Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian.
Asma (Bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan nafas yang
ditandai oleh obstruksi aliran udara nafas(bronchospasme,edema mukosa jalan
nafas,dan peningkatan produksi mukus)(J. p. Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017)
Keparahan asma diklasifikasikan sebagai berikut(Amelia Kurniati, SKp, Yanny
Trisyani, SKp, MN, & Siwi Ikaristi Maria Theresia, Ns, 2018)
1. Intermiten
- Adanya gejala dua kali seminggu atau kurang dan gejala pada malam hari dua
kali sebulan atau kurang
- Gejala yang timbul tidak mengganggu aktifitas normal.
- Menggunakan Short-acting beta-antagonis (SABA) inhaler dua kali seminggu
atau kurang
2. Mild Persistent
- Ada gejala lebih dari dua kali seminggu tapi kurang dari sekali sehari dengan
gejala pada malam hari tiga sampai empat kali dalam sebulan.
- Adanya keterbatasan pada aktifitas normal karena gejala yang timbul
- Menggunkan SABA inhaler lebih dari dua hari dalam seminggu namun tidak
setiap hari
3. Moderate persistent
- Adanya gejala sehari – hari dan gejala pada malam hari lebih dari sekali
seminggu tetapi tidak setiap hari
- Adanya beberapa keterbatasan pada aktifitas normal karena gejala yang
timbul.
- Penggunaan SABA inhaler setiap hari
4. Severe Persistent
- Adanya gejala yang terus – menerus disiang hari dengan gejala yang sering
pada malam hari, sering terjadi sehari – hari
- Adanya keterbatasan yang ekstrim pada aktivitas normal karena gejala yang
timbul
- Kondisi yang buruk hingga tidak dapat mengontrol gejala.
B. Penyebab
Pemicu eksaserbasi asma yang umum antara lain :
- Alergi terhadap makanan atau inhalants (seperti : serbuk sari, lateks, jamur,
bulu binatang )
- Olahraga
- Terpapar dingin
- Menghisap tembakau
- Infeksi saluran nafas
- Polusi udara
- Sinusitis, rhinitis
- Obat – obatan, terutama aspirin
- Bahan tambahan pada makanan
Subyektif :
Klien merasa sukar bernapas, sesak, dan anoreksia
Psikososial :
Klien cemas, takut, dan mudah tersinggung
Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya
4. Patofisiologi
Kelainan utama dari asma diduga disebabkan karena adanya hipersensitifitas dari cabang-cabang
bronkus.Yang sering terserang adalah bronkus yang berukuran 3-5 mm dengan distribusi yang luas.
Pada individu-individu yang rentan, lapisan dari cabang-cabang bronkhial tersebut akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan yang diberikan. Kerentanan dari seorang individu kemungkinan diturunkan
secara genetik.Hal ini disebabkan karena adanya perubahan terhadap atau rangsangan yang berlebih-
lebihan. Walaupun asma pada prinsipnya merupakan kelainan pada bagian jalan udara, akan tetapi dapat
pula menyebabkan terjadinya gangguan pada bagian fungsionil paru (Rab, 1992). Baik orang normal
maupun penderita asma, bernapas dengan udara yang berkualitas dan komposisinya sama. Udara
umumnya mengandung 3 juta partikel/mm. Partikel-partikel itu terdiri dari debu, tungau, bulu-bulu
bintang, bakteri, jamur, virus dan lain-lainnya.Oleh karena adanya ekspos dari partikel-partikel ini
secara terus-menerus, maka timbul mekanisme pertahanan dari tubuh, untuk melindungi diri dari
partikel-partikel asing.Partikel yang berukuran lebih dari 10 um, diendapkan dimukosa hidung dan
pharyng bagian atas. Partikel yang berukuran 0,3 sampai dengan 2 umsampai di alveolus dapat menetap
di mukosa dan di fagositosis oleh sel-sel limfosit. Partikel yang berukuran 2 umsampai dengan 10um,
akan diendapkan diberbagai tempat di bronki dan bronkhiolus terminalis (Weiss, 1975, dikutip dari
Mahdi, 1999).Hidung dan nasopharyng mempunyai fungsi untuk memproteksi saluran nafas
trakeabronkial dan alveoli dengan cara mekanis, menyaring partikel-partikel besar dan menyesuaikan
suhu dan humiditas dari udara yang masuk selama respirasi, karena banyakmengandung pembuluh
darah. Mulut dan pharyng juga dapat berfungsi sebagai ”air condition”.
Partikel-partikel asing yang masuk bersama udara inspirasi ke dalam trakea dan bronkus,
terperangkap dalam lapisan di atas mukosa yang lengket sekali seperti gel (sol) (Bookman, 1984 dikutip
dari Mahdi, 1999).Rambut getar dari sel epitel saluran napas bergetar hingga partikel tersebut terdorong
keluar sampai ke daerah subglotis, yang seterusnya dikeluarkan dengan batuk. Banyak faktor yang
mempengaruhi produksi dan ciri dari mukus tersebut, karena aktivitas dan kelenjar mukus dirangsang
oleh aksi saraf kolinergik dan juga mediator farmakologik seperti histamin.Ini dapat disebabkan oleh
stimilasin vagus, zat-zat kimia, maupun iritasi mekanis (Knapp, 1976 dikutip dariMahdi,
1999).Mekanisme pertahanan lainnya terletak di dalam alveoli. Sel-sel alveoli ditutup oleh selaput tipis,
yang berbentuk seperti film dan bergerak kearah bronkiolus, selaput ini membantu membersihkan
alveoli, terhadap partikel-partikel yang masuk. Adakalanya partikel tersebut tinggal di dalam alveoli dan
menembus dinding alveoli sampai jaringan interstitial, disini terjadi fagositosis oleh histiosit. Bila
partikel tersebut tidak dapat difagositer, maka akan timbul reaksi radang, fibrosis paru, atau reaksi alergi
seperti alveolotis alergika (Weiss, 1975, dikutip dari Mahdi, 1999).
5. Komplikasi
a. Atelaktasis
b. Hipoksemia
c. Pneumothoraks Ventil
d. Emfisema
e. Gagal napas.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan
didapati :
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas
yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan
menurun pada waktu bebas dari serangan.
b. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.Pada waktu serangan menunjukan gambaran
hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
2. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akansemakin bertambah.
3. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
4. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
5. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat
bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
c. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang
positif pada asma.
d. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan
disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
1. perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation
2. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch
block).
3. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya
depresi segmen ST negative.
e. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma
tidak menyeluruh pada paru-paru.
f. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.Benyak
penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
6. Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan obstruktif jalan
napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam perawatan, sedapat mungkin dirawat oleh
dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan secara tepat berpedoman secara
klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai respon pengobatan apakah membaik atau justru
memburuk. Perburukan mungkin saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi
maupun sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks,
pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya. Efek samping obat
yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter yang merawat harus mampu
dengan akurat menentukan kapan penderita meski dikirim ke unit perawatan intensif. Penderita status
asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai
berikut :
1. Pemberian terapi oksigen
Dilanjutkan Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia. Oksigen aliran
rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran
oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai-nilai gas darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan
85 mmHg. Pemberian sedative merupakan kontraindikasi.
Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian dapat diperjarang
pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas. Sebagian alternative lain dapat
diberikan dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi
perburukan, diberikan drips salbutamol atau terbutalin.
3. Aminofilin Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5- 0,9 mg/kg BB / jam. Pemberian per
drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin
direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung, atau bila penderita menggunakan
simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik
pemberian aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus
diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena terjadi
gejala toksik yang berbahaya.
4. Kortikosteroid Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2-8 jam tergantung beratnya
keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah hidrokortison 200-400 mg dengan dosis
keseluruhan 1- 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain dapat juga diberikan sebagai alternative adalah
triamsiolon 40- 80 mg, dexamethason / betamethason 5-10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid
intravena dapat diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30-60 mg/ hari.
5. Antikolonergik Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan agonis β2secara inhalasi nebulisasi terutama
penambahan - penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian
agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.
6. Pengobatan lainnya
a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga
pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat dapat
diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic diberikan
Natrium Bikarbonat.
b. Mukolitik dan ekpetorans Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi
jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat diberikan,
demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.
c. Fisioterapi dada Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya
dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab utama eksaserbasi akut yang
terjadi.
d. Antibiotic Diberikan kalau jelas ada tanda- tanda infeksi seperti demam, sputum purulent
dengan neutrofil leukositosis.
e. Sedasi dan antihistamin Obat - obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang
perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma
akut berat malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan
bronkus.
7. Penatalaksanaan lanjutan Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat
terhadap respon pengobatan dengan menilai parameter klinis seperti sesak napas, bising mengi,
frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu napas. APE, fotothoraks, AGD, kadar serum
aminofilin, kadar kalium dan gula darah diperiksa sebagai dasar tindakan selanjutnya. Indikasi
perawatan intensif Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif
yangdiberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke unit perawatan intensif.
Adapun penderita yang memerlukan perawatan intensif yaitu
a. Terdapat tanda- tanda kelelahan
b. Gelisah, bingung, kesadaran menurun
c. Terjadi henti napas ( PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg ) sesudah pemberian
oksigen.
8. Penatalaksanaan lanjutan diruangan Pada penderita yang telah menunjukkan respon yang baik
terhadap pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari. Pada 2-5 hari pertama
semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral dan aminofilin oral serta agonis β2
dengan inhaler dosis terukur 6 - 8 x/ hari atau preparat oral 3- 4 x/hari. Pada hari 5-10, steroid
oral ( predmison, predmisolon ) diturunkan, obat agonis β2 dan aminofilin diteruskan ( Nugroho,
2016 )
A. Definisi
Glaukoma adalah kelompok gangguan yang ditandai oleh kenaikan tekanan intraokuler yang
menyebabkan kerussakan pada nervus optikus dan struktur intraokuler lain.bila tidak segera ditangani,
gangguan ini menyebabkan kehilangan penglihatan yang terjadi berangsur-angsur, dan akhirnya
kebutaan.glaukoma dialami dlam beberapa bentuk,sudut terbuka yang kronis(primer), sudut tertutup yang
akut, congenital(diturunkan sebagai sifata utosom resesif) dan sekunder akibat penyebab lain. Glaucoma
sudut terbuka yang kronis biasanya terjadi bilateral dengan awitan yang insidus dan perjalanan penyakit
yang progresif lambat. Glaucoma sudut tetutup yang akut secara khas memiliki awitan yang cepat dan
merupakan keadaan kedaruratan oftalmologi. Jika tidak ditangani segera, bentuk glaucoma yang akut ini
akan menyebabkan kebutaan dalam tempo tiga hingga lima hari (J. P. dk. Kowalak, 2017)
B. Etiologi
Faktor resiko glaucoma sudut terbuka yang kronis meliputi:
1. Genetic
2. Hipertensi
3. Diabetes mellitus
4. Penuaan
5. Etnis kulit hitam
6. Myopia berat
Factor prespitasi glaucoma sudut terututp yang akut meliputi :
1. Midriasis (dilatasi pupil yang eksterm) yang ditimbulkan obat
2. Lonjakan emosi yang dapat menimbulkan hipertensi.
Glaukoma sekunder dapat terajdi karena :
1. Uveitis
2. Trauma
3. Obat-obat golongan steroid
4. Diabetes
5. Infeksi
6. Pembedahan
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis glaucoma sudut terbuka yang kronis secara khas terjadi bilateral meliputi :
1. Rasa pegal yang ringan pada kedua mata akibat kenaikan tekanan intraokuler
2. Kehilangan penglihatan perifer akibat kompresi sel-sel batang pada retina dan serabut saraf.
3. Penurunanketajaman visus khususnya pada malam hari yang tidak bias dikoreksi dengan kacamata.
Manifestasi klinis glaucoma sudut tertutup yang kaut memiliki awitan yang cepat, biasanya terjadi
unilateral dan meliputi:
1. Inflamasi
2. Mata yang merah dan terasa sangat nyeri akibat kenaikan mendadak tekanan intraokuler
3. Pelebaran pupil yang sedang dan tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya.
4. Kornea yang keruh akibat kompresi pada komponen intraokuler.
5. Penglihatan yang kaur dan penurunan ketajaman penglihatan akibat gangguan hantran neuron
6. Fotofobia akibat tekanan intraokuler yang abnormal.
7. Bayangan halo disekitar cahaya akibat edema kornea
8. Mual dan muntah yang disebabkan oleh kenaikan tekanan intraokuler.
D. Patofisiologi
Glaukoma sudut terbuka yang kronis terjaid karena preduksi berlebihan humor akueus atau
obstruksi saluran keluar humor akueus melalui jaringan trabekular atau kanalis Schlemm sehingga
terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan keruskaan pada nervus optikus. Pada glaucoma sekunder,
keadaan seperti trauma dan pembedahan ini akan meningkatkan resiko obstruksi aliran keluar cairan
intraokuler yang disebabkan oleh edema auat proses abnormal yang lain.Glakoma sudut tertutup yang
akut terjadi karena obstruksi pada aliran keluar humor akueus. Obstruksi dapat disebabkan oleh sidit
antara bagian anterior iris dan permukaan posterior kornea yang secara anatomis sempit. Kamera okuli
anterior yang dangkal, penebalan iris yang menyebabkan penutupan sudut pada saat terjadi pelebaran
pupil, atau disebabkan oleh iris yang menonjol serta menekan tabekula sehingga membuat sudut tersebut
menutup(sinekie anterior perifer).setiap keadaan ini dapat menyebabkan tekanan intraokuler naik secara
tiba-tiba.
E. Penanganan
Penanganan glaucoma sudut terbuka yang kronis dapat meliputi:
1. Obat-obat golongan penyekat beta-adrenergik, seperti timolol atau betaxolol (antagonis resptro-beta)
untuk mengurangi produksi humour akueus.
2. Obat-obatan golongan agonis alfa,seperti brimonidin atau apraklonidin, untuk menurunkan tekanan
intraokuler.
3. Inhibitor karbonik anhidrase, seperti dorzolamid atau aserazolamid, untuk mengurangi pembentukan
dan sekresi humor akueus.
4. Epinefrin untuk menurunkan tekanan intraokuler dengan memperbaiki aliran keluar akueus humor.
5. Prostaglandin, seperti latanoprost, untuk menurunkan tekanan intraokuler.
6. Tetes mata miotikum, seperti pilokarpin, untuk menurunkan tekanan intraokuler dengan
memperlancar aliran humor akueus
Kalau terapi medis tidak berhasil menurunkan tekanan intraokuler,
prosedur bedah berikut ini dapat dilakukan:
1. Trabekuloplasti dengan sinar laser argon pada jaringan trabekuler sudut terbuka untuk menghasilkan
luka bakar termal yang mengubah permukaan jaringan/meshwork tersebut dan meningkatkan aliran
keluar akueus humor.
2. Trabekulektomi untuk mengangkat jaringan sclera yang kemudian diikuti iridektomi perifer untuk
membuat lubang bagi aliran keluar humor akueus di bawah konjungtiva sehingga terbentu
bleb(gelembung penyaring)
Glukoma sudut tertutup yang akut merupakan keadaan darurat mata yang memerlukan intervensi segera
untuk menurunkan tekanan intraokuler yang itnggi. Tindakan intervensi tersebut meliputi:
1. Penyuntikan IV manitol (20%) atau pemberian gliserin (50%) perooral untuk menurunkan tekanan
intraokuler dengan menciptakan gradient tekanan osmotic antara darah dan cairan intraokuler
2. Obat tetes mata steroid untuk mengurangi inflamasi.
3. Asetazolamid, preparat inhibitor karbonik anhidrase, untuk menurunkan tekanan intraokuler dengna
mmengurangi pembentukan dan sekresi humor akueus.
4. Pilokarpin untuk menimbulkan konstriksi pupil sehingga memaksa iris menjauhi trabekula dan
memungkinkan cairan intraokuler mengalir keluar.
5. Timolol, preparat penyekat beta-adrenergik untuk menurunkan tekanan intraokuler., mengurangi
tekanan ddan menyelamatkan penglihatan dengan memperlancar aliran keluar humor akueus.
6. 0bat tetes sikloplegia, seperti apraklonidin pada mata yang sakit(hanya setelah dilakukan iridektomi
perifer dengan sinar laser) untuk melemaskan muskulus siliaris dan mengurangi inflamasi guna
mencegah pelekatan.
F. Pertimbangan Khusus
Tekankan pentingnya mematuhi terapi yang diprogramkan dokter untuk mecegah peningkatan
tekanan intraokuler yang akan mengakibatkan perubahan pada diskus optikus dan kehilangan
penglihatan.
G. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada penderita glaucoma adalah Kebutaan.(J. P. dk.
Kowalak, 2017)
Amelia Kurniati, SKp, M., Yanny Trisyani, SKp, MN, P., & Siwi Ikaristi Maria Theresia, Ns, M. (Eds.). (2018).
Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy Edisi Indonesia 1. Singapore: Elsevier.
Kowalak, J. p., Welsh, W., & Mayer, B. (Eds.). (2017). Buku Ajar PATOFISIOLOGI (Professinal Guide to
Pathophysiology ). Jakarta: EGC.
Maria, J., Strid, C., Gammelager, H., Johansen, M. B., Tønnesen, E., & Fynbo, C. (2013). Hospitalization rate
and 30-day mortality among patients with status asthmaticus in Denmark : a 16-year nationwide
population-based cohort study, 345–355.
Morton, P. G. (2011). Keperawatan Kritis :Pendekatan Asuhan Kep. Holistik (8th ed.). Jakarta: EGC.
Sheehy. (2010). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana. (A. dkk Kurniati, Ed.) (1st ed.). SINGAPORE:
ELSEVIER.
Sumber:https://www.infokedokteran.com/info-penyakit/penyakit-asma-status-asmatikus.html
https://www.scribd.com/document/370492787/Asuhan-Kegawatdaruratan-Pada-Status-Asmatikus