You are on page 1of 13

53

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Rumah sakit Byangkara adalah Rumah Sakit POLRI yang terletak di

Jalan Jenderal Sudirman KM 4,5 Palembang, Sumatera Selatan. Visi Rumah

Sakit Bhayangkara yaitu Terwujudnya Pelayanan Prima di Bidang Kedokteran

Kepolisian Serta Sebagai Pusat Pelayanan Kesehatan Mandiri. Sejarah singkat

keberadaan Rumah Sakit Bhayangkara Palembang berawal dari keinginan para

anggota Polri, PNS serta Bhayangkari untuk memiliki balai pengobatan sendiri

yang kemudian diberi nama “Balai Pengobatan Tri Sakti” dan pada tanggal 22

Juni 1989 diresmikan menjadi Rumah Sakit Polri, kemudian pada tahun 2000

berubah menjadi Rumah Sakit Bhayangkara TK. IV Polda Sumatera Bagian

Selatan. Pada bulan Oktober 2001 sesuai keputusan Kapolri No.Pol:

Skep/1549/X/2001, rumah sakit Bhayangkara TK. IV Polda Sumatera Selatan

diresmikan menjadi Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumatera Selatan TK. III.

B. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan

response time pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan kepuasan

pasien di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang. Pengambilan data dilakukan

pada tanggal 25 April-2 Mei 2017 dengan total 93 sampel. Data primer dalam

penelitian ini diperoleh dengan cara observasi response time dan hasil

kuesioner yang diberikan kepada keluarga pasien. Hasil penelitian ini adalah

sebagai berikut :
54

1. Analisis Univariat

a. Distribusi Frekuensi Lama Response Time

Tabel 4.1
Rata-Rata Lama Response Time Pelayanan di IGD RS
Bhayangkara Palembang
No. Response Time Frekuensi Persentase
1. Terstandarisasi 73 78,5%
2. Tidak Terstandarisasi 20 21,5%
Total 93 100%
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa 78% response time pelayanan

instalasi gawat darurat telah terstandarisasi.

b. Distribusi Frekuensi Kepuasan Pasien

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Kepuasan Pasien di IGD RS Bhayangkara Palembang

No. Kepuasan Frekuensi Persentase


1. Puas 80 86%
2. Tidak Puas 13 14%
Total 93 100%
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa 86% responden dengan kategori

puas lebih banyak yaitu berjumlah 80 responden.

2. Analisa Bivariat

Uji statistik hubungan response time pelayanan Instalasi Gawat Darurat

(IGD) dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang adalah

sebagai berikut :
55

Tabel 4.3
Hubungan Response Time Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) Dengan
Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang

Variabel Independen Variabel Dependen p value


Response Time Kepuasan Pasien 0,006

Berdasarkan tabel 4.3 diatas diketahui bahwa hasil analisis korelasi chi

square pada fisher exact didapatkan p value 0,006. Hal tersebut menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara response time pelayanan Instalasi Gawat Darurat

(IGD) dengan kepuasan pasien di RS Bhayangkara Palembang.

C. Pembahasan

1. Response Time

Pasien yang datang ke IGD RS Bhayangkara adalah pasien dengan

berbagai macam kondisi dan keluhan seperti pasien dengan benda asing

ditelinga dan hidung, diare dan gastroenteritis, kecelakaan, sesak nafas serta

ibu hamil. Selama pengambilan data pasien yang paling banyak datang ke

IGD RS Bhayangkara adalah pasien diare dan pasien gastroenteritis oleh

penyebab infeksi tertentu. Rumah sakit Bhayangkara Palembang dalam

menerapkan indikator pelayanan IGD menerapkan standar dari Kemenkes

RI, yaitu response time pelayanan IGD ≤ 5 menit.

Response time yang terstandarisasi didukung oleh berbagai macam hal,

salah satunya adalah sumber daya manusia (SDM) di IGD. Di IGD RS

Bhayangkara pada shift tertentu beberapa perawat dan dokter dengan cepat
56

tanggap bekerja, melayani dan memberi tindakan terhadap pasien, namun

ada juga beberapa perawat dan dokter yang cenderung lambat dalam

menangani pasien. Sumber daya manusia (SDM) yang kompeten

mendukung tercapainya response time yang terstandarisasi yaitu response

time pelayanan ≤5 menit (Kemenkes, 2011). Kualitas sumber daya manusia

di IGD, misalnya perawat dan dokter dapat ditingkatkan dengan mengikuti

pelatihan untuk menambah kemampuan dalam penanganan pasien di IGD.

Di IGD RS Bhayangkara sebagian tenaga medis sudah pernah mengikuti

pelatihan kegawatdaruratan, namun ada juga yang belum pernah mengikuti

pelatihan kegawatdaruratan. Pelatihan yang dapat diikuti seperti BHD,

BLS, BTCLS, PPGD, GELS, ATLS dan yang lainnya.

Response time yang terstandarisasi juga didukung oleh ketersediaan

tenaga medis ditempat dan tenaga non medis yang siap membantu. Pada

saat observasi di IGD RS Bhayangkara peneliti mengamati bahwa pasien

yang datang dengan jumlah tenaga medis yang cukup dan tenaga non medis

yang berada ditempat memiliki peluang mendapatkan tindakan lebih cepat

dibandingkan pasien yang datang ketika ada beberapa tenaga medis yang

tidak ditempat. Tenaga medis yang tidak ditempat saat pasien datang

menyebabkan pasien harus menunggu untuk mendapatkan pelayanan. Hal

ini sejalan dengan pendapat Timporok (2015), menyatakan bahwa dengan

tenaga kesehatan yang cukup memiliki peluang response time baik

dibandingkan tenaga kesehatan tidak cukup.


57

Dalam penelitian ini terdapat perbedaan response time antara pasien

dengan tindakan awal yang sama. Misalnya pada kasus pasien sesak nafas

atau gangguan pernafasan, tenaga medis dan non medis di IGD langsung

dengan cepat menangani dan memberi tindakan pada pasien tersebut

sehingga response time pelayanan terstandarisasi. Hal ini berbeda dengan

pasien false emergency yang datang ke IGD. Pasien false emergency adalah

pasien yang datang dengan keadaan tidak gawat, tidak darurat dan tidak

membutuhkan pemeriksaan segera. Namun pasien false emergency tetap

mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar dengan tidak mengurangi

pelayanan terhadap pasien true emergency (Fitrianti, 2016). Pasien false

emergency di IGD RS Bhayangkara tetap mendapatkan pelayanan dari

tenaga medis, namun peneliti mengamati bahwa waktu response time

pelayanan pada pasien false emergency lebih lama dibandingkan pasien true

emergency.

Berdasarkan penjelasan tersebut peneliti mengamati bahwa tenaga

medis melihat tingkat kegawatdaruratan pasien berdasarkan kategori triase,

yaitu mendahulukan pelayanan untuk pasien yang terancam jiwa atau

beresiko kecacatan. IGD RS Bhayangkara dalam menerapkan triase

menggunakan standar operasional prosedur triase RS Bhayangkara yaitu

Glascow Coma Scale, pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik

sesuai dengan keadaan pasien. Sistem triase tersebut berbeda dengan

standar initial assessment and treatment for emergency pada umumnya

yaitu ABC (Airway, Breathing, Circulation).


58

Selanjutnya untuk mencapai response time yang cepat dan tepat adalah

dengan memenuhi sarana dan pra sarana. Selain alat-alat medis yang

memadai, jumlah stretcher dan kursi roda untuk memobilisasi pasien juga

dibutuhkan di IGD. IGD RS Bhayangkara mempunyai 5 buah tempat tidur,

1 buah stretcher dan 4 kursi roda. Untuk penanganan pasien dalam kondisi

kunjungan sedikit jumlah tersebut dirasa cukup untuk memobilisasi pasien.

Namun, pada saat pasien datang banyak dalam waktu bersamaan, beberapa

pasien terpaksa harus menunggu atau duduk di kursi roda untuk

mendapatkan tempat tidur sehingga response time menjadi tidak

terstandarisasi. Menurut peneliti, ketersediaan bed atau tempat tidur,

penempatan stretcher atau kursi roda yang mudah dijangkau merupakan

faktor yang mempengaruhi response time pelayanan IGD. Hal ini sesuai

dengan penelitian Sabriyanti (2012), yang menyatakan bahwa ada

hubungan antara ketersediaan stretcher dengan response time pasien.

Kegiatan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di IGD dan

sarana pra sarana juga perlu didukung adanya sistem manajemen yang baik

untuk mencapai response time yang terstandarisasi. Pasien yang datang ke

IGD RS Bhayangkara dalam keadaan gawat darurat langsung mendapatkan

penanganan dari petugas medis yang berada di IGD, setelah pasien diberi

penangan keluarga pasien baru diminta menyelesaikan proses administrasi

dan pembiayaan. Hal ini berbeda dengan pendapat Martino (2013), bahwa

masih adanya penundaan pelayanan pasien gawat darurat yang dilakukan

oleh pihak rumah sakit karena alasan administrasi dan pembiayaan. Pasien
59

seringkali harus menunggu proses administrasi selesai baru mendapatkan

pelayanan.

Berdasarkan dari observasi yang peneliti lakukan, meskipun response

time di IGD 78,5% terstandarisasi tetapi pada waktu tertentu akan terjadi

overload di IGD karena pasien yang datang dalam waktu bersamaan.

Sehingga ada beberapa pasien yang harus menunggu dikursi roda atau di

ruang tunggu karena stretcher dan kursi roda telah habis terpakai. Waktu

kunjungan pasien yang ramai biasanya pada sore hari pukul 17.30-21.00

WIB.

2. Kepuasan Pasien

Berdasarkan kuesioner kepuasan pasien di IGD RS Bhayangkara

didapatkan responden dengan indeks kepuasan terendah adalah 60%

berjumlah dua orang sementara responden dengan indeks kepuasan

tertinggi yaitu 99% berjumlah satu orang. IGD rumah sakit Bhayangkara

dalam mencapai indeks kepuasan pelanggan mengacu pada Kemenkes 2009

yaitu ≥ 70% pasien puas terhadap pelayanan yang diberikan.

Berdasarkan kuesioner penelitian dimensi kepuasan yang memiliki skor

tertinggi adalah emphaty yaitu karyawan berusaha mengerti dan

mengetahui kebutuhan pelanggan secara individual. Dalam hal ini tenaga

medis mampu menempatkan dirinya pada pelanggan. Hal tersebut dapat

berupa kemudahan pegawai dalam melakukan komunikasi yang baik,

memberikan perhatian yang tulus terhadap pelanggan serta mampu

memahami kebutuhan pelanggan. Dimensi emphaty menunjukkan derajat


60

perhatian yang diberikan kepada setiap pelanggan dan merefleksikan

kemampuan pekerja untuk memahami perasaan pelanggan. Widodo (2013),

menyatakan bahwa pelatihan-pelatihan dapat menunjang karyawan untuk

tampil atau bersikap profesional, ramah dan peduli kepada pasien sehingga

akan memberikan kesan positif sehingga pasien merasa puas terhadap

pelayanan yang diberikan.

Penjelasan diatas sesuai dengan observasi peneliti selama di IGD RS

Bhayangkara, peneliti mengamati bahwa tenaga medis baik dokter atau

perawat memberikan perhatian, keseriusan, dan terlibat dalam berbagai

masalah yang dialami pasien. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

responden pada saat mengisi kuesioner, keluarga pasien menyatakan bahwa

perawat memperhatikan pasien dengan sungguh-sungguh sehingga pasien

dan keluarga pasien merasa menjadi orang penting. Responden juga

menyatakan bahwa tenaga medis bersedia menanggapi keluhan pasien,

tenaga medis mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan

pelayanan sehingga pasien dan keluarga merasa tertolong menghadapi

berbagai kesulitan.

Hasil kuesioner menunjukkan kepuasan pasien rata-rata memiliki skor

terendah pada dimensi tangible yaitu kenyataan. Tangible merupakan bukti

langsung atau berwujud. Yang dimaksud bukti langsung dan kemampuan

dalam hal ini meliputi fasilitas fisik, kebersihan, ruangan rapi,

perlengkapan, lingkungan, penampilan pegawai dan alat komunikasi.

Menurut Irawan (2008), karena suatu pelayanan tidak bisa dilihat, tidak bisa
61

dicium dan diraba maka aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran

terhadap pelayanan.

Responden dengan Indeks kepuasan ≤70% rata-rata menyatakan tidak

puas terhadap kelengkapan peralatan IGD dan ketersediaan obat-obatan di

IGD. Hal ini terjadi karena pasien harus mencari obat-obatan tertentu

sendiri diluar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat responden pada saat

mengisi kuesioner, keluarga pasien menyatakan bahwa obat-obatan yang

disediakan di IGD RS Bhayangkara kurang lengkap. IGD RS Bhayangkara

hanya menyediakan obat-obatan yang ditanggung BPJS, Jamkesmas,

asuransi lain, atau obat-obatan biasa.

Kualitas sumber daya manusia di IGD RS Bhayangkara Palembang

memberikan manfaat yang sangat besar bagi kepuasan pasien. Hal ini

dibuktikan dengan penilaian tentang sikap tenaga medis, kemampuan, dan

profesional petugas IGD lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian

terhadap kondisi ruang maupun fasilitas yang terdapat di IGD.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner metode servqual

yang berisi tingkat harapan dan kenyataan yang dirasakan responden

terhadap pelayanan yang diberikan di IGD. Keluarga pasien mengisi

kuesioner dengan cara membandingkan antara harapan yang diinginkan

sebelum mendapatkan pelayanan di IGD dengan kenyataan yang dialami

setelah dilayani di IGD RS Bhayangkara. Penilaian ini dilakukan sebelum

keluarga pasien meninggalkan IGD sehingga belum mendapatkan

pelayanan di bagian lain rumah sakit setelah dari IGD.


62

Penggunaan kuesioner metode servqual ini sesuai dengan teori Pohan

(2006), yang menyatakan bahwa kepuasan pasien adalah suatu tingkat

perasaan pasien yang timbul akibat kinerja layanan yang diperolehnya

setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkannya. Selain itu

juga mendukung pendapat Kotler dan Keller (2009), yang menyatakan

kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang

timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (hasil)

terhadap ekspektasi mereka.

3. Hubungan Response Time Pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD)

dengan Kepuasan Pasien

Uji statistik dengan menggunakan chi square pada fisher exact

mengenai hubungan response time pelayanan Instalasi Gawat Darurat

(IGD) dengan kepuasan pasien di RS Bhayangkara diperoleh hasil terdapat

hubungan antara response time pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD)

dengan kepuasan pasien di RS Bhayangkara dengan p value 0,006.

Upaya pelayanan untuk memberikan kepuasan terhadap pasien dapat

diukur mealui lima dimensi utama yaitu kemampuan dalam hal

responsiveness (cepat tanggap), reliability (pelayanan tepat waktu),

assurance (sikap dalam memberikan pelayanan), emphaty (kepedulian dan

perhatian dalam memberikan pelayanan) dan tangible (mutu jasa

pelayanan) dari tenaga kesehatan kepada pasien. Response Time adalah

kecepatan penanganan pasien, lama waktu yang dihitung sejak pasien


63

datang sampai diberikan penanganan oleh tenaga medis IGD (Kemenkes,

2011).

Response time yang terstandarisasi dapat menimbulkan rasa puas

terhadap pelayanan yang dirasakan oleh pasien dan keluarga pasien.

Menurut Nugroho (2015), pasien akan puas apabila pelayanan yang

diberikan tenaga medis cepat sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama.

Hal ini terbukti dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar responden

dengan response time terstandarisasi merasakan puas terhadap pelayanan

yang diberikan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian

Kusumaniwahyu (2016) dan Widodo (2016), yang menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara response time dengan kepuasan pasien,

Pada saat sore atau malam hari tidak semua pasien yang datang ke IGD

merupakan kasus true emergency yang membutuhkan penanganan segera

secara cepat. Sehingga kecepatan bukan hal utama yang diinginkan

melainkan keramahan dan kemampuan profesional petugas IGD dalam

memberikan pelayanan. Pendapat diatas sejalan dengan hasil penelitian

bahwa pada pelayanan response time yang tidak terstandarisasi terdapat tiga

belas responden yang tetap merasa puas dengan pelayanan IGD. Hal

tersebut didukung oleh penelitian Nizmayanun (2016), yang menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara keramahan petugas dengan kepuasan

pasien.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun response time

pelayanan IGD sebagian besar sudah terstandarisasi tetapi masih ada


64

responden yang merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan.

Berdasarkan observasi masih ada perawat yang merespon pasien lambat

serta keterbatasan sarana dan prasarana IGD sehingga pada saat melayani

pasien tenaga medis lebih memprioritaskan pasien dengan kondisi darurat

sehingga pelayanan yang lain menjadi lambat karena harus menunggu

untuk mendapatkan pelayanan.

Menurut peneliti, pasien dan keluarga pasien lebih mengutamakan

keramahan petugas daripada kecepatan, terlebih jika kecepatan yang

ditunjukkan memberikan kesan tergesa-gesa, kurang peduli, dan tidak teliti

terhadap keluhan pasien. Kualitas pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan

sesuai harapan pasien melalui upaya perbaikan menyangkut fasilitas,

prosedur pelayanan, dan aspek teknis lainnya. Oleh sebab itu, peran tenaga

medis sangat penting karena dapat menentukan tingkat kepuasan

pelanggan.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang telah dilaksanakan ini tidak terlepas dari keterbatasan.

Hal yang menjadi hambatan serta keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Observasi yang dilakukan belum maksimal karena peneliti hanya bisa

melakukan observasi sekitar 12 jam dalam sehari, selebihnya peneliti

menyerahkan hasil observasi kepada petugas medis di IGD RS

Bhayangkara sehingga tidak semua response time dan pengisian kuesioner

dalam 24 jam dapat diamati secara langsung oleh peneliti.


65

2. Data kuesioner yang diperoleh dipengaruhi kejujuran responden, terdapat

beberapa responden yang dibantu oleh orang lain yang menemani mengisi

kuesioner sehingga dapat menyebabkan bias informasi dalam penelitian.

You might also like