank swasta nasional. Hal ini berdampak pada penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap bank (terjadinya rush), peningkatan
tingkat pengangguran (PHK pegawai-pegawai bank yang dilikuidasi),
terhentinya kegiatan sektor riil nasabah, serta penurunan jumlah uang yang
beredar8. Demikian juga pada saat krisis 2008 Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter terus memperkuat likuiditas perbankan.

(f) Moral hazard peminjam (debitur) terhadap lembaga penjamin kredit atau
lembaga asuransi kredit. Lembaga perbankan dapat melakukan transfer
risiko kredit melalui penjaminan kredit. Penjaminan kredit adalah suatu
kegiatan pemberian jaminan kepada kreditur (bank) atas kredit atau
pembiayaan kepada debitur akibat tidak terpenuhinya syarat agunan
sebagaimana yang ditetapkan bank. Dengan demikian penjaminan kredit
merupakan pelengkap perkreditan yang menitikberatkan pada
pengambilalihan kewajiban debitur (sebagai pihak terjamin) dalam hal yang

8
http://hukumpositif.com/node/46
18

bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya kepada bank


(sebagai penerima jaminan) sesuai waktu yang diperjanjikan.
Tujuan penjaminan kredit adalah untuk mengamankan kepentingan
terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima jaminan
dalam menyalurkan kredit. Persoalannya, semakin tinggi plafound
penjaminan kredit, akan semakin tinggi moral hazard debitur. Sebaliknya
semakin kecil plafound penjaminan atau berarti semakin besar nilai agunan
kredit pihak peminjam, maka debitur semakin hati-hati atau semakin kecil
moral hazard. Dengan penjaminan kredit, debitur akan berupaya
mendapatkan pinjaman yang berisiko tinggi secara berlebihan. Debitur yang
dijamin akan melakukan penyimpangan sebagai konsekuensi bahwa
kegagalan debitur juga kegagalan kredit. Kegagalan kredit akan ditanggung
oleh lembaga penjamin. Hal yang sama bisa terjadi dalam hal terdapat
asuransi kredit. Penjaminan kredit dengan asuransi kredit adalah dua hal
yang berbeda. Misi asuransi kredit yang utama adalah mengganti kerugian
jika terjadi kerugian. Tujuan utama asuransi kredit untuk melindungi
kepentingan pihak tertanggung atas kerugian yang mungkin terjadi.
Meskipun berbeda antara penjaminan kredit dengan asuransi kredit, namun
keduanya memberikan insentif bagi debitur untuk melakukan moral hazard
atas beban lembaga tersebut.
Tulisan ini memfokuskan pada masalah moral hazard korporasi
perbankan yang dilakukan oleh oleh pemegang saham terhadap deposan,
manajemen terhadap pemegang saham, pemegang saham dan manajemen
terhadap deposan dan lembaga penjamin simpanan atau terhadap
pemegang saham minoritas. Dalam bertindak selaku agen, mereka adalah
pihak-pihak yang untuk dan atas nama lembaga perbankan, atau demi
kepentingan korporasi perbankan berdasarkan hubungan kerja dalam
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri atau bersama-sama bisa
19

melakukan moral hazard karena mereka lebih banyak mengetahui seluk-


beluk bisnis perbankan daripada pihak pemberi amanah.
Pemegang saham (dilihat dari sudut sebagai pemilik bank) bisa
menghadapi asimetri informasi ketika menempatkan dana atau memberikan
kredit kepada debitur, karena debitur mengetahui informasi bisnisnya lebih
baik daripada bank. Di pihak lain, deposan selaku kreditur atau prinsipal
juga bisa mengalami kesulitan memonitor bank karena tidak mendapat
informasi yang fair dan berkualitas. Persoalan asimetri informasi menjadi
sumber masalah moral hazard dan kontrol perbankan. Fenomena asimetri
informasi yang tinggi di Indonesia bisa karena lemahnya regulasi sistem
keuangan, lemahnya loan officer dan risk assessment oleh pihak bank (Hahm
dan Miskhin, 2000) dan ketiadaan lembaga rating independen atau belum
bekerjanya lembaga rating independen di Indonesia untuk melakukan
pemeringkatan terhadap kredit atau pinjaman yang diberikan (Marciano,
2008).
Dalam perspektif kepemilikan bank, pemegang saham menyerahkan
pengelolaan bank kepada manajer untuk melaksanakan operasional bank
dan mengamankan kepentingan pemegang saham. Pemegang saham
berkepentingan untuk mengendalikan manajemen agar bekerja secara hati-
hati dan mampu meningkatkan kemakmurannya atau nilai sahamnya.
Persoalannya tidak selalu kepentingan dan tujuan manajer selaras dengan
kepentingan dan pemegang saham. Para manajer bisa melakukan tindakan
yang menguntungkan dirinya sendiri atas beban pemegang saham. Manajer
dapat mengambil keputusan yang berisiko tinggi karena penanggung risiko
adalah pemegang saham. Di sisi lain, pemegang saham sebenarnya juga
menjalankan amanah pemilik dana (deposan) untuk menggunakan dana
tersebut secara hati-hati. Dalam hal ini pemegang saham bertindak sebagai
agen dan deposan bertindak sebagai prinsipal. Pemegang saham sebagai
20

agen yang memiliki hak kontrol di lembaga perbankan juga dapat


melakukan ekspropriasi terhadap pihak lain misalnya pemegang saham
minoritas, deposan, lembaga penjamin simpanan dan bahkan dapat kontra
kepentingan dengan pihak regulator.
Dalam hal menyangkut aspek kepemilikan bank, terdapat argumen
konvergensi dan argumen entrenchment. Dalam argumen konvergensi,
pemegang saham mengontrol manajer agar melakukan keputusan sesuai
kepentingannya untuk mengambil risiko rendah. Semakin besar
kepemilikan saham maka pemegang saham tersebut semakin powerful dalam
mengendalikan manajer, sebaliknya semakin kecil kepemilikannya maka
semakin lemah dalam mengendalikan manajer. Dengan kata lain, semakin
besar kepemilikan saham atau semakin terkonsentrasi kepemilikan bank
maka kendali oleh pemegang saham semakin kuat. Argumen ini
menyatakan bahwa pemegang saham tidak akan melakukan moral hazard
(Demsetz dan Saidenberg, 1997). Kontra argumen konvergensi adalah
argumen entrenchment. Dalam argumen entrenchment bahwa kepemilikan
yang semakin tinggi dari satu pihak akan mendorong pihak tersebut
menggunakan kepemilikan dan kendali yang dimiliki untuk
kepentingannya dan merugikan pemegang saham minoritas, deposan atau
lembaga penjamin simpanan (Vishny, 1995). Tindakan pihak tertentu yang
merugikan pemegang saham lain, deposan dan lembaga penjamin simpanan
disebut moral hazard atau wealth transfer hypothesis (Anderson dan Fraser,
1999).
Secara normatif, penjelasan-penjelasan dalam argumen konvergensi
menekankan bahwa pemegang saham melakukan kontrol karena sebagai
penanggung risiko. Perspektif ini kontradiktif dengan argumen entrenchment
yang menekankan bahwa pemegang saham mengambil risiko tinggi untuk
kepentingan dirinya atas beban pihak lain. Dalam pandangan Demsezt dan
21

Saidenberg (1997), pemegang saham akan bertindak sesuai argumen


konvergensi atau entrenchment itu sangat tergantung dari insentif mereka
dalam pengambilan risiko. Dalam perspektif perbankan bahwa charter value9
telah menjadi insentif pemegang saham untuk mengambil risiko tinggi atau
sebaliknya mereduksi risiko. Secara khusus pengambilan risiko tinggi yang
dilakukan karena insentif charter value merupakan indikasi terjadinya moral
hazard pemegang saham terhadap pihak lain. Dalam perspektif perbankan,
fungsi kontrol pemegang saham berjalan kalau bank tersebut memiliki
prospek laba yang tinggi. Demsetz dan Saidenberg (1997) menyebutnya
sebagai charter value yaitu nilai yang menunjukkan prospek laba bank
sebagai konsekuensi bank mampu memelihara kelangsungan lembaganya,
mempertahankan pangsa pasarnya, memelihara reputasinya, memelihara
informasi privat-nya serta menjaga efisiensinya. Pada posisi ini, pemegang
saham mayoritas (yang diidentikan dengan konsentrasi kepemilikan tinggi)
lebih memilih untuk melakukan kontrol dan mengambil risiko rendah demi
mempertahankan charter value yang dapat mengamankan investasinya.
Alasan-alasan ini menjadikan kontrol perbankan lebih berlaku pada bank-
bank yang memiliki charter value tinggi.
Dalam perspektif struktur kepemilikan, di Indonesia terdapat
kepemilikan bank (pemegang saham) oleh keluarga dan individual atau
group, sehingga konsentrasi kepemilikan terjadi. Penyebaran kepemilikan
relatif rendah, dengan demikian keputusan-keputusan bisnis lebih banyak
ditentukan oleh sedikit pemilik bank. Kepemilikan seperti ini sering disebut
kepemilikan terkonsentrasi secara ekstrim, yaitu sedikit pemilik tapi mampu
mengendalikan manajemen dalam mengambil risiko. Konsentrasi

9
. Anderson dan Fraser (1999) menyebutkan charter value adalah identik dengan kesehatan bank atau
prospek laba bank sebagai konsekuensi kemampuan bank mempertahankan pangsa pasar,
reputasi, skala ekonomi, keunggulan informasi dan efisiensinya .
22

kepemilikan seperti ini malahan didukung melalui kebijakan kepemilikan


tunggal sesuai dengan PBI No. 8/16/PBI/2006. BI sejak Oktober 2006
melakukan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy) pada
perbankan Indonesia untuk penataan kembali struktur kepemilikan
perbankan sebagai faktor penting dalam mendukung keefektifan
pengawasan bank. Dengan demikian struktur perbankan di Indonesia
ditandai dengan kepemilikan yang semakin berkonsentrasi.

2. Kelemahan Regulasi Perbankan

Bank Indonesia tampak mengabaikan UU No. 5/1999 tentang Larangan


Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha (UU Antimonopoli), karena UU ini
memberikan hak otonomi kepada setiap pelaku usaha atau seseorang untuk
mengembangkan usahanya. Kondisi struktur industri perbankan yang mengarah
pada struktur oligolistik dengan penguasaan lebih dari 70% pangsa pasar oleh 13
bank terbesar (direktori perbankan Indonesia 2001-2008), penerapan kepemilikan
tunggal akan mengarahkan pada struktur kepemilikan bank semakin terkonsentrasi
dan ini berarti bertentangan dengan semangat larangan monopoli. Konsentrasi
kepemilikan bank yang semakin tinggi dan kontroversi dengan masalah keadilan
malahan akan membuka peluang bagi pemegang saham untuk melakukan moral
hazard ketika di negara tersebut menerapkan penjaminan simpanan, baik pada
skema penjaminan implisit maupun skema penjaminan eksplisit. Maknanya bahwa
kebijakan kepemilikan tunggal di Indonesia berpotensi mendorong pemegang
saham untuk mengambil risiko yang eksesif.
Dalam kaitannya dengan kepemilikan, memang terdapat bank-bank yang
menjadi bank terbuka (go public). Tindakan bank menjadi bank terbuka (go public) ini
memberi kontribusi pada penyebaran kepemilikan di Indonesia, atau sebaliknya
bisa memicu pergeseran konflik dalam struktur kepemilikan yaitu antara
23

kepemilikan mayoritas dan minoritas. Struktur seperti ini memberikan peluang


pemegang saham mayoritas untuk melakukan moral hazard terhadap pemegang
saham minoritas. Pemegang saham mayoritas lebih mendominasi keputusan-
keputusan bisnis yang menguntungkannya termasuk dalam pengambilan tingkat
risiko bank. Dengan demikian pemilik saham minoritas bisa dirugikan dengan
kondisi ini. Sebaliknya bila kepemilikan minoritas benar-benar menyebar atau tidak
terkonsentrasi, maka potensi moral hazard yang terjadi adalah moral hazard
manajer terhadap pemegang saham.
Bila memperhatikan potensi konsentrasi kepemilikan bank dapat
menimbulkan moral hazard, maka perlu ada pembatasan kepemilikan bank.
Pemerintah perlu segera mengkakhiri ketentuan yang mengatur kepemilikan asing
sampai dengan 99%, perlu diakhiri ketentuan kepemilikan tunggal yang berpotensi
menimbulkan konsentrasi kepemilikan pada segelintir pemilik. Pembatasan-
pembatasan kepemilikan dapat mengurangi kekuasaan (power) pemegang saham
untuk mengambil risiko. Di samping itu, keterlibatan kepemilikan oleh manajemen
juga akan mendorong manajer untuk bertindak lebih hati-hati sebagai konsekuensi
ikut menanggung risiko perbankan.
Kontrol dan pencegahan moral hazard melalui penguatan regulasi perbankan.
Lembaga perbankan berkepentingan untuk mematuhi regulasi, agar proses internal
tidak terganggu. Peningkatan pemenuhan regulasi dapat mengarahkan bank untuk
melakukan diversifikasi investasi atau menekan risiko (Koehn dan Santomero,
1980), bahkan temuan Prowse (1997) bahwa control moral hazard yang paling kuat
adalah melalui penerapan regulasi secara ketat. Dengan regulasi dapat mencegah
atau meminimalkan risiko dan memberikan perlindungan kepada deposan.
Deposan sering tidak mempunyai akses dan insentif untuk mengawasi bank secara
optimal, sehingga regulator bertindak untuk mewakili kepentingan deposan
tersebut dalam bentuk menerapkan regulasi. Regulasi merupakan bagian tak
terpisahkan dalam kontrol moral hazard. Kepentingan regulator atau publik ini
24

tidak berkaitan langsung dengan tujuan maksimisasi laba bank, namun kalau
kepentingan publik atau kepentingan eksternal tidak diperhatikan maka berdampak
pada kepentingan internal. Kepentingan publik adalah bagian tidak terpisahkan
dalam industri perbankan.

3. Pencegahan Moral Hazard pada Industri Perbankan

Pencegahan moral hazard bisa dilakukan melalui penerapan manajemen risiko


perbankan. Dalam penerapannya, perlu tunduk pada prinsip (a) Transparansi,
kebijakan pengelolaan risiko harus transparan. Dengan demikian seluruh potensi
risiko harus dipaparkan secara terbuka. Risiko yang disembunyikan akan menjadi
sumber masalah besar; (b). Assessment yang tepat. Maksudnya harus didasarkan
pada metodologi assessment yang akurat. Perusahaan perlu melakukan investasi
berkesinambungan untuk menyusun berbagai konsep, metodologi, alat dan teknik
secara terus-menerus untuk membangun pengelolaan risiko yang kuat ; (c) Adanya
informasi yang berkualitas dan tepat waktu, sebab ini akan mendukung akurasi
assessment dan pengukuran yang berkualitas guna pengambilan keputusan; (d)
Diversifikasi. Konsentrasi risiko berbahaya bagi bank; (e) Independensi, maksudnya
pengelolaan risiko harus berpijak pada independensi dalam hubungan antara
masing-masing unit di organisasi; (f) adanya pola keputusan yang disiplin.
Maksudnya sebaik apapun konsep, metodologi, alat dan teknik yang digunakan,
kualitas keputusan atas risiko tergantung pada bagaimana manajemen memutuskan
cara terbaik untuk menggunakan konsep, metodologi, alat dan teknik yang tersedia.
Oleh karena itu proses pengambilan keputusan harus mengacu pada suatu pola
baku yang diikuti oleh disiplin tinggi; (g) Perlu adanya penetapan limit dan
toleransi risiko perbankan; Penetapan limit akan memberikan kepastian maksimum
pengambil risiko dan mempersempit peluang untuk melakukan moral hazard (h)
Implementasi Internal kontrol pada setiap transaksi.
25

Kontrol dan pencegahan moral hazard juga bisa dilakukan oleh deposan. Hal
ini sering dikenal sebagai berlakunya disiplin pasar perbankan. Pada lembaga
perbankan, hutang menjadi sumber dana utama bagi bank yang terindikasi dari
rasio hutang terhadap modal bank umumnya relatif besar. Sebagian besar
penempatan dana bank dibiayai oleh dana pihak ketiga (tabungan, deposito
masyarakat). Dengan demikian peran hutang bagi bank sangat besar. Namun
demikian, penggunaan hutang oleh pemegang saham dan manajer bisa menghadapi
biaya tinggi karena penempatanya pada investasi berisiko tinggi atas beban pijak
deposan. Cebenoyan, Cooperman dan Register (1995) menyebutnya sebagai
hipotesis transfer kekayaan (wealth transfer hypothesis), Demsezt dan Saidenberg
(1997) menyebutnya sebagai moral hazard bank terhadap pihak deposan atau
lembaga penjamin simpanan (LPS). Secara teoritis, peningkatan hutang akan
berdampak pada kinerja yang tinggi karena adanya peran monitoring pihak
kreditur (deposan). Dalam konteks ini deposan-deposan yang memiliki akses
informasi, bisa mengevaluasi informasi untuk menjalankan tugasnya dengan
ancaman untuk menarik dananya pada bank-bank yang berisiko tinggi, atau tetap
bertahan namun dengan mensyaratkan bunga tinggi sebagai kompensasi premi
risiko pada bank-bank yang mengambil risiko tinggi. Namun demikian disiplin
pasar ini akan berlaku bila deposan memiliki informasi yang cukup dan
kemampuan informasi itu untuk menilai pengambilan risiko oleh bank. Oleh
karena itu pencegahan moral hazard perlu diikuti adanya transparansi informasi
dan edukasi perbankan bagi masyarakat perbankan.
Moral hazard pemegang saham terhadap deposan atau lembaga penjamin
simpanan bisa dicegah melalui kontrol yang dilakukan deposan atas dana yang
ditempatkan di bank tersebut, namun dengan adanya penjaminan simpanan maka
disiplin pasar dapat melemah karena sebagian kontrol telah diserahkan kepada
pihak lembaga penjamin simpanan. Kondisi ini akan semakin buruk ketika skema
penjaminan dilakukan secara penuh atau setidaknya terbatas namun dengan cover
26

jaminan yang relative tinggi yang disertai pembebanan premi flat bagi semua bank
untuk penjaminan deposito diterapkan, tidak membedakan antara bank sehat
dengan bank tidak sehat. Di sisi lain, pemegang saham mempunyai insentif untuk
mengambil risiko eksesif, karena kegagalan bank akan ditanggung lembaga
penjamin simpanan. Semestinya lembaga penjamin melakukan kontrol terhadap
bank, namun bila lembaga penjamin gagal mengontrol bank, maka berakibat pada
pembayar pajak yang menanggungnya (Kane, 1986). Oleh karenai itu agar kontrol
risiko oleh deposan dapat dilakukan, perlu adanya transparasi informasi dan
penurunan nilai penjaminan simpanan.
Kontrol dan pencegahan moral hazard oleh lembaga penjamin simpanan
bisa dilakukan melalui penetapan premi dan skema penjaminan yang berlaku.
Premi penjaminan simpanan yang efektif untuk mencegah moral hazard adalah
premi berbasis risiko. Penentuan premi yang mengkaitkan dengan tingkat
pengambilan risiko oleh bank. Dengan demikian premi tersebut lebih fair. Kita bisa
lihat pada gambar 1 bahwa antara bank A dan bank B seharusnya membayar premi
yang berbeda. Bank A tampak mengambil risiko yang lebih tinggi daripada bank B
sehingga bank A harus membayar premi yang lebih tinggi sesuai peningkatan risiko
yang diambil bank A. Dengan demikian premi berbasis risiko akan mendorong
pemegang saham dan manager untuk bertindak hati-hati dalam mengambil tingkat
risiko. Moral hazard akan muncul ketika lembaga penjaminan menetapkan tingkat
premi flat sepanjang periode penjaminan. Premi flat tidak membedakan tingkat
risiko yang diambil bank, sehingga baik bank yang berisiko tinggi maupun bank
berisiko rendah akan membayar premi yang sama.
27

Tingkat Premi berbasis risiko


Premi

Bank B Bank A
P Premi flat

0
Risiko Perbankan

Gambar 1. Keterkaitan Premi dan Tingkat Risiko Perbankan

Implementasi dari penerapan premi penjaminan simpanan berbasis risiko


adalah Lembaga Penjamin Simpanan perlu berkoordinasi dengan Bank Indonesia
untuk mendesain premi penjaminan berbasis risiko dengan merujuk pada penilaian
kesehatan bank. Penilaian kesehatan bank perlu dirumuskan kembali dalam desain
yang bisa mencerminkan posisi risiko terkait kewajiban pembayaran premi. Bank
Indonesia dan LPS bisa merumuskan beberapa kategori tingkat kesehatan bank.
Masing masing bank yang masuk kelompok kategori kesehatan bank tersebut bisa
dikenakan premi penjaminan yang berbeda. Semakin sehat suatu bank semakin
rendah premi penjaminannnya dan sebaliknya, sehingga ini bisa menjadi insentif
bagi bank untuk bekerja hati-hati dan tidak melakukan moral hazard.
Penerapan premi penjaminan simpanan perlu dibarangi dengan penurunan
jumlah nilai penjaminan simpanan. Penjaminan yang terlalu besar akan
melemahkan kontrol publik terhadap bank. Mereka sudah merasa dijamin sehingga
merasa aman dan kurang sensitif terhadap pengambilan risiko bank. Sebagai
contoh, bila LPS saat ini menetapkan nilai penjaminan Rp 2.000.000.000, rekening
yang ter-cover 99,8% dan dana yang tercover setara dengan 61%, maka bila
diturunkan ke Rp 500.000.000, rekening yang ter-cover masih 99,44% sedangkan
28

dana yang ter-cover masih 33% dari total dana perbankan per Januari 2011 sebesar
Rp 2.303 triliun (infobank, April 2011). Makna dari penurunan nilai penjaminan ini
adalah akan meningkatkan disiplin pasar, deposan pemilik dana sebesar 67% dari
dana perbankan ini yang tidak dijamin akan sensitif terhadap pengambilan risiko
perbankan. Mereka tidak dijamin, sehingga akan bertindak atas dasar informasi
untuk mengendalikan bank dari masalah moral hazard.
Persoalan bunga penjaminan simpanan, juga perlu ditinjau secara konsisten
setiap periodik tertentu dengan mengikuti perkembangan bunga pasar atau tingkat
inflasi. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tingginya bunga penjaminan yang
mengikuti perkembangan bunga pasar juga harus diwaspadai konsekuensinya.
Tingkat bunga penjaminan yang semakin tinggi bisa memicu terjadinya adverse
selection. Bank akan menempatkan sumber dana biaya tinggi itu pada kredit
berbunga tinggi. Dalam hal ini memang bank bisa mendasarkan asimetri informasi
yang tinggi pada kelompok debitur spekulatif (berkualitas buruk) dan kemudian
menetapkan bunga kredit tinggi. Tingkat bunga yang tinggi tersebut kemudian
dikenakan kepada semua calon debitur, akibatnya debitur yang sehat akan
menolaknya dan pada akhirnya penempatan kredit tersalurkan pada kelompok
debitur berkualitas rendah. Hal ini identik dengan bunga tinggi adalah risiko tinggi.
Apakah moral hazard bisa dihilangkan? Untuk menjelaskan ini kita bisa
meggunakan pendekatan Option Pricing Model (OPM) seperti pada gambar 2, yang
memandang provision of deposit insurance identik dengan put option untuk asset bank
yang membeli asuransi deposito. Dalam kerangka ini, lembaga asuransi deposito
mengenakan sejumlah premi kepada bank sebesar OP untuk menjamin simpanan
sebesar OD di bank. Jika lembaga perbankan adalah sehat dan nilai pasar asset bank
tersebut lebih besar dari OD, maka net worth positif dan ini berarti pemegang saham
dapat meneruskan bisnisnya. Lembaga asuransi deposito akan memastikan premi
yang dibayar oleh lembaga perbankan sebesar OP. Jika lembaga perbankan
bangkrut, kemungkinan karena portofolio asset yang buruk atau risiko portofolio,
29

sehingga nilai asset bank menurun dibawah OD (katakanlah menjadi OA), dan ini
berarti net worth menjadi negatif, maka pemegang saham bank akan meninggalkan
bank dan mengembalikan ke lembaga penjaminan deposito. Jika ini terjadi, maka
lembaga asuransi atau penjamin deposito akan membayar kepada deposan yang
diasuransikan sejumlah OD dan akan melikuidasi asset bank sebesar OA.
Akibatnya, lembaga penjamin akan menghadapi biaya kebangkrutan (negative net
worth) sama dengan (OD – OA) dikurangi premi asuransi yang dibayar oleh bank
sebesar OP.

Premi

Pembayaran kepada
Lembaga Asuransi
Deposito
P
A D
0
Nilai Aset Bank

Kerugian

Gambar 2. Asuransi Deposito dan Option Pricing Model

Dengan keberadaan deposit insurance yang dapat dipandang sebagai put


option, maka moral hazard tetap tidak dapat dihilangkan karena pemegang saham
dan manager memperoleh insentif untuk melakukan pengambilan risiko tinggi
karena ada yang menjamin simpanan nasabah. Pemegang saham bank memiliki
kebebasan untuk mengeksekusi opsi tersebut. Dalam hal ini pemegang saham
mengeksekusinya ketika tidak mampu mengembalikan dana deposan.
30

IV. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan
Moral hazard merupakan bentuk insentif yang memiliki agenda dan
tindakan tersembunyi yang berlawanan dengan etika bisnis dan hukum yang
berlaku karena untuk keuntungan dirinya. Biasanya pihak-pihak yang
berkepentingan tersebut bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi
kepentingan korporasi berdasarkan hubungan kerja, dalam lingkup usaha
korporasi perbankan, baik diri sendiri atau bersama-sama.
Moral hazard terjadi karena regulasi yang lemah, penjaminan simpanan,
penjaminan kredit, struktur kepemilikan yang terkonsentrasi, dan lemahnya
disiplin pasar.
Pada kondisi bank tidak sehat, terdapat kecenderungan akan memperkuat
insentif untuk melakukan moral hazard. Untuk mencegah moral hazard
tersebut, perlu penguatan regulasi, penurunan nilai penjaminan, penerapan
premi penjaminan berbasis risiko, perlu adanya pembatasan kepemilikan bank,
penguatan disiplin pasar dapat dilakukan melalui transparansi informasi dan
penurunan nilai penjaminan simpanan serta penerapan manajemen atau
pengawasan berbasis risiko.

2. Saran
Moral hazard terjadi karena adanya regulasi yang lemah, oleh karenanya
regulator moneter seperti Bank Indonesia hendaknya selalu memperkuat
regulasinya dengan senantiasa melakukan evaluasi dan penyempurnaan
peraturan perbankan Indonesia khusunya dalam sistem pengawasannya.
Pengawasan akan efektif diperlukan koordinasi antar lembaga baik otoritas
moneter dengan otoritas fiskal serta otoritas jasa keuangan. Oleh karena itu perlu
dikaji penyusunan perangkat hukum yang jelas dan tegas yang mengatur segala
aspek mengenai mekanisme koordinasi yang efektif. Demikian juga mengatur
31

mengenai standar dan arah atau keselarasan pengaturan yang kondusif bagi
perbankan dan lembaga-lembaga bukan bank termasuk Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS).
Pada kenyataannya moral hazard sulit dihilangkan. Karena moral hazard
sulit dihilangkan maka salah satu cara untuk menurunkannya adalah dengan
pengawaasan dari nasabah atau deposan. Secara teoritis bahwa semakin
diperkecil nilai penjaminan semakin sensitif deposan mengawasi uang yang ada
di bank karena resikonya semakin besar. Oleh karena itu LPS sebagai penjamin
simpanan dapat menurunkan penjaminan simpanannya atau menaikan dan atau
menurunkan yang dipandang optimal sesuai kondisi ekonomi.
32

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Ronald C. and David M. Reeb, 2003, “Founding-Family Ownership and Firm
Performance: Evidence from the S&P 500,” Journal of Finance 58, 1301-1328.

Anderson, RC and Donal R. Fraser , 2000, Corporate Control, Bank Risk and the health
of banking industry, Journal of Banking and Finance 24 (2000),p.1383-1398

Anderson, CW, A.K. Makhija, M. Spiro, 1997, Foreign Ownership and efficiency, journal
of Money, Credit and Banking 33(4):926-54, pp.219-239

Anderson, CW and A.K. Makhija, 1999, Deregulation and Agency cost of debt:
Evidence from Japan, Journal of Financial Economics 51, 309-339

Cebenoyan, A. Sinan., Elizabeth S. Cooperman and Charles A. Register, 1995,


Deregulation, Reregulation, Equity Ownership, and S&L Risk-Taking, Financial
Management, Vol, 24.

Caprio, G., L. Laeven, and R. Levine. 2007. “Ownership and Bank Valuation.” Journal of
Financial Intermediation 16, 584-617.

Dewatripont, M. and J. Tirole, 1994, The Prudential Regulation of Banks (MIT Press,
Cambridge, MA).

Demirguc-Kunt, Asli and Enrica Detragiache, 1999, “Does Deposit Insurance Increase
Banking System Stability?: An Empirical Investigation,” World Bank Policy
Research Working Paper No. 2247 (Washington: World Bank).

Demirgüç-Kunt, A. and H. Huizinga (1999) . “Market discipline and financial safety net
design.” Policy Research Working Paper No. 2183. World Bank.

Demirgüç-Kunt, Asli and Edward Kane (2002). "Deposit Insurance Around the Globe:
Where Does it Work? " Journal of Economic Perspectives, 16:2, 175-195.

Demirguc-Kunt, A. and E. Detragiache, 2002, “Does Deposit Insurance Increase Banking


System Stability? An Empirical Investigation,” Journal of Monetary Economics 49,
1373-1406.

Demirgüç-Kunt, Asli., and Harry Huizinga, 2003. Market discipline and deposit
insurance, Journal of Monetary Economics, forthcoming.
33

Demirguc-Kunt, A., E. Kane, and L. Laeven, 2008, Deposit Insurance around the World:
Issues of Design and Implementation, Cambridge, MIT Press.

Demsezt, Rebecca S, Marc R. Saidenberg & Philip E. Strahan, 1997, Agency Problem and
Risk Taking at banks, Banking Studies Departement, Federal Reserve Bank of
New York.

Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3.
hal. 305-360.

Koehn, M. and A. Santomero, 1980, “Regulation of Bank Capital and Portfolio Risk,”
Journal of Finance 35, 1235-1244.

Krugman, P., 1999, What happened to Asia?, Conference paper in Japan, South Western
Publishing.

Luiz A. Pereira, Silva & Masaru Yoshitomi, 2001, Can “Moral Hazard” Explain the
Asians Crises?, ADB Institute, Tokyo

Marciano, D, 2008, Pengaruh Asimetri Informasi, Moral hazard dan Struktur


Pendanaan dalam penentuan harga pinjaman korporasi dalam bentuk US Dollar:
Studi Empiris Indonesia periode 1990 -1997, Disertasi S3 UGM, Tidak terbit.

Mishkin, F. and J. Hahm, (2000) “Causes of the Korean Financial Crisis: Lessons for
Policy,” NBER Working Paper

Mishkin, S. Frederic., 2001, Prudential Supervision Whal Works and What Doesn’t, NBER
Conference Report, The University of Chicago Press, Chicago

Nasution, Anwar, 2003, dalam makalahnya yang berjudul “Masalah-masalah Sistem


Keuangan dan Perbankan Indonesia.”

Prowse, S, 1995, Alternative Methods of Corporate Control in Commercial Banks,


Federal Reserve Bank of Dallas Economic Review, Third Quarter, p. 24-36.

Prowse, S., 1997, Corporate Control in Commercial Banks, The Journal of Financial
Research, Vol XX, p. 509-527.

Prowsen, S, 1998, Corporate Governance, Emerging Issues and Lesson from East Asia,
http://www.worldbank.org
34

Saunders, A., E. Strock, N.G. Travlos, 1990, “Ownership Structure, Deregulation, and
Bank Risk Taking”, Journal of Finance 45, 643-654.

Saunders, A., F. Strock, and N. Travlos, 1990. Ownership structure, deregulation, and
bank risk-taking, Journal of Finance 45, 643-654.

Saunder, Anthony dan Marcia Millon Cornett, 2000, 2008, Financial Institutions
Management: A Risk Management Approach, McGraw Hill, Toronto,
International Edition.

Scott, William R. (2000). Financial Accounting Theory. Second edition. Canada: Prentice
Hall.
Sleifer, A. and R.W. Vishny, 1997, A Survey of Corporate Governance, The Journal
Finance, 737-782

Suriasumantri, S., Jujun, 2009. “Ilmu dalam Perspektif,” Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta

Taswan, 2010, Manajemen Risiko Perbankan, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi


Unisbank, Semarang.

Taswan, 2010, Manajemen Perbankan: Konsep, Teknik & Aplikasi, UPP STIM YKPN,
Yogyakarta

Wiwattanakantang, Yupana, 1999, An Empirical Study on the Determinants of Capital


Structure of Thai Firms, Pasific Finance Basin Journal, 371-403

http://biru-hati.blogspot.com/2008/10/moral-hazard-krisis-keuangan-global.html

http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian
+Indonesia/lpi_2008.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Krisis_ekonomi_2008

You might also like